Halaman

Wednesday, November 24, 2004

Sebutir Debu Saja...

Abis baca blog-nya Attin. Terbengong sebentar, dan langsung kepikiran buat nulis di blog juga. Inget kemaren, Suhu Bayu Gaw nanya, "Vit, blog-nya belom di up date yah?" Iya. Belom. Banyak sih yang numpuk di kepala, nyempil2 sampe nyaris jebol, nggak muat, pengen tumpah. Mulai dari mana ya?

Refleksi Ramadhan.
Gagal kah? Berhasil kah? Tulisan Attin di blog-nya menggelitik saya untuk menulis sesuatu juga. Evaluasi yang terlambat? Nggak juga. Timing 'nulis'nya aja yang telat. Defense nih ye...hehehehe.

Ramadhan tahun ini, seperti biasa, kegairahan di masa-masa awal bulan suci menyentil saya berkali-kali untuk mengingat-ingat lagi apa yang telah terjadi pada Ramadhan tahun kemarin. Pokoknya, tahun ini musti lebih baik!!! *ngotot*

Dan di perjalanan hari-hari selanjutnya,...ujian-ujian kecil itu datang dan pergi. Ramadhan kali ini, saya harus terpaku di meja kerja di kantor, pulang selalu lepas maghrib dengan badan pegal dan nyaris kehilangan semangat untuk mengisi malam. Bagaimana dengan tilawah? Sholat sunnah? Dzikir? Berinfak?.....Sebuah perenungan panjang untuk kembali bertekad supaya tak membiarkan Ramadhan selanjutnya terlewati tanpa perbaikan dan peningkatan. Tidak perlu ada penyesalan berkepanjangan. Rasanya, mulai dari sekarang saya harus belajar lagi menghitung secara matematis berapa jumlah kerugian yang saya alami tahun ini, melewati detik-detik penuh ganjaran kebaikan yang harusnya bisa saya raih, sekaligus penataan hati menyangkut soal keikhlasan dalam beramal. Sedikit berkualitas? Atau banyak berkualitas? Nggak perlu berdalih. Saya memang harus berusaha lebih keras.

Sepuluh hari terakhir, full of excitement!
Selalu banyak yang saya alami selama waktu emas tersebut. Tahun lalu, kegembiraan itu saya lewati selama 5 hari di Masjid Baitul Ihsan (BI), Budi Kemuliaan. Tahun ini, 8 hari. Subhanallah walhamdulillah...Dan beberapa malam di antaranya saya lewati sendirian, tanpa teman ngobrol. Sendirian. Enak. Sebab mendekati akhir, saya benar-benar butuh waktu berduaan dengan Sang Kekasih. Rasanya, kalau bisa, saya mau orang-orang di sekeliling saya, yang juga berlomba merebut perhatian dari-Nya, tak menyaingi saya. Saya mau benar-benar berduaan saja!

Ada sesuatu yang hilang di Ramadhan kali ini, ada sesuatu yang kurang di Ramadhan kali ini, namun ada juga sesuatu yang membuat saya berdecak kagum sekaligus heran dan bersyukur bahwa Ia telah memberikan saya sesuatu yang terbaik yang membuat saya sekali lagi bertambah yakin bahwa Allah sungguh Maha Tahu apa yang paling dibutuhkan oleh hamba-Nya, Maha Pengabul Doa, Maha Pemberi Nikmat, Maha Mendengar sekecil apapun lintasan hati, pikiran, dan ucapan hamba-hamba-Nya.

Keajaiban. Adalah kenikmatan tersendiri yang memantapkan dan membersihkan hati yang seringkali tergelincir karena khilaf dan dosa. Bukan karena telah mendapatkan kesenangan lantas saya berkata begitu. Bukan. Namun saya sekali lagi bertambah yakin, bahwa diri saya benar-benar tak punya kuasa apapun untuk meragukan (walau sedikit saja) kekuasaan Allah atas makhluk-Nya.

*minjem teks SNADA* Saya benar-benar hanya sebutir debu di hamparan pantai-Nya.

Thursday, November 04, 2004

Sensitif, Melankolis, dan Romantis

Karena di tubuhku ada jiwa, maka ia bisa merasa. Sebab aku memiliki hati, maka ia tak pernah henti bercakap pada diri.

Seorang teman saya bilang, bahwa saya ini orang paling sensitif dari yang pernah ia temui. Mungkin itulah kesan mendalam yang ia rasakan pada diri saya. Sebab apa? Sebab saya selalu memikirkan segala sesuatunya secara berlebihan, katanya. Sebab saya selalu memasukkan segala peristiwa ke dalam perasaan, katanya. Saya pun mengakuinya. Sebab sensitif itu membawa saya ke dalam diri orang lain. Karena saya ingin menjadi bagian dari orang-orang yang saya sayangi, apapun yang mereka alami dan rasakan saat itu. Saya memang sensitif.

Persoalan sensitif ini kemudian menuju pada satu kalimat khas yang sering saya dengar. Wah, dasar cewek! Nggak heran deh ya kalau kamu sensitif begitu.

Tuduhan macam apa itu? Belum pernah saya menemui seorang manusia pun yang tidak memiliki perasaan. Sebab itulah yang membedakannya dari binatang. Perasaan. Merasakan. Memberikan rasa. Wajar saja toh? Begitu pikir saya. Tak peduli apakah itu perempuan atau laki-laki. Menurut saya, merasakan sesuatu kemudian menangis, atau tertawa, atau tersenyum, atau merasa kesal, atau apa saja, itu fitrah adanya bagi kita semua.

Suatu kali, entah sengaja entah tidak, saya menghasilkan beberapa tulisan ringan yang bertemakan sama. Tentang cinta. Saya tidak mengerti apa alasan di baliknya, sebab tangan ini terus saja mengetik hingga tulisan-tulisan itu selesai, sambil mengingat-ingat segala ide yang berloncatan nyaris hilang dari kepala ini. Saya menulis karena saya merasakan sesuatu yang menarik untuk ditulis. Itu saja. Dan dua kata yang menempel pada diri saya kemudian; melankolis dan romantis. Ada yang merasa geli mendengarnya. Bagi saya, itu pujian. Dan saya tersenyum saja.

Tersenyum, sebab rasanya melankolis itu membawa sesuatu. Romantis itu menghasilkan sesuatu. Beberapa teman rasanya terpancing, dan mereka pun bersemangat untuk menulis. Saya tidak mengatakan bahwa mereka terinspirasi oleh diri saya. Tapi saya akan sangat senang sekali bila memang demikian adanya. Sebab, itu artinya, sensitif, melankolis, dan romantis yang saya punya menyemangati semua.

Pagi itu, saya terharu membaca tulisan-tulisan dari mereka, teman-teman saya. Tersenyum-senyum sendiri, dan saya pun memberikan komentar untuk tulisan mereka. Ada yang bilang, bahwa ia menyelesaikan tulisannya pun sambil menangis. Yang lain, ikut terharu biru dan mengatakan bahwa ia menuliskannya dengan sepenuh hati.

Ah, saya tak tahu apa itu definisi sensitif, melankolis, dan romantis. Pentingkah? Bila saya bisa menghasilkan buah pikiran saya dan memberikan manfaatnya kepada orang lain.

Ah, baru saja perasaan saya tertumpahkan di tulisan ini. Saya tahu, disamping tiga label di atas, ada seorang lagi yang akan berkata pada saya seusai ia membaca judul tulisan ini,

“Dasar penulis!”

Instrumentalia Hati

Tadi pagi di AC28, bisa duduk sampai kantor! Senangnya!

Dua orang pengamen yang sudah stand by, mulai beraksi setelah bus bergerak keluar dari pintu tol Jatibening. Bukan lagu pop, dangdut, atau ciptaan Ebiet G. Ade yang sering dinyanyikan, bukan. Bukan juga lagu khas para pengamen, dari Iwan Fals, bukan juga lagu-lagu "nggak jelas" yang biasa mampir lewat sekedar minta recehan. Pagi ini, saya mendengar musik instrumentalia dari dua orang pemuda yang mahir memainkan gitar dan biola. Wah, rasanya seperti diiringi Tohpati dan violis dari grup Arwana. Merdu.

Saya pun melirik ke kiri dan kanan, hanya satu orang yang tidak kebagian tempat duduk, berdiri. Yang lain, nyaman dengan posisinya masing-masing, dengan mata terpejam. Tidur. Baru kali ini saya merasakan nyamannya pergi ke kantor. Lantas kedua kaki ini pun diselonjorkan.

Seandainya yang saya dengar itu adalah alunan ayat-ayat Alquran, pasti akan kedengaran lebih merdu. Bukan saja merdu, melainkan begitu menyejukkan hati. Ah, saya penasaran. Akankah hati ini tergetar bila kali itu saya mendengar ayat suci-Nya? Seberapakah kenikmatan yang kedua telinga saya rasakan bila saat itu bukanlah lagu instrumentalia yang saya dengar, melainkan ayat-ayat-Nya? Ataukah saya lebih suka mendengar yang lainnya sebab hati ini kian kesat? Padahal Ramadhan ini sebentar lagi pergi.

Terkadang, sesuatu yang menjadi kesukaan manusia bukanlah merupakan hal terbaik yang ia butuhkan. Bahkan hal yang terbaik itu seringkali harus dicapai dengan susah payah dan penuh perjuangan. Tidak semudah meraih hal-hal yang telah menjadi kesenangan semata. Tidak semudah mendapatkan kegemaran-kegemaran yang bergelimang maksiat ataupun kesia-siaan. Memang benar, bahwa surga dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disukai manusia, sedangkan neraka berpagarkan syahwat.

Saya pun bertanya dalam hati, apakah saat itu saya membiarkan kedua telinga saya menjadi saksi bahwa saya lebih memilih untuk mencari kunci dan membuka pintu pagar neraka. Padahal detik itu, saya sedang berada pada bulan yang tiada waktu yang tersisa kecuali di dalamnya ada keberkahan dan ampunan-Nya.

Godaan itu hanya sebentar rupanya. Tak sampai setengah perjalanan, mereka pun berhenti.

Sepertinya nikmat dunia memang hanya diciptakan untuk sesaat. Sesaat dinikmati, kemudian hilang. Bila mereguknya berlebihan, tentu akan hilang rasa nikmatnya. Seperti orang yang terlalu banyak makan, perutnya penuh, bukan nikmat melainkan kekenyangan sampai kehabisan napas. Seperti orang yang berambisi mencari harta, setelah dapat, bukannya senang melainkan khawatir berlebihan akan hartanya tersebut. Menggenggam erat-erat apa yang dimiliki sekarang, akhirnya toh akan usai juga akhirnya. Dan kita semua akan kembali tanpa membawa apa-apa. Hanya sedikit, dan hanya sebentar. Sebab sisa kenikmatan itu akan Ia berikan nanti, di akhirat, bagi mereka yang mendapat ganjaran atas imannya.

Perjalanan masih setengah lagi jauhnya, suasana bus hening. Posisi duduk saya semakin nyaman. Kali itu, tidak dengan diiringi apa-apa. Tetapi saya berdzikir sendiri. Tak peduli kiri dan kanan mungkin akan memandang heran melihat mulut saya berkomat-kamit sendirian. Biar saja. Saya sedang melantunkan lagu saya sendiri. Instrumentalia hati.


Buat 9868sisterhood,...i'tikaf yuk!!!