Halaman

Friday, July 29, 2005

The Big Boss

Jumat malam minggu kemarin, saya sempat menonton hingga habis tayangan reality show produksi luar negeri, judulnya The Apprentice. Pada acara tersebut, belasan eksekutif muda pria maupun wanita berlomba-lomba menunjukkan keunggulan diri masing-masing. Bukan apa-apa, sebab ‘hadiah’nya tak tanggung-tanggung pula: menjadi seorang direktur dari sebuah perusahaan milik salah seorang terkaya di dunia, Donald Trump. Pakaian necis, kepiawaian mengatur strategi, mengeluarkan ide-ide brilian, kelincahan menggaet klien besar, dan segala macam usaha untuk mencapai ‘kursi’ yang dinanti-nantikan. Acara tersebut sangat menarik bagi saya, sebab cukup banyak memberikan pelajaran, bahwa dari ide yang terlontar sederhana, seringkali berbuahkan keberhasilan menjual produk dan mendatangkan pembeli begitu banyak sampai bekerja sama dengan perusahaan terkemuka. Tentu saja, hal itu tidak diraih dengan cara yang mudah. Semua peserta tersebut selalu tak tidur semalaman, membicarakan dan mengatur strategi untuk tugas yang harus diselesaikan esok hari. Bila grup yang satu tak mencapai target atau melakukan sebuah kesalahan kecil saja, grup yang satunya akan jadi pemenang, dan si pemenang akan mendapat hadiah yang begitu mewah. Sedangkan yang kalah, harus mengepak barang dan hadir di ruang sidang untuk mendapatkan keputusan, siapa di antara seluruh grup yang menjadi sumber masalah, dan dia akan dikeluarkan. Rupanya acara ini menggunakan sistem ‘eliminasi’, hingga tiap pekan pasti ada satu orang peserta yang keluar. Kata-kata “You’re fired” dari Donald Trump begitu mengerikan terdengar.


Image hosted by Photobucket.com



Saya tak ingin mengupas tuntas soal acara tersebut. Melainkan hanya satu buah kejadian kecil yang terus saya ingat hingga sekarang, pada tayangan Jumat kemarin. Di akhir acara, saat berada di ruang sidang, Donald Trump beserta dua orang asistennya menganalisa dan mengadili tiga orang yang hadir bersama mereka. Satu orang adalah si ketua grup, yang selalu diadili dan dimintai pertanggungjawaban atas kinerja grupnya. Dan dua orang lainnya adalah anggota yang dianggap bermasalah atau membuat banyak kesalahan hingga membuat grup mereka kalah. Yang saya ingat pada saat itu adalah seorang peserta yang begitu dibenci oleh peserta lainnya, namanya Stacie. Sepertinya ia begitu bermasalah, hingga semua anggota grup tersebut berusaha untuk mengeluarkannya dengan berbagai cara, terlepas dari dirinya yang memang tampak ‘sedikit menyebalkan’ pada acara tersebut. Ia suka bertindak di luar kontrol, tidak berkoordinasi dengan ketua grup maupun peserta lain, bersikap mau menang sendiri, mengeluarkan ide yang ‘gila’ dan melakukannya sering tanpa persetujuan anggota grup lainnya. Disamping itu, ada hal yang begitu jeli dilihat oleh Mr. Trump, bahwa mengapa semua anggota grup-nya dapat menyatakan keberatan yang sama atas dirinya, padahal antara anggota grup tersebut pun saling tidak menyukai sebab persaingan begitu ketat terlihat.

Sang ketua grup yang menjadi ‘tertuduh’ pada saat itu pun memberi alasan mengapa ia membawa Stacie ke ruang sidang. Dan diceritakannyalah seluruh perilaku Stacie yang bermasalah hingga meresahkan dirinya dan seluruh peserta. Mr. Trump melakukan cross check dengan menanyakannya pada seorang peserta lagi yang juga hadir di ruang sidang, yang ternyata menyatakan jawaban yang sama dengan si ketua grup. Stacie, sebagai objek pembicaraan, tentu mengingkari semua pernyataan teman-temannya. Namun kali itu bukan pertama kali Stacie mendapat penilaian buruk dari para peserta yang hadir di ruang sidang, sebab dirinya memang bukan hanya sekali masuk ke sana. Maka, bisa jadi insting seorang business man atau sebutlah seorang big boss, berjalan dan mengalir hingga mencapai keputusan yang sangat tegas. Sidang mengenai kekalahan grup tersebut tidak dilanjutkan, dan Mr. Trump memerintahkan Stacie dan ketua grup untuk tetap tinggal di ruangan, dan memerintahkan seorang peserta lainnya untuk memanggil seluruh anggota grup yang sudah kembali ke kamar masing-masing. Hal ini tak pernah dilakukan pada tayangan sebelumnya.

Ada pernyataan bahwa Stacie telah bersikap di luar kontrol dan dua orang yang berada di dalam ruangan mengatakan bahwa Stacie ‘gila’. Ruang sidang yang biasanya kaku mencekam berubah ramai dan kian tegang dengan berbagai tanggapan dari para peserta.

“Dia seperti seorang schizophrenic,”
“Dia bertindak di luar kontrol,”
“Stacie membuatku takut,”
“Ia begitu liar,”

Tak satu pun orang yang membela Stacie atau melunakkan pernyataan mereka. Semua begitu pasti memberikan pernyataan dengan memberikan keterangan yang sama dengan dua orang yang lebih dulu berada di ruang sidang. Walau tak tampak jelas, keheranan membayang pada wajah Donald Trump dan dua orang asistennya.

Keputusan pun dijatuhkan. Donald Trump berbicara kepada ketiga orang pertama menghadiri ‘pengadilan’.
“Sebagai ketua grup, kamu sangat payah. Dan sebagai ketua bagian promosi, kamu telah mengacaukan budget hingga melebihi anggaran yang seharusnya. Tapi Stacie, aku tidak akan membiarkan karyawanku bekerja dalam keadaan tidak nyaman, dan ternyata kamu telah begitu meresahkan mereka dengan perilakumu itu. Stacie, kamu dipecat.”

Seluruh peserta yang berada di ruang sidang terbengong, begitu juga saya, tapi kelegaan jelas tampak pada raut wajah mereka. Dan di akhir acara, Mr. Trump memberi komentar pada kedua asistennya, “Seluruh peserta sepakat mengenai Stacie, padahal mereka pun tak saling menyukai satu sama lain. Saya jelas tak bisa membiarkan ketidaknyamanan bagi karyawan saya.” Kira-kira begitu kalimat penutup tayangan tersebut.

Setelah selesai menonton tayangan itu, saya tak langsung memikirkannya. Tapi ternyata ia tak menguap begitu saja dari kepala. Seorang big boss dari perusahaan-perusahaan bernilai miliaran dolar, ternyata memperhatikan hal yang kecil seperti itu. Ups, mungkin saya salah. Baginya tentu hal itu bukan persoalan kecil. Memikirkan kenyamanan karyawan di tempat kerja, tentu sebanding dengan optimalisasi pekerjaan tersebut yang dilakukan oleh para karyawan. Kondisi yang nyaman tentu akan menjadi pendorong di kala kesulitan dan berbagai problem pekerjaan menjadi kendala. Seorang karyawan yang bermasalah hingga menjadi sumber yang meresahkan karyawan lainnya, rupanya dianggap sebagai ‘batu penghalang’ yang harus segera disingkirkan. Mungkin ia tak mau mengambil resiko ditinggalkan oleh para karyawan lain yang sudah loyal dan bekerja keras untuk perusahaan. Menyingkirkan si pembuat masalah adalah jalan keluar, daripada harus menanggung kerugian akibat terganggunya kinerja sekian karyawan lainnya.


Image hosted by Photobucket.com



Rasanya otak saya tak akan sekedar mencatat kejadian menarik pada tayangan tersebut, melainkan juga akan merekamnya baik-baik, menyaring pelajaran penting darinya, dan akan disimpan pada tempat aman hingga suatu saat nanti, bila saya menjadi seorang pebisnis, pelajaran penting dari seorang Donald Trump itu akan saya keluarkan kembali. Bahwa menjadi seorang big boss bukan berarti boleh menyepelekan siapapun yang menjadi bawahannya, bahkan harus memperhatikan kondisi orang-orang yang bekerja di bawahnya sehingga tak hanya kinerja optimal yang mereka tunjukkan, melainkan juga loyalitas terhadap perusahaan.


Wednesday, July 20, 2005

Dia Ada

Rasanya tidak perlu lagi diragukan, betapa Allah Maha Pendengar Doa. Tapi seringkah kita mendengar, betapa banyak orang yang tak lagi percaya akan keberadaan-Nya, disebabkan oleh beberapa pinta mereka yang belum lagi dikabulkan? Orang-orang yang begitu berani menyatakan bahwa mereka tak lagi percaya adanya Rabb Sang Pemilik segala, rasanya kian banyak bermunculan. Bahkan ketidakpercayaan mereka itu dibuktikan dengan menghadirkan sejumlah ‘guru spiritual’ atau ‘orang pintar’ yang lantas mereka ikuti segala perkataan dan perintahnya. Bermacam alasan dikemukakan. Bahwa mereka hanya mencari ketenangan, dan menempuh jalan tersebut sebagai alternatif untuk mempercepat doa dikabulkan. Toh hal itu dilakukan hanya sebagai ikhtiar, begitu mungkin alasannya.

Malam itu, ketika Ayah sedang mengalami pendarahan berat pada rongga hidung sebelah kiri, saya tak bisa memejamkan mata sekejap pun. Tak terhitung lagi berapa kali saya bolak-balik menahan pendarahan itu dengan tissue, mengompresnya dengan es batu, segala cara yang bisa dilakukan agar darah tak keluar terus-menerus. Tapi selalu saja gagal. Dalam keremangan ruang kamar rumah sakit, saya menyaksikan sendiri darah itu mengucur deras. Ayah pun terlihat agak panik dan kian resah. Setelah hampir dua belas jam tidak bisa tidur akibat pendarahan yang tidak berhenti.

“Pa, shalat aja, biar tenang,” saya mengingatkan, sebab baru teringat bahwa beliau belum menunaikan shalat isya. Lantas saya segera membantunya bersuci dengan tayammum. Dan setelahnya saya duduk rapi tepat di samping tempat tidur. Berjaga-jaga, kalau-kalau sewaktu shalat darah mengucur lagi.

Tak sampai dua menit, saya memandangi Ayah dan tiba-tiba saya mengucek mata tak percaya. Kedua pundak Ayah berguncang, matanya memejam, dan saya makin terbelalak. Ayah menangis. Bibirnya bergetar sambil terus melafazkan bacaan shalat. Saya tergugu, lantas air mata ini mengalir pula. Pertama kalinya saya melihat Ayah menangis seperti itu. Dalam hati saya mencoba menerjemahkan tangisan Ayah sebagai kelelahannya sekaligus rasa takut yang pasti menyelinap. Seorang yang bisa menangis dalam shalatnya sampai seperti itu, pastinya berada dalam kondisi kepasrahan yang begitu dalam. Diam-diam saya merasa begitu bersyukur.

Allah Maha Pemberi Rezeki. Dan diturunkan-Nya rezeki itu kepada siapa saja yang Ia kehendaki, dari mana saja, dan entah berapa jumlahnya. Mungkin isi dari sebagian besar doa yang dipanjatkan oleh manusia adalah ‘mendapat kemurahan rezeki’. Bisa diartikan macam-macam pula. Menjadi kaya, memiliki harta benda yang banyak, sukses di dunia, mendapat kemudahan untuk menghadapi himpitan kebutuhan sehari-hari, dan sebagainya. Perbedaan seorang yang memiliki keyakinan teguh akan pertolongan-Nya, dengan seorang yang begitu mudah kecewa tatkala keinginannya tak segera terpenuhi, adalah begitu nyata.

Seorang yang pertama, akan tak putus memanjatkan doa serta berusaha untuk mendapatkan rezeki tersebut. Bila kesempatan pertama gagal, ia akan mencoba lagi. Gagal lagi, tak lantas berputus asa. Berusaha terus, sambil memasrahkan diri akan segala ketentuan-Nya. Toh setiap manusia sudah ditentukan kadar rezeki bagi dirinya di dunia, jadi tak mungkin kehabisan. Tinggal waktu, jumlah, dan dari tangan siapa rezeki itu akan sampai, itu yang tak bisa diperkirakan. Bisa jadi, apa yang kita inginkan lebih untuk kehidupan dunia ini, bukanlah yang terbaik di mata Allah.

Namun, bagi seorang yang kedua, menunggu rezeki datang bak sedang mengantri di antrian restoran fast food. Yang layanannya paling cepat, itu yang paling memuaskan. Apalagi bila ditambah dengan bonus ini itu, entah itu tambahan makanan penutup, atau mainan anak-anak. Yang jelas, manusia tak pernah puas. Bila doa itu tak segera di-ijabah, maka umpatan kecil sampai makian akan terucap dengan mudah. Ujung-ujungnya, bisa-bisa menyalahkan takdir atas apa yang dialami.

Terlibat langsung mengurus Ayah ketika diopname sampai akhirnya harus ada tindakan operasi, adalah pengalaman sekaligus teguran bagi diri saya. Pagi hari setelah krisis semalaman, pendarahan di hidung Ayah berkurang drastis. Keesokannya, ada kabar bahwa harus ada tindakan operasi sebab penyempitan di pembuluh darah di jantung. Uang dari mana? Kami semua pasrah saja. Dan datanglah kabar dari seorang kawan lama Ayah yang kebetulan menjadi pimpinan di sebuah perusahaan dimana Ayah akan kembali bekerja di sana. Semua biaya rumah sakit sampai biaya operasi yang menghabiskan uang ratusan juta diganti sepenuhnya oleh beliau. Surat jaminan dari perusahaan tersebut pun memudahkan kami mengurus ini itu di rumah sakit. Walau kesulitan pasti ada, tapi tak habis saya dan keluarga besar merasa takjub atas rezeki yang datang tak disangka-sangka ini. Bertahun-tahun tak bertemu, tapi rela mengeluarkan uang tak sedikit untuk Ayah. Sempat saya menerka-nerka, seberapa eratkah pertemanan mereka hingga bantuan ini sampai di luar perkiraan? Ataukah ada hutang budi yang telah lama terpendam? Tetapi saya segera menghentikan berbagai prasangka yang tidak pada tempatnya itu. Astaghfirullahal’azhiim….

Bagaimanapun kemurahan hati kawan lama Ayah tersebut, dan berbagai prasangka yang kami pikirkan atau ciptakan sendiri, tak akan menjawab apa-apa. Sebab Dia lah yang sepatutnya menjadi tempat bersyukur. Allah memang Maha Pemurah. Saat itu, saya tambah meyakini betapa kita semua tak bisa mengukur sebanyak apa rezeki dan kenikmatan yang telah Allah siapkan untuk kita. Ia sungguh Maha Mengabulkan Doa. Walaupun untaian doa itu terselip tak terucapkan di dalam hati yang paling dalam, atau hanya terlintas sejenak di pikiran kalut saat menghadapi cobaan berat. Allah Maha Mengetahui segala yang tersimpan di benak maupun yang keluar terlihat jelas lewat perkataan dan perbuatan kita.

Sekali lagi, saya sungguh bersyukur sedalam-dalamnya, bertambah keyakinan saya bahwa Ia ada.

Tuesday, July 12, 2005

Rebellista!

Rebel dalam bahasa Inggris artinya durhaka atau berontak. Sedangkan orang yang melakukan tindakan rebel disebut sebagai rebellion, yang artinya pendurhaka, pemberontak, atau menentang. Sifat rebel atau rebellious menambahkan arti yaitu suka menentang atau sukar diatur.

Akhir-akhir ini saya kembali mengintrospeksi diri, atas apa yang sedang saya ‘lakukan’ terhadap beberapa orang atau ‘sesuatu’ yang sedang saya hadapi. Saya menyadari sebuah perbedaan sikap yang telah saya tunjukkan beberapa waktu belakangan. Dulu, seingat saya, saya selalu berusaha bersikap manis, taat, berusaha keras untuk disiplin, melakukan segala sesuatu dengan baik. Salah satu buah dari sifat saya yang agak perfeksionis, mungkin. Dan saya berusaha untuk menjadi ‘eksis’ di tempat saya berada. Tidak hanya mendapat pengakuan atas keberadaan diri, melainkan juga ‘menyelam lebih dalam’, sebab saya pikir, saya menyukai tempat saya berada itu.

Ternyata waktu membawa saya kepada kenyataan yang lain. Dimana saya tetap saja tak bisa menghilangkan sifat saya yang satu itu, mengamati seksama segala sesuatu yang terjadi. Saya tak pernah bisa berdiam diri apabila melihat atau mengetahui sesuatu yang menurut saya ‘tidak wajar’. Berdiskusi atau bertanya kepada orang-orang terdekat yang mungkin mengetahui permasalahan, adalah langkah lanjutan yang selalu saya lakukan. Ya. Saya memang terlalu sensitif, seringkali. Dan tanpa saya sadari, sebenarnya sifat saya tersebut dapat membuat saya terjebak atau tercebur ke dalam kesulitan. Begitu yang orang-orang sering katakan. Seorang teman kantor pernah bilang, “Udahlah, ikutin aja apa maunya.” Oops, sorry. Saya tidak bisa.

Lama sekali saya sudah mengetahui bahwa bersikap ‘masa bodoh’ atau ‘tidak peduli’ terhadap apa yang terjadi di sekitar, bisa jadi akan menjadi ‘penyelamat’ diri dari ‘kesulitan’ yang akan timbul. Dimusuhi, mendapat pandangan negatif, disingkirkan, itu semua bisa jadi adalah ‘resiko’ yang harus diterima oleh orang-orang yang memilih untuk bersikap berbeda. Namun, membuang muka atas segala yang terjadi, sekalipun itu hal yang menentang nurani, mungkin akan menjadi tameng perlindungan supaya posisi tetap aman. Tetapi, sekali lagi, saya tidak bisa. Mungkin saya terlalu ‘melankolis’, begitu menurut personality test yang pernah saya ikuti dari sebuah buku psikologi populer. Dan rupanya itu kembali terjadi pada diri saya kini, tanpa kuasa saya hindari atau kurangi kadarnya.

Akhir-akhir ini, saya menemukan sebuah ‘ketidakwajaran’ menurut versi saya. Mengapa saya katakan demikian? Sebab mungkin tak semua orang yang berada dalam satu tempat dengan saya memiliki pemahaman dan pendapat yang sama. Biasanya, saya akan berjuang mati-matian untuk ‘meluruskan’ hal tersebut, sebatas yang saya bisa. Atau dengan ngototnya akan berbicara langsung kepada ‘orang-orang yang berwenang’ mengenai apa yang menurut saya tidak benar. Yap. Itu sudah saya lakukan. Namun ternyata tak mengubah apapun. Malah saya menemukan sebuah ketidakadilan lagi yang terjadi baru-baru ini. Entah dengan alasan apa perbuatan itu mereka lakukan, tak pernah bisa saya dapatkan penjelasannya. Pada saat itu, dan sekarang ini, tentu saya bisa sekali lagi mengusahakan untuk meminta keterangan dan meluruskan kejadian itu dan berbicara panjang lebar dengan mereka. Tetapi rupanya tidak. Entah sudah seberapa tinggi ‘gunung kekesalan’ yang saya timbun, hingga saya ‘memutuskan’ untuk bersikap rebel.

Seringkali saya bertindak yang membuat beberapa orang geleng-geleng kepala, bahkan seorang bos pernah mengatakan bahwa setiap kali saya mengungkapkan pendapat pasti akan membuatnya pusing, entah apa maksudnya. Saya mulai menentang keputusan-keputusan yang dibuat, bila itu saya anggap tidak masuk akal dan akan menyulitkan, sebab saya sudah begitu malas untuk terjerumus kepada kesulitan yang berulang. Saya merasa tak lagi menjadi ‘anak baik-baik’ dan seperti mendengar bisikan hati orang-orang sekitar, “Wah, ternyata nih anak bandel juga,” Saya menjadi rebellion, dalam pemaknaan yang saya gambarkan sendiri, semau saya.

Mulanya, saya pikir saya hanya menjadi rebellion ketika saya tidak suka atau memprotes sesuatu. Saya pikir, saya bukanlah seorang rebellion sejati. Yang selalu bersikap menentang dan menjadi beda di manapun, kapanpun, terhadap siapapun. Setidaknya itu yang saya pikir. Toh masih ada sisi lain dari diri saya yang tidak menyukai adanya konflik terhadap sekitar. Saya tidak menyukai orang-orang yang berkerut dahi dan bersuara keras ketika berbicara. Saya tidak menyukai keadaan yang carut-marut dan segala kehingarbingaran suasana. Saya tetap menyukai ketenangan, dan bahkan semakin menyukai sikap santai dan sesekali tak memedulikan apa omongan orang. Menurut personality test yang katanya tidak akurat itu, berarti sifat plegmatis yang tadinya bernilai nol, mungkin sekarang sudah bertambah poin. Kadang, saya menikmati juga perkembangan ini.

Tapi barusan saja saya menimbang-nimbang, sebelum saya memutuskan untuk menuliskannya, bahwa rupanya saya sekarang menjadi kian tertarik pada sebuah kata ini: rebel. Walaupun tidak bermaksud untuk menelannya bulat-bulat kemudian menjadikannya sebagai cap yang saya tempelkan sendiri, tapi tetap saja, saya tertarik. Entah oleh sebab apa. Gunung kekesalan itukah? Mungkin saja.

Ha. Rebel. Am I rebel enough?

Monday, July 11, 2005

"Dengan Cinta Ia Pergi"

Buku Kumpulan Cerpen IMB (Indonesian Muslim Blogger)
"Episode Kelam Feli" (Penerbit MU3 Books)

Image hosted by Photobucket.com


Buku ini berisi cerpen-cerpen anggota IMB seperti Arie Arvendap, Asep ID Hadiana, Bina Iman W, Yudith Fabiola, Tary, Ummuthoriq, DH Devita, Jonru, dan Arul Khan. Penuh ketegangan, intrik, dan konspirasi. Namun, tetap ada hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik.

"Dengan Cinta Ia Pergi" [cuplikan]

Oleh DH Devita

Helaan napas panjang itu sudah untuk yang ke sekian kalinya. Pandanganku mengarah ke langit-langit kamar, yang telah resmi berpenghuni dua orang. Waktu terasa lambat berjalan, seperti jarum panjang jam dinding yang bergerak dengan santai. Satu minggu terasa sebentar rupanya. Tanganku berkeringat dingin, sejuk itu terasa membekukan bukan saja tubuhku. Dan degup di dalam dada seperti terdengar sampai ke luar. Menanti memang tak mengenakkan. Entah apa dan siapa yang dinanti, kami tetap diam. Suaraku, anggukan, gelengan, atau sekadar gerak tubuh supaya tak kaku,…sepi. Aku tak berani melihatnya, apalagi mengetahui reaksinya.

“Bagaimana, Dek?” Pelan suara itu membangunkan separuh jiwaku yang masih berpijak di ruangan. Separuh lagi bimbang, perasaan kehilangan itu tiba-tiba saja mendera dan membuat kepala ini ingin menggeleng kuat-kuat. Kedua mataku menatap lurus-lurus ke lantai dingin.

Gimana kelanjutannya? Penasaran? Buruan beli, atuuh...!!!!

Ikhlaskanlah...

Jumat kemarin, saya baru saja menyaksikan sebuah keteledoran dan keruwetan birokrasi dari sebuah administrasi rumah sakit. Kalau hanya urusan menunggu sejam dua jam, mungkin tak kan terlalu jadi masalah. Namun bila ini menyangkut urusan nyawa, bagaimana?

Hari Jumat, 8 Juli 2005, tepat pukul 06.30 WIB saya tiba di RS MMC Kuningan, untuk mendampingi Ibu mengantarkan Ayah menuju RS Medistra, untuk menjalani operasi katerisasi jantung. Janji dengan pihak RS Medistra adalah pukul 07.00 WIB. Namun hingga pukul 06.40 WIB, kami masih berada di kamar 508 RS MMC, menunggu si perawat membereskan berkas-berkas yang harus dibawa sebagai pengantar untuk RS Medistra.

Kami pun pergi dengan ambulan, tiba di RS Medistra dalam waktu kurang lebih sepuluh menit. Jalan tak terlalu padat pagi itu.

Ruang Instalasi Gawat Darurat adalah tempat persinggahan awal. Selalu begitu. Kali ini beberapa perawat RS Medistra dengan gegas menyiapkan Ayah yang sudah dibaringkan di tempat tidur keras milik IGD, pemasangan infus untuk persiapan operasi. Sekitar satu setengah jam berikutnya, setelah beberapa anggota keluarga yang ikut mengantar sempat sarapan pagi, kami semua naik ke lantai 2 RS Medistra. Menuju ruang penanganan katerisasi, dimana sekitar enam orang anggota keluarga berhak masuk dan mendapatkan penjelasan mengenai proses katerisasi. Saya, Ibu, adik perempuan, serta tiga orang adik laki-laki ayah. Prof. Dr. Santoso, dokter yang akan melakukan proses katerisasi jantung, menjelaskan dengan sangat simpatik. Jantung saya bernyanyi, mengira-ngira apakah memang benar ada penyumbatan dalam pembuluh darah jantung Ayah? Berapa jumlahnya? Apakah diperlukan tindakan operasi besar untuk memasang ring? Menurut dokter itu, satu buah ring yang berkualitas baik harus ditebus dengan harga 29.5 juta rupiah. Uang sebanyak itu....


Image hosted by Photobucket.com



Waktu menunjukkan pukul sepuluh kurang, kira-kira. Saya, adik, dan beberapa orang sepupu laki-laki dengan setia menunggu di depan ruang operasi. Ayah belum akan dioperasi, sebab si dokter kebanjiran pasien hari itu. Tersebut angka sekitar 160 orang yang akan menjalani proses katerisasi jantung. Angka yang tidak istimewa, menurut mereka, sebab hampir setiap hari terjadi. Jantung saya masih bernyanyi. Walau semua biaya pengobatan dan tindakan operasi ini ditanggung oleh kantor Ayah, tapi tetap saja, rupiah yang tidak sedikit. Jumlah yang tidak mungkin kami tanggung sendiri. Saya ingat, pagi tadi, sewaktu masih berkumpul di ruang IGD, saya, Ibu, dan seorang paman telah berkali-kali memastikan kepada perawat pengantar dari RS MMC mengenai surat jaminan dari kantor Ayah untuk pengalihan penanganan dari RS MMC ke RS Medistra.

Image hosted by Photobucket.com



Sekitar lima belas menit lewat pukul sebelas siang. Proses katerisasi telah selesai. Adik perempuan saya tergopoh-gopoh keluar ruang observasi, menemui saya dan beberapa sepupu yang masih berdiri di luar ruang operasi.

“Ada penyumbatan, Kak. Di empat tempat. Yang satu buntu total, tapi nggak harus diapa-apain karena udah membentuk jaringan pembuluh darah baru. Yang tiga di sebelah kiri yang parah. Ini musti tindakan lanjutan.”

Belum selesai saya mencerna kata-katanya, adik saya itu sudah berlari ke ruang tunggu, menemui Ibu dan beberapa orang tante. Heboh. Termasuk bunyi musik di dalam dada saya. Tindakan operasi lanjutan, pemasangan alat, berarti sekitar 3 buah ring yang harus dipasang. Seratus juta, mungkin lebih.

Tak lama, Ibu dan tiga orang paman memasuki ruang observasi, menemui si dokter yang sudah menyatakan siap untuk melakukan tindakan lanjutan. Saya sedikit lega. Tak terbayang bila Ayah harus menunggu hingga antrian ke seratus enam puluh itu.

Image hosted by Photobucket.com



Lima menit kemudian, semua bergegas keluar ruangan dengan wajah setengah panik, terutama Ibu. Ada masalah dengan administrasi, operasi ditunda. Itu yang sampai ke telinga saya. Saya menunggu. Lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit…cukup! Saya bergegas ke bawah, menemui tiga orang paman yang tengah berdiskusi di lobby. Di kepala saya membayang uang seratus juta yang entah bagaimana bentuknya itu. Masalah administrasi? Apalagi?

Tidak bisa tidak, saya pun turun ke bawah, menemui Ibu dan paman-paman saya, dan terlibat mundar-mandir mengurus ini-itu. Mengusahakan sebisa mungkin agar operasi tetap dilakukan hari ini. Entah keteledoran siapa, pihak RS Medistra tidak mengakui telah dihubungi oleh RS MMC atas jaminan tanggungan biaya dari kantor Ayah. Informasi harga alat dan proses operasi yang diberikan RS MMC kepada sekretaris kantor Ayah meleset jauh. Biaya operasi yang ternyata diperkirakan hanya 100 juta, membengkak jadi dua kali lipatnya. Berkali-kali me-lobby pihak admission-billing RS Medistra pun tak berhasil. Akhirnya selama satu jam itu, kami semua berdebar hingga kesal menanti approvement ulang dari pihak kantor untuk tambahan budget pengeluaran operasi. Ha. Good work. Membiarkan seorang pasien yang sudah kesakitan di ruang IGD, untuk mengalami sakit yang kedua kali akibat penundaan tindakan operasi.



Berbicara soal tanggungan, tentu saja RS Medistra tidak mau mengalami kerugian akibat tidak adanya dana cash dari RS MMC untuk pembelian alat-alat keperluan operasi. Padahal jaminan dari perusahaan tempat Ayah bekerja sudah jelas, dan sudah dikonfirmasi sebelumnya. Bukankah seharusnya 100 juta rupiah itu sudah dilayangkan ke RS Medistra, hingga sisa pembayaran dapat dilakukan kemudian setelah operasi selesai dilakukan? Tetapi tidak. RS MMC hanya membekali si perawat pengantar dengan 10 juta rupiah saja, sebagai DP katanya. Tidak hanya sampai di situ, kami pun harus menunggu hingga pukul dua siang sampai ambulan RS MMC datang menjemput, tanpa ada komunikasi lebih dulu bahwa kami hanya diantar kemudian dijemput kembali.

Image hosted by Photobucket.com



Beginilah, dan tak tahu lagi saya harus berkata apa. Sore hari, ketika tiba kembali di RS MMC, pihak perawat jaga dan juga dokter ahli jantung yang menangani Ayah berusaha mengklarifikasi dan berdalih atas kesalahan yang telah mereka perbuat. Saya memilih untuk tutup kuping, demikian juga yang saya anjurkan pada Ibu. Sudah cukup kelelahan hari itu.

Hari itu, saya mendapat sebuah pelajaran, bahwa setiap orang memiliki rezeki yang bisa jadi Allah datangkan melalui orang lain. Dan setiap rezeki itu, bukan tak mungkin harus diraih dengan kesusahpayahan terlebih dulu, tidak dengan gampang mengalir begitu saja. Penderitaan yang dialami selama proses mendapatkan rezeki tersebut, bisa jadi adalah pelajaran yang Allah berikan, sebagai pembelajaran dan juga penguji kesabaran. Bukankah setiap sakit yang diderita, bila dijalani dengan ikhlas, akan berbuahkan penghapusan dosa? Maka, ikhlaskanlah setiap jerih yang telah dilakukan dengan payah.