Halaman

Wednesday, June 29, 2005

Sebongkah Rinduku

Bertemu teman lama seringkali bikin hati ini 'ceria'. Seperti hari Ahad, 26 Juni 2005 kemarin. Sekitar pukul 7 malam, saya baru keluar rumah sendirian untuk menghadiri resepsi pernikahan seseorang. Malam-malam sendirian, padahal dari pagi hingga siang hari itu saya seharian di rumah, menjamu sekian banyak 'tamu' yang akhirnya sempat 'mampir' di kontrakan. Capek, tentu saja. Rasanya lebih enak tidur, mengistirahatkan diri melepas lelah, bersiap-siap kerja esok hari.

Image hosted by Photobucket.com

[di Balai Makarti, with Kessos'ers 98]

Tapi niat itu tak dilakukan, saya tetap mantap keluar rumah menjelang isya. Janji adalah janji. Janji kepada si pengantin perempuan -'adik' saya, 'teman' maya, sekaligus adik kandung dari seorang teman lama. Teman sejurusan di kampus dulu. Janji kepada teman lama saya itu pun begitu 'menggoda', telah berkali-kali 'janji-janji' kecil kami berdua 'ucapkan' dalam ruang maya.

to vita:
lunch ajah...jumat bisa? ketemu di mana?

to lea:
terserah mo ketemu di mana. di trans? di mana? kantor kita deket ini..

iyen:
wah, ayuk ama mbak vit janjian ketemuan ya?? iyen gak diajak nih? hehehe...

Dalam perjalanan, saya sempat berpikir, wah bakal pulang malem nih. Pasti besok pagi teler berat. Lantas, berkali-kali saya ucapkan istighfar keras-keras. Menegur diri sendiri. Bukankah segala amal perbuatan dinilai dari niatnya? Menunaikan janji adalah kewajiban. Menemui teman-teman dalam rangka menyambung kembali tali silaturahmi adalah beribadah kepada-Nya, dengan memperbaiki hubungan antar sesama. Bukankah saya sendiri memiliki sebongkah rindu kepada mereka? Mereka yang telah hadir dalam satu fase waktu kehidupan saya, beberapa tahun lalu.

Sampai di lokasi, saya tersenyum. Rupanya rindu itu makin membuncah, kala kedua mata saya serta kepala ini melongok ke seluruh penjuru ruangan, mencari sosok-sosok mereka, teman-teman lama saya. Lucu juga, menghadiri pernikahan sekaligus reuni teman lama. Dan malam itu pun berlalu dengan cepat, entah berapa jepretan kamera yang 'mengabadikan' pertemuan kami malam itu. Berbincang ringan, tertawa-tawa, saling menanyakan kabar, bertukar kartu nama, hingga berjanjian kembali untuk bertemu. Malam itu, walau datang dan pulang sendirian, saya merasa bahagia tak terkira. Beginilah rasanya, bila Allah telah mengaruniakan 'ukhuwah' ke dalam hati manusia.

Image hosted by Photobucket.com


Menemui teman-teman dengan berbagai aktivitas mereka yang sama sekali berbeda dari apa yang saya lakukan sekarang, mulai jenis pekerjaan hingga aktivitas sampingan. Ah, saya tak peduli. Kerinduan itu terobati, saya benar-benar menyadari bahwa diri saya ternyata begitu menyayangi mereka.

Image hosted by Photobucket.com




Sekitar dua minggu lagi, tanggal 17 Juli 2005, reuni SD.



To Lea,
ketemuan lagi yuks...kemaren kan belom sempet ngobrol...hehe

To Iyen,
sekali lagi: barakallah...makasiy yah, kemaren sekalian nebeng reunian Kessosers98...hehe

Tuesday, June 28, 2005

Berikanlah yang Halal Saja...

“Suamiku, aku dan anak-anakmu tidak takut kepada kelaparan yang akan menimpa, namun kami sungguh takut akan nyala api jahannam yang akan menghanguskan kami. Maka pulanglah dengan membawa rezeki yang halal saja, dan hindarilah mereka yang akan menjerumuskan kita ke neraka.”

Hati dan sekujur tubuh saya seketika merinding kala melantunkan kembali kalimat-kalimat tersebut dalam benak, seusai mendengar sebuah tausiyah. Sungguh sebuah penggambaran sempurna dari keimanan seorang istri.

Pernahkah kita mendengar kisah seorang ibu yang tak memiliki harta, hingga ia harus terus menerus memasak bongkahan batu dalam kuali di rumahnya, supaya anak-anaknya percaya bahwa mereka sedang menunggu waktu makan. Bayangkan, bagaimana perasaan si ibu ketika mendengar tangisan lapar dari anak-anaknya? Namun tidaklah ia sanggup berbuat apa-apa, sehingga hal itu terus-menerus ia lakukan demi ketenangan anak-anaknya.

Tak mustahil kondisi demikian masih bisa kita temui di masa sekarang. Seseorang yang tak memiliki apapun untuk dimakan walau secuil. Bahkan tak jarang ditemui para fakir miskin yang harus berpuasa hingga berhari-hari sebab tak punya uang untuk dibelikan makanan. Pernahkah terlintas dalam hati, bagaimana bila kondisi tersebut Allah takdirkan bagi kita? Sejauh manakah kita dapat mempertahankan keimanan di tengah kesulitan yang harus dihadapi?

Mungkin pada saat ini kita menjadi bagian dari mereka yang kurang beruntung tersebut. Yang harus bersusah payah meraih rezeki. Yang harus bersabar dan berlapang hati menerima kondisi sempit yang kian hari kian menghimpit. Padahal tanggungan tidak hanya diri sendiri dan suami, melainkan juga anak-anak tercinta.

Tak sedikit akhirnya orang-orang yang berputus asa lantas mencari jalan singkat menuju kelapangan. Artinya sama dengan mencuri, mengambil sesuatu yang bukan haknya, mencari pekerjaan di lahan yang tak halal, demi memenuhi kebutuhan hidup, begitu kilahannya. Tak sedikit juga yang mencoba cara lain dengan menggadaikan keimanan lalu mencari jalan untuk kaya harta dengan mencari ‘pesugihan’ alias meminta pertolongan kepada selain Allah.
Na’udzubillahi min dzaalik!

Sungguh hati saya benar-benar bergetar, ketika menyadari bahwa bisa jadi kondisi tersebut menimpa orang-orang dekat di sekitar saya. Saya makin bergidik ngeri, sebab bisa saja kemalangan itu menimpa diri saya dan keluarga. Bila saya harus bertahan dalam kondisi yang ‘sempit’, setia mendampingi suami yang bersusah-payah mencari rezeki untuk menghidupi keluarga, bertahan dengan lapang hati dan tanpah keluh walaupun begitu berat rasanya harus menghadapi hari demi hari, apabila kondisi itu terjadi pada diri saya, apakah yang akan saya lakukan? Mungkinkah manisnya sikap dan tingkah laku serta kelembutan perkataan tetap bisa saya persembahkan sebagai penentram hati suami? Masihkah keceriaan dan senyuman termanis yang memancarkan cinta sepenuh hati saya suguhkan demi menyambut lelah suami? Akankah saya sanggup melewatinya dengan penuh ketegaran hingga tak tergoda oleh kenikmatan yang hanya bisa dipandang dari kiri dan kanan?

Menjadi seorang istri yang menerima dengan lapang hati segala keadaan yang harus dilewati bersama, adalah sebuah tantangan bagi kesabaran dan keikhlasan. Bukan hanya itu, melainkan juga kepercayaan dan keyakinan akan apa yang Ia berikan. Sebab Allah telah menjamin rezeki bagi tiap-tiap hamba-Nya sesuai dengan kadar yang telah Ia tetapkan, hingga seharusnya tak lagi ada alasan untuk berputus asa. Semoga Allah memudahkan saya untuk bisa menjadi salah satunya. Semoga.

Wednesday, June 22, 2005

Agar Anak 'Cerdas Bahasa'

Image hosted by Photobucket.com



Suatu kali, saat menginap di rumah salah seorang tante, saya terkesima menyaksikan sebuah kebiasaan yang luar biasa yang beliau lakukan bersama dengan anak semata wayangnya. Hari itu, sekitar pukul tujuh malam. Saya dan tante baru saja sampai di rumahnya, setelah berjanjian untuk bertemu dan pulang bersama selepas jam kantor. Usai salat maghrib dan mandi, saya beranjak ke ruang tamu. Di sanalah saya menemukan pemandangan indah itu. Tante saya yang sudah berganti pakaian tidur sedang duduk di sofa sambil memegang dan kelihatan membacakan sebuah majalah kepada anak laki-lakinya yang duduk setengah berjongkok berhadapan dengan ibunya. Saya memang sering mendengar bahwa tante saya ini punya kebiasaan mendongeng pada anaknya. Saya pun mendekat, dan memperhatikan mereka.

Rupanya saat itu tante saya sedang menyelesaikan sebuah artikel yang tadi dibacakannya. Ia pun menoleh pada anaknya dan berkata,

“Sudah selesai deh ceritanya. Sekarang kamu belajar, ya…kerjain pe-ernya,”

Tetapi rupanya sepupu kecil saya itu menolak untuk segera beranjak, ia meminta untuk dibacakan lagi artikel yang lainnya,

“Bacain yang judulnya ini dong, Bu. Ini artinya apaan sih, Imam mau denger ceritanya,” begitu pintanya.


Image hosted by Photobucket.com



Dan tante saya pun kembali membacakan sebuah artikel lagi dari majalah tersebut. Imam, sepupu saya itu, pun duduk tenang dan mendengarkan dengan seksama setiap kalimat yang dibacakan oleh ibunya.

Saya memang sering mendengar, bahwa metode ‘mendongeng’ yang dilakukan para orang tua kepada anaknya, akan sangat efektif untuk membangkitkan kecerdasan anak. Terutama bagi kemampuan verbal yang sedang berkembang pada anak, dan juga akan merangsang minat baca pada anak. Selain itu, aktivitas mendongeng adalah salah satu sarana untuk ‘berkomunikasi’ antara orang tua dan anak, sekaligus menjadi alat perekat yang sangat membantu bagi orang tua bekerja. Termasuk tante saya tersebut. Beliau adalah seorang pegawai bank pemerintah yang sudah memiliki jabatan cukup tinggi sehingga kesibukan kantor kerap kali memisahkannya dari sang anak. Namun, menyaksikan ‘pemandangan’ itu, saya jadi terharu dan sekaligus kagum akan ‘kecerdikan’ tante saya dalam mengefektifkan waktu pertemuan dengan anaknya.

Yang menarik lagi adalah, bacaan yang saat itu dibacakan bukanlah sebuah dongeng atau cerita anak-anak yang diambil dari buku kumpulan cerita anak dan sejenisnya. Melainkan sebuah artikel mengenai hikmah kehidupan yang terdapat dalam sebuah majalah umum, yang biasanya dikonsumsi oleh orang dewasa. Dan pada saat itu, saya mendapati binar ketertarikan pada kedua mata sepupu kecil saya. Untuk beberapa kata yang tak ia mengerti, ia selalu menanyakannya pada ibunya, untuk kemudian dijelaskan secara sederhana. Sebuah pola pendidikan yang cukup layak ditiru, menurut saya. Setidaknya, anak akan belajar memahami hal-hal yang lebih besar di luar dirinya, dan memperbanyak perbendaharaan kata di ‘kamus otak’nya.

Image hosted by Photobucket.com



Menurut Dr. Howard Gardner mengenai teori Kecerdasan Majemuk atau Multiple Intelligences, terdapat 8 jenis kecerdasan pada diri anak, yang salah satunya disebut sebagai ‘Cerdas Bahasa’. Penjelasan singkat mengenai jenis kecerdasan tersebut adalah: kecerdasan anak dalam mengolah kata. Contohnya adalah keterampilan yang dimiliki anak dalam menceritakan atau menggambarkan sesuatu dengan kata-kata.

Kecerdasan yang dimiliki seorang anak pada masa-masa awal pertumbuhannya sampai usia sekolah, memang tidak bisa dibiarkan sendiri untuk berkembang. Kadang, potensi yang sudah ada dalam diri anak masih harus dibantu oleh orang-orang terdekatnya dan juga perangkat sekolah supaya dapat lebih berkembang dan muncul ke permukaan. Sebab seorang anak di bawah umur belumlah mengerti apa yang harus ia lakukan untuk memunculkan potensi yang ada pada dirinya. Rangsangan yang ia terima dari luar, akan sangat membantu untuk dapat mengembangkan bahkan menemukan potensi kecerdasan pada diri anak. Sebuah kecerdasan yang tadinya tidak terlihat, dengan rangsangan yang tepat, bisa jadi akan muncul menjadi sebuah prestasi pada anak. Dengan demikian, peran orang tua sebagai lingkungan terdekat anak sangat menentukan.

Dari kejadian yang saya alami di atas, saya banyak sekali mendapatkan pelajaran. Bahwa kondisi orang tua bekerja untuk masa sekarang ini memang sudah tak terhindarkan. Padahal keberadaan ibu dan ayah di rumah sangat berperan untuk mendampingi anak melewati masa-masa pertumbuhannya. Namun, kecerdikan orang tua untuk mensiasati waktu memang sangat diuji, dan salah satu contohnya adalah apa yang dilakukan oleh tante saya tersebut. Memanfaatkan waktu pertemuan dengan anak untuk menjalin komunikasi dan memberikan pelajaran sekaligus membangkitkan kecerdasan anak melalui mendongeng atau membacakan cerita. Variasi bacaan pun harus diperhatikan, agar anak tidak merasa bosan dan pengetahuannya berkembang luas. Menyuguhkan bacaan yang merangsang minat baca anak memang tak melulu harus melalui komik atau buku cerita bergambar yang jumlah kata-katanya sedikit. Tetapi, tentu harus diperhatikan kesesuaian usia anak dan kemampuannya mencerna kata-kata dalam jumlah banyak.

Image hosted by Photobucket.com



Berbagai tayangan yang disuguhkan televisi hingga bacaan yang tak lagi sempat tersensor oleh orang tua yang cukup sibuk, tentunya akan menjadi kekhawatiran tersendiri bagi perkembangan anak. Bagaimanapun, upaya untuk mendampingi anak dalam belajar sangat penting untuk dilakukan. Dengan menemani anak membaca atau membacakan cerita atau dongeng bersama, tentu akan menjadi sarana yang baik sekali untuk meraih kedekatan pada anak sekaligus menjadi ‘alat sensor’ bagi bacaan anak. Selain itu, kebiasaan baik ini akan menjadi momen berharga bagi anak untuk meningkatkan kemampuan berbahasanya dan merasakan perhatian yang tak kurang dari kedua orang tuanya. Bukankah kecerdasan awal pada anak ditentukan dari rumah? Oleh karena itu, meluangkan waktu setidaknya setengah jam sehari bersama anak untuk awal dari sebuah kecerdasan yang akan terbentuk tidaklah berat, bukan?

Wednesday, June 15, 2005

Seorang Saleh Itu

Tidak ada yang bisa menerka, kapan saat besar itu tiba. Hari ini, esok lusa, minggu depan, atau kapan. Sesuatu yang sudah Ia tetapkan sebagai rahasia-Nya, maka tak seorangpun dapat mengetahuinya. Saat besar itu, entah akan menjadi suatu berita gembira bagi diri kita, ataukah menjelma menjadi sebuah ketakutan besar akan apa yang dihadapi setelahnya. Apakah kita akan menanti saat diberikannya kenikmatan akan ganjaran kebaikan, ataukah azab pedih yang menanti. Kita tak pernah tahu, dan tidak akan pernah tahu.

Beberapa bulan belakangan ini, saya menyadari betapa tak berdayanya kita ketika Allah telah berkehendak untuk mencabut, mengambil kembali apa-apa yang telah kita sangka menjadi milik kita di dunia. Padahal sesungguhnya, semua itu adalah sepenuhnya hak-Nya. Tak patut kita berkeras menahan, sebab semua yang ada di sisi kita saat ini, adalah hanya titipan sementara saja. Harta benda yang telah kita upayakan, keluarga yang senantiasa kita jaga, teman-teman yang berada di sekitar kita, orang-orang yang kita kasihi, semua itu Ia berikan sebagai nikmat sekaligus ujian di dunia. Akankah kita menjaga semua itu dengan baik, untuk kemudian kita kembalikan dengan ikhlas kepada-Nya, bila Ia telah menghendaki. Sungguh amat sulit menjadi orang-orang yang ikhlas akan segala ketentuan-Nya.

Semalam, satu lagi kedukaan yang menyelimuti diri saya, dan pasti juga bagi mereka yang telah mengenal sosoknya. Seorang pria bijak, yang tak pernah lepas dari senyum ramah serta kalimat indah yang selalu mengalir dari tuturnya, yang selalu berhasil menyentak diri ini yang telah lalai dari mengingat-Nya. Setiap kali saya berkesempatan menikmati saat-saat menjumpainya, saat menikmati kajian-kajian yang selalu berkesan dibawakannya, saat muhasabah, saat terpekur dalam zikir di i’tikaf sepanjang sepuluh malam terakhir Ramadhan. Saya yang tak begitu mengenalnya, seketika langsung merasakan kerinduan teramat sangat. Ya Allah…Engkau kembali mengambil seorang saleh dari kami. Betapa beruntungnya ia yang segera akan menjumpai-Mu.

Bagaimana bila satu per satu orang-orang saleh dijemput dari bumi ini menuju-Nya?

Ketika itu, semakin berkuranglah pada hafizh Alquran, semakin berkuranglah para penyeru kebenaran, semakin berkuranglah mereka yang menjadi penyeimbang bagi sekian banyak lainnya yang awam dan lalai dari agama. Lalu kepada siapa kita akan bertanya? Sedang orang-orang yang menjadi tempat bertanya telah berpulang ke sisi-Nya. Masya Allah…saya tak sanggup membayangkan bila saat itu tiba.

Suatu kali, saat saya berkesempatan untuk membaca sebuah buku yang menceritakan mengenai tanda-tanda menjelang hari kiamat, saya tak bisa menahan kengerian yang seketika merayapi sekujur tubuh saya. Setiap detil yang telah saya baca, menambah kengerian itu. Hingga pada tengah buku, saya bergidik dan langsung menyadari bahwa hampir semua yang disebutkan pada buku tersebut telah terbukti terjadi. Astaghfirullahal’azhiim…. Lantas, sudah sejauh manakah persiapan yang telah saya lakukan untuk menghadapinya, hari dimana tak lagi ada naungan kecuali untuk mereka yang benar-benar beriman kepada-Nya, hari dimana setiap orang tak lagi memikirkan orang lain kecuali diri sendiri, sebab dahsyatnya yang akan terjadi pada hari itu. Memang benar, sungguh beruntung mereka yang bersegera menuju Rabb-nya, sebab akan terjaga diri dari segala kemaksiatan serta fitnah dunia yang semakin nyata merajalela. Memang benar, Allah akan memanggil mereka yang Ia cintai lebih dulu dibandingkan yang lain.

Hari ini, sekian banyak orang telah merasa kehilangan sekali lagi. Tak ada yang akan pernah bisa melupakan sosoknya. Seorang saleh itu. Selamat jalan, ustadz....

DH Devita

Friday, June 10, 2005

Can't Stop These Tears Drop...

Duh...memang Ia Maha Menentukan segala sesuatu.

Kemarin, baru saja sampai di kantor, saya cepat-cepat membuka tas dan mengeluarkan handphone. Ada sms masuk, ketika sedang berdiri di dalam bis tadi. Rupanya dari Ayah,

"Kak, A'o udah gak ada, beritanya barusan aja"

Innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun...

Saya ternganga, cepat sekali. Walau tidak terlalu heran juga, sebab malamnya keluarga berkumpul di Jatibening, menunggu kabar via telepon dari Medan. Ya. Ia, si A'o itu, adalah adik sepupu saya. Baru berusia 20 tahun, namun hidupnya berakhir didahului dengan sakit keras selama beberapa bulan ini. Ia, yang sejak kecil selalu dekat dengan saya dan keluarga.

Setelah membaca sms itu, saya langsung menelpon Ayah untuk konfirmasi berita. Terdengar suara agak riuh di seberang sana. Mungkin mereka panik dan sedikit heboh mendengar berita ini. Bayangkan saja, ia tinggal di Medan sana, dan keluarga sebagian besar ada di Jakarta. Rupanya, siang itu juga, sebagian keluarga menyusul ke Medan. Saya teringat ibunda dari A'o, pasti sedang menghadapi kesedihan itu sendiri di sana.

Kantor masih sepi, dan saya terduduk lemas di kursi. Ingin sekali rasanya menangis, menumpahkan semua yang menggumpal di hati ini. Ada rasa sesal, karena tak sempat banyak berbincang dan membimbingnya, sewaktu ia masih sehat dulu. Walau bukan saudara kandung, tapi saya adalah kakaknya. Kakak perempuan satu-satunya dari keluarga Ibu. Saya tahu, adik perempuan saya juga pasti merasakan kesedihan yang sama. Saya ingat, betapa dekat mereka berdua dulu. Pun Ayah, yang pasti merasa memiliki anak laki-laki ketika A'o datang dari Medan dan menginap di rumah selama liburan.

Saat itu, saya langsung teringat sebuah foto, A'o dan adik perempuan saya. Ia masih SD waktu itu, dan adik saya belum lagi lima tahun. Tiba-tiba saya tersadar, waktu itulah saya merasakan memiliki adik laki-laki dan perempuan. Lengkap. Saya baru menyadari, bahwa saya benar-benar sayang kepadanya.

Tapi pagi itu, saya tidak menangis. Rasanya perih sekali mata ini, butir-butir itu menggantung saja di sana.

Semalam, bersama Ayah dan adik saya di rumah, saya meminta Ayah menceritakan ulang berita yang diterima dari Medan. Saya kembali termangu, saya tahu, adik yang duduk di sebelah saya pun begitu. Kami berdua menangis dalam hati. Air mata saya kembali tertahan. Satu tekad dalam hati, akan melaksanakan shalat ghaib bersama nanti.

Pagi ini, saya tak bisa menahan diri untuk menghubungi Ibu di Medan. Suaranya masih serak, tampak sekali bekas isak tangis di sana. Saya minta bicara dengan tante, ibunda A'o. Pertama kali, saya menyuguhkan keceriaan. Namun sedetik kemudian, suara saya bergetar mendengar kalimat yang diucapkan olehnya,

"Makasih ya, Ta...doain A'o ya, supaya dilapangkan kuburnya...diringankan siksanya..."

Suaranya tersendat-sendat, beriringan dengan isak tangis yang tiba-tiba muncul. Pasti ia belum bisa meredakan kesedihannya semalam. Saya kembali terbayang dengan selembar foto itu, A'o dan adik perempuan saya. Saat kami masih kecil, saat ia menginap di rumah dan tak mau berpisah dari saya, saat saya menggandengnya ketika berjalan-jalan, saat ia selalu betah bermain dengan semua mainan kesayangan saya, saat saya seringkali menginap di rumahnya ketika berkunjung ke Medan, dan saat terakhir kali saya melihatnya...kurus sekali. Rupanya kali itulah perjumpaan saya yang terakhir dengannya.

Seketika kabut di kedua mata saya menghilang dan meleleh tanpa saya sadari. Saya pun berucap,

"Iya, tan...tante sabar ya...Vita, Dede, dan Papa insyaallah mau shalat ghaib di sini..."

Akhirnya tumpah juga. Sepenuhnya saya ingin mengenangnya, dan menyampaikan doa untuk adik laki-laki saya itu.

Allahummaghfirlahum, warhamhum, wa'afiihum, wa'fu 'anhum....

10 Juni 2005

Tuesday, June 07, 2005

Keluar dari 'Kotak' !!!

Ngerasain libur or refreshing walaupun sebentar ternyata asik juga. Yah, lumayan lah...menyegarkan pikiran sekaligus nyenengin diri sendiri. Walau punya kesibukan, tapi kita punya kewajiban untuk memenuhi 'hak' diri ini untuk istirahat, n have some fun.

Apa aja misalnya? Baca buku bagus, jalan-jalan, nulis diary, olah raga, ngobrol n ketemu temen lama, atau pergi ke luar kota!

Nah, yang terakhir ini...bener2 nyenengin n seru abis. Pasalnya, jarang2 kan keluar dari kota Jakarta yang kian hari makin sempit aja. Cari suasana baru, temukan semangat baru, supaya pikiran jadi segar dan nambah inspirasi! Tul banget!

Terakhir keluar kota, ya ke Bali. Duh, capek sekaligus seneng. Sebelumnya, ke Yogya, Munas FLP. N the next destination is...Bukittinggi! Waaah....can't wait much longer! Seumur2...belom pernah ke Padang. Tujuan kali ini, bukan cuma buat refreshing aja. Selain 'nyusul' my dear hunn...niat banget pengen silaturahmi dengan temen2 FLP Sum-Bar. Wah, bakal seru kayaknya...

Jadi makin semangat nih...bismillah!!!