Halaman

Wednesday, April 20, 2005

Telinga dan Tangan Ibu

Berada bersama ibu begitu menenangkan. Sebab rasanya ibu tak pernah lelah menjadi 'telinga terbaik' bagi setiap cerita yang mengalir deras dari mulut saya, setiap kali sampai di rumah, selesai beraktivitas seharian. Ibu tak perlu bertanya apapun, saya akan duduk manis berlama-lama di kamarnya, menumpahkan segala yang telah memenuhsesakkan dada ini. Saya tak pernah berpikir sebelumnya, bahwa celoteh saya saat itu bisa jadi akan menambah lelah dan memberatkan beban yang sudah menggelantung di pundak ibu. Tapi senyumnya tetap melipur hati, seolah letih itu tak ada.

Hari itu, saya begitu tergesa sampai di sekolah, hampir saja terlambat. Pagi-pagi sekali, tidak seperti biasanya, saya telah ikut sibuk membereskan banyak sekali barang. Sekitar pukul tujuh, saya dan ibu telah berada di sebuah lobby hotel terkenal di Jakarta. Hari itu, untuk yang pertama kalinya, saya berhadapan dengan sekian banyak turis yang berseliweran dengan wajah-wajah penuh antusias memandangi, melihat-lihat, dan bercakap-cakap dengan kami-para penjaja barang dagangan di stand bazaar. Kali itu, saat yang istimewa bagi ibu, hari pertama menjadi peserta bazaar yang dihadiri para turis maupun pekerja asing. Saya pun tak kalah semangatnya, sepanjang siang di sekolah tak henti-hentinya tersenyum-senyum sendiri, sampai teman sebangku saya-Rani namanya-rasanya sudah begitu bosan mendengar celotehan saya tentang pengalaman pagi itu. Menyaksikan dan terkikik geli mendengar ibu bercakap-cakap dengan para pembeli. Ngawur, tapi tetap saja ngotot. Padahal ibu tak bisa berbahasa Inggris. Hehehe….

Saya rasa Allah telah menganugerahkan ibu sepasang ‘tangan ajaib’. Saya ingat, belasan tahun lalu, saat saya duduk di bangku SD, rumah kami penuh dengan pernak-pernik. Saat itu, puluhan gulung pita berwarna-warni menumpuk di sudut kamar. Berjejeran pula berlembar-lembar karton tebal, busa, serta tumpukan kain. Saat itu, saya selalu senang memandangi dan bermain-main di ‘pojok berantakan’ milik ibu. Kedua tangannya telah menghasilkan barang-barang yang begitu menarik di mata saya. Saat itu, saya dengan gembira menyambut tawaran ibu untuk menjadi ‘asistennya’. Dan saya pun asyik bergumul dengan plastik-plastik kecil, membukanya kemudian memasukkan pita rambut warna-warni hasil karya ibu, dan menjepitnya dengan stapler. Hanya itu. Ibu tak memperkenankan saya untuk menyentuh ‘tempat foto’ cantik buatannya, yang digantung berjejer di dinding kamar. Belum lagi tumpukan souvenir pesta pernikahan, entah ada berapa ratus. Kegembiraan saya berada di antara benda-benda menarik itu seperti membuat saya lupa, bahwa saya sering menemukan ibu terkantuk-kantuk duduk di ‘meja operasi’nya sampai tengah malam, menyelesaikan pesanan.

Ibu telah menghabiskan entah berapa bagian waktu dalam hidupnya untuk menjadi ‘ember’ ternyaman bagi diri saya. Di sanalah saya menumpahkan segala macam hal yang sering membuat ibu tersenyum geli, tertawa, atau mungkin juga turut bersedih atas apa yang saya alami. Ajaibnya, kini saya tak lagi perlu memulai percakapan itu. Sepertinya ibu telah mengetahui segala isi hati saya, tanpa perlu saya ungkapkan. Begitukah seorang ibu? Saya sempat berpikir, tak usahlah lagi menceritakan segala hal padanya. Mungkin itu hanya akan menambah lelahnya. Saya memutuskan untuk berhenti berceloteh pada ibu, toh saya sudah dewasa, dan tak lagi pantas memberatkannya dengan hal-hal tak penting macam celotehan itu. Namun hari itu, ibu menelpon saya ke kantor dan menegur saya, “Ta, kapan kamu ke rumah? Kita kan udah lama nggak cerita-cerita…” .

Ibu tak hanya pendengar setia bagi celoteh anaknya, namun ia juga telah memberi dan mengajarkan saya banyak hal melalui kedua ‘tangan ajaib’nya. Ia mengajarkan saya untuk selalu berusaha menjadi pendengar yang baik bagi orang lain, melalui mimik wajah serta kalimat-kalimatnya menanggapi setiap perkataan yang saya ucapan. Saya belajar, bahwa setiap perhatian kecil yang diberikan kepada seorang anak, maka yang tersimpan padanya adalah sebuah kasih sayang besar dan keyakinan bahwa ia disayangi. Saya belajar, bahwa kedua tangan anugerah Allah ini, adalah modal bagi kerja keras yang harus dilakukan demi orang-orang tercinta, keluarga. Entah apapun yang dapat diperbuat.

Saya tak heran, betapa banyak teman dan relasi bisnis yang ibu miliki sekarang. Banyak pula kerabat dekat yang betah berlama-lama mengobrol dengan ibu. Tak sedikit orang yang mengagumi ‘bakat’ yang mereka katakan terhadap keterampilan yang ibu miliki. Ibu menyebutnya hobi, tapi saya memahaminya sebagai cara ibu bersenang-senang dengan ‘tuntutan’ padanya untuk membantu ayah membiayai keluarga. Seringkali lelah membayang dalam raut wajah ibu, namun tak jarang saya mendapatinya berbinar kala ‘tangan ajaib’nya telah berhasil ‘menciptakan’ karya baru.

Sekarang ini, adalah giliran saya untuk menjadi ‘telinga terbaik’ bagi ibu sampai hari tuanya nanti, dan mempersembahkan hasil yang dapat saya raih dari kedua belah tangan ini untuk membahagiakannya.

Image hosted by Photobucket.com

Friday, April 15, 2005

Friendly Listening, Effective Listening, Good Listener

image hosted by Photobucket.com
Saya kenal dengan seseorang, yang beberapa bulan belakangan hubungan saya dengannya bisa dibilang cukup dekat. Sering curhat atau berbagi masalah pekerjaan dan lain-lainnya. Tapi ada satu hal yang mengganjal darinya, yang saya rasakan sejak bulan pertama saya mengenalnya.

Ia yang tak pernah menanggapi setiap percakapan dengan antusias.

Terus terang, saya cukup terkejut ketika pertama kali menemukan sifatnya ini. Oh, mungkin dia nggak 'ngeh' dengan perkataan saya barusan. Begitu awalnya saya pikir. Tetapi ternyata kejadian itu terus berulang, dan saya menemukan bahwa sungguh sulit untuk membedakan manakah 'tema' atau 'topik' pembicaraan yang dapat ia tanggapi dengan antusias. Setidaknya menanggapi dengan beberapa patah kata yang dapat mencerminkan bahwa ia mendengarkan apa yang barusan saya katakan, seperti “Oh ya?” atau “Masa sih?” atau “Kalau menurutku sih…”. Saya yang biasanya menceritakan sesuatu dengan gaya, mimik, dan ekspresi menggebu-gebu, akhirnya harus puas mendapat ‘sambutan’ sekedar cengiran atau malah tanpa ekspresi sama sekali darinya. Wah, garing lagi nih gue…, begitu berkali-kali batin saya mengeluh.

Saat saya pernah berniat ‘membalas’ sikapnya tersebut, saya selalu menanti-nanti kesempatan itu dan memperhatikan cermat kapan dapat melakukannya.

Suatu kali, saat ia sedang menceritakan tentang suatu hal yang dialaminya di kantor, saya tersenyum dalam hati. Wah, saat yang tepat nih…, begitu pikir saya. Namun, ternyata sepanjang ceritanya mengalir, saya memperhatikan dengan mimik serius, kadang mengangguk-anggukkan kepala dan mulut saya tak bisa untuk tak berkomentar, ”Wah, kalau menurutku sih, itu udah keterlaluan. Harusnya itu…blaa..blaa…” dan akhirnya dialog itu berakhir dengan pembahasan kami mengenai kejadian yang ia alami. Nyaris saya ingin menepuk dahi kuat-kuat. Kok bisa lupa sih! Kan harusnya saya nggak nanggepin dia! Gagal lah rencana saya kali itu.

Kejadian seperti itu terus berulang, sampai akhirnya saya menyerah. Ah, sudahlah. Saya memang nggak akan pernah bisa meninggalkan lawan bicara saya terdiam mangkel karena dicuekin. Sepertinya isi mata kuliah Intervensi Mikro dan pengalaman dua tahun jadi pekerja sosial di sebuah LSM perempuan masih terpancang kuat-kuat di otak dan hati saya. Saya selalu memposisikan diri saya, bahwa saya tidak akan suka bila lawan bicara saya tidak antusias menanggapi apa yang saya bicarakan, maka demikian pula sikap yang selalu saya upayakan setiap kali berbicara dengan orang lain. Terhadap lawan bicara yang paling tidak ingin saya temui sekalipun, minimal saya berbicara singkat dan menanggapi apa yang perlu ditanggapi, untuk kemudian menyudahi cepat-cepat pembicaraan dengannya. Sebab saya tak ingin ia menemukan raut tak enak dari wajah saya yang jelas-jelas kelihatan ketika menghadapi sesuatu hal yang tidak saya inginkan. Satu hal yang memang menjadi kelemahan saya, tak bisa ‘menyembunyikan’ perasaan.

Sudah banyak sekali yang berkomentar bahwa saya terkadang terlalu melankolis dan menganggap penting hal-hal kecil. Terlalu sensitif, begitu singkatnya. Oleh karenanya, saya bisa cepat ‘terluka’ bila menghadapi sikap kasar atau tidak enak dari orang lain.

Pagi itu, saya merasa luar biasa lelah. Semalaman melakukan pekerjaan rutin di rumah yang cukup menghabiskan tenaga dan sekaligus pikiran saya. Biasanya, emosi akan meningkat tinggi bila kondisi fisik dan psikis sedang lelah. Dan itulah yang terjadi pada saya malamnya, juga di pagi harinya. Tanpa berpikir lagi, saya menceritakan apa yang telah saya alami pada malam hari itu kepada teman saya tersebut. Nyaris secara detil, sebab malamnya saya hanya sempat mengirimkan sms padanya, menyebutkan secara singkat bahwa saya sedang kesal malam itu, sampai menangis pula. Belum sempat saya selesaikan cerita saya, ia sudah berkomentar, ”Cuma gitu doang, sampe nangis segala…itu sih aku tiap hari juga ngerasain.” Dan ia melanjutkan perkataannya dengan menjelaskan bahwa ia juga mengalaminya tiap hari dengan kadar yang lebih besar lagi, jadi menurutnya ini bukan suatu hal besar.

Untuk beberapa detik, saya terbengong. Sampai akhirnya saya tetap menceritakannya sampai habis, dan ternyata tanggapannya tetap sama.

Oke deh, garing lagi nih gue…. Ya sudahlah…mungkin lain kali saya tak perlu sering-sering curhat pada tipe orang sepertinya. Mungkin memang tidak semua orang bisa menjadi pendengar yang baik, menjadi friendly listener. Sebab hal itu memang memerlukan sebuah kepribadian dan keterampilan yang cukup sulit, terutama bagi tipikal orang yang tidak terbiasa untuk berbagi hal-hal kecil dalam keseharian.

Satu hal penting yang perlu saya upayakan dengan keras: lapangkan hati.

Wednesday, April 13, 2005

Oase Jiwa; Truly, Deeply, Sincerely...beli gitu looocchhh...!!!!

Akhirnya, yang ditunggu-tunggu hadir juga. Eramuslim dengan bangga mempersembahkan sebuah buku terbaru, Oase Jiwa; Truly, Deeply, Sincerely. Buku setebal 250 halaman dengan cover yang lux (hard cover) ini merupakan kumpulan artikel oase iman di situs eramuslim.com, terdiri dari 49 artikel dari 22 penulis yang biasa mengisi rubrik oase iman di situs Islam terbesar di Indonesia saat ini.

Tidak perlu berpanjang lebar untuk mempromosikan buku ini, silahkan baca komentar para tokoh di bawah ini tentang buku Oase Jiwa.

Image hosted by Photobucket.com

Pengantar Oleh: Taufiq Ismail
"Penulisannya lebih merupakan catatan-catatan ringkas pengalama dan pengamatan pribadi terhadap sesuatu yang sangat dikenal penulisnya, yaitu peristiwa yang teramat dekat berlangsung di sekitar penulisnya - dengan demikian akrab dan tidak terasa direncana-rencanakan seperti karya fiksi pada umumnya. Tulisan-tulisan ini jernih, sederhana, jujur dan mengharukan"

Teguh Juwarno (Praktisi Medaia, PR Manager RCTI):
"Pencerahan, adalah kalimat yang nyaris tepat untuk menggambarkan apa yang saya rasakan kala menelusuri lembar demi lembar Oase Jiwa. Membaca buku ini, kita seakan diajak membuka catatan harian yang begitu hidup dan menggelitik keingintahuan untuk terus membuka lembar berikutnya hingga usai. Dengan gaya bertutur yang mengalir, karya para penulis dalam Oase Jiwa menggiring pembacanya untuk bercermin terhadap apa yang telah kita perbuat. Bahkan jika kita membuka hati kita lebih lapang, banyak sentilan dan mungkin gugatan terhadap cara pandang kita terhadap berbagai persoalan.

Mencerahkan... sekaligus menjanjikan pelepas dahaga di tengah hiruk pikuk tuntutan kehidupan yang kian berat dan melelahkan. Padahal yang diperlukan adalah berhenti sejenak, merenungi perjalanan yang telah dilalui dan mencari pelepas dahaga jiwa..."

Dwiki Dharmawan (Musisi):
"Keseimbangan adalah hal yang selalu dilupakan dalam kehidupan manusia di zaman sekarang ini. Saya pribadi merasakan ketika sudah tidak ada keseimbangan dalam menjalani kehidupan, maka hampalah jiwa kita. Buku ini membawa kita merenung ke dalam hal-hal yang sebetulnya sangat sederhana tetapi sungguh menyentuh dan mengingatkan kita untuk selalu menjaga keseimbangan di dalam menjalani kehidupan. Dan yang terpenting, kita yang membaca semakin sadar bahwa sungguh sempit waktu kita di dunia fana ini, untuk membuat hal-hal yang membawa pahala, sedangkan sungguh terbuka lebar dunia memberi kesempatan kita berbuat dosa dann sia-sia"

Helvy Tiana Rosa (Anggota Dewan Kesenian Jakarta):
"Buku ini menyajikan kisah-kisah keseharian, dari yang sederhana sampai yang tak biasa. Seperti judulnya, Oase Jiwa, tuturan-tuturan nan sejuk dalam buku ini membawa kita merenungi hakikat diri, bahwa sebagai hamba, nilai lebih diri kita sesungguhnya ditentukan oleh intensitas sujud kita, bukan yang lain"

So, tunggu apa lagi?
Buruaaan beliiiiiiiiiii....

Thursday, April 07, 2005

Mengalahkan atau Dikalahkan

Mengatasi rasa jenuh mungkin adalah suatu hal yang tidak mudah bagi sebagian orang. Penyebabnya bisa bermacam-macam, salah satunya adalah rutinitas atau pekerjaan yang dirasakan monoton sebab selalu harus dikerjakan setiap hari dalam bentuk yang sama. Bagi sebagian orang, mungkin hal itu tidak menantang, dan kurang membangkitkan gairah kala mengerjakannya. Sehingga mereka memilih untuk mengerjakan sesuatu hal yang lain, yang dirasakan lebih menarik dan lebih menuntut kreativitas.

Padahal, mengalahkan rasa bosan atau jenuh adalah sebuah kreativitas tersendiri. Setidaknya, setiap orang yang berhasil menaklukkannya telah berhasil mengubah paradigma yang tertanam dalam pikirannya bahwa pekerjaan tersebut membosankan, berganti menjadi sebuah produktivitas baru dengan semangat yang baru pula. Tidak mudah? Tentu saja. Bahkan perlu keterampilan tersendiri, kesabaran, dan yang paling penting adalah: kemauan. Bila kemauan tidak dihadirkan, maka perubahan itu tak kan terjadi.

Mengalahkan rasa bosan mungkin seumpama memukul-ratakan sebuah bongkahan batu yang akan menghabiskan energi. Ia menjadi sebuah momok tersendiri bagi tiap diri. Bisa dihitung berapa orang yang sukses menghancurkan 'batu kebosanan' itu. Sebagian besar hanya akan menunggu sampai batu itu hancur dimakan jaman atau dilubangi oleh air yang menetes dari hujan. Cukup jarang mereka yang dapat menjadikan batu tersebut sebagai 'lawan' dan dikalahkan. Menjadikan rasa bosan sebagai 'kawan' hanya akan membuatnya mendekam lebih lama dalam diri kita.

Sebenarnya, menjalani rutinitas tidak akan menjelma menjadi sebongkah ‘batu kebosanan’ yang akan terus dirasakan menghimpit, apabila kita menjalaninya dengan kesabaran dan juga keikhlasan. Melapangkan hati dan mengusir ‘debu-debu penyakit’ di dalamnya akan membantu diri kita untuk bisa menerima setiap kondisi dengan hati tenang. Masalahnya sekarang, menjadikan hati tetap ikhlas setiap saat dan membuatnya lapang selalu, adalah hal yang tidak mudah. Pula bergantung dari ‘bahan bakar’ yang ada dalam tiap diri kita, yang akan memompa semangat serta bekerja keras mengusir tiap titik debu ketidakikhlasan. Bahan bakar itu bernama keimanan.

Manusia diciptakan dengan segala kelemahan serta kelebihannya. Sifat lalai, lupa, lengah, mungkin adalah sesuatu yang memang menjadi sifat dasar manusia. Sesuatu yang memang sudah ada sebagai sebuah kelemahan, yang harus diatasi supaya sifat-sifat itu tidak terus muncul dan akhirnya mengganggu.

Rasa bosan, yang sering menjadi momok dan penyebab seseorang berkeinginan untuk pindah pekerjaan, bisa disebabkan oleh berbagai macam hal. Di antaranya adalah suasana kerja yang monoton, teman kerja yang sering membuat kesal, gaji yang tak kunjung naik, tidak dipromosikan untuk naik jabatan, merasa kurang mendapat tantangan dalam pekerjaan, dan sebagainya. Demikianlah alasan yang kerap kali diutarakan, diputuskan menjadi penyebab, lalu membuat seseorang tersebut hengkang dari tempat kerjanya. Benarkah alasan-alasan tersebut merupakan hal yang telah terjadi dan merupakan akar masalah? Ataukah hanya sebuah legitimasi yang dicari-cari supaya dapat melarikan diri dari ketidakmampuan untuk menghadapinya? Mungkin hanya Allah dan diri kita sendiri saja yang tahu.

Seringkali kita menyalahkan lingkungan di sekitar atas rasa bosan atau kejenuhan yang, menurut kita, sedang melanda. Mengkambinghitamkan sesuatu di luar diri kita rupanya menjadi pekerjaan mudah yang akan selalu kita lakukan, apabila kita tidak mau untuk melakukan introspeksi diri atau ber-muhasabah. Karena, bisa jadi kondisi stagnan atau rasa jenuh itu datang oleh sebab diri kita yang sering berpikiran negatif terhadap apa yang sedang dilakukan, atau terhadap seseorang yang sedang dihadapi. Sehingga semuanya terasa begitu tidak menyenangkan. Bisa jadi pikiran-pikiran itu muncul dikarenakan diri kita yang tak mampu berinovasi dan berpikir kreatif untuk mengembangkan kemampuan serta tugas-tugas kantor yang sedang dikerjakan. Bisa jadi ketidaknyamanan itu adalah akibat dari diri kita yang selalu merasa kurang sehingga timbul emosi dan gejolak untuk mendramatisasi keadaan. Lalu muncullah sebuah pikiran yang akhirnya dinyatakan sendiri maupun kepada orang lain, “Aku bosan! I’m outta here!”

Benarkah demikian? Diri kita sendirilah yang dapat menjawabnya.

Mungkin saja, bila kita mau meluangkan waktu untuk rehat sejenak di kala aktivitas di kantor sedang dalam stadium tinggi, rehat itu akan membawa kesegaran dan semangat baru. Sehingga pikiran menjadi lebih terbuka terhadap masukan-masukan positif yang membangun dan menyelesaikan permasalahan. Bentuk rehat itu bisa bermacam-macam. Tidak perlu cuti berhari-hari bahkan berhura-hura dengan segala bentuknya, sebab bisa jadi akan menjadi celah kemalasan untuk timbul dan melenakan gerak kita yang sudah cukup lamban. Rehat itu bisa dihadirkan dalam bentuk membuat games atau permainan menarik sepanjang waktu istirahat kantor. Atau mengadakan pelatihan singkat, semacam workshop atau seminar sehari, dengan tujuan untuk membangkitkan motivasi. Atau merencanakan perubahan dalam pola pengerjaan tugas-tugas kantor yang dirasakan monoton tersebut.

Hal-hal di atas tentu saja akan dapat bermanfaat bila diri kita atau siapapun yang merasa bosan memiliki “kemauan” yang kuat untuk mengatasi dan mengalahkan rasa bosan itu. Bila tidak, maka seribu macam permainan dan inovasi apapun akan tetap dirasakan sebagai sebuah kesia-siaan.

Semuanya memang tergantung pada diri kita masing-masing. Hambatan yang menjadi penghalang kesuksesan itu akan selalu ada. Soal apakah ia akan menjadikan kita berpaling dan kemudian pergi meninggalkan pekerjaan, atau kita memilih untuk menghancurkan hambatan itu kemudian bertahan dan memperbaiki segala sesuatunya, adalah pilihan pribadi. Tak mudah memang untuk menjadi seseorang yang survive dalam kondisi sulit. Tetapi mereka yang sedikit itulah yang akan muncul dengan kesuksesan dan kemudian dikenal sebagai seseorang yang berhasil dalam pekerjaannya.

Itu semua adalah pilihan. Sebab perubahan hanya akan terjadi pada mereka yang memiliki kemauan kuat untuk berubah atau mengubah kondisi tak menyenangkan yang mereka rasakan serta menghadapi segala hambatan yang memang akan selalu ada. Kita sendiri yang menentukan, akan mengalahkan atau dikalahkan oleh “rasa bosan”.


*cheering up myself...ayo, bangkit!!!*