Halaman

Tuesday, March 29, 2005

Nge-blog Aja Deh !!!

Introducing the Blog

Buat saya, memiliki 'blog' pribadi seperti punya 'buku diary' kedua. Padahal buku-buku diary yang ada di rumah pun udah numpuk tinggi banget !!!

Pertama kali kenal 'dunia para bloggers' ini dari teman, namanya Ifat. Waktu itu saya belum kerja di kantor seperti sekarang. Tapi memang rajin banget ke warnet, buat apply lowongan kerja, atau sekedar cek email dan chatting dengan beberapa orang teman. Waktu itu, saya berandai-andai...duh, kapan ya bisa online tiap hari di kantor dan bisa bebas nge-blog???

Beberapa bulan setelahnya, saya diterima bekerja di Eramuslim. Rasanya? Kayak mimpi banget gitu loh!!! Bisa online setiap saat (karena memang tugasnya selalu berhubungan dengan internet sih!) dan bisa nge-blog sepuas hati. Setiap hari, saat baru tiba di kantor, saat jeda istirahat, dan di sela-sela kesibukan,...saya selalu menyempatkan diri untuk 'melirik' dan 'menulisi' blog tercinta.

My (new) Dear Diary

Hampir setiap waktu 'curhat' di blog, bahkan 'curhatan' itu seringkali jadi inspirasi untuk bikin artikel baru. Rasanya saya jadi lebih produktif menulis sejak memiliki My (new) Dear Diary. Sebab, setiap ada kalimat 'lucu' dan 'seru' yang terlintas di kepala, sebisa mungkin langsung dituangkan dalam blog. Apapun itu. Akibatnya adalah, 'buku diary' tersayang nganggur bersama tumpukan buku di rak.

Menuliskan setiap isi hati dan kepala pada blog tercinta, rasanya seperti sedang ngobrol dengan teman dekat. Ia bisa jadi cermin, yang memperlihatkan tiap 'emosi' yang telah menandai sebuah proses pembelajaran diri dari waktu ke waktu. Saya belajar banyak dari 'blog pribadi' ini. Bukan saja tulisan saya sendiri yang menggambarkan hampir semua kesan, perasaan, dan rasa sedih serta gembira saya pada tiap peristiwa, melainkan juga tiap komentar dan sapaan yang telah banyak membantu saya untuk berpikir dan merenungkan kembali apa-apa yang telah saya tulis di sana. Apakah tulisan-tulisan tersebut hanya menjadi 'sebatas curhatan' yang akan menambah deret masalah dan memusingkan semua yang membaca, ataukah ia telah berhasil mencerahkan dan menjadi dorongan positif bagi mereka?

Memiliki 'blog' ini, adalah berbeda dari sekadar hanya menumpahkan setiap uneg-uneg dengan sesuka hati kemudian menutupnya rapat-rapat agar tak dibaca orang lain. Sebab saya selalu berusaha menampilkan apa adanya semua yang saya pikirkan dan renungkan. Sejujur-jujurnya, dari hati terdalam. Karena hikmah itu tak mungkin saya miliki sendiri.

Meraih Mimpi Yuk !

Saya ingin jadi penulis! Dan mimpi itu akan berusaha saya wujudkan. Salah satunya, dengan menulis, menulis, dan terus menulis. Menghargai setiap lintasan ide yang 'belum jadi apa-apa', dan menuangkannya ke dalam 'blog' ini. Itu salah satu cara saya mengasah kebiasaan untuk tak henti menulis dan tidak menyepelekan tiap ide yang 'menari-nari' di hadapan mata maupun di benak dan pikiran.

Entah itu 'curhat', artikel singkat(oleh karenanya saya selalu disebut sebagai: si sensitif dan melankolis), atau puisi (kata teman-teman, sejak nikah saya tambah jago 'ngegombal').

Mungkin ada sebagian yang berpendapat miring mengenai para blogger, dan mengatakan bahwa hal ini adalah sebuah kesia-siaan saja. Namun bagi saya, setiap hal bisa menjadi 'peluang'. Dan setiap yang membawa manfaat untuk diri sendiri (dan juga orang lain) adalah sangat sayang untuk ditinggalkan. Siapa tahu, para blogger ini akan menjadi fenomena tersendiri dan menciptakan 'genre' baru dalam dunia kepenulisan. Nah, saya tak mungkin melewatkannya begitu saja, kan?!

Mau mendapat peluang, banyak teman, bisa 'curhat', nambah inspirasi, nampung ide,...pokoknya nge-blog aja deh!!!

Thursday, March 24, 2005

from Vavai...

[Komentar di bawah ini adalah tanggapan dari Muhammad Rivai alias Vavai atas artikel "Tetaplah Tegar agar Kau Dicintai". Trims yah, Vai...senengnya bisa dapet masukan berharga kayak gini. Tambahan nih, ternyata sisi 'perempuan' dalam tulisanku ketara banget ya? Hehehe...maka dari itu: duet yuk, Vai !!! ;p]

Mbak Vit,

Saya bisa jadi pembaca setia diary-nya lho... :-)

Sebenarnya kecemasan untuk menikah bukan hanya ada pada calon isteri tapi juga calon suami. Cemas dan khawatir tidak dapat membahagiakan isterinya, tidak dapat memberikan yang terbaik, tidak dapat mewujudkan keinginan dan harapan isteri dlsb.

Banyak juga yang khawatir pada cerita-cerita 'menakutkan' tentang kegagalan rumah tangga, mengenai ketidakharmonisan keluarga dan banyak lagi kekhawatirannya (jangan-jangan ini ungkapan rasa hati, hihihi...)

Tetapi, saya (pribadi) pikir bahwa tidak semestinya takut itu menghalangi kita meraih kecintaan yang maha kuasa. Jika kita seorang muslim, mengapa kita harus khawatir pada janji Allah untuk membahagiakan orang-orang yang melaksanakan sunnah rasul-Nya...

Jika isteri tidak bisa menjadi 'Super Woman', demikian halnya suami, dia juga tidak bercita-cita menjadi 'Superman', karena kepinginnya jadi Superboy terus...

Bukankah sikap manusiawi yang membuat kita dapat lebih memahami indahnya kebersamaan...

Jika suami dan isteri bertekad memberikan yang terbaik to one another, Insya Allah kebahagiaanlah yang akan melingkupinya. Saya memang belum menikah, tapi saya meyakininya. Bukankah kita tidak harus mencoba memegang api untuk mengetahui panasnya api... (jauh amat soal keluarga dengan api :-D)

Buat para isteri, suami hanya ingin mengatakan : "I love you, just the way you are..."

Wednesday, March 23, 2005

Selasar itu...

Pertama kali gabung di FLP, saya beberapa kali ikut pertemuan FLP DKI di masjid Amir Hamzah TIM. Saat itu saya berpikir, wah...asik juga nih...suasana santai tapi full diskusi dan tetep rame serta akrab satu sama lain. Saat itu saya tidak memperhatikan bahwa kami melakukannya di selasar masjid, di lantai dingin serta berhawa serjuk. Bagi saya pribadi, itu tidak jadi masalah. Yang penting adalah apa yang didapatkan dari tiap pertemuan. Satu hal yang langsung memenuhi benak saya, bahwa menjadi anggota FLP berarti mengedepankan produktivitas dan kualitas. Walaupun materi dan segala masukan yang saya dapat (saat itu) tidak diberikan secara formil layaknya ikut workshop/seminar/pelatihan kepenulisan di tempat lain. Tapi saya merasa banyak sekali mendapat pelajaran.

September 2004, FLP cabang Bekasi diaktifkan. Dan bulan-bulan berikutnya kegiatan/pertemuan anggota dilakukan sekali dalam sebulan, dengan waktu yang cukup tidak konsisten (kadang di awal, kadang di akhir bulan) terkait dengan kesiapan pengurus (yang juga dibentuk dadakan serta kurang matang dalam perencanaan). Awalnya saya cukup deg-degan, bisa nggak ya kegiatan ini berjalan? Tapi setiap kali ingat mbak Helvy yang saat pembukaan/launching FLP Bekasi ikut menjadi pengisi acara, saya kembali bersemangat, dan mulai menanamkan satu hal dalam hati, bahwa kemajuan dan perkembangan itu akan diraih secara bertahap. Saat itu (dan sampai sekarang) kami belum mempunyai sekretariat dan program rinci dalam pelaksanaan pertemuan bulanan. Saya masih berpikir, ah...nggak apa-apa deh di selasar masjid juga (pertemuan biasa diadakan di selasar masjid Islamic Center Bekasi), biar deh belum ada silabus tetap, yang penting pertemuan bulanan tetap berjalan dan peserta bisa berdiskusi sambil membahas karya. Tetapi ternyata tidak semudah itu.

Menghadiri Munas kemarin, membawa banyak sekali pe-er buat kami. Sepertinya banyak sekali yang tertinggal dan belum dikerjakan. Akhirnya, tanggal 20 Maret 2005 kemarin, beberapa orang pengurus mengevaluasi kinerja kepengurusan (yang ternyata telah berjalan kurang lebih 6 bulan) dan membuat perencanaan untuk 6 bulan mendatang. Dan kami bertekad untuk mendata ulang seluruh anggota yang telah mendaftar, membuat silabus pertemuan, dan menjalankan fungsi kaderisasi dari forum ini yang kemarin rasanya belum berjalan dengan baik.

Ada satu keinginan yang rasanya cukup penting untuk dipenuhi saat ini, sebab rasanya suasana yang kondusif akan membantu anggota untuk dapat berkonsentrasi saat pertemuan berlangsung, dan pertemuan dapat berjalan efektif. Keinginan itu adalah memiliki sekretariat, yang bisa digunakan sekaligus sebagai tempat melaksanakan pertemuan rutin. Sedikit muluk-muluk mungkin, sebab ada juga cabang/wilayah lain yang belum memiliki sekretariat, namun kegiatan tetap berjalan dan mereka tetap produktif. Pada tempat yang biasa kami gunakan, kami harus mengeluarkan 250 ribu rupiah setiap kali meminjam ruangan. Jumlah tersebut yang selalu membuat kami enggan untuk memakai ruang-ruang kelas yang tersedia cukup banyak, dan kami tetap 'setia' duduk di selasar masjid.

Perbaikan akan terjadi bila diupayakan. Rasanya sekarang bukan lagi waktunya bersantai-santai dan berteguh pada kondisi sekarang tanpa mengusahakan kemajuan untuk masa mendatang. Salah satu keputusan yang dicapai pada rapat evaluasi kemarin adalah, kami akan mengajukan proposal kerja sama dengan beberapa pihak untuk memperluas jaringan serta mengusahakan fasilitas bagi kegiatan FLP Bekasi.

Andaikan upaya itu belum berhasil, ...rasanya selasar itu masih cukup nyaman untuk menampung kami...

Mohon doa dari semuanya...

Tetaplah Tegar agar Kau Dicintai

Bagi para wanita, menjalani kehidupan sebagai istri dan ibu adalah berarti menjalankan sebuah peran besar dengan segala tuntutannya. Seketika ia menikah, maka saat itu pula segala kesenangan serta kesusahan ditanggung bersama. Masa-masa indah di awal pernikahan, mungkin belum mendatangkan berbagai cobaan yang sebenarnya akan menguatkan ikatan cinta serta pula keimanan pada sepasang suami istri. Namun ada pula mereka yang sejak awal harus melewati sekian rintangan demi mengukuhkan tekad menggenapkan setengah dien.

Tak sedikit kita mendapati cerita-cerita seputar lika-liku rumah tangga, yang kadang membuat hati miris dan bahkan bisa jadi menyebabkan ‘ketakutan’ bagi mereka yang belum menikah. Takut akan mengalami kesulitan yang dialami oleh si fulanah, khawatir tak akan sanggup menghadapi cobaan seperti yang dihadapi fulanah yang lain. Dan akhirnya berhari-hari mengukur diri, kapankah saat yang tepat menyatakan diri siap untuk menikah. Kemudian, mereka-reka kesanggupan bila harus mengalami peristiwa ini-itu yang dialami oleh mereka yang telah bercerita banyak.

Sesungguhnya, bagi setiap perjalanan hidup berumah-tangga, pastilah terdapat berbagai hal yang sebenarnya akan menguji setiap jenak kesadaran kita untuk memperjuangkan ikatan suci ini. Baik itu berupa kesenangan dan kemudahan yang Allah berikan, maupun ujian kesulitan yang mendera, hingga itu akan menguji kemampuan diri dalam hal keberanian untuk bertahan serta menghadapi segala tantangan yang ada. Bukan bersikap menghindar, atau menyerah begitu saja. Tentu saja, Allah Yang Maha Pemurah tak akan memberikan ujian di luar dari kesanggupan hamba-Nya. Bukankah itu satu hal yang harus selalu kita ingat? Sehingga tak ada kata menyerah atau menyalahkan siapapun serta mengeluh berkepanjangan saat ujian itu tiba pada diri kita.

Kadang, seorang istri harus menghadapi kenyataan sulitnya mengatasi masalah keuangan keluarga. Seorang suami yang tidak bekerja; oleh sebab di-PHK atau belum mendapat pekerjaan, sedangkan kebutuhan sehari-hari harus dipenuhi. Apalagi kebutuhan itu akan terus bertambah dengan hadirnya si buah hati, ataupun kewajiban menafkahi orang tua dan saudara kandung yang masih harus ditanggung.

Ada pula yang mengeluhkan dirinya yang selalu berkonflik dengan anggota keluarga sendiri maupun dari pihak suami. Kasur yang empuk, rumah yang mewah, serta harta berlimpah mungkin akan terasa tak memuaskan bila harus menghadapi perilaku tak menyenangkan yang diterima dari sanak saudara, dengan sebab apapun.

Belum lagi masalah anak-anak yang sakit, kesulitan belajar, kecelakaan kecil yang terjadi, pengalaman tak menyenangkan di sekolah, biaya berobat, naiknya uang SPP, les tambahan, dan banyak lagi hal yang akan menambah sesak beban pikiran seorang ibu.

Bagaimanapun, senyum manis serta kasih sayang itu haruslah selalu tercurahkan, bagi mereka yang tercinta-suami dan anak-anak. Disadari atau tidak, seorang istri dan ibu adalah sebuah sumber kekuatan cinta yang akan menambah energi bagi mereka setiap hari. Sikap santun dan sebuah kecupan setiap pagi akan menyemangati si suami yang akan memulai hari. Peluk erat, belaian lembut serta ciuman sayang akan menebarkan rindu bagi anak-anak hingga mereka tak sabar ingin bertemu kembali dengan bunda tercinta sepulang sekolah. Bagaimanapun, perilaku yang disuguhkan dalam bentuk apapun, adalah sebuah ‘saham’ yang sedang ditanamkan kepada diri anggota keluarga kita. Yang akan mereka bawa dalam benak mereka sepanjang hari, dan mungkin akan diingat sepanjang waktu.

Saham yang baik, akan berbuah kesegaran serta semangat bagi mereka untuk terus berjuang dalam menjalankan peran-peran mereka di luar rumah. Berprestasi dan berbuat sebaik mungkin di sekolah dan di tempat kerja. Mengerjakannya dengan sepenuh jiwa sambil berdoa untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Sebab ada seseorang di rumah yang menunggu dengan senyum termanis yang akan menyambut pulang dengan dekapan hangat dan kedua pasang telinga yang siap mendengarkan setiap curahan hati.

Sebaliknya, seorang istri dan ibu dengan berbagai permasalahannya, bisa jadi akan melemparkan sikap tertentu kepada anggota keluarga. Melampiaskan rasa marah pada anak, mengungkit-ungkit masalah keluarga pada suami, berdiam diri sepanjang hari sambil memendam kekesalan, atau mencari penyegaran di luar rumah hingga lupa waktu pulang, bahkan sampai membengkalaikan kewajibannya di rumah.

Memang tidaklah bisa memaksakan diri menjadi ‘super woman’ dan menjalani segala sesuatunya dengan sempurna. Namun tak bisa dielakkan, bahwa setiap sikap yang kita pilih untuk dilakukan, tak hanya akan memberikan pengaruh terhadap diri sendiri, melainkan juga terhadap mereka yang kita cintai. Ingatlah, bahwa ‘saham’ yang kita tanam hari ini, bisa jadi akan menghasilkan buahnya bertahun-tahun mendatang, kala kita telah lupa akan apa yang telah kita perbuat. Saat anak-anak telah beranjak dewasa, saat masing-masing suami dan istri telah bertambah usia, saat segala yang dirasakan kini akan berubah menjadi kenyataan yang lain.

Inginkah kita memiliki keluarga yang selalu bersemangat dalam tiap aktivitasnya? Yang selalu melakukan dan mempersembahkan yang terbaik bagi dirinya, keluarga, serta Rabb-nya. Yang dapat bangkit kembali setelah lelah-letihnya. Yang tak menghentikan ikhtiar serta doa, dan meyakini bahwa Allah akan menetapkan sesuatu yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya.

Jadilah semangat itu, sehingga ia akan tertularkan kepada orang-orang terkasih. Pilihlah sikap terbaik untuk disuguhkan pada mereka, dan kebaikan akan selalu memenuhi tiap ruang hati mereka dan pun keridhoan Allah akan selalu menyertai.

Kesulitan yang dihadapi, adalah ujian bagi daya tahan diri untuk melewatinya, serta momen penting untuk menguji tingkat keimanan yang telah diraih.

Menjadilah engkau seperti Khadijah, yang setia mendampingi sang Rasul saat kapanpun ada suka maupun duka. Ia lah yang pertama kali memberikan rengkuhan kekuatan baginya kala dibutuhkan, ia lah sokongan bagi setiap celah jihadnya. Ia lah yang pantas untuk paling dicintai, dan namanya pun terukir mengalahkan bidadari.

[hadiah untuk mama, dan tante-tante tersayang]

Monday, March 21, 2005

Menggali Energi

[Fiuh! Hari ini rasanya badan pegel-pegel dan capek banget. Kenapa ya? Mungkin kemaren kurang tidur? Ternyata dua bulan tinggal di Bangka, deket dari kantor, jadi keenakan. Sekalinya musti berangkat dari Bekasi, badan jadi pegel-pegel gini.]

Entah kenapa, beberapa waktu belakangan, saya jadi kehilangan semangat ketika berada di kantor. Mulai bosan kah? Atau terpengaruh oleh situasi kantor yang sepertinya sedang 'tidak bersemangat'? Atau mungkin juga terwarnai oleh keinginan beberapa teman untuk 'meninggalkan' kantor? Entahlah. Yang jelas, semangat ini harus dipompa setiap saat supaya tetap terjaga, dan supaya tidak jatuh tertidur di meja kerja di siang hari bolong.

Saya butuh energi yang lain! Bisa jadi energi yang tersimpan di tubuh kian terkikis oleh kegiatan di luar kantor yang cukup menyita tenaga dan pikiran. Atau mungkin muatan energi itu tetap sama, tetapi sepertinya harus ada diversifikasi energi yang cukup untuk dapat mempertahankan 'spirit' kerja. Jika tidak, ya beginilah adanya. Setidaknya itu adalah analisa singkat dari kondisi buruk yang sedang saya alami. Sebab saya tidak ingin menjadi seorang pengeluh, yang setiap hari membuat telinga orang-orang di sekitar menjadi tuli atas keluhan dan ocehan yang tidak produktif itu.

Baru saja membaca setengah dari buku "FISH" (Stephen C Lundin, dkk). Ada sebuah desiran lain yang terasa. Apalagi ketika saya membaca kalimat 'kita dapat memilih sikap apa yang ingin ditampilkan'. Sikap yang kita pilih dalam setiap pekerjaan yang kita lakukan, apakah itu bersemangat atau sebaliknya, adalah pilihan pribadi. Tidak cukup sepele untuk ditinggalkan. Karena saya jadi sadar, bahwa saat ini saya sedang memilih sikap 'bermalas-malasan' atau 'menjadikan bosan sebagai dalih' dalam beraktivitas di kantor. Akibatnya, produktivitas kerja menjadi menurun, dan dampak psikologis terhadap diri saya atas apa yang saya lakukan sendiri ternyata begitu besar. Sikap itu menyeret saya bagai arus ke dalam sebuah putaran kebosanan yang tidak akan berhenti kecuali bila saya sendiri yang menghentikannya.

Energi itu bisa datang dari mana saja. Namun, menurut saya, energi yang terindah adalah datang dari dalam diri kita sendiri, berdasarkan sebuah kesadaran dalam berperilaku. Kita sendiri yang akan memutuskan, apakah energi positif yang akan kita keluarkan dalam sebuah sikap, ataukah sebaliknya. Bagaimanapun kondisi kita pada saat itu. Bukan berarti, bagi setiap orang yang sedang dirundung masalah, ia akan mengeluarkan energi negatif bagi sekelilingnya. Belum tentu. Bisa jadi mereka bahkan dapat menjadi penyemangat nomor satu bagi yang lain, sebab mereka memilih untuk bersikap tegar dan menjadikan sikap positif yang mereka tampilkan adalah sebuah energi baru untuk diri mereka sendiri dan juga orang lain.

Saya tidak tahu, apakah terjadi perubahan pada diri saya selepas tulisan ini saya selesaikan. Yang jelas, saat ini setidaknya saya telah memilih untuk memperbaiki 'kesalahan' yang mungkin sedang terjadi pada koordinasi intra-tubuh saya, dan menggali energi (positif) yang ada sehingga saya dapat menjalani hari-hari berikutnya dengan lebih bersemangat.


*energi-ku akan pulang besok...senangnya :-) *

Wednesday, March 16, 2005

My Dear Little Anya...

Image hosted by Photobucket.com
[Rey dan Anya]

Baru aja dapet sms, katanya 'My Dear Little Anya' masuk RS...hiks...dan katanya dia nanya-nanyain 'kakak Vita-nya' terus...

Duh...kenapa lagi yah?!

Anya itu salah satu sepupu favoritku. Lucuuu...banget! Kecil, mungil, putih (sekarang sih udah item kali, abis berenang dia), keriting, imut! Kakaknya Anya, namanya Rey, juga favoritku. Setiap kali mereka kenapa-kenapa (mereka berdua sering banget sakit or masuk RS), pasti aku bisa ngerasain. Bukannya sok punya sixth sense nih, tapi emang selalu gitu.

Akhir bulan Januari lalu, waktu lagi cuti nikah, selama beberapa hari itu kok sering banget mimpiin dan mikirin si Rey. Dan berkali-kali pengen nanya ke papa, si Rey kenapa lagi. Eh, taunya dia dioperasi usus buntu. Alhamdulillah waktu itu lagi cuti, jadi bisa nungguin operasi. Selesai operasi, ke kamarnya, dan ngeliat tampangnya yang masih setengah ngantuk-setengah sadar-bete banget keliatannya sambil nanya, "Kak Hendy mana?"

Dua minggu lalu, sering banget keinget sama Anya, sampe ganti wallpaper di HP pake fotonya. Pas ketemuan kemaren, ternyata Anya emang sakit. Ada polip di idungnya yang mungil itu katanya...sering banget flu, tapi si bandel itu tetep aja berenang berkali-kali dalam sehari waktu di puncak kemaren. Dasar.

duh...sekarang kenapa lagi, cayank??? sedih banget deh....

Image hosted by Photobucket.com

Tuesday, March 15, 2005

[dalam rangka kangen]

gunung rinduku mengaduh
ia memanggil namamu, jauh
dan kini rasanya nafasku tinggal separuh
di sini,
menunggumu

bersabar aku mengayuh cinta,
membawanya
biarkan aku menemuimu,
walau bukan dengan ragaku.


~tanggal 22 masih lama ya?...hiks..~

Wednesday, March 09, 2005

Sambil Menunggunya Pulang….

Menjadi seorang istri dan sekaligus seorang ibu memang berat. Tak hanya waktu luang untuk diri sendiri yang harus dikikis sekian persen demi kepentingan keluarga, namun juga porsi pencerdasan diri yang sepertinya lambat laun mengalami degradasi. Akibat sibuknya mengurus rumah tangga kah? Begitu kira-kira yang menjadi alasan sebagian wanita.

Saya menemui banyak teman wanita yang sudah menikah, yang mengeluhkan hal-hal di atas. Mereka mengatakan bahwa banyak dari waktu mereka tersita untuk hanya mengurusi pernak-pernik rumah tangga, dari mulai urusan dapur, cuci-mencuci, membereskan rumah, melayani suami, dan menjaga anak hingga tertidur sampai larut malam. Tenaga dan pikiran sudah pasti terkuras. Dan ujungnya, pemaafan yang seringkali jadi senjata andalan untuk tidak lagi rajin membaca buku, perbanyak tilawah, dan melakukan ibadah sunnah lainnya.

Padahal menjadi seorang ibu dan istri membutuhkan kekuatan, tidak hanya dalam hal kekuatan fisik. Seorang ibu yang memiliki wawasan yang luas, akan menjadi ‘sekolah’ abadi bagi anak-anaknya kelak, dan kesalihahannya akan membentuk mereka menjadi seorang yang penuh dengan keimanan. Seorang istri yang memiliki kecerdasan, pastinya akan menjadi teman bicara dan bercurah hati yang sangat menyenangkan bagi suami. Pun ibadahnya yang terjaga, akan menjadikan suami bertambah sayang serta termotivasi untuk saling meningkatkan kualitas diri.

Masalahnya sekarang adalah pada keterampilan diri masing-masing wanita untuk memanajemen seluruh aktivitasnya. Sehingga tak lagi ada alasan ‘tak ada waktu’ atau ‘tidak sempat’. Tidak ada seorang ibu dan istri yang sempurna, namun kita semua bisa berusaha untuk mengoptimalkan tenaga yang ada, untuk tetap menjadikan diri ini ‘berseri’ tak hanya dari luarnya saja.

Saya mengenal seorang ibu muda yang telah memiliki empat orang anak. Usianya sendiri mungkin sekitar tiga puluhan. Ia seorang penulis yang cukup produktif, dan bahkan baru-baru ini telah mengeluarkan lagi buku terbarunya. Saya langsung tertarik untuk bertanya mengenai kiat-kiatnya dalam meluangkan waktu untuk menulis, sedangkan tiga orang anaknya telah sekolah. Saya membayangkan, betapa repotnya ia harus membagi waktunya untuk mereka. Salah satu kiat yang saya dapatkan adalah, menulis di waktu pagi hari sekitar pukul delapan hingga sebelas siang. Saat itu, ketiga anaknya sedang berada di sekolah, dan suami berada di kantor, hingga ia punya cukup waktu untuk menyicil menyelesaikan naskah. Wah, kalau begitu, tak ada ‘istirahat pagi’ atau ‘tidur siang’ dong?! Begitu pikir saya seketika. Namun jawabnya, “Sambil menunggu mereka pulang, waktu yang ada musti dimanfaatkan sebaik-baiknya.”

Berusaha menjadi mandiri untuk memenuhi kebutuhan pribadi, memang tak salah. Apalagi bila diri kita sanggup untuk membagi waktu sedemikian rupa hingga tak ada prioritas yang dikorbankan.

Kemudian bila hari telah siang dan kesemua anak telah berkumpul, sempatkan diri untuk menyebarkan perhatian dan kasih sayang itu kepada mereka. Yang kecil mungkin akan tertidur hingga sore tiba, dan mereka yang sudah sibuk dengan urusan sekolah dapat berkumpul bersama bunda-nya, menceritakan kejadian-kejadian apa yang dialami di sekolah, sampai urusan menyelesaikan pekerjaan rumah.

Ketika tiba waktu sore, kita bisa membebaskan mereka untuk bermain sebentar, dan mengajak adiknya yang kecil bersama bila memungkinkan, sementara kita menyiapkan diri untuk memasak makan malam dan menyambut suami. Bersihkan dan percantik diri, itu penting. Dengan tubuh yang segar, keletihan yang mungkin sudah menyerang sejak siang setidaknya bisa terobati sedikit. Bersantai sejenak sambil membaca buku, bisa juga dijadikan pilihan aktivitas untuk rehat.

Menjelang maghrib, ajak anak-anak untuk berkumpul sambil membaca doa-doa harian. Mungkin mereka juga akan sangat senang bila sang bunda berkenan membacakan cerita-cerita perjuangan para Nabi dan Sahabat, atau cerita penuh hikmah lainnya. Tentu hal ini pun bisa dilakukan menjelang mereka tidur. Bercerita atau mendongeng adalah salah satu bentuk komunikasi dan pembelajaran efektif untuk anak.

Dan ketika suami telah pulang, alangkah indahnya bila seluruh anggota keluarga dapat menunaikan shalat berjamaah, dilanjutkan dengan makan malam bersama.

Sungguh, tak mudah menjadi seorang istri dan ibu, dan rasanya mustahil untuk mewujudkan mimpi menjadi ‘super mom’ atau ‘super wife’. Sekian aktivitas yang dipaparkan di atas tentunya akan menemui berbagai kendala, sesuai dengan kondisi masing-masing yang berbeda. Tetapi, tetap optimis dan berusaha untuk melakukan yang terbaik, juga suatu hal yang patut diperjuangkan. Bukankah kesibukan di rumah adalah salah satu bentuk jihad bagi kaum wanita?

Maka, bersemangatlah! Jangan jadikan peran mulia ini sebagai momen di mana kita biarkan degradasi keimanan menjadi godaan. Sambil menunggunya (mereka) pulang, tetapkan hati kita untuk tetap bisa meningkatkan kualitas diri!


Hadiah untuk semua yang telah jadi istri dan ibu
dh_devita@yahoo.com

Kangen Berat....

Uh,...baru ditinggal 3 hari aja udah kangen berat gini...hiks
Gimana kalo berbulan-bulan ya?

Ayo, Vit! Semangat, donk!!!!

*cheering up myself...*

hunn, cepet pulang dong...

Menjadi Pilar

Bukan tak mungkin ada seseorang yang tak bisa menjadi pilar. Keberadaannya yang diharapkan dapat menjadi penyangga yang tangguh bagi atap di atasnya, dan juga mengokohkan tiap jengkal bahan baku yang menyelimutinya, adalah sia-sia bila si pilar tak bersedia untuk berdiri.

Pilar itu adalah kekuatan. Bayangkan saja, ia harus berdiri tegak sepanjang bangunan itu ada. Bayangkan saja, bila sebuah pilar harus permisi dan mengundurkan diri barang sedetik, maka tak ayal bangunan itu harus rela kehilangan satu penopangnya dan perlahan menjadi rapuh. Mudah runtuh. Sebab, pilar adalah penahan segala dan penguat tegaknya.

Pilar adalah kegagahan. Walaupun keberadaannya tertutup oleh lapisan batu, semen, cat, dan sekian banyak lagi yang menyembunyikan perannya. Ia pun menyendiri, walau tak mungkin pula hanya sebuah yang berdiri, namun tetap sepi. Sebab tegaknya yang gagah itu tak berada berhimpitan. Hingga tak heran, bila ia kesepian. Tugasnya seolah ia laksanakan seorang diri, padahal tak sedikit pilar-pilar lain yang merasakan hal yang sama.

Tak semua orang bisa menjadi seorang pemimpin? Memang benar. Tapi ternyata tak juga semua bisa menjadi seorang anggota. Menjadi pemimpin yang memberikan instruksi dan perintah memang tak mudah, sebab ia pun harus mengatur dan mengendalikan sekian banyak orang di bawahnya. Tetapi, ternyata tak kalah sulitnya menjadi seorang yang tugasnya menjalankan perencanaan yang telah dibuat dan menguatkan barisan agar makin melangkah maju ke depan. Tak kalah sulitnya, bahkan untuk mengatasi sebuah kejenuhan akan tugas-tugas yang terasa membosankan, butuh sebuah kekuatan.

Menjadi pilar, adalah menjadi penentu kuat rapuhnya sebuah bangunan. Bila ia enggan berdiri, maka tak mungkin lah bangunan tersebut dapat berdiri gagah dan indah. Bila ia bosan dan memutuskan untuk lari, maka bangunan itu akan kehilangan keseimbangan, goyah, dan bisa-bisa hancur rubuh terpecah-pecah. Jadi, bukankah menjadi sebuah pilar adalah menjadi sebuah kekuatan besar? Pilar yang tak gentar melawan hingar bingar cobaan yang menghajar, akan dengan setia menyandang sampai bangunan itu tak diperlukan lagi ada. Namun pilar yang selalu kalut dan takut menghadapi angin ribut, akan dengan mudah minggir atau terpinggirkan.

Setiap diri kita adalah seumpama sebuah pilar. Di manapun kita berada, pasti akan berhadapan dengan seseorang lain yang menjadi pemimpin dan bertugas mengarahkan gerak yang kita lakukan, juga bersinggungan dengan sekian aturan dan perencanaan-perencanaan untuk setiap aktivitas keseharian. Di rumah, di jalan, di sekolah, di kampus, di tempat kerja....

Menjadi pilar adalah bertahan. Ketika pondasi yang terletak menginginkan kekokohan penyangga, ketika rangka dan bahan baku lainnya membutuhkannya sebagai penunjang terwujudnya keindahan, ketika atap yang menaungi tak mungkin terbentang tanpa ditopang olehnya. Dan harus tetap tegak walau tak disokong oleh kualitas kulit luar dan bahan baku yang baik, walau kian banyak keropos yang menggerogoti tubuh bangunan.

Mengalami kejenuhan akan aktivitas keseharian yang lama-lama terasa monoton, adalah suatu hal yang biasa. Sukses mengatasinya dan tidak menyerah begitu saja terhadap kejenuhan, barulah luar biasa. Seringkali, seseorang yang tak memiliki daya tahan yang kuat terhadap rasa jenuh, memilih untuk pergi meninggalkan segala tugas-tugasnya atau rutinitas yang dirasa membosankan itu, untuk mendapatkan sesuatu hal yang baru. Bukan semata-mata untuk mencari sebuah tantangan, melainkan menyerah sebab tak menemukan cara untuk bertahan. Bila saja mau meluangkan waktu untuk mengasah diri ini menjadi lebih kreatif, maka tiap jenak kebosanan itu akan digantikan oleh berbagai ragam aktivitas lainnya, sebagai penawar. Menjadikan kegiatan-kegiatan sampingan selain aktivitas rutin, seperti mengikuti sebuah organisasi sosial dan melakukan aktivitas yang digemari, sebagai ‘obat’ bagi rasa jenuh yang selalu berusaha ‘mematahkan’ semangat diri kita untuk menyelesaikan tugas dengan baik.

Bertahan sebagai seorang anggota dengan berbagai keterbatasannya memang tidak mudah. Diri kita akan dibatasi oleh berbagai aturan, sejumlah hak dan kewajiban yang harus dipenuhi, dan berbagai hal lain yang seakan mengekang kebebasan untuk berekspresi sekehendak hati. Tetapi, bukankah di setiap jalan kehidupan membutuhkan aturan untuk memastikannya berjalan lancar minim hambatan? Dan bukankah aturan-aturan tersebut akan membantu anggota yang satu dengan yang lainnya agar mudah berkomunikasi dan bekerja sama? Menjadi sebuah pilar, tidaklah ringan sebab ia memegang peranan penting. Dan sesungguhnya setiap diri kita adalah seorang pilar bagi setiap komunitas kecil maupun besar yang kita masuki.

Maka, seberapa kuatkah ‘model’ pilar yang kita mainkan bagi sebuah bangunan yang sedang kita topang?


Untuk teman-teman tersayang dan diri sendiri
dh_devita@yahoo.com

Thursday, March 03, 2005

Menggoreskan Cinta (di Munas I FLP)

Perasaan dan kedekatan pada seseorang biasanya akan muncul ketika ada suatu hal berkesan yang kita alami bersama dengan orang tersebut maupun tidak. Setiap orang berbeda mengalaminya. Ada yang merasakan ikatan hati ketika sudah menjalani tahun-tahun persahabatan, ada yang merasakannya seketika saat mengalami sebuah kejadian, ada pula yang begitu awal bertemu langsung terpaut hati.

Saya sendiri, pernah mengalami kesemuanya terhadap teman-teman yang saya miliki sekarang.

Akhir pekan kemarin, saat harus melewati weekend di Kaliurang, Yogyakarta. Momen yang tidak bisa dinikmati sebagai liburan, melainkan dua hari tak cukup tidur untuk menuntaskan tugas sebagai delegasi FLP Cabang Bekasi. Saya bertemu dengan banyak sekali orang, semuanya adalah penulis. Sebagian di antaranya adalah nama-nama yang sudah dikenal oleh peminat sastra dan fiksi Islami. Sebagian lagi adalah mereka yang sudah produktif menulis dan berprestasi pula. Sebagian lagi adalah para pengurus Forum Lingkar Pena berbagai cabang dan wilayah di seluruh Indonesia, dan juga perwakilan FLP dari luar negeri. Mereka semua orang-orang hebat, tidak saya ragukan lagi. Berjuang dengan pena, begitu istilahnya. Dan saya selalu jatuh hati dengan semangat yang saya dapatkan sejak bergabung dengan mereka, setiap kali melihat raut-raut penuh hasrat untuk makin mengibarkan komunitas tercinta ini.

Ramah dan hangat, adalah yang saya rasakan sejak tiba di Kaliurang. Padahal hanya beberapa orang yang saya kenal cukup dekat. Tapi di mata mereka semua ada cinta, dan sepertinya ia menyebarkan hangatnya ke semua. Saya sekamar dengan Muttaqwiati, seorang penulis yang sudah produktif sejak lama dan baru saja launching buku terbarunya. Mbak Titaq, begitu kami memanggilnya, langsung akrab menyapa saya dan mbak Rahma dengan sebutan ‘Dek’. Keakraban yang langsung terjalin walau belum lah banyak perbincangan di antara kami. Satu orang lagi teman sekamar saya adalah mbak Rofiah, perwakilan FLP dari Hongkong. Sosok yang selalu membuat saya kagum sejak menyaksikannya menerima anugerah PENA AWARDS untuk kategori FLP Wilayah terpuji. Sederhana, dan tutur kata serta binar matanya menyiratkan nyala semangat.

Saya bertemu Helvy Tiana Rosa, di ruang makan. Ketika itu saya dan satu orang delegasi dari FLP Bekasi sedang menikmati santap malam sebelum acara dimulai. Sedikit terkejut, saat tiba-tiba beliau menarik kursi di sebelah saya dan langsung duduk sambil tersenyum lebar. Saya membalas senyum dan menegurnya. Awalnya saya pikir ia tak mungkin ingat siapa kami berdua. Wajar saja, sebab tak seratus-dua ratus orang pastinya yang telah ia jumpai di acara-acara semacam ini. Namun ternyata perkiraan saya salah.

Saya merasakan hangatnya seorang Pipiet Senja, yang tiap kali bertemu dengannya saya selalu merasakan betapa ia bisa menularkan virus cinta dan semangat bagi tiap ‘adik-adiknya’ di forum ini. Sosok tegar nan ramah, dengan segenap latar dirinya yang saya tangkap bulat-bulat saat ia tiba-tiba saja bercerita mengenai seluk dalam hati dan pikirnya yang tak saya ketahui sebelumnya. Saya nyaris terperangah sambil berusaha mengeluarkan ekspresi serta kata-kata yang tepat. Belum tuntas usaha saya memahami apa yang baru saja saya dengar darinya, dan pelukan hangat serta ciuman di kedua pipi secepat kilat menggentarkan hati saya. Ah, teh, bukankah seharusnya saya yang memberikannya padamu?

Berjam-jam di sana kami lewati tanpa lepas dari lelah. Rasanya begitu banyak hal yang harus diselesaikan, dan tidak lah sempat untuk bersenang-senang menikmati libur akhir pekan. Dua hari memang waktu yang tak lama, dan ia menjadi titik tolak perjalanan forum yang kami cintai ini.

Ketegangan terjadi hampir di sepanjang perjalanan sidang-sidang komisi, pleno, serta pemilihan. Wajah-wajah nyaris kuyu dan lusuh namun binar cinta itu masih membayang di pelupuk mata para peserta. Dinginnya udara Kaliurang mulai sejak pagi hingga malam yang meninggi tak juga menghentikan pembahasan demi pembahasan yang seolah tiada habisnya. Pengarahan, komentar, argumentasi, celetukan ringan, gelak tawa, sorak-sorai saat ice breaking –yang diadakan secara spontan-menengahi letih yang terus menyerang padahal belum usai tugas kami malam itu. Kelelahan itu rasanya terbayar seketika saya menyaksikan kesungguhan semua delegasi mengikuti acara hingga dini hari. Mata yang semakin berat berkali-kali kembali segar mendapati seorang Izzatul Jannah seakan tak ada letihnya meneliti dan mengoreksi draft panjang itu. Kantuk pun tersentak berulang kali ketika telinga ini menangkap sanggahan penuh semangat dari peserta. Pertemuan itu, menggoreskan sedih dan sedikit sesal di hati saya, sebab tak banyak hal yang dapat saya bawa dan tuangkan dalam sekian sidang yang saya hadiri.

Gemas rasanya, sebab hampir dua hari di sana namun saya tak berhasil mengenal satu per satu dari mereka, orang-orang hebat yang ingin sekali saya masukkan ke dalam lingkaran terdalam dari hidup saya. Mereka yang seolah menjadikan kecintaan terhadap FLP sebagai nafas yang tak henti.

Munas I Forum Lingkar Pena telah lewat. Masing-masing delegasi telah membawa pulang dalam hati dan pikiran mereka sebentuk cinta yang telah tertanam, saya yakin. Perkenalan-perkenalan singkat itu memang rasanya tak mampu menyimpan semua kesan ke dalam memori. Namun tatap ramah, senyum, suara bersemangat yang senantiasa mewarnai dua hari saya di Kaliurang, membuat saya merasakan bahwa ikatan ini telah terjalin sejak lama. Rasanya pertemuan kali itu bukanlah yang pertama. Ah, mereka memang seperti magnet yang ‘memaksa’ saya untuk menggoreskan cinta. Bukan hanya menengadahkan tangan menerima.


2 Maret 2005
Mengenang dua hari di Kaliurang