Halaman

Thursday, May 26, 2005

Oleh-oleh dari Bali

Image hosted by Photobucket.com

[Bandara Ngurah Rai, Denpasar]

Sore itu begitu melelahkan. Rasanya ingin cepat-cepat sampai di penginapan, mandi, dan istirahat. Wah, pasti tak terkira nikmatnya! Kalau saja tak ingat permintaan kedua adik manis yang kutemui siang tadi, pasti kantuk yang menyerang akan berakhir lelap hingga malam.

Masih dengan songket india yang membelit pinggang hingga kaki, hak sandal manik-manik hitam yang kukenakan membawaku mundar-mandir sambil celingukan ke seluruh penjuru ruangan. Sampai kira-kira satu jam sebelum acara berakhir, handphone-ku bergetar,

"Mbak, tunggu Aya sampai datang ya, please...Aya kangen banget, pokoke jangan pulang dulu"

Satu jam lewat, akhirnya si cantik itu datang bersama seorang lagi kawannya. Aya dan Novi, dua orang anggota FLP Bali. Ini kali kedua kami bertemu, sebelumnya di Munas FLP di Kaliurang, Yogya. Kangen. Sepertinya lelah itu terusir pelan-pelan.

"Mbak, kapan bisa ketemuan dengan anak-anak FLP Bali?"
"Wah, iya ya?! Kalian kapan ada pertemuan? Maaf ya, kemarin nggak sempat. Ada acara keluarga sampai malam."
"Sore ini aja, Mbak. Kami ada rapat evaluasi di DSM (Dompet Sosial Muslim)."

Aku terkesiap. Ups, sore ini? Belitan songket hijau muda itu terasa semakin kuat, menjalarkan pegal-pegal ke seluruh bagian kaki. Rasanya badan ini akan remuk, mengingat tadi malam baru selesai acara pukul sebelas malam, mengantarkan seluruh tamu pulang dari rumah mertua. Fiuh! Tapi kalau tak hari ini, kapan lagi?

"Oke deh, nanti sore. Pukul berapa mau jemput?"

Senyum lebar menghiasi wajah Aya. Duh, jadi tambah semangat. Biarlah, lelah itu menanti sebentar lagi.

Image hosted by Photobucket.com

KFC Kuta Square, jalan ke kiri dikit lagi, nyampe penginapan Wisnu Segara

Sekitar pukul 4, Novi sudah stand by di atas motornya di depan KFC Kuta Square. Wah, naik motor, diboncengi akhwat pula. Jantung ini seketika menghentak-hentak. Kabarnya si manis ini suka ngebut pula. Hup, baca bismillah saja...

Pertemuan dengan pengurus FLP Bali yang direncanakan di kantor DSM Bali, akhirnya harus berpindah tempat ke Mushola Tawakkal. Musholla bertingkat yang sering digunakan untuk acara-acara pengajian, atau sehari-harinya digunakan sebagai TK atau SDIT. Sampai di tempat parkir di depan mushola, terlihat tiga sosok laki-laki, yang rasanya familiar sekali. Wah, ini pasti FLP'ers Bali yang kulihat dari jauh di gedung tadi siang. Masih dengan seragam yang sama, jaket mahasiswa dan celana panjang.

"Maaf, Mbak. Tempatnya harus pindah. Ternyata mushola dipakai ibu-ibu pengajian."

Duh, Novi. Si manis itu harus mengantarku dan kemudian menjemput Aya untuk sampai di DSM, tempat kami akhirnya memulai pertemuan. Terengah-engah, pukul lima sore. Bayang-bayang keletihan ternyata tak hanya menggelayut di wajahku. Toh mereka juga dalam kondisi yang sama.

Akhirnya, dimulailah. Pertemuan seru selama kurang lebih 2 jam, dengan jeda shalat maghrib. Hanafi, sang Ketua FLP Bali, tak henti-hentinya bertanya ini-itu, macam interograsi saja. Mereka, para ikhwan itu, duduk berjejer di hadapanku, Aya, dan Novi. Niat hati ingin menggali informasi dan mencari inspirasi dari aktivitas dan deklarasi yang baru dilangsungkan FLP Bali. Tapi akhirnya harus menyerah juga, biarlah mereka berpuas-puas dulu. Mulai dari Hanafi, Ali, Didi, sampai Aya dan Novi, semuanya melontarkan berbagai pertanyaan. Mulai dari FLP Bekasi sampai Eramuslim. Sharing, sekaligus jadi bahan evaluasi untuk diri sendiri juga. Sudah sejauh manakah kiprah FLP Bekasi?

Pengurus FLP Bali hanya terdiri dari 6 orang, yang mengaku belum patut disebut sebagai penulis. Kehadiran mereka di Munas kemarin rupanya telah menimbulkan semangat yang begitu besar (pun terlihat dari berapi-apinya Hanafi menerangkan ini itu) untuk membangkitkan kembali FLP Bali. Mereka mencoba mencontoh apa yang sudah dilakukan oleh FLP Yogya, termasuk soal struktur kepengurusan hingga kegiatan yang akan dilakukan, dan ingin menjadikan FLP Bali seperti FLP Kaltim, yang telah mengakar hingga ke masyarakat. Terbukti dari upaya mereka untuk menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Termasuk dengan DSM Bali, yang telah merelakan tempatnya dijadikan 'basecamp' atau tempat pertemuan bagi para FLP'ers ini. Sebuah kerja sama yang cukup baik, FLP Bali turut andil dalam pembuatan dan pengelolaan majalah yang akan diterbitkan oleh DSM Bali dalam waktu dekat ini.

Hanafi dan Novi menceritakan panjang lebar bagaimana mereka melakukan audiensi ke beberapa pihak, di antaranya Diknas (yang kini katanya sudah mengakui keberadaan FLP Bali), MUI, sampai ke Bank Syariah Mandiri cabang Bali. Subhanallah...terharu, dan rasanya semangat itu terpompa kembali ke dalam benak ini. Termasuk rasa malu yang diam-diam merayapi hati. Mereka, adik-adik tercinta itu, dengan segala kesibukan dalam aktivitas belajar dan organisasi, ternyata pun telah terjun bekerja mencari maisyah, dan kini menambahnya dengan menjadi pengurus FLP Bali. Subhanallah...subhanallah.... Saat itu, rasanya ingin cepat-cepat pulang ke Jakarta kemudian menelpon mbak Rahma dan Wiwiek!

Image hosted by Photobucket.com

[Pantai Kuta, hiks...nggak sempet jalan-jalan ke sana]

Menjelang pukul 7 malam, pertemuan diakhiri. Dibekali semangat serta banyak sekali ide di kepala ini, dan tak ketinggalan, selembar kartu nama Hanafi-sebagai pengurus FLP Bali! Kartu nama? Wah, sampai lupa menukarnya dengan kartu nama sendiri. Tercengang cukup lama. Duh, subhanallah…berkali-kali kubisikkan dalam hati. Jadi teringat komentar Hanafi mengenai FLP Bekasi yang harus menyewa tempat hingga sekitar dua ratus ribu per hari, “Dua ratus ribu? Itu sih murah, Mbak.”

Jadi tersenyum sendiri. Begitulah. Bila ada semangat dan kemauan untuk maju, mungkin segalanya akan terasa mudah dan kesulitan apapun pasti bisa dilalui.

Salam sayang untuk FLP'ers Bali

Wednesday, May 25, 2005

Perhatikan Aku!

Image hosted by Photobucket.com

Pernahkah mendapati tiba-tiba saja anak anda menjadi begitu rewel? Ia menangis, merengek, merajuk tak bisa dihentikan sampai membuat anda begitu lelah menghadapinya. Di tengah kesibukan si ibu yang tak kalah repotnya mengurusi pekerjaan rumah, tangisan serta tingkah anak yang demikian tentunya akan menambah berat tugasnya.
Kadang di tengah kelelahan itu, kita tak lagi sempat mengontrol emosi dan meningkatkan volume kesabaran untuk menghadapi si buah hati. Belum lagi pikiran yang suntuk harus menyelesaikan permasalahan yang tengah dihadapi; masalah uang belanja, tagihan listrik, tagihan telepon, iuran bulanan lingkungan rumah, dan sebagainya, tentunya akan menambah penat yang teramat sangat. Apakah yang akan dilakukan ibu bila berada dalam kondisi demikian? Tak mengacuhkan si anak, tentunya tak juga akan menghentikan rengekannya. Menghardik serta memarahinya, akan membuat tangisannya bertambah keras. Membungkam mulutnya dengan cubitan dan pukulan? Na’udzubillahi min dzaalik…semoga itu tidak termasuk ke dalam ‘pilihan tindakan’ yang akan kita lakukan.

Kenyataannya, tak sedikit anak-anak harus menjadi ‘korban’ dari kekerasan yang dilakukan oleh orang tua, baik disengaja maupun tidak. Awalnya memang hanya cubitan kecil dan pukulan ringan, gemas karena si kecil tak mau menurut. Namun ketika emosi sedang tak terkendali, dan tindakan tersebut telah menjadi kebiasaan, bisa-bisa tak sekadar cubitan dan pukulan ringan yang dilakukan. Entah apapun alasannya, melakukan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap anak bukanlah pola mendidik yang patut dilakukan.

Seorang anak akan mempelajari dan merekam dengan cepat apapun peristiwa yang ia alami. Bila kekerasan yang selalu ditampilkan oleh orang tua di rumah, maka itu pula yang akan paling diingat olehnya, dan bisa jadi itu pula yang akan ia lakukan terhadap orang lain kelak. Masa kecil adalah masa emas yang akan menjadi memori sepanjang masa bagi seorang anak. Tak jarang tingkah polah seseorang ketika dewasa adalah akibat apa yang ia alami sepanjang masa kecilnya.

Seringkali kita tak menyadari, bahwa ‘tingkah’ yang anak perbuat di depan orang tua maupun di depan orang banyak, biasanya adalah usahanya untuk menarik perhatian si ibu atau ayah. Mungkin saja ia merasa bahwa kedua orang tuanya begitu sibuk seharian, sehingga perhatian dan belai sayang yang ia butuhkan tak terpenuhi. Bagi anak, belaian sayang, waktu untuk bercakap-cakap, bercanda dan bermain, adalah jauh lebih berharga dibandingkan dengan berapapun uang yang disisihkan untuknya. Menyalurkan emosi dan cinta pada anak, tak akan pernah bisa dibandingkan dengan berapapun jumlah materi yang dilimpahkan untuknya. Disamping memanjakan anak dengan materi tak selalu baik dan bukanlah pola pendidikan yang tepat baginya.

Sebagai contoh, saya memiliki seorang sepupu yang masih berumur empat tahun. Belakangan ini, ia menjadi begitu ‘nakal’ dan bertingkah yang merepotkan ibunya, terutama ketika ada orang yang berkunjung ke rumahnya. Padahal, ketika ia menginap atau bermain siang sampai sore hari di rumah saya, ia tak pernah sekalipun merepotkan kami. Malah ia menjadi sangat penurut dan tak pernah bertingkah macam-macam. Namun ketika ibu atau ayahnya datang menjemput, atau kami sedang bersama-sama orang tuanya di suatu tempat, perilakunya berubah. Hal ini terus terjadi berulang-ulang.

Suatu ketika, si kecil ini mendatangi ibunya yang sedang asyik mengobrol dengan ibu saya di meja makan. Ia menarik-narik tangan ibunya untuk ikut dengannya melihat sebuah tayangan yang sedang ia saksikan di televisi. Ibunya tak mau beranjak dan terus asyik mengobrol. Tak berapa lama, ia pun berteriak-teriak, melempar barang yang sedang ia genggam, dan memukuli ibunya. Bisa ditebak, si ibu pun menjadi marah dan menghardiknya. Hal ini sudah sangat biasa saya saksikan. Kejadian yang berulang, dan selalu bisa ditebak akhirnya. Padahal permintaan si anak begitu sederhana, ia hanya ingin ibunya ikut menyaksikan apa yang sedang ia tonton dan sedikit mengomentari. Hal kecil, namun ternyata begitu sulit dilakukan.

Kadang kita tak menyadari, bahwa ketika kita tidak menaruh perhatian pada apa yang dilakukan anak, ia mungkin akan menganggapnya sebagai hal yang besar. Walaupun bentuk perhatian itu sepele dan sangat mudah dilakukan, ternyata cukup banyak yang merasa kesulitan menjalankannya. Berbagai alasan mendasari perilaku orang tua yang ‘tidak memedulikan’ anak, di antaranya adalah kesibukan. Orang tua yang bijak tentu dapat memberikan pengertian pada anak, bahwa saat itu ayah atau ibu sedang mengerjakan sesuatu, sehingga anak pun akan belajar ‘berempati’ pada orang tua. Ini adalah salah satu strategi untuk mendidik anak agar tidak manja dan dapat belajar memahami kondisi orang lain. Seperti halnya menghadapi anak yang gemar meminta dibelikan mainan. Mungkin bila tak mau repot, kita bisa saja mengeluarkan uang dan langsung membelikannya. Namun hal tersebut tentu tak baik bagi perkembangan anak.

Dalam psikologi perkembangan anak, dikenal sebuah kondisi yang dinamakan Temper Tantrum atau luapan emosi yang meledak-ledak atau tidak terkontrol. Berbagai macam faktor yang menyebabkannya, di antaranya adalah karena tidak terpenuhinya kebutuhan anak, terhalangnya keinginan anak dalam mendapatkan sesuatu, pola asuh orang tua, ketidakmampuan anak untuk mengungkapkan sesuatu, dan sebagainya. Orang tua seringkali ‘terjebak’ dalam beberapa kondisi, dan kemudian mengikuti dan ‘memenangkan’ tantrum anak. Sehingga kemudian anak bisa tumbuh menjadi anak yang manja dan selalu menuntut agar semua keinginannya dipenuhi. Atau orang tua menyikapi perilaku tantrum tersebut dengan ‘berlebihan’ hingga berakibat tindakan kekerasan yang dilakukan demi menenangkan atau membungkam rengekan anak. Padahal, tantrum itu sendiri adalah kondisi yang normal terjadi, dan bisa dicegah atau diatasi. Masalahnya sekarang adalah minimnya pengetahuan dan kepedulian dari orang tua dalam hal pola asuh dan pendidikan bagi perkembangan anak.

Image hosted by Photobucket.com

Bisa jadi, perilaku tantrum tersebut pun tercipta oleh sebab kebiasaan orang tua yang sering tak mengacuhkan si anak, sehingga ia menjadi rewel sebab kebutuhannya tak dipenuhi. Bukan hanya si anak yang kemudian menjadi rewel, orang tua pun akan ikut ‘stres’ bila tantrum sedang terjadi. Hal ini akan menjadi kebiasaan yang akan terjadi berulang kali, sebab ‘lalainya’ kita dalam memperhatikan perkembangan anak, serta tak jeli memilah penyikapan yang tepat atas segala tingkah polahnya.

Maka, sediakanlah waktu kapan saja bila anak membutuhkan. Hingga tak lagi ia capai merengek hingga menangis meraung-raung demi meminta perhatian dari kedua orang tuanya.

Thursday, May 19, 2005

Adakah yang (Masih) Peduli?

Sebenarnya tidak sedikit ‘orang baik’ di bumi tempat kita tinggal ini. Mereka melakukan pengorbanan besar untuk menolong orang-orang yang kesusahan, yang bernasib tidak seberuntung orang-orang lain. Pengorbanan itu pun kadang tak tanggung-tanggung. Banyak yang tak lagi menghiraukan keinginan dan kelayakan hidup pribadinya, demi untuk mengabdikan diri kepada sesama. Mereka lah sebagian orang yang pantas disebut sebagai ‘pahlawan’.

Sekitar lima tahun yang lalu, semasa kuliah, saya cukup ‘akrab’ dengan berbagai hal yang bersinggungan dengan anak-anak. Terutama mereka yang ‘kebetulan’, dengan sangat menderitanya, mengalami kekerasan. Entah itu dalam keluarga (yang dilakukan oleh orang tua sendiri), maupun yang mereka hadapi di jalanan. Berbagai bentuk tindakan keji yang menjadi ‘makanan sehari-hari’ oleh anak-anak jalanan, misalnya. Semua itu tak pernah hilang dari benak saya. Walau pengetahuan yang saya miliki tentangnya tentu tak sebanding dengan kenyataan yang terus terjadi setiap hari, bertambah, dan terus bertambah. Miris. Tapi memang begitulah adanya.

Image hosted by Photobucket.com

Saya ingat, ketika bermalam-malam menginap di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta, yang satu-satunya memiliki sub bagian kecil, yang kemudian dinamakan sebagai Pusat Krisis Terpadu. Setiap hari, 24 jam, staf yang hanya sedikit di lembaga tersebut harus menghadapi berbagai ‘kisah’ menyeramkan dari berbagai kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak-anak. Termasuk diri saya, yang pernah menjadi bagian di dalamnya. Korban penipuan, tindak kekerasan, percobaan pemerkosaan, hingga
domestic violence yang dilakukan oleh keluarga sendiri, semua itu pernah menjadi ‘teman akrab’ yang menghiasi hari-hari saya. Saat itu saya sadar, bahwa Allah telah memberikan saya kenikmatan yang tak lagi terhitung jumlahnya. Betapa bersyukurnya saya yang tidak (dan semoga tidak akan pernah) mengalami kejadian mengerikan yang para korban tersebut alami.

Image hosted by Photobucket.com

Bayangkan saja, pagi-pagi sekali, sekitar
ba’da subuh, sudah ada yang mengetuk pintu ruangan lembaga itu untuk diperiksa dan menjadi klien pertama. Hingga tengah malam, menjelang pukul tiga, masih saja ada yang mengantri di luar sana untuk mendapat penanganan secepatnya. Non stop. Pemeriksaan satu orang klien tidak bisa dilakukan dalam waktu lima atau sepuluh menit. Setengah jam, itu paling cepat. Sebab penanganan yang dilakukan tidak hanya berupa pemeriksaan medis, melainkan juga konseling dan pemeriksaan kasus yang dilakukan oleh pekerja sosial lembaga, dan konseling psikologis, bila diperlukan. Repot, tetapi memang harus demikian. Seorang korban yang mengalami tindak kekerasan memang tidak bisa hanya ‘ditanggapi’ dengan sekadar memberikan resep obat penyembuh luka fisik. Bagaimana dengan trauma yang akan mengendap lama dalam diri mereka? Bisakah mereka kembali menjalani fungsi sosial mereka dengan baik pasca trauma kekerasan tersebut? Sebuah hal yang seringkali disepelekan, atau minimal tidak mendapatkan fasilitas penanganan yang baik.

Padahal kasus-kasus tersebut tak pernah absen mengantri dan menambah deret panjang permasalahan sosial yang harus diselesaikan.

Bulan pertama saya menjadi bagian dari lembaga itu, setiap harinya minimal ada satu sampai dua kasus, dari mulai pagi hingga malam hari. Tergantung
shift mana yang diambil oleh petugas. Sebulan saja bisa menghasilkan hingga kurang lebih tiga puluh kasus, bisa lebih bisa kurang. Namun hingga kira-kira pertengahan tahun 2003, jumlah kasus yang ditangani sudah mencapai 1000 lebih kasus, dengan pencapaian jumlah kasus sekitar 40 hingga 50 kasus per bulan. Saya masih ingat, ketika saya mengadakan penelitian pada tahun 2002, angka terbesar dari seluruh jenis kasus diraih oleh kasus kekerasan seksual terhadap anak dan remaja. Menakjubkan sekaligus menakutkan. Tetapi janganlah berpuas dulu terhadap angka tersebut, sebab itu baru pencapaian dari satu buah lembaga saja. Dan kasus kekerasan ini, banyak dikatakan sebagai ‘gunung es’, yang menyimbolkan bahwa sebagian besarnya ‘mengendap’ di dasar. Alias tidak diketahui secara pasti jumlahnya, yang jelas akan lebih banyak daripada yang ‘tercatat’ atau diketahui.

Lalu bagaimana dengan kesejahteraan para petugas yang menangani seabrek kasus pada lembaga tersebut, dan juga lembaga lainnya yang bergerak dalam bidang yang sama? Tak memadai, seperti yang pasti bisa diduga. Sulitnya mendapatkan donor dan minimnya perhatian pemerintah serta masyarakat luas terhadap permasalahan ini, adalah kenyataan yang mengharuskan lembaga bertahan dengan petugas yang minim, dan pula harus berjaga-jaga, seandainya si petugas memilih untuk keluar dari lembaga dan mencari tempat bekerja yang layak. Namun tak sedikit pula yang tetap bertahan, sambil pandai-pandai mengatur waktu untuk dapat mencari tambahan penghasilan melalui kegiatan lain. Bahkan ada pula yang sambil meneruskan kuliah hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Saya tak bisa membayangkan betapa lelahnya mereka.

Image hosted by Photobucket.com Image hosted by Photobucket.com

Meningkatnya jumlah anak-anak jalanan di ibukota maupun di kota-kota besar lainnya, seperti Bandung dan Yogyakarta, adalah bukan sebuah hal baru. Lembaga-lembaga penanganan anak-anak jalanan pun tumbuh berjamuran di mana-mana. Belum lagi masalah pengentasan buta huruf dan peningkatan pendidikan, yang menjadi inspirasi bagi sebagian praktisi ilmu sosial untuk mendirikan tempat belajar alternatif serta pembinaan dan pengorganisasian masyarakat, seperti yang dilakukan oleh laboratorium dan pusat kegiatan fakultas ilmu sosial di berbagai universitas. Namun tetap saja, kasus-kasus tersebut menggunung dan terus meninggi. Bagaikan tak pernah tersentuh oleh ‘tangan-tangan’ yang peduli dengan nasib mereka. Memang, sungguh sangat sedikit jumlah dari orang-orang yang peduli dan bukan sekadar merasa simpati lalu pergi.

Hal ini memang akan menggelitik untuk menjadi bahan renungan, walau sejenak. Namun mereka yang hari-harinya tak lagi indah dan cerah oleh sebab berbagai kondisi yang menimpa, tak cukup hanya untuk menjadi bahan pikiran saja. Tak sedikit yang kemudian memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan menjerumuskan diri ke dalam ‘kubangan kotor’ jalan mencari uang, menambah deret kriminalitas yang sudah kian tinggi angkanya, atau putus asa dan kemudian bunuh diri.

Hari ini, saya ingin menata kembali hati dan pikiran saya. Mencari-cari di setiap sudut, apakah masih ada kepedulian itu tersimpan di sana. Ataukah sudah terkubur dan usang oleh waktu yang berlalu dari masa saya masih berkecimpung di dunia itu? Dan tak akan saya temukan jawabannya, kecuali bila tangan ini telah terbuka untuk melakukan sesuatu (lagi) untuk mereka. Entah dengan cara apa.

Adakah yang (masih) peduli? Akan nasib dari sekian banyak generasi muda bangsa ini yang telah layu sebelum masanya, oleh sebab berbagai kejadian buruk yang harus mereka hadapi, oleh sebab ketidakpedulian dari kita yang tega membiarkan nasib mereka tersia-sia.

Image hosted by Photobucket.com

Sekadar introspeksi diri dan mengingat memori bersama teman-teman di PKT

Tuesday, May 17, 2005

Kompak Mengurus Rumah Tangga

Tak pernah mudah bila harus mengerjakan tugas-tugas rumah tangga sendirian, mungkin hal itulah yang selalu mampir di benak para istri. Terutama mereka yang baru memulai kehidupan berumah tangga. Menghadapi sejumlah hal yang menguji kemampuan diri untuk beradaptasi dengan sekian perbedaan yang mungkin baru tampak ketika sudah dijalani. Beradaptasi dengan sekian tugas-tugas yang terkesan tak pernah habisnya, yang tak ditemui ketika dulu hidup hanya mengurusi diri sendiri.

Image hosted by Photobucket.com

Setiap pagi, selalu sigap dengan sarapan yang sudah tersedia ketika suami dan anak-anak hendak berangkat menuju tempat aktivitas masing-masing, berarti mempercepat gerak untuk bangun lebih pagi dan menyiapkan semuanya. Lalu beranjak membereskan cucian yang menumpuk, untuk direndam kemudian dicuci, atau merapikan pakaian yang belum sempat disetrika. Menyapu, mengepel, kemudian merapikan perabotan. Setelah itu, mungkin saja mengguyur badan dengan air segar di kamar mandi baru sempat dilakukan. Berdandan, lalu berangkat ke kantor, atau ke tempat aktivitas lain, atau meneruskan mengerjakan pekerjaan rumah, bagi para istri yang kebetulan memang menyediakan diri mereka di rumah.

Sore hari, ketika masing-masing telah pulang setelah menghabiskan waktu seharian di luar rumah, para istri dan ibu pula lah yang berjasa membuat ‘tempat berpulang’ itu bersih dan nyaman. Sehingga para suami serta anak-anak yang kembali ke rumah dengan kondisi lelah serta penat akan mendapati rumah dalam keadaan ‘siap’. Padahal, tak jarang kini para ibu-ibu muda juga menjalani aktivitas sebagai karyawan, dengan jam kerja yang sama dengan para suami atau bahkan ada yang lebih. Tentu kelelahan dan penat itu sama dirasakan. Namun kewajiban sebagai seorang istri dan ibu tetap harus dijalankan dengan baik. Alangkah mulia mereka yang dapat menyeimbangkan antara aktivitasnya di luar dan tugas-tugas yang menanti di rumah. Sehingga tak ada yang ditelantarkan.

Begitulah idealnya, namun tak sedikit pula yang sering mengeluhkan betapa beratnya harus menjalani semua itu sendirian. Belum lagi bila menghadapi kesulitan-kesulitan kecil maupun besar, yang harus diselesaikan sendirian, sebab tak ada pasangan yang mendampingi. Perasaan yang berkecamuk, entah itu kesal, sedih, atau marah, pun seringkali harus ditelan bulat-bulat dan terlupa untuk dicurahkan ketika suami pulang. Saat kondisi itu terjadi, setan akan sangat bergembira menyambut celah dari ‘niat’ yang sangat rentan untuk digoyahkan. Untuk kemudian menumbuhkan benih-benih hitam yang akan merusak perasaan dan hati.
Na’udzubillahi min dzaalik….

Image hosted by Photobucket.com

Di sinilah akan diuji kekompakan pasangan suami istri. Berkaitan dengan kesepakatan-kesepakatan kecil yang dapat dibuat bersama. Seorang istri bisa saja meminta kesediaan sang suami untuk membantunya mengerjakan tugas-tugas domestik, yang selama ini mungkin terbiasa dikerjakan sendirian oleh sang istri. Membagi tugas atau mengerjakannya secara bersama-sama dan bergantian, akan menciptakan keharmonisan bagi keduanya. Si suami akan dapat melatih dirinya supaya bisa berempati terhadap istri tercinta, bahwa ternyata mengerjakan semua tugas-tugas tersebut sendirian memang tak mudah. Memahami bahwa keikhlasan istri mengerjakan semua itu didasari oleh bakti dan cintanya pada suami,tentu akan menumbuhsuburkan rasa kasih sayang yang demikian besar di benak suami. Dengan menjalani tugas-tugas keseharian secara bersama-sama tersebut, pasangan suami istri akan terlatih untuk dapat saling berbagi dan mengerti tugas dan kewajibannya masing-masing. Disamping juga akan melatih keduanya untuk ber-‘
amal jama’i dalam berumah tangga, dimulai dari urusan bersih-bersih dan membereskan rumah ini.

Apalagi ketika suami harus menghadapi kondisi dimana istri sakit dan tak bertenaga untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Bagi mereka yang terbiasa untuk membantu istri, mungkin kondisi ini tak kan membuat kewalahan. Sehingga kondisi rumah tetap terjaga kerapihan serta kebersihannya, walaupun bukan oleh tangan istri. Demikian pula ketika si kecil mulai meramaikan hari-hari keduanya. Pastilah istri membutuhkan bantuan-bantuan kecil dari suami, terutama hari-hari pertama setelah melahirkan.

Membangun kekompakan dalam mengurus rumah tangga memang tak mudah. Sebab hal ini berkaitan dengan kelapangan hati dan kesediaan masing-masing untuk dapat meluangkan waktu untuk dapat saling berbagi dan membantu satu sama lain. Bukankan momen ketika suami istri bersama-sama mengerjakan pekerjaan rumah dapat dijadikan sarana
refreshing sekaligus pendidikan bagi kedisiplinan akan kebersihan? Sehingga kelak kebiasaan yang baik itu dapat ditularkan kepada anak-anak tercinta.

Dan para ayah serta anak-anak tak kan lagi hanya akan berdiam diri dan tak peduli padahal si
ummi sedang sibuk dan berpeluh menjadikan rumah bersih, indah, serta nyaman bagi seluruh anggota keluarga. Hingga tak ada lagi para istri yang berkeluh kesah, bersungut-sungut, bahkan stres mengurusi pekerjaan rumah. Sebab hal itu hanya akan mengotori niat, padahal kesibukan di rumah, bagi istri, adalah senilai dengan mereka yang terjun ke medan jihad.

Thursday, May 12, 2005

Bila Harus Kehilangan...

Seringkali sesuatu yang tadinya menjadi milik kita, atau sesuatu yang berada dekat dengan diri kita, menjadi begitu berharga ketika ia telah pergi, meninggalkan diri kita. Entah itu karena dipaksa, terpaksa, atau dengan sukarela. Seringkali, ketika ia masih menjadi bagian dalam hidup kita, ia tak mendapatkan penghargaan selayaknya, atau setidaknya mendapatkan perhatian cukup dari diri kita. Namun, bila ia telah pergi atau hilang, rasanya penyesalan yang terasa tak kan berkesudahan.

Contoh paling sederhana adalah ketika kita jatuh sakit, seringan atau seberat apapun, pastinya kita akan merindukan masa-masa ketika sehat. Betapa menderitanya bila harus menanggung sakit, sedangkan kita menyaksikan orang lain yang sehat dapat beraktivitas dengan optimal tanpa terganggu. Mungkin saja, ketika penyakit itu belum menghampiri, kita sering lupa untuk mensyukuri, betapa nikmat sehat itu mahal harganya.

Saat kedua orangtua masih menunggu kita pulang ke rumah, menjadi tempat berbagi yang setia, yang selalu siap mencurahkan segenap kasih sayang mereka dan memberikan segalanya untuk diri kita, kita tak menyadari bahwa ketika kelak mereka telah tiada, kita baru akan merasakan bahwa keberadaan mereka tak tergantikan.

Memiliki teman sungguh menyenangkan, dan masing-masing dari mereka pastinya meninggalkan bekas tersendiri dalam benak kita. Terhadap seorang teman dekat, kita mungkin berpikir bahwa senang sekali bila kebersamaan dengannya dapat terjaga sampai kapanpun. Namun kehidupan menjalankan skenario yang seringkali tak terduga. Kita tak akan pernah menyangka, kapan kebersamaan itu akan ternoda bahkan rusak oleh sesuatu yang menggangu dari luar, ataupun yang timbul dari dalam diri masing-masing. Atau perpisahan harus terjadi oleh sebab lainnya.

Bergelimang harta kekayaan tak selamanya akan membuat hidup seseorang menjadi tenang. Bahkan berbagai kekhawatiran akan muncul, dan kerap meresahkan. Takut kehilangan, sebab sekian banyak harta yang dimiliki telah dikumpulkan susah payah, dengan cara apapun. Demikian juga dengan keluarga, anak-anak dan istri atau suami. Mereka semua ibaratnya permata yang ingin selalu dijaga. Bayangkan, apabila suatu saat musibah datang, dan kita harus kehilangan salah satu atau bahkan semua.

Seringkali seorang manusia yang tidak bisa menghargai apa yang telah diamanahkan untuk menjadi miliknya, akan menyesal sejadi-jadinya bila kelak ia kehilangan sesuatu tersebut. Penyesalan itu berbuahkan air mata tak habis-habis serta kesal yang berkepanjangan, bahkan tak jarang yang lantas menyalahkan takdir bahkan menuding ketidakadilan Tuhan sebagai penyebab. Padahal Allah memberikan serta mencabut sesuatu dari kehidupan kita pasti disertai maksud dan tujuan di baliknya. Bila kita mau merenungkan segala kejadian yang dialami, lautan hikmah yang akan kita temui. Pasti terdapat hikmah besar di balik setiap peristiwa yang kita alami. Apakah itu akan membuat kita semakin dekat dengan-Nya, ataukah semakin jauh, hanya kita sendiri yang bisa menjawabnya.

Seseorang yang berusaha demikian keras untuk mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya, baik dengan ‘menguncinya’ rapat-rapat, menyembunyikannya supaya tak hilang, atau menyewa sekian banyak bodyguard demi menyelamatkan harta miliknya itu, tetap saja ia tak bisa berbuat apa-apa bila harus kehilangan. Entah dengan cara apapun kehilangan itu terjadi.

Maka, bila kita harus kehilangan, apapun yang kita cintai, relakanlah ia. Sebab mungkin saja Allah mengambilnya dari kita sebab akan digantikan oleh yang lebih baik lagi. Yang jelas, Sang Khalik pasti memiliki rencana tersendiri bagi setiap hamba-Nya. Apa yang menurut diri kita baik, belum tentu itu yang terbaik di hadapan Allah. Dan sebaliknya, apa yang kita tidak sukai, bisa jadi itu adalah yang terbaik dari Allah dan sesuai dengan yang kita butuhkan.

Sesungguhnya segala sesuatu yang berada dalam ‘genggaman’ kita, bukanlah milik kita sepenuhnya. Mereka hanyalah titipan, yang sewaktu-waktu akan diambil oleh Sang Pemilik, kapanpun bila Ia berkehendak. Bila saat itu tiba, kita tidak akan berdaya untuk menahannya barang sedetikpun.


Image hosted by Photobucket.com

[to dear friends, yang sudah dan akan 'meninggalkanku' dalam 2 bulan ini]

Menurutku Penting, Menurutnya Bagaimana?

Kadangkala, sebuah rumah tangga bisa retak bahkan hancur berakhir dengan perceraian hanya oleh sebab permasalahan yang sepele. Hal kecil yang dibesar-besarkan, atau hal besar yang dianggap kecil. Sebagian berkasus adanya perbedaan pendapat dan perbedaan sudut pandang mengenai suatu permasalahan. Suasana yang tadinya adem ayem, bisa berubah menjadi perang dingin gara-gara ‘salah tangkap’ terhadap perkataan si pasangan. Kericuhan kecil itu bisa berbuahkan macam-macam. Saling mentertawakan ‘ketidaknyambungan’ masing-masing, atau bahkan berakhir dengan pertengkaran. Kalau yang terakhir ini, seringkali menjadi sad ending. Tak enak tentunya.

Banyak pakar kerumahtanggaan, atau konsultan perkawinan, sampai sesepuh yang telah banyak makan asam garam menyatakan, bahwa inti dari semuanya adalah masalah komunikasi. Bagaimana sepasang suami istri dapat menyatakan sikap dan pendapatnya dengan cara yang baik, pada waktu yang tepat. Seringkali, antara keduanya tidak match, alias tidak nyambung. Memang sulit, ketika permasalahan muncul, mungkin salah satu dari keduanya sedang mengalami bad mood dan tak tepat tentu bila harus menambah lagi beban perasaan dan pikiran padanya. Tetapi rasanya masalah itu demikian mendesak, hingga tak sabar untuk segera diungkapkan. Mulailah pembicaraan itu dilakukan dengan sedikit bumbu emosi, hingga ‘lupa’ akan kata-kata santun dan cara yang baik itu tadi. Ujung-ujungnya, bila lawan bicara tidak mengupayakan kesabaran dan kelegaan hati, pesan yang ingin disampaikan malah berbalik menjadi adu mulut. Pesan tak sampai, pertengkaran dituai. Habis mau bagaimana, sudah kadung emosi, jadinya mencak-mencak saja. Begitu apologinya.

Sedikit banyak, cara berpikir atau sudut pandang seorang pria dalam memandang sebuah permasalahan, bisa berbeda dari seorang wanita. Hal-hal yang dianggap begitu berarti dan meninggalkan kesan bagi seorang wanita, seringkali tak dipandang sebelah mata pun oleh seorang pria. Artinya, bagi mereka, hal-hal kecil tersebut tidak dianggap sebagai hal utama yang harus menguras hati dan pikiran. Sebab masih banyak hal-hal lain yang menempati prioritas tersebut. Contohnya, bagi seorang suami, memikirkan bagaimana caranya untuk menghemat pengeluaran ketika akan membetulkan genting rumah yang rusak, akan menempati sisi ruang pikirannya ketimbang bagaimana perasaan seorang istri yang merasa kesal, letih, dan mengeluhkan perasaannya ketika harus mengepel sendirian saat air bocoran atap menggenang di tiap sudut rumah. Seringkali, seorang pria memaknai suatu permasalahan dengan logikanya; di mana letak kesalahan, bagaimana cara memperbaiki, masuk akal atau tidak, seberapa penting urusan itu, dan sebagainya. Sedangkan wanita, sering memaknainya dengan perasaan dan hati; betapa sakit atau sedihnya ketika mengalami suatu kesulitan, seberapa besar kesan yang berbekas dari sebuah kejadian, apa yang dirasakan ketika sebuah pekerjaan dilakukan, dan lain-lain. Tidak selalu memang, tetapi hal ini seringkali dialami. Akibatnya, ada hal-hal yang terasa ‘tidak nyambung’ ketika suatu permasalahan (baik kecil maupun besar) terkuak dan harus segera diselesaikan.

Hal tersebut memang tidak bisa digeneralisasi, walaupun banyak penelitian membuktikannya dengan berbagai studi kasus. Sebab, setiap manusia memang diciptakan Allah dengan berbagai kelebihan dan kekurangan. Mengapa perbedaan tersebut ada pada diri tiap pria dan wanita, adalah karena Allah menciptakan dua makhluk tersebut untuk saling melengkapi dan saling menentramkan. Kelebihan yang ada pada diri seorang pria, akan dapat menutupi dan melengkapi kekurangan yang ada pada diri seorang wanita, dan sebaliknya. Bila dikatakan seorang pria berasal dari Planet Mars, hingga mereka terkesan begitu ‘asing’ bagi seorang wanita, mungkin agak terlalu berlebihan adanya. Malah bisa jadi, ungkapan tersebut akan ‘mendorong’ otak dan hati kita untuk berpikir macam-macam dan mencari-cari sisi perbedaan dari lawan jenis atau pasangan kita. Yang akhirnya akan timbul, adalah perasaan nelangsa bahwa harus menghadapi perbedaan itu seumur hidup.

Mengapa tak utamakan saja berpikiran positif? Bahwa ketika ‘konflik kecil’ muncul akibat perbedaan cara berpikir itu, masing-masing bisa menjelaskan alasan dari pernyataan sikapnya. Menjelaskan manfaat dan mudharat-nya, sehingga bisa dilihat, mana argumen yang lebih baik, yang bisa diterima dan dilaksanakan. Apalagi bila menyangkut urusan rumah tangga. Menyelesaikan konflik dengan emosi hanya akan menimbulkan perdebatan panjang yang tidak akan membawa hasil yang baik bagi keduanya. Sebab bila emosi sudah muncul, maka amarah akan mudah untuk tersulut, dan bila api sudah menyala besar, maka sangat sulit untuk meredamnya. Mendahulukan kelapangan hati untuk menerima segala pendapat yang dikeluarkan pasangan, untuk kemudian sama-sama merundingkan dan memikirkannya dengan baik, adalah langkah yang bijaksana. Sehingga keduanya bisa saling memberikan masukan positif dan diterima dengan baik, tentunya dengan memperhatikan cara penyampaian dan waktu yang tepat. Memang tak mudah, sebab untuk melakukannya diperlukan pertimbangan cermat akan kondisi hati dan fisik pasangan. Saat ia lelah dan kelihatan sedang menanggung beban berat, bukan gerutuan dan keluh panjang yang ia butuhkan. Sepertinya memang diperlukan kemauan kuat untuk dapat mengatur diri dalam menghadapi segala situasi ketika masalah itu muncul. Menahan diri untuk tidak menyampaikannya sampai kondisi benar-benar memungkinkan, akan jauh lebih efektif dibandingkan langsung ‘dimuntahkan’ ditambah emosi pula. Bila dalam pekerjaan dan aktivitas keseharian kita dapat berlaku efektif, mengapa sulit untuk mengusahakannya demi kelancaran berkomunikasi dengan pasangan?

Segalanya memang keluar dari hati, dan dasarnya adalah keimanan. Ketaqwaan dan kedekatan diri pada Allah akan menjadikan diri ini lebih bersabar dan tenang dalam menghadapi segala sesuatu. Bukankan setan memang selalu ada untuk menggoda manusia? Ia tak akan henti-hentinya menghembus-hembuskan kebencian dan kedengkian, hanya untuk merusak hubungan yang telah terjalin indah, berdasarkan cinta karena-Nya. Dan kita tak boleh lupa, bahwa setan adalah musuh nyata bagi manusia.

Image hosted by Photobucket.com



Mulailah dengan mengintrospeksi diri masing-masing, melihat lebih dalam pada suatu hal yang ingin dibicarakan dengan pasangan. Pahami bahwa setiap diri kita memiliki sifat yang berbeda, dan perbedaan itu seharusnya dapat menjadi sebuah kebaikan sebab akan dapat saling melengkapi. Proses mengetahui dan memahami karakter dan sifat pasangan adalah proses pengenalan yang akan berlaku sepanjang masa. Membuka dengan lapang hati dan pikiran sehingga komunikasi berjalan lancar, akan berbuahkan rasa cinta yang besar dan rasa saling membutuhkan. Sehingga perkataan “menurutku penting, menurutnya bagaimana”, yang biasanya diungkapkan ketika sedang curhat kepada teman-teman dekat, akan berganti menjadi “menurutku penting, menurutmu bagaimana”. Buka keran komunikasi itu selebar-lebarnya dengan pasangan, supaya ia tahu apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh pasangannya. Dengan demikian, masing-masing kita akan belajar memahami dan membuka diri terhadap pasangan. Tidak lantas mengeluh, memendam sendirian kekesalan itu, atau bahkan membuka ‘rahasia’ itu kepada teman-teman terdekat kita. Bukankah jauh lebih baik bila keterbukaan itu kita bangun bersama dengan suami atau istri tercinta?

Selalu tak mudah dalam memulai sebuah kebiasaan baru. Namun, memulai berusaha untuk mendengarkan baik-baik dan menyampaikan sesuatu dengan cara yang baik dan waktu yang tepat, akan menjadi awal bagi keterbukaan yang indah. Belajarlah untuk berempati, dan berpikirlah positif dahulu sebelum menilai sesuatu. Mengapa ia menganggap satu hal ini sebagai hal kecil dan sepele? Mungkin alasannya adalah demikian dan demikian. Jawaban itu ada bila dibicarakan.

Menurutku penting, menurutmu bagaimana? Mari kita bicarakan bersama.

Dear Cinta...

Image hosted by Photobucket.com

Dear Cinta,

Rupanya hanya cinta yang bersemayam di hatiku,
untukmu.
Sebab tak lelah kedua pelupuk mata ini
meneteskan buah rindu dan galauku.
Ketika malam telah lalu hingga mentari telah kembali,
dan kudapati perpisahan itu setiap pagi.

Rupanya hanya cinta,
untukmu.
Dan kesahku setiap kali kutemukan lelah berbayang
di wajahmu.
Juga keluh itu kusimpan dalam hati,
takut ia akan melukai
jasad dan jiwamu yang telah lelap mengendarai malam.
Aku rindu.

Image hosted by Photobucket.com

Aku rindu,
merinduimu.
Dan apakah denyut hari-hari akan mampir dan lalu
pergi,
tanpa menggoreskan apapun,
sementara sebentar lagi kau pun tak di sini?

Cinta,
jawab aku dengan pelukmu.

Wednesday, May 11, 2005

Joyeuse Anniversaire!!!

Di penghujung hari, walau sedikit telat, tapi nggak apa-apa lah daripada nggak sama sekali.

Joyeuse Anniversaire!

Kalimat pembuka dari sms kedua yang saya terima dini hari tadi, dari Kiki-salah seorang 'adik' tersayang-. Pertama baca, subuh tadi, jadi tersenyum-senyum sendiri. Kenapa? Pertama, jadi inget, ternyata hari ini tanggal 11 Mei. Kedua, ucapan selamat yang nggak biasa dan menyenangkan, coz ditulis pake bahasa Perancis (duh, pengen bener bisa cas cis cus pake Perancis-an gitu). Ketiga, nyengir lebar banget nih...sms itu nyampe pukul 01.17 dini hari. Hebat ya...itu anak pake begadang segala mungkin ya hanya untuk kirim sms...hihihi. Sms yang pertama, dari Papa. Rekor. Kalo yang ini mah bukan begadang, pasti emang lagi gak bisa tidur aja, or sibuk ngetik, as usual.

Joyeuse Anniversaire! Phew! What a life...what a great life! Rasanya cepet banget, tau-tau udah 25 tahun. Kata Hilda-salah satu 'adik' tersayang juga-"udah genap seperempat abad". Hah? Abad? Yaiks! Kesannya 'mumi' dan 'tua' banget. Hehehe...ya iya lah. Namanya aja manusia. Umur pasti bertambah, kesempatan hidup di dunia pun semakin berkurang. Maksudnya, kesempatan untuk bisa menambah amal dan memberatkan timbangan kebaikan. Itu yang paling penting. Hiks...gimana ya timbanganku sendiri? Gak tau deh miring ke kiri apa miring ke kanan...astaghfirullah....

Barusan dapet email di milis FLP, dari ayyesha (makasih ya, say), ucapan 'Mulidan Mubarokan' buat 3 orang FLP'ers yang milad tanggal 11 Mei ini. Dan dibales pula oleh Ari Condro, cepet banget lagi, lagi online juga kali ya. Hehehe. Senangnya! Rupanya Allah masih berkenan menebarkan cinta-cinta itu untuk saya, dari mana saja. Dari orang-orang yang gak disangka-sangka bakal ngasih ucapan selamat dan doa.

Tadi sempet liat 'pengumuman' dari Friendster di email. Temen-temen yang udah lama banget gak ketemuan, ternyata ikut 'ngeramein' hari ini...menambah cinta lagi di hati ini. Duh, jadi kangen, udah lama gak ketemuan.

Fiuh! Subhanallah wal hamdulillah...semoga Allah senantiasa memberikan semangat dan semangat untuk terus berbuat kebaikan, berbuat yang terbaik, menjadi lebih baik....amiin.


Friday, May 06, 2005

Akhiri dengan Indah...

Kita tidak pernah bisa menduga apa yang akan terjadi di akhir hari. Mengawali hari dengan hati riang dan semangat menjulang, kadang bisa diakhiri dengan bersungut-sungut atau marah oleh sebab berbagai macam hal. Semangat dan keriangan yang tadinya dirasakan penuh, seolah-olah terkikis habis oleh satu atau dua kejadian yang dialami. Rasanya, keseluruhan hari itu menjadi begitu buruk oleh sebab peristiwa yang dialami di ujung hari.

Permulaan yang baik, selayaknya mendapatkan ‘penutupan’ yang baik pula. Di sinilah pentingnya menyadari dan memahami bahwa setiap aktivitas tidak hanya dinilai oleh awalnya yang bagus atau bagaimana hasil akhirnya. Keseluruhan dari aktivitas tersebut memiliki nilai. Sebab proses bagaimana aktivitas itu dilakukan, diawali-dijalankan-dan diakhiri, semuanya merupakan ‘permata’ yang sangat penting bagi diri seorang muslim. Bagaimana tidak? Allah tidak menilai amalan seseorang dari hasil akhirnya saja, melainkan dari keseluruhannya. Bukankah bagaimana akhir hidup seseorang pun menentukan di mana ‘tempat’ kelak ia berada? Dan perjalanan hidup seseorang itu, bagaimana ia menjalaninya, akan menjadi penentu arah mana yang akan ia ambil, jalan kebaikan atau sebaliknya. Bagaimana seseorang melewati hari demi hari dalam kehidupannya, akan menjadi catatan penting sebagai timbangan di hari akhir kelak.

Tak jarang amalan seseorang itu rusak sebab keikhlasan dalam mengerjakannya ternodai. Penyebabnya bisa bermacam-macam, baik itu yang timbul dari dalam diri sendiri, maupun karena diri kita tak bisa menahan ‘godaan’ yang datang dari luar. Memang, setan selalu berperan untuk menggoyahkan keikhlasan yang akan menjadikan sebuah amalan itu diterima atau tidak. Dan musuh nyata bagi manusia itu tak kan mau kompromi dan berbelas kasihan kepada kita. Kuncinya adalah, bagaimana diri kita dapat menjadikan setiap amalan kita indah, dengan selalu menjaga keikhlasan dan meneguhkan keimanan, supaya tak mudah keikhlasan itu rusak oleh sebab-sebab yang memang selalu mengitari. Masalahnya adalah, menjaga agar amalan tersebut tetap terjaga ‘keindahannya’ sampai akhir ia selesai dikerjakan, adalah satu tantangan tersendiri yang selalu menuntut manusia untuk melakukan yang terbaik yang ia bisa, kalau tak mau dibilang sulit.

Kita tak pernah bisa menduga apa yang akan terjadi pada akhir hidup kita nanti. Apakah kebahagiaan abadi yang akan kita reguk, ataukah siksa berkepanjangan yang menjadi teman bagi kita untuk selamanya? Berada bersama orang-orang pilihan di surga-Nya, ataukah tenggelam bersama kesengsaraan di neraka? Itu semua, diri kita sendiri lah yang dapat menjawabnya. Bukan teman atau sahabat, bukan orang tua kita, bukan pula orang-orang yang telah menyaksikan segala tingkah polah kita di dunia. Sebab pada waktu seluruh manusia berkumpul untuk mendapat perhitungan atas semua amalnya, seluruh anggota tubuh kita akan bersaksi, menceritakan keseluruhan perilaku kita di dunia. Kita tak kan pernah bisa mengira-ngira, bagaimanakah nasib kita pada hari itu.


Seorang Thalhah yang sederhana dan rendah hati pernah menjadi bahan perbincangan serta menjadi pertanyaan besar oleh Abdullah bin Umar, ketika Rasulullah selama tiga kali berturut-turut menyebutnya sebagai ‘seorang ahli surga’ pada kesempatan berkumpul dengan para sahabat. Kemudian Ibnu Umar menemukan rahasia itu setelah menginap tiga malam di rumahnya. Thalhah, si ahli surga tersebut, rupanya tak pernah absen membersihkan hatinya dari segala dengki dan dendam terhadap sesama, setiap kali hendak tidur malam. Ia tak pernah sedikitpun memendam amarah terhadap orang-orang yang hari itu mungkin melukai dan menzaliminya. Begitu mulia, begitu sederhana. Namun rupanya, sebuah amalan penutup malam yang ia lakukan secara kontinu, mampu mengangkatnya ke sebuah tempat yang dinantikan oleh seluruh manusia.

Kisah di atas adalah sebuah contoh kecil, tapi selalu dapat menggetarkan hati saya setiap kali mengingatnya. Ia telah menjadi kisah populer yang diulang-ulang di banyak literatur. Betapa tidak, sungguh telah terbuktikan, bagaimana seseorang ‘mengakhiri’ harinya tersebut dengan baik, akan membawa keberuntungan besar baginya kelak. Menjaga keindahan amalan yang telah ia perbuat seharian penuh, dengan sebuah keikhlasan untuk dapat melapangkan hati yang telah sempit oleh maksiat dan dosa sepanjang hari.

Bagaimanakah amalan hari ini kita akhiri? Yakinlah, bahwa ganjaran Allah sungguh tak terkirakan bagi mereka yang senantiasa berbuat yang terbaik. Sebab Allah Maha Tahu niat yang tersembunyi di setiap hati hamba-Nya. Dan berusahalah, untuk mengakhirinya dengan indah…


Image hosted by Photobucket.com
[acara Khataman Quran, seminggu sebelum nikah]