Halaman

Wednesday, September 29, 2004

Orkestra dan Nyanyian dari Hati

eramuslim-Publikasi: 29/09/2004 07:54 WIB

Seperti biasa, selepas kerja saya dengan setia menanti bus AC yang biasa saya tumpangi setiap hari. Sengaja tak berlama-lama di kantor, berharap naik bus yang tak terlalu penuh bila belum jam setengah enam sore. Tak berapa lama menunggu, dari kejauhan saya melihat bus AC tersebut. Tanpa pikir panjang lagi, saya mengejarnya.

Beruntung sekali, ternyata bus itu masih setengah kosong dari penumpang. Saya pun segera duduk dan bersiap untuk tidur. Perjalanan masih jauh.

Beberapa menit, sebelum saya benar-benar tertidur, saya mendengar sayup-sayup suara pengamen di dalam bus. Dalam hati saya bergumam, biarkan saja. Siapa tahu pengamen ini sama seperti pengamen yang beberapa hari lalu menyegarkan telinga-telinga penumpang yang kelelahan di bus, sebab suaranya lumayan enak didengar. Saya pun semakin erat memegang tas di pangkuan dan membetulkan posisi duduk supaya nyaman.

Sebentar kemudian, beberapa orang yang berdiri di dekat bangku saya mulai berbisik-bisik. Rupanya mereka terganggu dengan pengamen itu. Saya tak jadi tertidur dan mulai memasang telinga baik-baik, mencoba mendengarkan. Memang aneh. Entah lagu apa yang dinyanyikannya. Tak ada yang salah dengan alunan gitar yang ia mainkan. Suaranya pun tidak sumbang.

Yang aneh adalah lagu yang ia nyanyikan. Entah bahasa apa. Kadang bahasa Inggris, kadang bahasa Indonesia, sedikit campuran bahasa Arab, entah apa artinya. Pengucapannya pun tidak jelas. Malah, awalnya saya mengira ia menyanyikan lagu dengan bahasa Jepang. Hebat sekali, begitu pikir saya.

Beberapa menit berlalu, dan setiap orang benar-benar terusik oleh nyanyiannya. Kondektur bus yang menagih ongkos kepada saya pun bergumam, "Nyanyi apa sih!" Juga beberapa penumpang yang saling berbisik dan bertanya-tanya, sebab si pengamen kerap mengulang sebuah kata -yang entah berasal dari bahasa apa- dalam lagunya.

Lain lagi dengan pengamen bus patas ac yang saya tumpangi kemarin. Kali ini seorang perempuan, dengan dandanan lumayan nyentrik. Ia memegangi gitar lengkap dengan sarungnya. Wah, penyanyi profesional nih. Begitu pikir saya. Ketika ia mulai menyanyi, saya merasa senang. Sebab ia menyanyikan bait nasyid yang dipopulerkan oleh Raihan, grup nasyid dari Malaysia. Begitu pula dengan lagu berikutnya, ia menyanyikan salawat.

Tetapi lama-lama saya dengar, suara gitar yang dipetiknya amat sumbang, dan telinga saya sampai sakit dibuatnya. Makin lama ia menyanyi, suara gitarnya makin kencang, dan rasanya suaranya sampai mendengung dan membuat kepala saya sakit. Namun tampaknya si pengamen tak menyadari bahwa nyanyiannya -terutama suara petikan gitarnya- begitu mengganggu para penumpang. Ibu-ibu yang duduk di seberang saya berkali-kali menoleh ke arah pengamen itu sambil bersungut-sungut. Tapi si pengamen tetap bernyanyi dengan tenang, mengulang tiap lagu yang dinyanyikan sampai dua kali, hingga setengah perjalanan. Ketika ia selesai, rasanya saya bisa mendengar hampir semua penumpang menarik napas lega.

Setelah sampai di rumah, saya berpikir bahwa ketika saya atau penumpang lain yang berada di dalam bus merasa terganggu dengan keberadaan mereka, para pengamen itu, mungkin pada saat yang bersamaan, sedang berupaya menghapus rasa malu dan menumbuhkan kepercayaan diri mereka untuk berhadapan dengan kami semua, demi receh-receh yang sekuat tenaga mereka kumpulkan. Walau tak memiliki suara merdu, pun tak punya modal kemahiran bermain gitar, itu semua tak jadi soal. Perih yang terasa di perut mereka, seolah memainkan musik sumbang yang terpaksa mereka dengar setiap waktu. Tapi bagi kami, para penumpang bus, mungkin nyaris tak ada yang peduli dengan nyanyian yang keluar dari mulut mereka, apalagi untuk ikut merasakan perih dan mendengarkan "orkestra" dari perut mereka.

Saya ingat, bahwa saya seringkali merasa terganggu apabila kebetulan pengamen yang berada di dalam bus yang saya tumpangi menyanyi dengan suara yang tak enak didengar. Saya merasa terganggu, hingga "membalasnya" dengan tidak mengeluarkan serupiah pun. Atau terkadang mengangkat tangan sambil tak sengaja bermuka masam. Dan bahkan banyak juga penumpang lain yang berpura-pura tidur ketika si pengamen menghampiri, atau bahkan memalingkan muka. Dalam satu hari, wajah-wajah masam, kadang mungkin omelan kecil, atau sikap kasar dari penumpang bus yang mereka dapatkan, tak sebanding dengan lembar-lembar atau kepingan rupiah yang berhasil mereka kumpulkan. Dan isi dalam perut mereka masih juga bermain "orkestra".

Dengan mengingat bagian kecil dari kehidupan kota itu, saya ingin belajar untuk lebih menghargai. Bahwa tetes keringat dan jerih payah yang mereka lakukan demi mendapatkan uang, berarti banyak dibanding mereka yang meraup harta tanpa cara yang halal, menikmatinya dengan merampas hak dan milik orang lain.

Saya ingin belajar untuk lebih memahami, bahwa lagu-lagu yang para pengamen itu nyanyikan, entah merdu atau sumbang terdengar, adalah bukti usaha keras mereka untuk tidak menadahkan tangan atau meminta-minta. Walau rupiah yang terkumpul tak cukup untuk mengurangi musik orkestra dari perut yang kelaparan.

Pengamen-pengamen itu mengajari saya, untuk selalu bisa mengerti bahwa kerja keras adalah proses yang indah bila kita menikmati dan menjalaninya dengan hati. Bahwa rupiah yang didapat dari hasil keringat sendiri, adalah kebahagiaan dan kepuasan dalam menjalani kesabaran mencari secuil rezeki. Terkadang, bila kita kekurangan, apa yang di tangan akan terasa lebih dihargai dan berarti. Seringkali, walau kita memiliki lebih, apa yang ada di tangan orang lain akan terlihat menggiurkan dan kita pun ingin memiliki.

Menanggapi pengamen-pengamen bus kota dengan seulas senyum, uluran tangan menyampaikan receh-receh rezeki untuk mereka, atau anggukan sopan bila tak berkenan, mungkin akan dapat meringankan hari yang akan mereka lewati. Setidaknya kita bisa memulai untuk lebih mengerti, dan tergerak untuk berbagi.

Saturday, September 18, 2004

Yang Tak Kan Kembali

Dan apabila bumi diguncangkan,
maka tak lagi ada tersisa daya untuk menahannya.
Entah apakah kan sanggup kita bertahan,
Bila ternyata tak lagi ada kesempatan,
Sedang maut sudah waktunya menjemput,
Atau kiamat telah tiba merenggut,
Semua kehidupan yang ada.


Hari ini, sebuah bom telah kembali mengguncang sebelah bagian kota Jakarta. Seakan tak bosan merusaki dan kembali meruntuhkan semangat orang-orang memulai hari. Bangunan-bangunan rusak, bagian-bagian reruntuhan, korban yang berjatuhan-tewas dan terluka parah, getaran yang terasa hingga ke mana.

Hari ini, kembali seluruh orang di kota menatapi televisi. Menanti perkembangan selanjutnya dari apa yang telah terjadi. Entah benak masing-masing berbisik apa. Rasa syukur sebab diri ini terselamatkan, gemetar dan takut kalau-kalau suatu saat akan mengalami nasib yang sama, sedih dan simpati terhadap mereka yang menghadapi, ataukah tak peduli sebab telah sibuk dengan urusan pribadi.

Entahlah, apakah kita akan sempat menyesali, bila suatu saat hal itu terjadi. Bilamana itu terjadi, tak mungkin lagi ada waktu untuk mengundurkan diri. Sebuah musibah yang menimpa orang-orang yang sedang diuji keimanan mereka. Sebuah peristiwa yang menggentarkan hati setiap orang yang tiada mau merasakannya. Bilamana itu terjadi, tak mungkin masing-masing kita tak peduli.

Hari ini, sebagian orang kehilangan orang yang dicintai. Ayah, ibu, anak, suami, atau istri. Mungkin mereka masih ingat salam pamit tadi pagi. Mereka yang melangkah mencari rezeki, mereka yang pergi dan tak lagi kembali. Hari ini, sebagian orang telah mendapati betapa kematian tak pernah mengalah. Tak peduli betapa hadirnya begitu tak disukai. Sebab ia menyebabkan kehilangan, dan rasa sesal pada hati. Sebab sesuatu bisa menjadi begitu berharga bila ia telah tak di sisi.

Kehilangan. Dan penyebab apakah ledakan itu terjadi tak lagi penting. Siapakah pelaku dan apakah motif di baliknya, untuk sementara, tak lagi dihiraukan. Berapa jumlah kerugian, siapa yang akan mengganti, … dan semua akan berpikir hanya untuk diri sendiri.

Sadarilah kini, apa yang telah terjadi tak mungkin terhapus lagi. Musibah itu terlanjur menyakiti. Namun ia adalah sebuah ujian kecil bagi kita yang selalu lupa mensyukuri. Apa yang dimiliki kini, suatu saat akan diambil dan tak kembali. Demikian pula dengan diri ini, pasti akan menemui mati. Entah sampai kiamat nanti, entah beberapa tahun lagi, entah esok, atau hari ini.

Dan semua yang telah mati, tak kan kembali.

9 September 2004

Friday, September 17, 2004

I Didn't Mean to...

eramuslim-Publikasi: 17/09/2004 08:35 WIB

Pernahkah suatu kali kita menemui bahwa ternyata secara tak sengaja telah tersakiti hati orang-orang lain di sekitar kita. Kita melangkah memulai hari tanpa mengerti bahwa kemarin, dua hari lalu, atau hari-hari sebelumnya lagi, entah berapa banyak orang yang tak berkenan dengan apa yang telah kita lakukan. Walau tanpa sadar, walau tak bermaksud demikian, namun hati yang terlanjur tersakiti, sulit tuk dipulihkan lagi.

Suatu kali, saat menjalani tingkat pertama perkuliahan, seseorang pernah berkata pada saya, "Kamu galak banget ya?" Ups! Saat itu saya benar-benar kaget. Galak? Ya, mungkin juga sih. Rasanya saya memang tidak pernah seperti si A, teman saya, yang bisa dengan ramainya berkicau menyapa setiap orang yang ia lewati di lorong kampus. Kemudian saya pun bertanya lebih lanjut, mencoba memahami "complain" yang saya terima hari itu.

Teringat waktu kelas dua SMU dulu. Saat saya dan teman-teman lain menjadi pengurus Rohis SMU. Berkutat dengan pelajaran, sekaligus aktivitas kepengurusan, setiap hari rasanya ada saja bahan rapat sepulang sekolah. Capek? Sudah pasti. Tapi entah kenapa saya menyukai semua aktifitas itu. Sepertinya bila hari belum gelap, belum waktunya untuk pulang ke rumah. Tanpa sadar, aktifitas ini itu di sekolah serta tuntutan harus mencapai nilai-nilai yang baik, plus beberapa permasalahan yang juga saya hadapi di rumah, membuat sedikit tekanan yang akhirnya terbawa pada perilaku. Saya mungkin tak menyadari, tapi tidak dengan yang lain.

Hari itu, saya dan teman-teman sedang duduk-duduk di depan mushola sekolah. Tiba-tiba teman saya memanggil, "Kamu dicariin tuh, sama anak kelas 1-5." Saya menoleh ke belakang, rupanya sedari tadi sudah berdiri dua orang anak kelas satu. Dua-duanya saya kenal, mereka anak-anak kelas satu yang rajin menghadiri acara Keputrian tiap Jumat. "Kenapa, dek?" tegur saya. Mereka mendekat, salah satunya menyodorkan sebuah buku, "Ng... ini kak, mau kembaliin bukunya. Maaf kelamaan minjemnya," katanya dengan suara sangat pelan. Saya mengangguk sambil tersenyum kecil, dan mengambil buku tersebut. Mereka lantas lekas pergi setelah mengucapkan salam. Kemudian seorang teman saya yang lain berkata, "Eh, kemarin mereka nanya ke aku, tentang kamu." Saya menatapnya heran, "Tanya apa?" "mereka tanya, "Kakak yang itu, maksudnya kamu, galak nggak sih?" Saya terhenyak. Pantas, tadi tampaknya mereka menghampiri dengan raut takut-takut dan suara nyaris tak terdengar. Saya berusaha keras mengingat-ingat, apa sih yang sudah saya lakukan sampai-sampai adik kelas takut kepada saya. Lalu saya hanya bisa nyengir pahit, karena saya tak berhasil mengingat apapun.

Pernahkah kita menyadari bahwa bisa jadi hari ini kita telah mengecewakan banyak orang? Kita mengira bahwa hari ini telah dilewati dengan lancar tanpa gangguan dan kita akhiri hari dengan tidur nyenyak. Namun ternyata tadi pagi, saat kita lupa mencium tangan orang tua untuk pamit, terbersit sedikit kecewa di hati mereka. Tadi pagi, saat membayar ongkos bis, kita memberikannya dengan sodoran yang kasar hingga pak kondektur bis bertambah lelah dan penatnya bahkan merasa terhina. Tadi pagi, saat masuk ruangan kantor, kita lupa menyapa dan memberi salam dan senyum pada pak satpam dan beberapa teman yang sudah datang, hingga yang kita suguhkan hanyalah wajah lelah sehabis turun naik bis dan kerut kening pertanda banyak kerjaan kantor yang harus diselesaikan hari itu.

Pernahkah terpikir oleh kita, bahwa sedikit kesan tak enak yang orang lain tangkap dari tingkah laku kita, dapat membekas begitu dalam tanpa kita menyadarinya. Membuat mereka merasa sedih, kecewa, kesal, atau bahkan marah pada kita. Tanpa kita menyadari, bahwa hari itu telah kita lewati dengan menyakiti hati begitu banyak orang. Dan saat hati-hati mereka telah luka, rasanya tak lagi berarti permohonan maaf kita saat kita ucapkan, "I didn't mean to..."

Seorang sahabat pada jaman Rasulullah SAW pernah dijamin masuk surga sebab ia memiliki kebiasaan selalu memaafkan dan melapangkan hati bagi setiap orang yang mungkin telah menyakiti hatinya hari itu. Namun kita tak pernah bisa memastikan, apakah memang kesalahan-kesalahan kita -yang tak disadari itu- telah dimaafkan oleh orang-orang yang telah sedih, kecewa, kesal, dan marah pada kita. Kita tak pernah bisa memastikan, sampai kita harus memohon pada mereka untuk memberi maaf. Hingga tak lagi kesalahan-kesalahan itu memberatkan diri kita di akhirat kelak. Walau kita pikir itu kecil, walau sepertinya itu tak berarti banyak buat diri kita.

Kesalahan yang tak disengaja, terkadang membuat kita sendiri heran. Kapan ya saya melakukan hal itu? Benar tidak ya, saya telah bersikap kasar padanya? Ah, saya kan tidak bermaksud begitu. I didn't mean to. Dan sekian banyak pemaafan yang kita ukir untuk diri kita sendiri, tanpa peduli apakah orang tersebut masih merasakan sakitnya hingga kini.

Tak usahlah lagi alasan itu dicari. Mari mulai memperbaiki, mulai saat ini. Sebab kita tak pernah tahu kapan diri kita pernah menyakiti.

Tuesday, September 07, 2004

Mengambil Jatah

eramuslim-Publikasi: 07/09/2004 09:08 WIB

Urusan mengambil jatah memang bukan hanya milik para binatang yang berebut makan siang dan saling bunuh untuk kelangsungan hidup. Sejak dulu, makhluk yang bernama manusia pun meramaikan arena balap-membalap, salip-menyalip, dan tikung-menikung tersebut. Mengambil jatah di sini maksudnya adalah menarik paksa apa yang sudah menjadi milik orang lain atau sesuatu yang sebenarnya bukan diperuntukkan untuk diri kita.

Demi kepuasan, demi kesenangan pribadi, tak peduli apakah orang lain itu rela atau menderita. Tak jelas mengapa, padahal Ia telah "menjatah" rizqi tiap makhluk-Nya tanpa terlewati.

Seperti kepayahan para pengungsi di berbagai tempat pengungsian yang tak mendapatkan jatah bantuan makanan atau apapun yang telah diberikan oleh berbagai pihak, akibat serakahnya oknum-oknum tertentu yang juga menginginkan bagian.

Seperti mirisnya nasib ibu-ibu rumah tangga, yang setiap hari tak habis mengomel, mengeluh, mungkin juga merutuki naiknya harga-harga barang. Hingga tak tersisa uang bulanan untuk menabung, sedikit bersenang-senang, apalagi merasakan mewahnya masakan rumah. Mereka tak tahu, tak peduli, atau bahkan tak lagi sempat memikirkan, bahwa jatah mereka diambil oleh tamaknya orang-orang yang ingin merasakan nikmatnya berada di pucuk kekuasaan. Orang bilang, itu korupsi. Ibu-ibu itu bilang, ini penderitaan.

Seperti protes ratusan mahasiswa dan calon mahasiswa yang mungkin terancam tak bisa melanjutkan kuliah atau gagal masuk universitas idaman. Sebab uang masuk kian melambung sampai jumlahnya bisa dipakai untuk biaya kuliah hingga lulus para mahasiswa sebelum mereka. Sebab penguasa kampus kini makin kreatif mendulang uang demi kenikmatan mereka sendiri.

Seperti preman jalanan yang mengaku sebagai bos bagi para anak-anak jalanan, mengambil jatah uang hasil keringat mereka yang telah lelah seharian bermodalkan suara sumbang sedikit serak dan botol air minum yang diisi pasir atau beras. Tak peduli ia, apakah anak-anak di bawah umur itu sempat makan dari kerja payah mereka. Bagaimana mereka dicaci-maki sejumlah penumpang bus dan mikrolet yang merasa terganggu. Bahkan ada yang mati tergeletak di jalanan, terjatuh dari pintu bus.

Mengambil jatah memang bukan urusan sepele. Caranya bisa mudah, bisa pula sukar perlu strategi. Kadang kala, untuk melakukannya tak perlu otak dengan IQ tinggi. Tinggal main rebut, ambil, dan nikmati. Seperti yang dilakukan para hewan di dunia binatang. Tapi manusia pun bisa jadi binatang, bila ia berlaku sesuka hati. Tak perlu pejabat, penguasa, atau petinggi. Tukang copet, tukang jambret, dan tukang todong selalu mengambil rizqi orang lain tanpa permisi.

Mengambil jatah tak pernah menjadi urusan sepele. Bahkan kini sebagian besar manusia telah paham dan maklum dengannya. Awalnya coba-coba, ketagihan karena enak, hingga terbiasa jadi aktivitas sehari-hari. Mulai dari urusan rumah tangga, kerjaan di kantor, sampai urusan negara. Mulai dari listrik curian, korupsi karyawan, sampai mengambil jatah kawan. Tak usah heran, bila yang enak makin enak, yang susah tambah payah.

Saya tidak tahu, apakah perlu dibuat pemberitahuan dan pengumuman lekas-lekas. Supaya kita semua awas, pada si pengambil jatah. Sebab kalau tidak, bisa-bisa kita tertular penyakitnya.

Atau kita perlu vaksinasi, supaya imun dari virus yang sudah menyebar ini. Karena kita tidak pernah tahu kapan ia menghampiri. Hati-hati.

Coba tanyakan pada diri sendiri, jatah siapa yang sudah kita ambil hari ini?