Halaman

Saturday, December 02, 2006

Jakarta-Sangatta

Balikpapan-Sangatta

Setelah satu hari beristirahat di sebuah hotel di Balikpapan, akhirnya tiba juga saatnya berangkat menuju Sangatta. Setibanya di airport, saya rada deg-degan. Sedikit gugup dan sibuk menebak-nebak, seperti apa bentuknya pesawat CASA yang akan mengangkut kami menuju Sangatta. Petugas dari Aircraft tersebut memeriksa selembar kertas yang berisikan informasi pemesanan tempat yang dibawa suami saya. Tak lama, ia meminta kami bergantian menimbang berat badan di sebuah timbangan raksasa (yang saya pikir timbangan semacam itu hanya diperuntukkan barang-barang besar, karung goni, atau semacamnya). Saya melirik benda aneh itu, dan sedikit ragu untuk menggunakannya, atau lebih tepatnya takut terlihat baru pertama kali naik CASA dan dengan bodohnya melakukan hal-hal yang memalukan. Tapi melihat suami saya menaiki timbangan tersebut dengan santainya, lengkap beserta sepatu yang dipakai dan tas ransel di punggung, saya memutuskan untuk juga melakukannya seolah sudah pernah sebelumnya. Namun tak urung celoteh-celoteh heran pun meluncur deras dari mulut saya kepada suami yang saat itu hanya menanggapi dengan cengar-cengir.

Pesawat CASA

Saya tidak boleh lupa menyebutkan bahwa di counter check in tadi kami berdua masing-masing diberikan sebuah bungkusan berwarna kuning. Hampir saya mau mengantonginya saja dan berpikir akan membukanya nanti atau bahkan melupakannya. Suami saya mengingatkan bahwa benda empuk di dalamnya adalah sepasang penyumbat telinga yang sangat dianjurkan untuk dipakai ketika pesawat akan lepas landas. Ups … lagi-lagi hampir saya lupa bahwa saya akan menaiki kendaraan yang masih asing sama sekali, yang kabarnya super berisik serta berguncang-guncang. Tak sadar saya mengelus-elus perut yang mulai membuncit berisikan janin usia 3 bulan.

Tak lama menunggu, kami berdua (beserta beberapa belas orang penumpang) dipanggil untuk menaiki pesawat. Ha. Akhirnya saya bertemu muka dengan pesawat kecil itu. Jantung saya berdebar cukup kencang, antara penasaran karena belum pernah dan khawatir akan mengalami guncangan kencang di dalamnya nanti. Sepertinya saya akan memegangi perut saya terus sepanjang perjalanan.

Ruang dalam pesawat mungkin benar-benar didesain pas untuk 20 orang penumpang beserta dua atau tiga orang awak pesawat. Si pramugari (kalau memang bsia disebut begitu) sampai hapal nama-nama kami dan dengan sigap menunjuk tempat duduk yang akan kami tempati. Sepertinya ia memang petugas yang tadi mendata kami di counter check in. Saya dan suami menempati tempat duduk nomor dua dari depan. Dua lajur tempat duduk tersebut masing-masing berisi dua tempat duduk di tiap barisnya, dan terdapat sekitar lima baris ke belakang. Jangan membayangkan tempat duduk empuk dan lebar dari pesawat tipe BOEING. Saya hampir-hampir sibuk berpikir, bagaimana dengan penumpang yang memiliki bobot berlebih dan postur badan lebar, sepertinya tidak akan muat duduk di kursi tersebut. Setelah mengenakan sabuk pengaman, saya sibuk menenangkan diri dengan membaca doa-doa. Itu juga saya lakukan setelah bersusah payah menggunakan penyumbat telinga dengan benar, dengan sebelumnya melirik ke kiri dan kanan, memperhatikan bagaimana orang-orang menggunakannya.

Jarak Balikpapan-Tanjung Bara ditempuh selama kurang lebih satu jam perjalanan. Terbayang kan betapa jauhnya Sangatta dari 'pusat peradaban' Kalimantan Timur? Bila berkenan menempuhnya lewat darat, siap-siap saja tertidur panjang atau malah duduk sambil pegal-pegal selama kurang lebih tujuh jam.

Tanjung Bara

Airport yang benar-benar kecil. Mungkin kurang tepat kalau disebut sebagai bandar udara ya? Landasan pesawat CASA, sebuah bangunan beratap tanpa pintu dan jendela tak begitu besar, dan lapangan parkir cukup luas merupakan bagian dari 'airport' tersebut. Cukup untuk menjadi tempat turun-naik penumpang beserta bagasinya, dengan ruang tunggu seadanya.

Bersama penumpang lainnya (yang sebagian besar adalah pegawai KPC) kami mengantri di tempat pengambilan bagasi. Agak lama juga, sebab koper-koper dan barang-barang lain milik penumpang diturunkan dan diantar dengan menggunakan troli khusus yang didorong dengan tenaga manusia sampai ke tempat pengambilan. Troli tersebut hanya ada satu, jadi dua orang petugas itu harus bolak-balik mengambilnya kembali dari bagasi pesawat.

Kami berdua dijemput oleh seorang sopir kantor KPC yang telah dihubungi sebelumnya oleh suami saya. Di dalam mobil, suami saya cepat-cepat mengingatkan mengenai aturan ketat dari KPC bagi pengguna kendaraan, yaitu memasang seat belt (baik yang duduk di depan maupun di belakang) apabila menggunakan mobil kantor. Katanya bila aturan itu tidak dipatuhi, ada denda sekian rupiah yang harus dibayar, beserta teguran keras. Hmm … cukup bagus juga sebagai motivasi untuk mendisiplinkan diri. Namun saya dengan payah memasangkan seat belt itu dengan nyaman di perut saya yang sudah berubah bentuk.

Perjalanan dari Tanjung Bara ke Lembah Hijau (nama komplek perumahan tempat kami akan tinggal) membawa nuansa berbeda ke dalam hati saya. Apalagi sebelumnya kami sempat singgah ke komplek perumahan Tanjung Bara mengantarkan seorang pegawai KPC yang ikut di mobil bersama kami. Suasana yang rasanya tidak bisa ditemui di Jakarta. Sepanjang jalan yang agak berkelok-kelok, saya mengedarkan pandangan ke kiri-kanan jalan yang masih terlihat 'hijau' dan berbukit-bukit. Sepertinya kontur tanah di Sangatta memang begitu.

Rumah-rumah yang terletak di komplek Tanjung Bara sekilas terlihat tidak 'tertata rapi' seperti halnya yang ada di kota-kota besar lain. Dari satu rumah ke rumah lainnya agak berjauhan, tapi itu malah memberi kesan lega dan tidak bertumpuk-tumpuk apalagi padat. Disamping penyebabnya adalah kontur tanah yang memang berbukit-bukit. Pihak kontraktor perumahan mungkin memutuskan untuk tidak mengubah kontur tanah, dan menyiasatinya dengan mendirikan perumahan dengan struktur bangunan semacam 'rumah panggung', berdinding kayu, beratap genting atau asbes (tergantung jenis perumahan). Sebab bahan bangunan macam semen, batu, pasir, dan sebagainya memang super mahal. Maklum, keterbatasan transportasi.

Katanya memang komplek di Tanjung Bara diperuntukkan mereka yang jabatan di PT KPC sudah lebih senior dengan gaji yang sudah pasti jauh lebih besar dari kebanyakan pegawai. Sebab bila mau, bisa saja rumah-rumah tersebut ditempati oleh siapa saja, asal mampu membayar uang sewanya yang bisa dua-tiga kali lipat dari pasaran harga sewa di komplek lain. Kelebihannya, komplek Tanjung Bara memang tertata lebih apik, asri, dengan bahan bangunan yang lebih bagus, ukuran rumah lebih besar, yang menurut saya suasananya mirip 'luar negeri'. Bukan hanya saya saja yang berkomentar begitu. Seorang teman saya yang kebetulan juga agak mengenal kondisi Sangatta dan suasananya pun menyatakan hal yang sama.

Sangatta Baru dan Sangatta Lama

Keluar dari wilayah Tanjung Bara, sampailah kami di kota Sangatta. PT KPC mendirikan area yang kemudian dinamakan Sangatta Baru atau orang-orang sering menyebutnya komplek KPC atau daerah 'dalam'. Tidak usah repot-repot membayangkan ada semacam gerbang besar yang memisahkan satu daerah ke daerah lainnya. Sebab yang saya visualisasikan sebagai Sangatta Baru dan Lama adalah seperti ini:

Bayangkan dua buah garis yang membentuk huruf T, dengan ukuran masing-masing garis yang tidak usah dipusingkan mana yang lebih panjang. Garis yang terletak melintang adalah wilayah Sangatta Lama atau Luar, dan yang terletak vertikal adalah wilayah Sangatta Baru atau Dalam. Pertigaan yang mempertemukan kedua garis tersebut ditandai dengan berdirinya bangunan Plasa Telkom di sebelah kanan garis yang vertikal. Nah, mulai dari Plasa Telkom hingga garis lurus ke bawah tersebut terletak berbagai fasilitas umum dan komplek perumahan yang agak sulit saya sebutkan satu persatu. Tetapi tentu saja, Yayasan Sangatta Baru atau PT KPC mengatur bangunan-bangunan tersebut demikian rapi, dan fasilitas umum terletak di pinggir jalan supaya mudah dijangkau. Seperti Medical Center, masjid Darussalam, gereja, Radio GWP, PMI, Town Hall, dll. Sedangkan komplek-komplek perumahan diatur terpisah dari sarana-sarana umum tersebut, terletak agak ke belakang dengan ciri khas yang berbeda-beda.

Walaupun sepertinya di Sangatta Baru segala macam keperluan bisa didapat di Town Hall (seperti pasar tradisional, mini market dan koperasi yang cukup besar, bank BRI, beberapa ATM, medical center, pusat makanan, bahkan perpustakaan dan sekolah), tetapi tentu saja beranjak ke Sangatta Lama kerap kali dilakukan untuk mendapatkan barang-barang dengan harga lebih murah dan alternatif yang lebih banyak. Walaupun sepanjang 'garis horizontal' tersebut hanya terdapat toko-toko kecil di pinggir jalanan yang terlihat lurus hingga entah sampai ke mana. Ada pasar Teluk Lingga yang lebih lengkap serta menjual berbagai kebutuhan pokok dengan harga lebih murah. Ada toko-toko meubel yang menjual perabot rumah semacam tempat tidur, meja rias, lemari pakaian, dan lain-lain. Cukup lengkap dan bisa memenuhi kebutuhan para pendatang baru, walaupun jangan berharap terlalu banyak pilihan yang bisa didapat. Bahkan ada sebuah toko yang terletak di ujung jalan Sangatta Lama, yang menerima kreditan bagi pegawai PT KPC maupun perusahaan kontraktor lain yang ada di Sangatta, atau siapa saja yang sudah berlangganan di toko tersebut.

(to be continued)

Saturday, October 14, 2006

Kabar dari Sangatta

Assalamu'alaikum semuanya ...

Akhirnya 'kembali' ke peradaban. Hehehe ...
Saya sudah satu bulan di Sangatta, Kutai Timur. Dalam rangka apa? Nggak usah diceritain lagi, dong. Homesick? Pastinya. Kira-kira dua minggu pertama di sini agak terlalu sering inget yang di Jakarta n Bekasi. Norak sih, tapi mau diapain lagi? Saya kangen keluarga, kangen sepupu-sepupu kecil saya, kangen teman-teman, kangen FLP, kangen semuanya!

Tapi sekarang sudah bisa mengendalikan diri. Nggak baik stres lama-lama, karena si kecil yang udah mulai rajin akrobat di perut bisa terpengaruh. Masa belum lahir udah disuruh stres?! Oya, kandungan saya sudah hampir 5 bulan, kondisi alhamdulillah baik, terakhir USG hampir sebulan yang lalu dan ternyata calon buah hati saya itu agak-agak 'aktivis' alias nggak bisa diem. Hehehe...mirip siapa?

Sebenarnya banyak...sekali yang ingin saya bagi. Saya sudah merencanakan menulis panjang lebar tentang Sangatta. Menarik pastinya. Tapi kayaknya bukan sekarang ya. Saat ini saya 'numpang' nge-net (dengan perasaan bahagia) di Perpustakaan YPPSB (Yayasan Pendidikan Prima Sangatta Baru) yang dibatasi per orang hanya 20 menit saja. Dari 6 komputer yang tersedia, cuma 1 saja yang lengkap bersama keyboard dan CPU-nya. Hehehe ... mungkin karena musim liburan sekolah ya. Tapi tenang aja ... I'll be back soon!

Salam cinta buat semuanya. Doakan supaya saya tidak pernah berhenti menulis.

Friday, August 25, 2006

Kangen? Pastinya.

Assalamu'alaikum semuanya ...

Ternyata kangen banget ya, dah lama nggak nulis. Sekarang saya baik-baik aja, masih di Bekasi. Belom bisa nyusul suami tercinta ke Kaltim karena lagi nunggu kandungan usia 3 bulan. What? Kandungan? Hehe...yep, saya (alhamdulillah) hamil lagi. Mudah-mudahan kali ini Allah berkenan untuk memberikan kesehatan dan kekuatan, nggak ada masalah apapun hingga melahirkan. Amin.

Aktivitas sekarang? Nyaris di rumah aja. Baru pertama kali ngerasain 'sakit'nya tiga bulan pertama nih. Mudah-mudahan Allah memberikan kesehatan, kekuatan, dan kesabaran. Amin. Trimester pertama tanpa suami di samping saya? Hiks ... bisa 'hujan' tiap hari. Hehehe ... tapi nggak apa-apa. Setiap ujian pasti ada ganjarannya, kan?

Yang jelas, saya udah kangen banget nulis. Yah, anggap aja istirahat deh. Toh saya nggak akan bisa berhenti nulis. Siapa tau di Sangatta nanti saya bisa lebih produktif. Amin. Banyak harapan dan keinginan di tempat baru.

Ups...ternyata angka jumlah mail di inbox saya masih menunjukkan 1000-sekian. Jadi, mungkin kapan-kapan saya kembali lagi ya. Cukup sekian lepas kangennya...

Wednesday, July 05, 2006

Di Antara Pilihan-pilihan

Sekali lagi saya menuliskan sesuatu tentang seorang teman. Saya mengenalnya sejak awal tahun perkuliahan. Tahun pertama dan kedua, saya tidak bisa beranjak dekat kepadanya. Entah. Mungkin waktu itu saya terlalu disibukkan oleh urusan organisasi di kampus. Saya pun tak pusing-pusing berusaha untuk dekat dengannya. Tapi ternyata di tahun ketiga, hingga akhir kuliah, dan sampai kami lulus, Allah menakdirkan saya mengenalnya lebih dekat dari yang pernah saya bayangkan. Saya tidak menyangka bisa begitu dekat dengannya. Mungkin juga teman-teman lain berpikir hal yang sama, saya tidak tahu. Saya mendapati teman saya itu ternyata sangat cerdas, memiliki pikiran-pikiran yang menarik-walau kadang agak keterlaluan, dan talkative sekali. Rasanya saya betah mengobrol lama-lama dengannya, tentang berbagai hal. Pada beberapa bidang, kami ternyata memiliki minat yang sama.

Pelan-pelan saya mencoba mengerti 'dunia'nya, dan demikian juga dia. Kadang bahkan saya merasa saya terlalu 'masuk' ke dalam dunianya, dan cukup sering bertanya pada diri sendiri "Ngapain saya di sini?" serta merasa bahwa sebenarnya saya tidak nyaman bila menempatkan diri terlalu 'dalam'. Saya tahu bahwa awalnya saya sekadar tertarik untuk mengetahuinya, dan pada akhirnya toh saya mengeluarkan diri, bersikap biasa, dan sedikit membuat jarak supaya saya tahu bahwa saya lebih nyaman menjadi seperti apa adanya diri saya. Saya tetap berteman seperti biasa dengannya. Untuk satu dua hal, ia sering menelpon saya lama sekali untuk bertanya ini-itu dan mengobrol sedikit ngelantur. Kami berdua rasanya memang kadang memiliki ide-ide aneh yang disepakati bersama sebagai hal yang mengasyikkan untuk dilakukan. Contohnya adalah menulis novel. Padahal saya sempat berkata pada diri sendiri bahwa rasanya saya tidak mungkin membuat sebuah novel. Saya belum punya 'napas yang cukup panjang' untuk menghasilkan karya sepanjang itu. Itu perkataan saya dulu.

Teman saya itu, tentu saja, seringkali membicarakan topik-topik novel yang akan atau sedang ia tulis. Dan saya tidak pernah tahu apakah ia benar-benar menuliskannya. Yang jelas setiap kali ia mendeskripsikan cerita yang sedang ia imajinasikan, atau baru menyebutkan judulnya saja sudah membuat saya terpingkal-pingkal dan saya berkata akan mendukungnya seratus persen untuk menyelesaikan novel itu. Sepertinya kepalanya penuh dengan ide-ide gila (setingkat lebih tinggi dari kreatif) yang kalau benar-benar bisa dituliskan dalam bentuk novel, pasti saya adalah orang pertama yang akan menertawainya habis-habisan, lalu membelinya.

Memang orang yang sedikit aneh, teman saya itu. Saya tidak mau menyebutnya 'eksentrik', karena penampilannya benar-benar rapi jali seperti halnya dandanan pria-pria metropolis lainnya. Lho? Laki-laki? Ya tentu saja. Ia adalah seorang laki-laki yang rasanya bisa berteman dekat dengan semua wanita. Dan untuk 'jenis' yang seperti ini, tentu saja sangat oke untuk jadi teman ngobrol. Singkat cerita, soal ‘keanehannya’, saya tidak mau menjadikan kata ‘aneh’ sebagai standar atau patokan. Itu hanya istilah saja, karena saya tidak tahu harus mendefinisikannya dengan apa. Sebutlah ia sebagai seseorang yang punya banyak sekali keinginan-keinginan yang kadang membuat orang-orang menggeleng-geleng, bila tidak terbiasa mendengar hal-hal itu. Punya pendapat yang mungkin sebagaian orang bilang 'nyeleneh' atau 'tidak pantas' dan sebagainya. Sejak tingkat pertama kuliah, ia sudah begitu. Kadang kalau penyakit 'skeptis' saya timbul, saya hanya akan mendengus dan menolehkan kepala ke arah yang lain. Tidak peduli. Tapi semenjak saya berhubungan dekat dengannya, dan juga mulai mendapatkan informasi tambahan dari beberapa teman lain tentang dirinya, sepertinya hati dan pikiran saya memutuskan sesuatu. Ia butuh pertolongan.

Saya tidak membicarakan akan memindahkannya ke rumah sakit jiwa. Tentu tidak. Yang saya tahu, bertahun-tahun kemudian saya menjaga hubungan baik saya dengannya, dan mendengarkan setiap perkataannya yang paling konyol dan 'nyeleneh' sekalipun, tanpa menunjukkan rasa tertarik atau kaget. Sebab saya memang tidak kaget. Tertarik, mungkin sedikit. Ia sungguh mudah ditebak. So predictable. Saya jadi ingat seorang teman sekelas saya waktu SMA yang juga punya kecenderungan yang sama dengannya. Teman saya yang di SMA itu juga demikian, curhat habis-habisan pada saya, dan saya menjadi salah satu orang yang (secara tak terduga-duga) dekat dengan dirinya. Mungkin saya seperti punya magnet untuk orang-orang yang seperti itu, tidak tahu juga. Tapi saya sungguh-sungguh ingin membantunya. Walau saya tidak paham segala macam teori psikologi, dan saya memang bukan psikiater, tapi nilai mata kuliah psikiatri saya A, dan saya paham bahwa Sigmund Freud berkoar-koar tentang masa lalu seseorang yang mempengaruhi kehidupannya di masa depan bukan tanpa alasan. Walau sebagian orang kurang percaya dan menganggapnya sinting, tapi rasanya teori itu berguna juga.

Dalam sebuah kesempatan, saya berbicara blak-blakan padanya, bahkan setengah mengomelinya, dan memintanya untuk kali itu saja berpikir lebih waras. Hilangkan semua sisi kepribadiannya yang dibuat-buat atau jadilah normal sekali itu saja. Tapi kemudian, saya malah mendapatinya dalam kondisi yang 'lebih mengenaskan'. Dan saya mulai paham bahwa ia tak sekalipun pernah mengatakan sesuatu dengan jujur pada saya. Saya bahkan berkata bahwa seringkali bingung, manakah sisi kepribadian yang sesungguhnya yang ia tunjukkan selama ini. Kapan ia menjadi dirinya sendiri. Asal tahu saja, dalam lima atau enam tahun pertemanan kami, saya sudah melihatnya 'berganti-ganti' kepribadian (kalau tidak bisa dibilang 'gaya hidup') sebanyak tiga atau empat kali. Dan saya tidak pernah tahu mana yang benar, atau sejak kapan ia mulai menjadi labil seperti itu. Yah, sebenarnya saya tidak perlu ambil pusing. Seorang teman sekampus dulu pernah bicara serius dengan saya dan mewanti-wanti untuk tidak mempercayai setiap ucapan yang dilontarkan teman laki-laki saya itu. Saya sudah menduga. Dan mengira bahwa anak itu hanya butuh perhatian dan rasanya memang ingin dinilai sebagai seseorang yang 'hebat', 'tidak terduga', melakukan hal-hal yang tidak umum atau tidak dilakukan orang lain, gila, sinting, dan macam-macam lagi. Kalau saya pernah sekali 'mencela'nya, dan mengatakan bahwa dia sudah keterlaluan, maka reaksinya adalah nyengir lebar-lebar dan mengatakan "Itulah gue, gue sendiri juga nggak habis pikir. Kadang ide-ide itu muncul begitu aja dari otak gue." Kira-kira begitu katanya. Saya pun hanya geleng-geleng, dan meneruskan pertemanan itu tanpa beban. Walau dalam hati saya tetap berharap ia bisa berpikir jernih.

Panjang sekali cerita saya tentang dia. Dengan tidak bermaksud memujinya, ia memang salah seorang yang cukup unik. Tapi dari sudut pandang pikiran saya, saya justru sangat amat mengasihaninya. Rasanya ada sesuatu yang tidak beres padanya di masa lalu, atau di keluarganya. Entah. Jumlah tahun pertemanan saya dengannya mungkin belum cukup banyak untuk membicarakan hal-hal yang serius seperti itu.

Pagi ini, saya membaca sesuatu yang nyaris membuat saya membelalak, tapi sebenarnya tidak perlu. Teman saya itu kini tidak lagi tinggal di Jakarta, ia telah ‘merantau’ entah untuk apa ke kota lain yang cukup jauh. Ia memutuskan untuk meninggalkan Jakarta, dengan segala macam kenangan di sini. Dan menjadi seseorang yang lain. Saya tidak tahu apakah ia lantas berpindah keyakinan (agama), tapi yang cukup jelas ia sebutkan adalah ia memang berpindah keyakinan dalam hal identitas seksual. Saya tidak tahu apakah istilah itu tepat atau tidak. Ia memutuskan untuk menjadi seorang 'gay'. Saya tidak kaget. Tentu tidak. Yang pertama kali terbayang di benak saya adalah judul makalah yang dulu pernah ia bawakan dalam sebuah kelas mata kuliah: homoseksualitas.

Pikiran saya lantas menyambangi wajah-wajah teman-teman saya yang lain. Teman saya sejak SD, SMP, SMA, kuliah, dan teman-teman di kantor tempat saya bekerja dulu.

Allah memang Maha Membolak-balikkan hati seseorang. Bila pilihan hidup yang kita ambil jatuh pada jalan yang lurus, maka Allah akan melindungi dan menjaga. Bila pilihan itu berpaling pada kesesatan, maka kita akan semakin terjerumus. Ini adalah salah satu prinsip dasar kehidupan yang saya pegang terus sejak dulu. Tak perlu lagi tanya-tanya soal 'standar dan patokan'. Bagi saya sudah jelas. Bila ia muslim, maka lihat saja pedoman hidup yang sudah Allah berikan! Dan bila ia non-muslim, mereka tahu yang terbaik buat diri mereka sendiri.

Hari ini saya berdoa panjang sekali, memohon supaya segala perkataan yang dulu pernah saya ucapkan padanya terselip sedikit atau banyak nasehat atau peringatan. Kalau tidak, maka saya tidak menjadi teman yang baik baginya, dan saya tidak memberikan manfaat kebaikan apapun padanya.

6 April 2006

Menjadi Orang-orang yang Dewasa

Ketika saya masih kecil, kabarnya kedua orang tua saya kewalahan menjawab segala macam pertanyaan yang saya ajukan, seringkali berturut-turut. Kadang, seingat saya, ada beberapa pertanyaan yang tidak dijawab karena ayah atau ibu saya tidak tahu cara yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi mereka biasanya berusaha menjawabnya, walau mungkin tidak dengan jawaban yang tepat atau tidak memuaskan saya. Begitulah anak kecil, dan sepertinya sekarang ini kelakuan anak-anak kecil sudah semakin luar biasa. Dalam hal positif atau negatif? Saya tidak mau bersilat lidah dengan ada atau tidaknya batasan yang jelas tentang 'alat ukur' ini, maka saya katakan dengan jelas bahwa sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang yang seharusnya digunakan oleh setiap muslim di dunia: Islam.

Menjadi orang tua, atau orang yang lebih tua dari anak-anak itu, kadang memang merepotkan. Malah seringkali berita-berita tak enak seputar kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak terjadi hanya gara-gara masalah sepele: kurangnya kedewasaan si orang dewasa tersebut dalam menyikapi permasalahan hidup. Misalnya soal pekerjaan, urusan perut, masalah rumah tangga, dan sebagainya. Persoalan-persoalan yang menuntut penyelesaian segera, namun karena berbagai kondisi tidak bisa dituntaskan. Akibatnya, orang-orang dewasa yang bermasalah tersebut jadi stres, dan kemudian melampiaskannya pada yang ada di sekitarnya, termasuk anak-anak mereka sendiri. Bukankah itu ciri-ciri ketidakdewasaan? Modal akal dan hati yang dikaruniakan oleh Sang Pencipta Alam tentunya bisa digunakan untuk mencari penyelesaian yang tepat, dan sesuai dengan syariat agama. Tetapi ciri-ciri ketidakdewasaan tadi itulah yang menghambat. Mudahnya tersulut amarah, tidak bisa mengendalikan emosi, melampiaskannya pada hal-hal yang tidak benar, terperosok dalam kemaksiatan. Hal-hal itu bukan barang baru lagi di masyarakat kita. Sungguh menyedihkan.

Sepertinya pola hidup masyarakat kita sudah terbentuk pada suatu lingkaran yang itu-itu saja. Kriminalitas dan apa saja yang berbau maksiat begitu dekat dan sering dihubung-hubungkan dengan level paling bawah dari lapisan masyarakat. Walau tindakan tersebut juga bisa saja dilakukan oleh orang-orang yang berlevel atas, dilihat dari sisi kemapanan ekonomi. Mengambil sesuatu yang bukan milik sendiri, mengadu domba, saling menjatuhkan, berebut kekuasaan, dan berbagai hal yang mencerminkan keburukan akhlak. Padahal orang-orang dewasa tersebut sama saja semuanya, sama-sama memiliki akal dan hati nurani. Dua anugerah yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Akibat dari ambisi-ambisi tersebut, kadang, mengakibatkan mereka bersikap kekanak-kanakan.

Entah berapa banyak jumlah orang-orang yang butuh pengingatan dari orang lain. Butuh nasehat supaya tak tersesat. Butuh bimbingan supaya tak salah arah. Butuh pegangan supaya berjalan lurus. Apalagi? Sudah pasti jawabannya adalah kembali kepada agama. Dan menanamkan nilai-nilai Islam sejak masih dalam kandungan (baca: sedini mungkin) adalah kiat yang paling jitu untuk menghindarkan terbentuknya generasi yang kekanak-kanakan seperti ilustrasi di atas. Dengan mematuhi apa yang Allah turunkan, segala macam persoalan pasti selesai. Karena memang aturan-aturan dalam Islam sangat sesuai dengan fitrah manusia. Mencari solusi yang tepat atas semua permasalahan? Kembali saja kepada Islam. Sayangnya, sejak entah berapa waktu lampau, sudah tak terhitung lagi jumlah upaya-upaya yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk menjauhkan kita semua dari Allah. Mencoba mengisolir para remaja dari agama, menyuguhkan berbagai godaan yang sudah pasti lebih enak dinikmati ketimbang bersusah payah meraih jalan ke surga, membalut kaum muslimin dengan gemerlapnya dunia modern dan menghembuskan bujukan supaya meninggalkan agama sebab hal itu dipandang kuno. Sampai hari kiamat, musuh-musuh Allah itu tidak akan berhenti berupaya. Percaya saja.

Satu contoh kecil, yaitu enggannya orang-orang untuk memberi dan menerima nasehat. Dengan dalih kehidupan masing-masing adalah privasi, tidak ada waktu untuk saling bertanya-jawab soal agama, dan sebagainya. Padahal aktivitas memberi dan menerima nasehat sama dengan memberi nutrisi bagi jiwa kita, yang seharusnya selalu menjadi panglima yang menunjukkan mana kebenaran dan mana kebatilan.

Tapi saya memilih untuk tidak skeptis terhadap hal ini. Bagaimanapun buruknya kondisi umat islam sekarang ini, pasti masih ada orang-orang yang mau merendahkan hatinya untuk bisa menerima nasehat dari siapa saja yang bersedia menasehatinya.

Kemarin malam, saya mendapatkan pesan di handphone saya. Pesan tersebut dikirimkan oleh paman saya dan ditujukan kepada ayah saya. Pesan itu kemudian diteruskan oleh ayah saya kepada saya. Bunyinya begini:

"Insyaallah mulai minggu depan aku belajar ngaji lagi sama gurunya Raihan. Ngobrol sama dia, Raihan bilang katanya banyak orang yang sudah berumur belum bisa baca Alquran tapi malu mau belajar karena ngerasa terlambat dan udah ketuaan. Padahal, kata dia, banyak orang lupa, Alquran itu diturunkan untuk orang tua. Waktu pertama diturunkan, Rasul SAW berusia 40 tahun kan? Subhanallah…ayo belajar ngaji!"

Raihan adalah anak dari paman saya itu, dan ia berusia sekitar 9 tahun. Subhanallah … Maha Suci Allah yang telah menganugerahkan kedewasaan kepada Raihan (yang dengan berani menasehati orang tuanya) dan kepada paman saya (yang dengan lapang hati menerima nasehat dari anaknya).

Tuesday, June 20, 2006

Me Going Distance

Hahahahahaha …. Udah banyak juga yang rada ngomel-ngomelin saya. "Mau pergi ke mana sih?" gitu mereka tanya. Saya sih masih senyum-senyum aja jawabnya. Seneng juga sekali-sekali bikin orang penasaran.

Going distance? Saya memang suka sekali nyoba-nyoba hal-hal baru. Termasuk 'pindah' ke tempat baru. Walaupun sebenarnya saya termasuk orang yang sangat suka 'kemapanan' (artinya menetap di satu tempat saja dengan damai), tapi 'pindah' juga sesuatu yang menyenangkan. Akan sangat menantang kemampuan saya untuk beradaptasi di lingkungan baru (yang sebenarnya sulit juga). Tapi toh kita perlu mengembangkan diri. Berpindah ke sebuah tempat baru yang jauh sekali dari keluarga dan teman-teman, tetapi bila itu membawa kebaikan dan kemajuan dalam hidup, kenapa nggak? Dan kali ini memang cukup jauh juga. Bukan sekedar 'pindah' ke Bintaro, lalu bisa bulak-balik ke Bekasi. Ada banyak yang mendukung, tapi ada juga yang menentang. Sebenarnya bukan menentang sih, mungkin mereka khawatir atau takut terlalu merindukan saya nantinya … hahahaha….!!!

Kali ini saya benar-benar berlega hati, ketika mendengar kepastian kepergian kami ke sana. Ups … kami? Ya, tentu saja, saya dan suami tercinta. Ngapain juga pergi jauh-jauh sendirian? Justru saya rela 'pindah' ke tempat yang jauh dalam rangka biar selalu dekat dengan suami. Iya lah, kalau pergi jauh untuk berpisah, bodoh itu namanya. Hehe. Mudah-mudahan kepergian ini membawa banyak manfaat dan berkah. Dan supaya Allah selalu ridho. Kalau nggak ada ridho dari Allah dan orang tua, rasanya kepergian kami tak ada artinya. (duh…kayak mau pergi perang aja…hehe)

Pergi ke mana sih????
Hehe … iya, saya akhirnya akan jawab pertanyaan itu: Sangatta. Yep. That's our next destination. Di mana tuh? Kalimantan Timur or mungkin orang-orang lebih 'ngeh' dengan Kutai Timur. Samarinda sonoan dikit deh. Hehe. Ngapain? Suami saya (insyaallah) akan bekerja di sebuah perusahaan di sana. Trus saya ngapain? Haha … pertanyaan bodoh. Ya mendampingi suami lah. Dan, pastinya, can't wait to be a mom. Doakan kami ya, semoga proses kepindahan ke sana lancar, dan di sana bisa memulai hidup baru (lagi) dengan semangat baru. Musti mulai dari bawah lagi? Ya nggak apa-apa. Kan gak sendirian! Hehehe…

Jadi … ayo reunian!!!! (farewel party…dugem…dugem….hehehe!)

ps. file ini udah kelamaan baru di post, mudah-mudahan gak basi. dan sekarang saya masih nunggu aba-aba dari yang tercinta (yang udah duluan pergi)kapan bisa nyusul, coz dirinya harus nyari kontrakan dulu. hiks...kangen

Saturday, May 27, 2006

Muhasabah, yuk!

Amalan apakah yang dapat membawaku ke surga?
Sedangkan salat yang telah rutin kujalankan semenjak baligh seringkali dihiasi oleh mimpi dan lamunan sesaat yang menghilangkan ikhlas dari hatiku. Dan setan selalu tertawa melihatku kebingungan menghitung rakaat dalam hati. Sungguh, aku tak percaya amalan salatku akan lolos dari perhitungan di hari Penghisaban nanti.

Akankah aku sanggup melewati detik mendebarkan di titian sirath-Nya?
Sedangkan lapar dan hausku saat berpuasa menjadikanku lemah dan tak berdaya melakukan ibadah pada-Nya. Dan tak sanggup kumenahan hasrat yang menyisakan ganjaran berpuasa hanya sedikit saja. Padahal prajurit Badar begitu tangguh menerjang musuh di medan juang. Aku kalah.

Bukankah aku bisa meraih ridho dan kebahagiaan orang-orang miskin?
Tetapi aku terlalu sibuk merawat dan menumpuk harta benda hingga tak terjamah. Aku takut kehilangan, maka aku mendekapnya erat-erat. Kupikir jerih payahku lah yang menjadikannya menggunung tinggi. Sedangkan aku lupa bahwa ini semua karena rahmat-Nya.

Mungkinkah kesaksianku akan keesaan-Nya menyelamatkanku?
Tetapi tak terhitung lagi waktu yang habis untukku memamerkan amal baik yang sudah kulakukan pada orang-orang di sekitarku. Kujejerkan bak pameran lukisan dan benda-benda berharga, sebagai bukti yang menerangkan kesalehanku. Dan aku sibuk menyembah-nyembah diriku sendiri.

Yakinkah aku akan mendapatkan singgasana cahaya?
Padahal hati ini tak juga bersih dari prasangka terhadap sesama. Cinta dan kasih sayang sulit tumbuh sebab kerak yang ada telah membeku. Dan hati ini mudah tersulut amarah juga tak mudah memaafkan. Jadi, bagaimanakah benih ukhuwah akan bersemi di sana?

Aku sungguh tak punya apa-apa. Tapi aku selalu berpikir bahwa memiliki segala. Perjalananku di dunia membawaku menjajaki usia, namun tak juga tersentuh hati ini untuk menggerakkan diri ke surga. Padahal sungguh banyak pintu yang masih terbuka.

Ya Allah … akankah diri ini kekal menghuni dasar neraka?

Aku sungguh tak punya apa-apa. Dan aku tak berhenti meminta-Mu mencurahkan ampunan untuk semua dosa.

Ya Rabb-ku, sungguh aku telah zalim, maka ampunilah aku, dan berilah rahmat padaku agar aku tidak termasuk ke dalam orang-orang yang merugi.

Sunday, May 21, 2006

Bercermin pada Kehidupan

Suatu hari, saya akan menghadiri sebuah majelis ta'lim yang terdiri dari ibu-ibu yang bertempat tinggal di daerah Jombang, Bintaro dan sekitarnya. Tak banyak anggotanya, sekitar sebelas orang. Awal bergabung dengan mereka, saya merasa agak jengah dan sedikit tidak nyaman. Maklumlah, pertama kalinya saya merasakan 'bergaul' dengan ibu-ibu muda berusia rata-rata sepuluh tahun lebih tua daripada saya. Sempat saya ingin pindah ke kelompok majelis ta'lim yang lain saja, bila ada. Tapi sampai sekarang, saya masih bertahan.

Hari itu, kegiatan akan diadakan di rumah salah seorang anggota, yang tidak begitu jauh dari rumah saya. Bahkan inilah rumah terdekat yang pernah saya datangi sejak pindah ke Bintaro. Biasanya bila akan menghadiri majelis ta'lim itu, saya harus naik angkot sampai dua kali. Lumayan jauh. Saya berangkat sekitar setengah jam sebelum acara dimulai. Saat itu saya sama sekali tidak tahu alamat pasti si empunya rumah, melainkan hanya mengandalkan arahan dari seorang teman saya saja. Yah, pastinya tidak jauh dari jalan masuk yang tadi ia sebutkan, pikir saya begitu. Dan sekitar lima menit kemudian, sampailah saya di jalan masuk tersebut. Tadinya saya berniat untuk naik ojek saja ke dalam. Tinggal sebutkan nama pemilik rumah dan ciri-ciri rumah, biasanya mereka tahu, begitu petunjuk berikutnya. Tapi sayangnya, tidak satu pun tukang ojek yang saya temui. Lantas saya putuskan untuk berjalan saja masuk ke dalam, siapa tahu ada pangkalan ojek lainnya atau ojek yang lewat. Saya tidak ingin terlambat, malu dong, masa rumah paling dekat malah terlambat.

Saya berjalan terus sampai kira-kira beberapa ratus meter. Kaki mulai pegal, dan saya belum menemukan petunjuk apapun yang mendekati ciri-ciri rumah itu. Saya berinisiatif menelpon seorang teman, dan komentarnya adalah: "Wah! Kalau jalan sih masih jauh! Masuk-masuk ke dalam, susah juga ngasih taunya. Mending kamu tanya sama orang di warung aja deh." Begitu katanya. Saat saya menelpon itu, saya berada di depan sebuah masjid lumayan besar yang pastinya bisa jadi patokan. Dan saya pun lupa menanyakan nomor telepon si pemilik rumah. Ya sudahlah, pasti bisa sampai, begitu tekad saya. Saya bertanya ke sebuah warung, dan petunjuk yang diberikan adalah: "Dari jalan itu masuk aja ke dalam, belok kanan, nanti kalau ada warung tanya lagi aja. Rumahnya masih jauh banget!"

Begitulah, saya akhirnya berjalan saja dan setiap kali ada warung, saya bertanya, dan mereka memberikan informasi yang sama dengan orang terakhir yang saya tanya. Rupanya daerah tersebut belum memiliki nama-nama jalan. Rumah-rumah penduduknya pun jarang-jarang, dari rumah satu ke rumah yang lain berjarak beberapa meter. Padahal lokasi tersebut berdekatan dengan komplek perumahan yang lumayan besar. Jadi petunjuk yang paling praktis ya sebutkan saja nama si pemilik rumah. Dan itu yang saya lakukan berulang-ulang: "Rumahnya bu Yuli, guru SD Annisa, istrinya pak Muslim yang punya kandang kambing itu di mana ya?"

Ketika jalanan sudah hampir tak berujung, dan di sebelah kanan saya adalah tanah lapang yang besar sekali, di sebelah kiri hanya terdapat satu-dua rumah yang terkunci rapat, saya mulai khawatir tersasar. Tapi dari kejauhan saya melihat dua orang wanita berjalan. Mungkin penduduk setempat. Saya langsung berlari mengejar mereka. Alhamdulillah…ternyata memang selalu ada petunjuk bila kita tak segan bertanya. Mereka mengantar saya sampai sekitar dua puluh meter dari rumah yang dicari. Saat itu saya tak memikirkan bagaimana cara pulang, yang tentu saja harus ditempuh dengan berjalan kaki juga. Saya sudah lupa rutenya. Sudahlah, nanti saja. Saya langsung menuju rumah besar bercat oranye.

"Assalamu’alaikum! Bu Yuli ada, bu?"
"Bu Yuli? Wah, dia jam segini belum pulang kerja!"

Saya nyaris pingsan mendengarnya. Seorang wanita setengah tua itu menatap saya dengan agak heran. Duh, sudah hampir nyasar begini, orangnya tidak ada? Lantas acara dipindahkan ke mana?

Tapi rupanya itu hanya kejutan kecil saja. Seorang laki-laki yang duduk bersama wanita itu beranjak dari kursi, dan tersenyum pada saya.

"Masuk aja lewat samping sini. Rumahnya menempel di belakang situ, Neng." Katanya. Saya ragu sejenak. Tapi kemudian wanita tadi berseru, "Oh iya! Ini kan hari Sabtu ya? Berarti ada tuh orangnya!" katanya. Saya nyengir, lalu mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada keduanya.

Perjalanan panjang itu berakhir juga. Waktu menunjukkan pukul dua kurang sepuluh. Hampir satu setengah jam di perjalanan? Hebat juga kedua kaki saya ini. Saya duduk kelelahan. Dan satu per satu anggota majelis ta'lim itu mulai berdatangan, dua orang membawa anak-anak mereka. Mereka sampai dengan wajah yang hampir sama dengan saya, tetapi tidak ada satu pun yang berjalan kaki dari depan hingga sampai di situ. Kami semua tertawa-tawa kelelahan, mereka menertawakan saya yang dengan sangat mengenaskan musti menempuh jarak yang jauh dengan berjalan kaki. Lalu kami menyantap makanan kecil yang dihidangkan, dan mengobrol sebentar melepas lelah.

Hari itu semua hadir di majelis dengan penat. Saya bersiap untuk kecewa bila acara tidak berjalan atau datang hanya untuk bersantai. Tapi ternyata itu tidak terjadi. Acara dibuka dengan tertib, kami bergantian tilawah quran, salah satu dari kami membacakan tafsir surat al-lahab, lalu dilanjutkan dengan diskusi mengenai permasalahan majelis ta'lim lain yang ada di daerah tempat tinggal kami, seterusnya sampai waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Subhanallah. Saya nyaris tidak percaya bahwa kondisi-kondisi tak terduga, seperti kesulitan mencapai lokasi dan keterlambatan dimulainya acara, tidak menjadikan pertemuan yang hanya seminggu sekali itu menjadi tidak efektif. Jiwa saya kembali segar, penat saya hilang, dan saya siap bila harus pulang dengan berjalan kaki lagi.

Sudah sekitar lima bulan saya menjadi bagian dari mereka. Dan rupanya saya mulai merasakan ikatan hati yang cukup kuat pada mereka semua. Bahkan saya mengagumi mereka. Saya nyaris yang paling muda di antara mereka semua. Hampir semua sudah menikah, memiliki anak dua-tiga-atau empat orang, tapi mereka tetap konsisten hadir di pertemuan, mengerjakan tugas dengan lumayan tertib, bersemangat membahas permasalahan yang ada, dan saya tak segan untuk bercermin pada ketegaran mereka semua. Sedikitnya saya mengetahui permasalahan keluarga yang mereka hadapi, terhadap suami dan anak-anak, pekerjaan, dan lingkungan. Mereka mungkin tak semua berasal dari keluarga berkecukupan. Tapi semangat mereka untuk menghadiri majelis ta'lim rutin, juga semangat dan tindakan konkret berkontribusi dalam dakwah, itu semua menjadi bahan renungan yang tak habis-habis buat saya. Dan saya seringkali bertanya dalam hati, akankah saya tetap istiqomah seperti mereka sepuluh tahun dari sekarang? Semoga saja. Insyaallah. Amiin.

Saturday, May 20, 2006

Berjuang untuk Menang

Ketika diri kita sudah terbiasa menghadapi berbagai macam rintangan dalam kehidupan, kita akan mengerti bahwa rintangan itu ada untuk dilewati, dan melewatinya perlu kerja keras dan kesungguhan. Dan bukan hanya itu, setelah kita berhasil melewatinya, kita akan mendapatkan kepuasan dan memperoleh nikmat sesudah kepayahan.

Saya teringat seorang teman yang pernah mengatakan bahwa betapa beruntungnya si anu yang diberi kemudahan oleh Allah dalam hidupnya. Pada waktu itu yang ia sebutkan sebagai kemudahan adalah: cepat lulus kuliah dan mudah mendapat pekerjaan. Si anu yang sedang dibicarakan memang baru saja diterima bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji yang lumayan. Teman saya itu menceritakannya dengan maksud membandingkan dengan dirinya yang hingga waktu itu belum bekerja, dan sudah 3 bulan lulus dari kampus. Mendengar ia mengucapkan keluhan itu, saya berkata dalam hati, betapa ia tidak tahu berbagai kesulitan yang telah si anu lewati sebelum akhirnya Allah menurunkan rezeki sebuah pekerjaan untuknya. Saya mengenal si anu sama baiknya dengan teman saya itu. Si anu sudah dua tahun lebih lulus dari kampus, lebih dulu dari teman saya itu, dan belum juga mendapatkan pekerjaan tetap. Saya tahu upaya yang telah dikerahkan olehnya selama ini, dan berbagai sandungan yang ia alami. Ia pernah ditipu oleh seorang teman, dan akhirnya beberapa juta uangnya hilang. Ia pernah berusaha mendirikan usaha sendiri, namun akhirnya ditutup setelah setahun tak memberi hasil bahkan merugi. Ia sudah melamar ke mana-mana dan menjalani banyak sekali proses interview, tapi tak juga diterima. Dan banyak lagi yang sudah ia lakukan, dan menurut saya hal-hal itu tidak mudah.

Teman saya itu, tiga bulan setelah lulus, ia diterima bekerja sebagai seorang sekretaris pada sebuah perusahaan. Sejak itu saya tidak pernah menanyakan padanya, apakah sekarang ia masih mengatakan bahwa si anu sangat beruntung dan iri hati padanya. Dan saya pun tidak pernah lagi mendengar ia berkeluh-kesah tentang keberhasilan si anu.

Begitulah manusia. Sepertinya hal-hal yang berada di luar dirinya kelihatan jauh lebih baik dan bagus daripada yang telah ada padanya. Tidak pernah puas, sering lupa bersyukur, dan setiap kali mendapatkan sesuatu, ia pasti menginginkan hal yang lain lagi. Ibnul Qayyim pernah mengatakan bahwa sifat seperti itu memang selalu ada pada diri manusia. Sebab manusia memiliki kelemahan dalam syahwat yang bersemayam. Padahal di luar dirinya masih banyak sekali orang-orang yang mengalami penderitaan yang jauh lebih berat, sedangkan mereka masih bisa memaknai hidup dengan lebih positif. Bukankah pikiran yang membawa kita pada perbuatan? Dan akar dari pikiran adalah aqidah yang benar. Maka bila akar tersebut telah terpancang kuat, ia akan membentuk pikiran-pikiran positif yang mendorong diri kita untuk berbuat yang lebih baik dalam kehidupan. Tanpa harus memandang kiri-kanan dengan perasaan iri, dengki, bahkan akhirnya bernafsu untuk saling menjatuhkan.

Ujian yang datang kepada tiap diri kita tidak pernah sama. Ia akan turun sesuai porsi kemampuan kita menghadapinya. Semakin baik kualitas keimanan seseorang, maka semakin kencang pula badai menerpa. Hal ini pasti sudah diketahui banyak orang, tapi banyak orang sering lupa bila ia sendiri yang sedang menghadapinya. Menanggapi ujian yang datang dengan lapang hati memang tidak mudah. Tapi itu adalah salah satu cara untuk menjaga keikhlasan dalam diri untuk setiap perbuatan, dan meneguhkan diri untuk menang dari segala macam ujian itu.

Saya tidak tahu mau menyebutkannya sebagai apa, tapi menurut saya, bersyukur kala ujian datang akan memudahkan kita untuk berjuang melewatinya. Sebab ketika Allah menurunkan lagi sebuah ujian pada diri kita, saat itu harusnya kita tahu, bahwa Allah menyimpan sebuah kenikmatan lagi di baliknya. Bila kita lulus, maka kenikmatan itu akan terasa jauh berkali lipat. Sesuatu yang diperoleh dengan perjuangan biasanya akan terasa lebih indah. Dan kepuasan seperti itu tidak hanya akan berakibat kenikmatan dunia, melainkan juga merupakan saham pribadi untuk membuka pintu surga. Jadi, kita semua memang harus berjuang untuk menang.

Saturday, April 22, 2006

Cantik, Tinggi, Putih ... bla ... bla ...

Apa maksudnya judul di atas?
Yah, anggap aja itu bagian dari stereotipe tipe perempuan ideal dambaan hati para pria. Ups ... tentu aja nggak semua pria mendambakan tipe perempuan seperti itu ya? Mungkin ada juga yang menyukai tampilan fisik yang berbeda dari yang tiga di atas. Kan memang setiap orang memiliki 'selera' yang berbeda dalam hal 'menikmati pandangan'.

Saya nggak membicarakan tentang profil model gadis sampul atau semacamnya. Tapi saya membicarakan soal kriteria calon istri. Nah loh?

Ceritanya ada seseorang yang menyodorkan kriteria tertentu yang diharapkan dari seorang calon istri. Kriterianya: cantik, tinggi, putih, latar belakang pendidikan sama (kalau bisa kuliah di kedokteran), kesehatan sempurna, dll. Hal ini bukan rekaan, alias benar-benar terjadi. Nah, tentu aja agak susah mencari seseorang yang memenuhi semua kriteria itu. Kalaupun ada, bukankah nggak ada seseorang yang sempurna? Dan pasti tetap saja ada satu-dua hal yang tidak 'lolos kriteria'. Mungkin giginya kurang putih? Senyumnya kurang manis? Tingginya kurang dua centi lagi?

Agak pusing juga kalau harus mencarikan permintaan yang seperti itu. Saya sendiri sih biasanya langsung 'ogah' dan akan menyuruh si pria mencari saja sendiri. Saya nggak punya pengalaman kerja sebagai agensi model atau juri kontes kecantikan dan ratu sejagad. Kalau mencari seseorang yang solehah, beraktivitas di organisasi kemasyarakatan, sudah siap menikah, dan berakhlak baik, sepertinya saya masih sanggup. Tapi mencarikan seperti yang di atas, duh, kalaupun ada, kayaknya saya khawatir ada satu-dua kriteria lagi yang tidak memuaskannya. Bukankah sudah sifat manusia selalu tidak merasa puas dengan apa yang ia dapatkan? Wallahu a'lam.

Saya seringkali bertanya-tanya sendiri: kenapa sih seseorang yang hebat seperti mbak anu tidak kunjung mendapatkan jodoh? Maksud saya hebat di sini adalah: ia punya dedikasi tinggi terhadap kegiatan keislaman, pemahaman agama baik, prestasi kerja tidak diragukan, kepribadian yang menyenangkan, dan sebagainya. Dan saya punya beberapa 'unggulan' yang memiliki semua itu. Yah, pertanyaan saya tersebut tentu sudah ada jawabannya: hanya Allah yang tahu. Saya hanya sedikit merasa terganggu dan sedih aja, ketika seorang pria melihat perempuan yang ingin dia nikahi sebatas dari penampilan fisik saja, atau penampilan yang pertama, yang lain-lain dipikirkan kemudian. Dan itu dengan alasan: fitrah seorang laki-laki. Benarkah?

Sayangnya sepertinya benar, ya? Saya begitu ingin tahu dan akhirnya bertanya kepada beberapa orang tentang hal ini. Katanya itu hal yang wajar. Mau tidak mau, saya menerima, masih dengan setengah hati. Memangnya tahan memiliki pasangan hidup yang cantik tapi bodoh? Ups ... hehe ... sepertinya saya mulai sinis. Astaghfirullahal'azhiim....

Tapi saya tidak sesedih itu sekarang. Allah menunjukkan pada saya bahwa ada juga pria-pria yang mengutamakan kriteria pertama dari yang Rasulullah SAW sebutkan tentang mencari istri: dari agamanya. Contohnya adalah yang sedang dialami oleh seorang teman terbaik saya. Saya benar-benar mengharapkannya mendapat yang terbaik. Kalaupun ia tidak terlahir sebagai seorang perempuan yang berkriteria: cantik, tinggi, putih, berat badan proporsional, maka Allah akan memberikannya seorang suami yang tidak memandang semua itu. Oh, dan sebaliknya ya. Ada juga kok perempuan yang menginginkan 'good looking' sebagai salah satu kriteria dari pasangan hidupnya. Tidak ada bias gender di sini.

Setiap orang memang memiliki kebutuhan masing-masing, yang pasti saling berbeda. Saya menyadari hal itu. Maka, saya tidak lagi bisa menyamakan apa yang ada di pikiran saya terhadap setiap orang. Yah, biar saja Allah yang menilai niat dan amal kita masing-masing di dunia.

Teringat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Hadits tersebut membicarakan tentang 'niat seseorang dalam beramal'. Yah, hadits yang sangat populer. Begini bunyinya penggalannya:

"... barangsiapa yang niat hijrahnya untuk dunia atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu untuk apa yang diniatkannya."

Begitulah. Bila mencari pasangan hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan pemuasan pandangan mata saja, maka itu yang akan kita dapat. Tapi bukankah kita menikah untuk memenuhi sunnah Rasul-Nya dan untuk memenuhi setengah dien-Nya dan untuk keselamatan dunia dan akhirat?

Subhanallah ... saya musti banyak belajar untuk merenungi lagi niat-niat yang bersemayam dalam hati saya.

Ah, saya begitu tidak bisa menahan diri sampai-sampai menuliskan uneg-uneg ini ya? Semoga bisa direnungi bersama ...

Saturday, April 15, 2006

My Dear Pren Eci

Image hosting by Photobucket



Ini foto vita bareng eci, temen di Era, yang sekarang beliau udah berpindah gawe di kuningan. Temen yang satu ini kadang suka nyebelin, karena kalo udah ngomong pasti bikin orang ketawa sampe kegelian. Ngangenin, sekaligus bikin gemes. Pertama kali kenal dia, kayaknya udah punya feeling bakal suka ama nih anak. Ups ... maksudnye ape tu? Ya...sebut aja chemistry di antara kita berdua oke banget. Hihihi ... jangan ge-er lu, ci! Tapi beneran aja deh...apalagi waktu itu, sore-sore pulang kerja, kita berdua 'dugem' di sebuah resto di jalan Wolter Monginsidi, si eci ini menyatakan rasa cintanya padaku. Huhuhuhu!!!! Apa nggak girang tuh dengernya. Dan dia sampe belagak mau muntah gitu ngomongnya. Alaaahh...kalo cinta mah bilang aja cinta! Kagak usah malu-malu begitu, ci...gue juga kok. Hehe...



Duh ... pisah sama eci? Nggak kebayang deh!!! Kalo itu sampe terjadi, hiks, kita musti sering-sering dugem mulai sekarang, ci!!!




Ujian Sekaligus Kenikmatan

Belakangan ini saya sering memikirkan sesuatu dan setiap kali sesuatu itu terlintas dalam pikiran saya, saya langsung bersyukur dan beristighfar karena seringkali lalai untuk mensyukuri apa yang telah Allah berikan kepada saya.

Sesuatu itu ada dalam kehidupan saya. Ketika saya akan menikah pada tahun 2004 lalu, sebelum saat itu tiba, ada beberapa cobaan cukup berat yang saya alami. Cobaan berat itu menimpa keluarga saya, tepat sekitar satu bulan sebelum saya mengenal suami saya (pada saat itu tentu saja "calon suami"). Pada waktu itu, saya berpikir mungkin untuk menikah, saya harus menunda saja dulu. Keadaan sepertinya belum memungkinkan. Tapi skenario Allah berjalan terus, dan saya memasuki tahap-tahap proses mencari pendamping hidup.

Saya tidak pernah sembarangan menerima seseorang yang berniat akan menikahi saya. Bila saya sudah siap, dan cara yang baik untuk memulai proses tersebut selalu saya perhatikan. Saya ingin segalanya sempurna, dari sudut pandang syariat agama tentu saja. Dan ketika akhirnya saya memberanikan untuk memulai sebuah proses, saya dihadapkan dengan orang-orang yang menguji keimanan saya. Malas juga sih menceritakannya, dan rasanya tidak perlu. Ya, sudahlah ... mungkin Allah memang ingin menguji kesiapan saya untuk menikah. Toh saya tidak dirugikan apapun, jadikan saja semua itu pengalaman saya. Walau rasa kesal tetap ada. Hehehe ... namanya juga manusia. Dengan lapang hati saya mengundurkan diri dari proses-proses tersebut, sebab sepertinya mereka butuh seseorang yang lebih cantik, lebih tinggi, lebih putih, lebih segalanya daripada saya. Ups ... keluar juga deh keselnya! (iseng mode on) Awalnya saya agak sulit menerima prinsip 'kriteria pasangan hidup' yang seperti itu. Memangnya mau cari model iklan? (hayo, vit, sabar ...) Tapi ternyata saya harus berpuas diri dengan penjelasan yang lebih masuk akal (daripada masuk emosi) dari suami saya. Tapi itu nanti saja ceritanya.

Ramadhan menjelang, dan saya berkonsentrasi untuk menjalankan Ramadhan pertama full di kantor. Mendekati sepuluh hari terakhir, Allah memberikan saya ujian lagi. Saya menjalani sebuah proses lagi, yang kali itu saya lakukan dengan setengah antusias setengah lagi tetap bersemangat. Prinsip saya, kita tidak akan pernah tahu apa yang sedang Allah persiapkan untuk hidup kita, jadi jalani saja dengan tenang. Dan ternyata, proses itu berjalan lancar (di luar dari dugaan saya sebelumnya), bahkan agak terlalu lancar, saya sampai heran sendiri dan tahu-tahu laki-laki itu sudah datang di rumah saya untuk meng-khitbah saya di hadapan ayah dan ibu. Wah, tampaknya serius nih ... Saya menjalani itu di kala hari-hari terakhir Ramadhan berlangsung. Dan Allah memberikan kado Ramadhan yang terindah kepada saya.

Tahun pertama pernikahan sudah saya lewati. Tentu saja muncul cobaan-cobaan yang lain lagi dalam kehidupan saya. Memulai segalanya dari bawah. Tapi saya menguatkan diri, sebab saya kan tidak sendirian sekarang. Dan saya tahu, kalau ingin bahagia, kita harus berusaha. Kadang saya memang melihat sedikit kesedihan dari raut wajah orang tua maupun keluarga saya yang lain. Mereka mungkin tidak menyangka saya akan melewati hari-hari saya seperti itu, karena biasanya kan saya tenang-tenang di rumah. Saya sendiri tidak pernah menganggap hal itu sesuatu yang mengganggu. Mereka saja yang tidak terbiasa. Pindah dari satu kontrakan, lalu ke kontrakan yang kedua, dan akhirnya menempati rumah sendiri di bilangan Bintaro. Subhanallah ... betapa Allah memudahkan kami berdua. Rasanya rezeki dan nikmat itu mengalir terus-menerus.

Tahun ini, Allah memberikan kami sebuah cobaan lagi. Tahu kan, beradaptasi di tempat yang baru adalah sebuah tantangan yang berat. Tapi kalau menguatkan tekad dan yakin, pasti selalu bisa dilewati. Santai aja, sepertinya saya menjadi lebih plegmatis lama-kelamaan.

Tahun ini, akan ada lagi yang kami berdua akan lewati. Dan ini menjadi 'hadiah' setahun pernikahan kami sepertinya. Mendapatkan kenikmatan yang besar, sekaligus cobaan yang juga besar, mungkin. Suami saya berkali-kali bertanya, "Siap nggak?" dan saya berkali-kali menjawab, "Kalau nggak siap, aku pasti udah bilang 'nggak' sejak awal." Dan memang begitu. Saya siap untuk melakukan apa saja yang terbaik dan untuk kemajuannya. Tentu saja. Saya kan mencintainya. (gombal mode on)

Begitulah. Hidup terus berjalan dengan skenario yang telah dituliskan Allah pada setiap garis hidup manusia. Mau tenang? Jalani saja dengan lapang hati dan terus berusaha meraih yang terbaik. Allah tidak akan memberikan sesuatu cobaan yang di luar kesanggupan kita. Bismillah ...


Makin penasarankah? Hehehe ...

Sunday, April 09, 2006

Siap-siap ...

Biasanya ketika seseorang akan melalui sebuah perubahan, maka akan ada berbagai macam godaan yang menghalangi. Padahal mungkin perubahan tersebut akan membawa kebaikan, kemajuan, dan merupakan kesempatan untuk meraih penghidupan yang lebih baik. Dulu, saya mungkin akan berpikir berkali-kali sebelum memutuskan untuk berubah. Saya termasuk seseorang yang sangat cinta kemapanan, dalam bentuk apapun. Cari aman aja deh. Tapi sekarang, rasanya saya begitu bersemangat untuk segera berubah. Hehehe... berubah apanya ya? Rasanya sih sebentar lagi akan ada perubahan dalam kehidupan saya. Saya sama sekali tidak keberatan menjalaninya. Toh ini kan demi cinta.

Hehehehe ... sok romantis? Emang!
Penasaran? Tunggu aja!

Thursday, March 23, 2006

"Berpisah"

Menjelang cinta,
Hatiku terkubur dalam keheningan yang tercipta
Oleh desir hasratku memilikinya,
Cinta,
Tiada penghalang batinku meminta.

Menjelang cinta,
Hembusan napas menjadi derita
Saat lelah merusak raga,
Cinta,
Aku tak bisa berbuat apa-apa.

Walau genap jiwaku merana,
Dan hitungan hari memisahkan kita,

Percayalah,
Di mana kau,
Di situ aku ada.

(24 Februari 2006)

Monday, March 13, 2006

World Book Day 2006

Kamis, 2 Maret 2006

Saya tergopoh-gopoh memasuki gerbang Depdiknas sambil menenteng sebuah kantong plastik besar dan dua buah styrofoam yang sudah disulap menjadi mading foto dan buletin. Jam menunjukkan pukul 10.30 (kira-kira), dan sepertinya FLP’ers lain yang sudah datang sejak pukul 9 pagi menunggu saya. Ada satu buah missed call dari Koko Nata. Semua barang-barang display dari FLP Bekasi memang saya yang pegang. Feeling guilty juga. Hanya karena sudah lama nggak berangkat dari Bekasi (saya kan sekarang tinggal di Bintaro), dan lupa bahwa tol selalu saja MACET, akhirnya jadi telat satu setengah jam.

Saya teringat tadi malam, tiba-tiba HP saya berdering dan muncul nomor tak dikenal.
“Halo, Vita, ini Dala, Vita.” Mbak Dala menelpon untuk menanyakan apa saya bisa membawa karpet atau tikar. Kesempatan itu saya gunakan untuk menanyakan detail stan dan barang-barang apa yang bisa dipajang. Mbak Dala menyambut antusias ketika saya bilang bahwa saya akan bawa dua styrofoam berisi foto dan buletin. Beliau juga menanyakan soal brosur berisi profil FLP pusat, dan akhirnya menyambut antusias lagi ketika saya bilang saya sudah memfotokopi brosur FLP Bekasi (karena hanya itu yang ada) dan buletin MOZAIK. Hmm … tampaknya persiapan menghadapi World Book Day sangat kurang. Saya bersyukur bahwa tahun ini sie dokumentasi dan buletin FLP Bekasi menjalankan tugasnya dengan baik (thanks to Nadiah n all MOZAIK Crew!). Setidaknya tahun ini kami berhasil menyumbangkan sesuatu, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya.

Ruangan Hall A Depdiknas dari kejauhan sudah tampak ramai. Spanduk-spanduk dibentangkan sejak di luar pagar sampai pintu masuk. Lokasi yang sangat strategis. Menginjakkan kaki di ruangan besar itu, saya terpana. Waaah … sudah ramai juga! Malah kursi-kursi di depan panggung utama (yang tepat berada di tengah-tengah ruangan) sudah terisi hampir penuh. Stan-stan pameran tersusun membentuk huruf U mengelilingi panggung, dan sepertinya nyaris tak ada yang masih kosong. Saya kebingungan, duh … stan FLP sebelah mana ya? Bukannya berjalan ke meja informasi, saya malah berjalan ke arah kiri, mengitari hampir semua stan sambil celingukan mencari-cari. Para penjaga stan tersenyum-senyum melihat saya. Wah, ada penjaga stan yang datang telat nih, mungkin begitu pikir mereka. Dulu, jaman saya masih suka jaim, saya pasti sudah panik dan berjalan mengendap-endap. Tapi karena sekarang sepertinya saya sudah lebih plegmatis, maka saya dengan cuek berjalan pelan-pelan sambil membaca satu per satu nama stan tersebut. Akhirnya saya kembali ke depan, dan bertanya ke bagian informasi. Yap. Ternyata stan FLP tercinta itu letaknya di sebelah kanan, di samping panggung, hampir di pojok pas di sebelah stan Rumah Dunia (yang penataannya cukup keren, disamping mereka dapat stan yang agak lebih luas). Sampai di sana, saya nyengir lebar pada Echa dan Elshi (dua orang rajin dari FLP Jakarta) dan berkata, “Hihihi … aku hampir nyasar, nih!”

Dua buah styrofoam yang saya bawa (dengan cemas, karena takut nggak boleh dipajang) ternyata disambut gembira oleh mereka. Stand mungil itu ternyata masih bisa dihias lebih heboh lagi. Sebuah kursi panjang, dua buah kursi standar dan sebuah meja tak terlalu besar yang semuanya terbuat dari bambu. Semua benda itu telah diisi oleh buku-buku pameran pinjaman dari Rumah Cahaya. Tak ada tempat duduk, dan akhirnya Koko Nata (FLP Depok) membeli alas duduk yang terbuat dari busa warna-warni yang bisa dilepas-pasang. Saya menempelkan mading foto dan buletin FLP Bekasi di sebuah pembatas stan (yang juga terbuat dari bambu). Pas sekali memang, dan rasanya panitia cukup mengerti bahwa semua peserta pasti membutuhkan tempat untuk memasang mading atau entah apa. Tadinya saya pikir kedua styrofoam itu akan diletakkan begitu saja di lantai bersandarkan kursi atau meja. Dan karena stan tersebut pas berada di bawah perpustakaan, tembok yang menjadi pemisah antara lantai satu dan perpustakaan dapat digunakan untuk menempelkan sesuatu (dan kedua orang rajin itu pasti sudah susah payah menempelkan buku-buku dari RumCay dengan double tape hingga terpajang dengan manis). Jadi lokasi dan bentuk stan sebenarnya sangat nyaman dan cukup fasilitas. Tadinya saya mendapat informasi bahwa stan tidak dapat dihias banyak sebab sangat sempit, dan tidak ada tempat untuk memajang sesuatu. Wah, lain kali tim survey musti lebih jeli lagi memberi informasi.

Dengan penuh kesederhanaan dan sedikit kreativitas (lagi-lagi dari Echa, Elshi, dan akhirnya kami semua turut membantu), stan itu telah siap. Tapi sepertinya kami semua tidak bisa bersempit-sempit di dalamnya, sebab akan menghalangi orang-orang yang akan masuk.

Orang-orang berdatangan, walau belum terlalu banyak. Kami membagikan profil FLP Bekasi, MOZAIK, dan pembatas buku dari LPPH. Ketika ada yang bertanya tentang FLP, saya, Koko, atau Evin (bener nggak tulisannya?) dari FLP Jakarta, menjawab sebisa kami, dan memberikan nomor kontak FLP Pusat dengan menuliskannya pada brosur, kertas yang mereka bawa, atau di balik pembatas buku. Sebab yang tertera di brosur FLP Bekasi yang nomor kontak kami saja. Sebuah teguran lagi untuk persiapan yang lebih matang. Tapi saya sendiri, terus terang saja, sangat senang menghampiri-menjawab-dan berpromosi ini itu pada pengunjung stan.

Seorang bapak berumur sekitar 50-an tahun menghampiri stan, dan bertanya pada Fitta atau Nonon (dari FLP Bekasi) yang langsung memanggil saya. Beliau mengaku berasal dari Komunitas Radio (sebuah komunitas independen yang entah resmi entah tidak). Setua itu beliau masih siaran dan katanya akan melaporkan kegiatan di WBD ini termasuk beberapa stan yang menarik.

“Oh, iya, saya akan membacakan profil stan pameran termasuk Lingkar Pena ini.”

Aha! Saya mendapat peluang menjalin relasi lagi. Dengan bersemangat saya menceritakan kegiatan FLP secara umum, cabang-cabangnya, dan lain-lain. Beliau tertarik sepertinya. Dan berkata,

“Dari dulu saya sudah menulis. Sejak kelas 4 SD. Tapi sekarang sudah tidak menulis lagi. Yang jelas saya sangat mendukung kegiatan membaca dan menulis seperti ini. Forum Lingkar Pena ya … bagus. Bagus sekali.”

“Sekarang nggak nulis lagi? Dimulai lagi dong, Pak …” ujar saya.

“Ya … ya … saya akan menulis lagi.” begitu katanya. Dan ia pun berpamitan, setelah sebelumnya mengatakan akan menghubungi kami suatu saat nanti.

Beberapa orang yang bertanya untuk diri sendiri, mewakili instansi atau untuk kepentingan lain, mereka yang meminta ijin untuk mengambil gambar untuk koleksi atau membuat liputan, semuanya adalah peluang untuk menjalin dan melebarkan jaringan kepada komunitas lain. Sebuah peluang bagus sekali untuk lebih ‘memasyarakatkan FLP’, begitu pikir saya. Tetapi kemudian saya memperhatikan kondisi stan itu (yang sampai sore belum terpasang sebuah logo pun), lalu beberapa orang penjaga stan. Teringat Fitta dan Nonon yang beberapa kali memanggil saya untuk meladeni pengunjung (wajar sih, mereka memang anggota baru), atau Echa yang berkata, “Harusnya yang jaga stan itu orang-orang yang te-pe (=tebar pesona). Nggak kayak kita yang nggak bisa te-pe.” Betul juga, pikir saya. Sehingga pengunjung akan tertarik (atau nggak enak buat nolak dan akhirnya masuk), mendapatkan brosur, dan melihat bahwa FLP sudah membuahkan banyak sekali buku-buku. Saya ingat seorang perempuan muda yang berkomentar,”Jadi itu semua buku-buku dari penulis FLP?” sambil menunjuk kursi-kursi dan tembok yang dipenuhi buku. Itu belum semua, batin saya.

Selepas istirahat dan salat, saya berjalan-jalan berdua Nonon mengitari ruangan besar yang semakin panas karena mulai dipenuhi pengunjung. Walau tidak sepenuh ketika datang ke Bookfair, tapi saya benar-benar bersemangat. Rasanya seperti ada di surga … hehehe. Saya sangat suka berada di antara buku-buku dan orang-orang yang menyukai buku. Dan beberapa stan memang ditata dengan sangat menarik. Stan dengan penataan terunik menurut saya adalah stan klub penggemar Lord of The Rings (entah apa nama perkumpulannya) dan stan klub penggemar Karl May. Si penjaga stan LoTR bahkan mengenakan jubah abu-abu dengan tudung kepala yang dibuka, menghias pintu masuk dengan gerbang daun, memajang beberapa souvenir khas LoTR, buku-bukunya, dengan standing banner yang cukup besar. Demikian juga dengan klub Karl May, yang menebarkan buku-buku edisi lama dan baru, versi komik dan novel, terbitan dalam dan luar negeri, serta sebuah lantai kosong berwarna kotak-kotak hitam-putih (seperti lantai kamar mandi) dengan sebuah kakus mainan di atasnya dengan sebuah benda berwarna aneh menyerupai otak manusia. Tulisan di bawahnya kira-kira berbunyi “kalau tidak membaca maka otak anda seperti ini”. Saya cengengesan memandangi kakus itu. Hebat sekali idenya.

Begitulah. Kadang sebuah peluang akan pergi ketika kita tak cekatan menangkapnya. Tapi sekali lagi saya menyayangkan tidak adanya koordinasi FLP Wilayah DKI Jakarta dan sekitar untuk WBD ini (maksud saya secara resmi atau diprogram). Walau mungkin, menurut Koko, ini adalah tugas FLP Pusat, tapi saya sendiri menganggap wilayah DKI-lah yang seharusnya dengan otomatis merasa bertanggung jawab akan pengalihan tugas tersebut. Apalagi event seperti ini akan berulang tiap tahun. Bukan hanya itu, saya juga menyayangkan sedikitnya (atau bahkan tidak ada?) inisiatif pengurus FLP Wilayah DKI Jakarta dan sekitar (yang baru melakukan satu kali koordinasi atau pertemuan pembentukan atau apalah namanya, selama beberapa bulan sejak terpilihnya ketua) untuk berkoordinasi (mengenai hal ini dan lainnya) ketika sang ketua sedang berhalangan. Sayang sekali, ya. Tulisan ini sekaligus menegur diri saya sendiri. Bagaimanapun, ini kan amanah …. Semoga kita semua bisa berbuat lebih baik lagi.

Sama sekali nggak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 14.35 ketika saya melirik jam, dan saya langsung berlari kecil kembali ke stan FLP. Segera berpamitan ke seluruh penjaga stan FLP (yang sedang asyik duduk membaca buku, atau bengong), sebab jadwal bus Trans Bintaro yang akan lewat adalah pukul 14.50. Terlambat beberapa detik saja, maka saya harus menunggu lagi sampai sore. Kata Echa, “Tumben banget ada bus tepat waktu kayak gitu.” Saya pun memamerkan jadwal bus Trans Bintaro yang selalu saya bawa ke mana-mana. Lalu saya pun meninggalkan empat orang cewek manis itu. Echa dan Elshi harus menunggu Koko kembali dari Depok (katanya mau cetak standing banner), sebab penjaga shift kedua belum jelas. Sabar ya Cha, Shi, … kalian mustinya dapat penghargaan anggota FLP ter-rajin. Hehehe….


Menjadi Ruh

Sewaktu kuliah, sejak tingkat pertama saya mendapatkan amanah untuk menjadi bagian dari departemen pembinaan mushola fakultas. Tugas yang harus dilakukan adalah di antaranya menyelenggarakan event keislaman yang diadakan setiap awal semester perkuliahan. Pasca kegiatan itu, kami harus menangani beberapa kelompok mentoring di fakultas yang telah terbentuk. Menjaganya agar tetap stabil, merekrut anggota baru, dan melaksanakan kegiatan-kegiatan pendukung. Aktivitas di departemen pembinaan ini bisa dikatakan cenderung monoton dan tidak kelihatan. Sebab memang tanggung jawab kami adalah untuk menjaga seluruh anggota kelompok mentoring agama Islam supaya meningkat pengetahuan keislamannya, sekaligus melibatkan mereka dalam acara-acara kerohanian fakultas, baik dari lembaga manapun.

Saya ingat sekali, pada waktu disodori amanah tersebut, saya hampir menolak karena saya lebih suka mengerjakan pekerjaan yang sifatnya keluar, seperti yang dilakukan para anggota departemen pengkajian atau syiar mushola. Hobi saya menulis, mengerjakan pernak-pernik, membuat mading, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu sepertinya mendukung saya untuk berada dalam departemen pengkajian mushola. Tetapi akhirnya saya menerima amanah untuk menjadi bagian dari departemen pembinaan, untuk empat tahun masa perkuliahan saya di kampus.

Betul sekali. Hingga saya lulus dari kampus, saya tidak diperkenankan melepaskan amanah tersebut, bahkan ketika saya berkeinginan untuk bergabung dengan lembaga dakwah tingkat universitas. Memang tugas yang akhirnya saya emban semakin berat, sebab tidak saja menjadi anggota departemen pembinaan, melainkan juga akhirnya menjadi ketua forum mentor, dan amanah-amanah lain yang berkaitan dengan itu. Saya juga menyadari, bahwa amanah yang cukup berat seperti itu tidak bisa disambi dengan yang lain, sebab hanya akan menjadikannya terbengkalai.

Jenuh. Saya sempat merasakannya. Apalagi ketika posisi saya tidak lagi menjadi seorang ‘bawahan’. Menghadapi anggota yang sedikit malas, tidak mengerjakan amanah dengan baik, merasa tidak kreatif dan tidak memiliki ide untuk memecahkan masalah, dan setumpuk lainnya yang pastinya saya selalu hadapi. Empat tahun. Dan saya tetap bertahan. Bahkan saya menemukan sebuah lingkungan baru, walau masih dalam amanah yang sama, dimana ketua dan para anggotanya memiliki hubungan yang saya dekat. Saya menjadi bagian dari departemen pembinaan tingkat universitas. Saya selalu ingat, bahwa ketika akhirnya saya kembali menjadi ‘bawahan’, saya dan teman-teman pun terkadang membandel. Tapi si ketua sungguh memiliki cara sendiri untuk membuat kami makin mencintai amanah tersebut. Saya tidak pernah akan melupakan saat-saat terakhir menjalani amanah itu, hingga saya lulus kuliah, bekerja dan melepaskan amanah itu untuk kepengurusan selanjutnya.

Tahun 2004 akhir, saya mendapatkan amanah baru lagi, dalam bidang yang sangat berbeda dari yang pernah saya jalani di kampus. Tetapi keikutsertaan saya dalam organisasi ini sungguh merupakan hal yang saya sangat inginkan. Saya bergabung dengan Forum Lingkar Pena cabang Bekasi. Niat saya bergabung adalah ingin belajar dan menggali ilmu sebanyak-banyaknya dari pertemuan rutin yang biasa dilakukan. Tetapi ternyata Allah memberikan saya amanah yang cukup besar lagi kepada saya. Saya menjadi ketua FLP Bekasi. Membawahi kepengurusan yang langsung dibentuk setelah pembentukan kembali FLP Bekasi, dan melakukan perekrutan serta memberikan pelatihan kepada anggota baru. Berarti termasuk untuk diri saya sendiri.

Duduk melingkar di selasar masjid Islamic Center Bekasi setiap dua minggu sekali, membahas beberapa topik kepenulisan, membuat games dan simulasi seadanya, berusaha menjaga kuantitas peserta training, dan memberikan motivasi kepada mereka untuk menulis. Setahun pertama benar-benar tidak mudah. Kepengurusan pun direstrukturisasi ketika tengah tahun pertama karena ada beberapa yang tidak efektif. Anggota datang dan pergi, materi training diberikan dengan coba-coba sebab kurikulum dibuat sendiri, saya berjalan hampir terseok-seok dan merasa sulit sekali memberikan pencerahan dan pengembangan bagi organisasi ini.

Sempat suatu kali, ketika saya mengisi materi di pertemuan rutin itu, saya berada dalam kondisi yang nyaris ‘di bawah’. Saya merasa jenuh, sedikit kecewa dengan keaktifan pengurus yang hanya beberapa gelintir saja, namun harus dengan ceria menghadapi anggota yang masih antusias hadir dan menimba ilmu. Alhamdulillah, pada tahun pertama jumlah anggota yang rutin hadir sekitar lima belas orang. Dan itu berjalan cukup stabil, walau sempat berganti-ganti muka. Tetap saja, saya merasa stagnan dan nyaris tidak tahu harus berbuat apalagi untuk membuat organisasi ini lebih dinamis. Saya merasa sangat bosan.

Pada hari itu, malam harinya, saya merenungi kembali dua jam training yang telah saya hadiri di siang harinya. Saya sedang mencoba menata kembali hati saya dan berintrospeksi. Tiba-tiba saja sebuah sms masuk.

“Teh Vita, selama ini saya sering merasa jenuh dan tak bersemangat dengan segala kesibukan saya. Tapi hari ini saya sadar bahwa tugas seorang ketua sungguh lebih berat. Ia harus menjadi ruh bagi para anggotanya. Tetep semangat ya, Teh! Cayo!”

Saya tertegun cukup lama. Pesan itu datang dari Adnan, salah seorang anggota yang cukup komit dan sebenarnya cukup sering memberikan saya semangat seperti itu lewat sms. Kali itu Adnan bukan saja memberikan saya semangat, melainkan juga memberikan sentilan bagi diri saya.

Menjadi ruh. Istilah tersebut terngiang-ngiang terus-menerus. Dan saya tidak lagi merasa berat dan payah akan beban yang tadinya sempat membuat saya hampir ‘terjatuh’. Kalau saya bisa memberikan semangat kepada teman-teman saya di organisasi, dan apa yang saya sampaikan bisa menyuntikkan motivasi bagi mereka, sepertinya saya yang akan merasa benar-benar bahagia.

Memang benar, sebuah jamaah tidak akan bisa bergerak tanpa seorang pemimpin. Dan seorang pemimpin tidak akan bisa melaksanakan tugasnya tanpa jamaah yang taat kepadanya. Pemimpin selemah apapun akan mampu melakukan tugasnya bila dibantu oleh jamaah yang kuat dan mendukungnya. Dan saya perlu menambahkan, bahwa sebenarnya yang menjadi ruh bukanlah hanya seorang pemimpinnya saja. Bahkan seringkali ruh itu didapat dari para anggota yang, secara sadar atau tidak, turut andil memberikan semangat di kala pemimpin sedang lemah.

Tuesday, February 28, 2006

Surabaya, Desember 2005

Image hosting by Photobucket



ki-ka : Ibuku sayang (mertua), My Dear Hendy Ferdian, diriku, dan Femmy



di Resepsi pernikahan Oki-Pipit (sepupunya suami), Surabaya




STIKOM Surabaya, Desember 2005

Image hosting by Photobucket




Bertigaan di Auditorium STIKOM Surabaya. Yang di tengah itu Femmy, si nakal adek iparku. Hehehe ...



Selamat ya, Fem ... jangan nakal2 lagi...

My Dear Cousin Anya




Image hosting by Photobucket



Anya emang selalu ngangenin. Rambut kritingnya, suara cemprengnya, senyum centilnya, pelukannya pas ketemu, pose-nya kalo difoto, semuanya deh!



Anak ini selalu jadi inspirasi. Seringkali kalo lagi keinget dia, sampe kebawa mimpi segala, ternyata dia lagi sakit or kenapa-kenapa. Kali ini juga gitu, keinget terus sama Anya. Mudah-mudahan gak ada apa-apa sama bidadari kecil itu, ya.



Siang ini mau nelpon Anya ah ....






Wednesday, February 15, 2006

The Great Teachers

Beberapa kali saya sempat menyaksikan sebuah film produksi Jepang tentang kehidupan para guru di sebuah sekolah. Tokoh utama film tersebut adalah seorang guru laki-laki yang bergaya nyentrik dengan sikap yang terkesan seenaknya, tidak serius, dan tampak tak baik menjadi teladan bagi murid-muridnya. Berbagai intrik akibat sikap culas dan iri para guru lainnya pun muncul ketika ternyata guru tersebut menjadi favorit murid-murid di sekolah tersebut. Mereka tak habis pikir, kebaikan apa yang ada pada diri guru nyentrik tersebut hingga murid-murid begitu memujanya. Kedengkian itu terus muncul tak hanya dari guru-guru di sekolah tersebut, melainkan juga sekolah elit lainnya dan juga dari pihak departemen pendidikan. Alhasil, si guru dikeluarkan dari sekolah dengan alasan yang dibuat-buat, dan sekolah tersebut difitnah hingga nyaris dihancurkan demi kepentingan pihak departemen pendidikan dan sekolah elit tersebut. Namun kesetiaan dan semangat para murid demi membela si guru menggugah para orang tua murid serta guru-guru lain yang tadinya tak menyukainya. Kehancuran sekolah tersebut akhirnya digagalkan oleh pengorbanan dan jerih payah seluruh murid dan guru sekolah, yang dipimpin oleh si guru nyentrik itu.

Pada awalnya, si guru nyentrik mendapat reaksi keras dan berbagai alasan ketidaksukaan seluruh sekolah terhadap dirinya. Memang benar, ia sering bertindak seenaknya (dengan memanfaatkan ruang kepala sekolah untuk tidur siang), berpenampilan nyentrik (mengajar di depan kelas hanya dengan menggunakan kaos oblong), dan terkesan tidak tahu malu (bersenang-senang di dalam sekolah walau ia mendapat hukuman tidak boleh mengajar dan harus membersihkan kamar mandi). Tetapi ia dapat membuktikan bahwa ia pantas diperhitungkan sebagai seorang guru, dengan menolong satu per satu muridnya dari bahaya maupun permasalahan yang mereka hadapi. Ia bahkan mengorbankan dirinya dicemooh orang lain demi sikapnya itu, dan bahkan sempat nyaris tak selamat dari upaya percobaan pembunuhan. Hasilnya, murid yang paling membencinya pun berubah pandangan. Sebuah kalimat yang saya ingat diucapkan oleh murid-muridnya adalah, “Kami bersedia melakukan apa saja untuk Onisuka. Kau pasti mengerti apa yang dimaksud dengan ‘apa saja’.” Film yang amat mengharukan.

Saya teringat, entah sudah berapa banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh para guru di sekolah terhadap murid-muridnya. Entah dengan latar belakang apa, sikap demikian bukannya akan menambah kecerdasan murid, melainkan akan menimbulkan dampak psikologis berkepanjangan. Saya tak tahu, apakah hal tersebut disadari atau tidak. Kasus-kasus tersebut hanyalah terkuak sebagian, entah berapa banyak yang sesungguhnya telah terjadi. Sebut saja, kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh guru di dalam kelas. Ketika saya bekerja sebagai pekerja sosial di sebuah LSM, beberapa orang murid sekolah dasar datang bersama orang tua mereka, mengadukan pelecehan yang dilakukan oleh guru mereka di sekolah. Sepertinya memang tidak ada luka fisik yang diderita, tetapi saya memuji keberanian mereka mengadukan kasus tersebut untuk mencegah terjadinya hal-hal yang lebih buruk. Dan, bayangkan saja, pelecehan tersebut dilakukan di dalam kelas di depan murid-murid lain saat pelajaran berlangsung. Anak-anak usia sekitar 8-10 tahun tersebut menceritakannya dengan semangat dan seru sekali pada saya, seolah tak ada kejadian buruk yang menimpa mereka. Trauma masa kecil biasanya akan mengendap untuk beberapa lama, dan kemudian muncul di saat dewasa dengan menampakkan dampak-dampak tertentu terhadap perilaku mereka terhadap diri sendiri maupun orang lain. Teori psikoanalisa dari ilmuwan terkenal, Sigmund Freud, sepertinya bisa dijadikan salah satu dasar pemikiran yang harusnya membuat para pendidik dan kita semua cemas. Akan jadi seperti apakah anak-anak itu kelak?

Jangan tanyakan mengenai kasus kekerasan fisik, sebab sudah tak terhitung lagi banyaknya. Setiap hari program penyiaran berita di semua saluran televisi menayangkan berbagai kisah yang mencengangkan, nyaris membuat bosan. Sekitar tahun 2000-an, saya mendapati beberapa buah kasus saja per bulan dalam catatan rekam medis di LSM tempat saya pernah praktek kerja. Tetapi dua tahun setelahnya, sepertinya LSM tersebut kekurangan petugas untuk menanganinya. Dan tahun 2005-2006 sekarang ini, entah apa yang membuat isu ini menjadi marak kembali, dan semua media berlomba mencari kasus baru yang lebih menghebohkan. Terlepas dari peran media yang kadang membesar-besarkan hal ini, coba tengok kasus kekerasan fisik yang dilakukan oleh para guru di sekolah, dan tanyakan pada diri masing-masing: pernahkah kita mengalaminya? Jangan bayangkan kejadian pemukulan hingga luka parah, atau semacamnya. Hal-hal sederhana, seperti mencubit, menarik rambut, memukul dengan penggaris, dan lainnya pun bisa dikatakan sebagai bentuk kekerasan fisik. Bagaimana dengan kekerasan non fisik, contohnya dalam bentuk pelontaran kata-kata makian dan cacian? Sadarkah bahwa sebuah kalimat makian atau umpatan pun menghasilkan dampak yang sama terhadap anak? Lalu, jangan heran bila beberapa tahun mendatang negeri ini akan penuh dengan orang-orang dewasa serta anak-anak yang suka memaki, berkata kasar, dan bersumpah serapah. Bukankah anak belajar dari orang dewasa yang dekat dengannya? Apalagi bila orang dewasa tersebut adalah seorang guru yang selama berjam-jam dalam sehari berinteraksi dengannya.

Saya teringat seorang sepupu kecil saya yang dengan sengaja ’menjatuhkan’ nilai salah satu mata pelajarannya di sekolah, hingga nyaris meraih angka merah. Sedangkan nilai-nilai lainnya nyaris sempurna. Ia dengan sengaja tak mau memperhatikan pelajaran tersebut di kelas, tak mau mengerjakan pekerjaan rumahnya, dan hal itu sempat menyebabkan amarah kedua orang tuanya. Ia pun mengejutkan ayah ibunya ketika memberikan alasan bahwa: pak guru pelajaran itu sadis, suka menyakiti dan berkata kasar. Sikap pak guru itulah yang menyebabkannya tidak menyukai pelajaran tersebut, bukan karena ia tidak tertarik terhadapnya.

Film yang saya tonton itu berjudul The Great Teacher Onisuka. Mungkin bagi sebagian orang film itu hanyalah salah satu tontonan biasa seperti halnya sinetron-sinetron Indonesia. Tapi bagi saya, membayangkan bersekolah di tempat dimana para guru mengajar dengan semangat dan penuh kecintaan terhadap murid-muridnya, dan para murid belajar dengan penuh kebanggaan terhadap sekolahnya, sungguh indah dan pasti menyenangkan.

Walaupun Jepang terkenal dengan sistem pendidikannya yang ketat, dan terdapat sejumlah kasus bunuh diri yang dilakukan para siswa akibat stres, namun sisi baik dari keberhasilan mereka menanamkan kecintaan para murid untuk belajar dan kecintaan para guru untuk mengajar, patut dicontoh. Saya rasa, di setiap kejadian pastilah terdapat sebuah hikmah yang bisa diambil. Toh, memang mereka dapat memetik buah hasil dari perhatian besar mereka terhadap pendidikan di negeri itu. Seperti halnya murid-murid dan para guru di sekolah dalam film itu, yang akhirnya menyadari kecintaan mereka terhadap sekolah mereka.

Sepertinya nyaris tak mungkin menemui keadaan seperti itu sekarang ini. Entah apabila film tersebut dibuat berdasarkan kisah nyata yang terjadi di Jepang. Tetap saja, menurut saya, sesuatu tak mungkin terjadi bila tidak dimulai. Dan memulai sesuatu sendirian tanpa adanya dukungan dari lingkungan biasanya akan perlahan memudarkan semangat dan idealisme itu. Dan yang menjadi pionir biasanya akan menemui ujian sekeras batu karang, bahkan untuk waktu yang tak bisa ditentukan lamanya. Buah kenikmatan memang tidak bisa diraih dengan mudah, dan perjuangan serta pengorbanan yang dilakukan untuk meraihnya akan menambah kenikmatan buah tersebut nantinya. Tidak hanya harapan dan keyakinan saja yang diperlukan, usaha keras dan dukungan benar-benar menjadi kebutuhan riil untuk mewujudkan sebuah mimpi.

Terjebak Perangkap Setan

Manusia seringkali melakukan hal-hal yang membawanya dekat kepada kemaksiatan tanpa disadari. Akibat seringnya memaklumi sebuah kesalahan kecil yang diperbuat. Padahal tumpukan dosa-dosa kecil itulah yang menjadi awal ‘ketertarikan’nya terhadap dosa yang lebih besar, dan lebih besar lagi. Ibaratnya seseorang yang berbohong, ia akan berbohong untuk kedua kalinya untuk menutupi kebohongan yang pertama, dan kemudian berbohong lagi untuk menutupi kebohongan kedua, dan begitu seterusnya sampai batas dimana ia tak lagi sanggup berbohong sebab tak lagi ada orang yang mempercayainya, atau karena ia tak bisa membedakan mana kejujuran mana kebohongan. Kebaikan dan kebatilan pun dengan mudah menjadi hal yang sama dalam pandangannya. Kebohongan bisa disamakan dengan kemaksiatan apapun, yang akan menjelma menjadi lingkaran setan yang menjerat manusia manapun yang terperangkap di dalamnya.

Perangkap setan itu diciptakan khusus untuk manusia yang tidak mau bersikap waspada dan menjaga diri. Ia terbuat dari sepuh emas dengan harum semerbak bagai bunga cantik penuh madu menarik lebah. Siapapun akan tergoda olehnya. Memang demikianlah sebuah kemaksiatan dibungkus oleh tampilan memikat. Sehingga untuk sesaat, kita akan langsung terpikat dan jatuh dalam lubang hitam, bila tidak menghindarinya. Dan setan pun tertawa. Sekali lagi mereka berhasil menarik manusia untuk menjadi bagian dari golongannya. Dan golongan setan itu akan berbaris rapi menuju neraka, dimana bahan bakarnya terbuat dari batu dan manusia. Semakin banyak, dan semakin banyak lagi, menjadi penghuni kerak neraka.

Padahal peringatan tentang perangkap setan itu telah disebut berkali-kali dalam Alquran. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secaa keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.“ (Al Baqarah, Qs.2:208)

Jangan mengira perintah menaati syariat Allah hanya sebatas melaksanakan salat lima waktu, berpuasa, dan berzakat saja. Padahal seluruh sisi kehidupan kita di dunia telah diatur sampai hal-hal yang paling kecil. Dan semua itu adalah untuk kebaikan manusia sendiri. Tetapi, tentu saja, sebuah kebaikan dan perintah agama rasanya akan seperti memakan buah berduri dan melihat sebuah tampilan tak menarik bahkan mungkin dihindari sebab dirasa menyusahkan dan mengekang kebebasan. Lantas berpikir bahwa kehidupan dunia dan akhirat akan selamat hanya dengan menjalankan perintah-Nya sesuai kehendak hati, bila tak berkenan bisa ditinggalkan. Masihkah bertanya tentang perangkap setan padahal sudah jelas-jelas terlihat di sekeliling kita?

“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.“ (Al Baqarah, Qs. 2:204)

Belakangan ini sepertinya terkuak sebagian dari perangkap setan itu, dan bila mata hati kita jeli, pasti dapat dibedakan dengan jelas mana yang haq dan batil. Memang apa yang ditampilkan dalam media cetak dan elektronik dapat dengan mudah merasuk dalam benak setiap orang. Pembentukan opini mengenai berbagai hal pun terjadi dengan cukup mudah, namun tidak bagi orang-orang yang mau berpikir sebelum meyakini. Benarkah sebuah klaim kebebasan berpendapat dan kebebasan memilih jalan hidup dapat menjadi jaminan akan sebuah kebebasan yang sesungguhnya? Atau pada saat itu kita akan terjebak pada nafsu kapitalisme para pedagang yang berusaha membuat arus baru sebuah modernisasi, lantas mengajak sebanyak-banyaknya manusia untuk menjadi saksi dan pelaku tren mode kehidupan. Sedangkan pada saat yang bersamaan, aqidah serta akhlak dihancurkan sehancur-hancurnya, hingga tak berbekas. Bila hal ini berlangsung terus selama beberapa lama tanpa ada perbaikan, kelak akan terbentuk generasi model baru pengusung nilai-nilai yang ingin mereka tanamkan itu.

Bukankah sudah jelas peringatan Allah dalam surat An-Naas:
Katakanlah,“Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.


Wallahu a’lam

Meyakini Kekafiran

Konon katanya bulan Februari dinyatakan sebagai bulan kesuburan dan cinta. Asosiasi tersebut sudah ada sejak dulu. Menurut kalender Athena kuno, periode antara Januari dan pertengahan Februari disebut dengan bulan Gamelion, yang dipersembahkan kepada pernikahan suci Dewa Zeus dan Hera. Pada kebudayaan bangsa Roma kuno, ada juga yang menyebutkan kebudayaan pagan bangsa Roma, perayaan bulan tersebut dilakukan sebagai ekspresi ‘cinta suci’. Sebuah sumber menyebutkan bahwa hari raya ‘cinta’ tersebut jatuh pada tanggal 15 Februari, dan disebut sebagai Hari Raya Lupercalia. Yaitu sebuah perayaan Lupercus (dewa kesuburan), yang dilambangkan dengan setengah telanjang dan berpakaian kulit kambing. Sebagai bagian dari ritual penyucian, para pendeta Lupercus mempersembahkan korban kambing kepada sang dewa dan setelah meminum anggur, mereka akan berlarian di jalan-jalan kota Roma sambil membawa potongan kulit domba, dan menyentuh siapa pun yang mereka jumpai. Karena ritual tersebut berkaitan dengan kesuburan, maka para wanita muda pun dengan sukarela berebut maju untuk menyambutnya.

Bagi penganut Katolik, perayaan hari cinta itu agak berbeda dari apa yang dilakukan para kaum pagan Roma. Paus Gelasius II menetapkan tanggal 14 Februari (sehari sebelum perayaan Lupercalia) sebagai hari raya peringatan Santo Valentinus. Nama tersebut merujuk pada beberapa nama martir atau santo (orang suci) yang berbeda dan tak jelas asal-usulnya. Namun ia terkait dengan sebuah legenda yang dipercaya muncul pada abad ke-14, ketika Kaisar Claudius II melarang para serdadu Romawi untuk menikah. Pada saat itu, Santo Valentinus muncul sebagai pahlawan dengan membantu menikahkan mereka. Hukuman pun dijatuhkan, dan sore hari sebelum ia menerima hukuman mati, sebuah catatan kecil yang diberikannya pada anak dari sipir penjara menjadi ‘inspirasi’ bagi pengikutnya sampai sekarang untuk merayakan tanggal 14 Februari sebagai hari raya cinta. Dan berbondong-bondonglah kemudian para pasangan memanggil kekasih mereka dengan sebutan “Valentine-ku” (my Valentine). Selanjutnya, setiap tanggal tersebut, gereja dibuka untuk menyambut wisatawan yang ingin menziarahi jenazah Santo Valentinus. Pada tahun 1969, hari raya ini dihapus dari kalender gerejawi sebagai bagian dari usaha untuk menghapus santo-santo yang asal muasalnya tak jelas dan hanya berbasis legenda saja. Namun bagi paroki-paroki tertentu, pesta cinta itu masih dirayakan.

Pada era modern, hari raya tersebut (kemudian dikenal sebagai Valentine’s Day) berubah menjadi ajang pengerukan uang bagi para pebisnis seantero dunia. Dimulai dari dicetaknya kartu ucapan cinta pada abad ke-19. The Greeting Card Association (Asosiasi Kartu Ucapan AS) memperkirakan bahwa di seluruh dunia beredar sekitar satu milyar kartu valentine yang dikirimkan tiap tahun. Dan ini membuat Hari Valentine sebagai hari raya terbesar kedua setelah Natal dimana kartu-kartu ucapan dikirimkan. Kemudian pada pertengahan abad ke-20, tradisi tersebut menuai keuntungan lagi bagi para pebisnis dengan dimulainya pemberian segala macam hadiah (bunga mawar dan cokelat misalnya) kepada para wanita oleh pasangannya. Dan mulai tahun 1980-an, industri berlian pun turut andil ‘menyemarakkan’ tradisi membuang-buang uang tersebut. Rupanya ‘ritual suci’ tersebut mulai berubah menjadi lebih mahal. Bahkan perayaan di Jepang mengharuskan para wanita memberi para pria yang mereka senangi dengan permen cokelat, terutama bagi mereka yang bekerja di kantor-kantor. Mereka memberi cokelat pada teman kerja pria mereka, dan kadang dengan biaya yang cukup besar. Tradisi ini disebut sebagai giri choco (giri = kewajiban, choco = kependekan dari chokoreeto atau cokelat).

Paparan singkat tentang asal muasal Valentine’s Day di atas sepertinya cukup jelas untuk menggambarkan bahwa tak ada satu pun dari kisah, ritual, dan pernak-pernik lainnya yang berkaitan dengan sejarah dunia Islam. Sebuah perayaan, dalam bentuk kecil maupun besar, terhadap sesuatu pastilah berkaitan dengan sebuah hukum atau aturan tertentu yang menjadikan perayaan tersebut sebuah keharusan dan atau kelayakan untuk dilakukan. “Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syariat) ini dan serulah kepada (agama) Tuhan-Mu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.” (Al Hajj, Qs. 22:67).

Jadi, sudah jelas bahwa tidak ada perbedaan antara ikut serta merayakan perayaan tersebut dan atau melakukan salah satu bagian dari ritual perayaan tersebut. Baik dengan mengucapkan selamat, memberikan hadiah, datang pada acara-acara yang diselenggarakan untuk merayakannya, dan lain sebagainya. Meyakini keseluruhan dari ritual dan perayaan itu berarti meyakini kekafiran. Meyakini sebagian darinya sama dengan mendekati jalan kekafiran (entah itu mengikuti jalan keyakinan bangsa pagan Roma, atau umat Katolik yang merayakannya, serta siapa saja yang merayakannya).

Begitulah mereka merayakan cinta. Mengikuti ritual-ritual yang bertentangan dengan apa yang disyariatkan oleh Allah, membesar-besarkan sesuatu yang berasal dari sebuah legenda atau cerita yang diciptakan sendiri, kemudian mengembangkannya menjadi sebuah budaya konsumerisme berlebihan yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, mematok hari-hari tertentu untuk berterus terang dalam menyatakan cinta (atau melakukan sesuatu yang lebih dari itu) kepada seseorang yang bukan muhrimnya, dan bahkan ketika semua alasan tersebut tidak mau diakui oleh mereka yang mengikutinya, mereka akan dengan mudahnya berkata, “Just for fun.”

Untuk kalimat terakhir di atas, ijinkan saya mengingatkan satu hal: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al Israa’, Qs. 17:36)

Wallahu a’lam
Sumber:
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia
www.ukhuwah.or.id

Berbagi Cinta dan Empati

Baru-baru ini saya mendapat sebuah email dari seseorang yang kebetulan membaca sebuah tulisan yang saya tampilkan pada blog pribadi. Tulisan itu adalah sebuah cerpen mengenai proses kuretage yang saya alami sekitar sebulan lalu. Tentu saja, membaca email itu mengingatkan saya pada kesedihan dan berbagai perasaan yang saya rasakan, dan tidak terlupakan sampai sekarang. Email tersebut cukup panjang, namun saya tidak merasakan bosan atau marah saat membacanya. Terus terang saja, menanggapi pertanyaan-pertanyaan seputar proses kuretage tersebut sesungguhnya hanya akan membuat saya sedih kembali, walaupun saya selalu menjawab dengan lengkap dan menerangkannya dengan senang hati. Sebab apa yang saya alami merupakan pengalaman yang dapat diambil pelajaran oleh semua orang. Saya senang berbagi. Tapi kesedihan itu tidak bisa tidak muncul kembali.

Biasanya orang-orang akan bertanya, “Dikuret? Kok bisa sih? Kenapa? Kecapean, ya? Kurang istirahat kali? Terkena virus apa? Kenapa bisa ada bekuan darah? Tenang aja, biasanya habis dikuret pasti cepat hamil lagi ....“ dan seterusnya. Bosan. Tapi ya wajar saja, dan saya tahu pertanyaan-pertanyaan tersebut tak bisa dihindari. Setelah menjelaskan panjang lebar, biasanya saya akan mengatakan,“Ya, jadiin pelajaran aja deh. Doain ya, supaya bisa sehat dan hamil lagi.“ Habis perkara. No hurt feelings, lah. Saya tahu mereka semua hanya memberikan perhatian dan bermaksud menghibur. Walau rasa sedih itu tetap saja ada.

Email yang saya baca itu, tidak berisikan pertanyaan bertubi-tubi tentang apa yang saya alami. Seseorang itu hanya menceritakan mengenai apa yang ia alami, yang ternyata hampir mirip dengan yang saya alami. Ia seorang wanita, yang telah kehilangan bayinya setelah sembilan bulan dalam kandungan. Bayangkan saja, harapan yang telah memenuhi hatinya pupus seketika ia mendapati bayinya tak lagi bernyawa, tak lama setelah melahirkan, kalau tidak salah. Ia mengatakan bahwa perasaan sedihnya tak terkira, yang pastinya sama dengan apa yang saya rasakan. Ia tergerak untuk mengontak saya via email dan menceritakan pengalamannya itu setelah membaca tulisan saya. Saya tidak mengenal wanita itu, dan bisa jadi itu kali pertamanya membaca tulisan saya pada blog pribadi saya. Sebuah tulisan yang langsung membuat hati saya benar-benar tersentuh, dan sekali lagi menyadari bahwa kesedihan seperti yang saya rasakan bukanlah sesuatu hal yang istimewa dan perlu dibesar-besarkan. Toh, pastinya banyak sekali wanita yang mengalami hal serupa atau bahkan lebih lagi dari yang saya alami. Seperti wanita itu. Sesungguhnya saya memang bersyukur, bahwa kehilangan itu saya alami ketika usia kandungan dua bulan. Saya tak bisa membayangkan bila kandungan itu telah membesar, saya telah merasakan gerak janin, atau bahkan setelah ia dilahirkan. Kesedihan macam apa yang akan saya alami? Allah Maha Tahu kesanggupan hamba-Nya.

Sepertinya berbagi sesuatu dengan orang lain telah menjadi sebuah kebutuhan yang akhirnya dapat memberikan pelajaran-pelajaran baru bagi diri saya. Mengalami sebuah musibah atau kejadian apapun tentu saja membuahkan hikmah yang tak terkira nilainya. Namun mendapatkan tanggapan atas apa yang saya alami, baik berupa nasehat, kalimat-kalimat yang menyatakan rasa simpati, dan berbagai bentuk kepedulian lainnya dari teman-teman saya, pun mengajarkan saya hal lain. Bahwa dalam menjalani kehidupan, seorang manusia sungguh amat lemah, dan tak mungkin terlepas dari orang-orang lain yang berada di sekitarnya. Tak bisa kita menghadapi semuanya sendirian. Keberadaan orang lain dalam hidup kita sesungguhnya menjadi salah satu penguat agar kita tidak jatuh tersungkur terlalu dalam, berlarut dalam duka, dan melupakan bahwa ketika kita merasa ada di bawah, ada orang lain yang menempati posisi yang sama, bahkan banyak lagi yang lebih menderita. Kadang, ketika kita merasakan duka, kita lupa bahwa bukan diri kita sendiri yang mengalaminya.

Satu hal lagi, yang saya dapatkan dari kalimat terakhir dari paragraf di atas. Saya sempat memiliki pemikiran ini: Tidak mungkin ada seorang pun yang memahami apa yang saya alami, toh mereka berbicara demikian hanya karena rasa simpati yang dimunculkan. Mereka tidak benar-benar tahu apa yang saya rasakan. Maka percuma saja kalimat-kalimat menghibur itu diucapkan. Sungguh jahat pemikiran saya itu. Tentu saja, emosi memuncak yang menyelimuti hati saya yang menyebabkannya. Dan saya pun sempat berpandangan negatif terhadap beberapa reaksi dan tanggapan orang-orang di sekitar saya. Bukannya mengurangi beban, sikap saya itu hanya menambah tumpukan stres yang merugikan diri saya sendiri.

Setelah membaca email tersebut, saya seakan baru menyadari bahwa saya bukanlah orang yang paling malang sedunia. Saya sungguh berterima kasih pada seseorang yang mengirimkan saya email itu. Isi email tersebut merupakan ‘cara menegur’ yang sungguh baik, menurut saya. Walaupun hanya dengan menceritakan kembali apa yang ia alami, walaupun sepertinya tidak ada kata-kata nasehat ataupun teguran secara eksplisit di sana. Tapi cukup untuk memberikan sebuah ‘tamparan’ yang menyadarkan saya. Tidak ada sebuah cobaan pun yang Allah turunkan melainkan untuk menguji hamba-Nya, memberikan ujian untuk mengukuhkan keimanannya, menjadikan kita lebih dekat pada-Nya, memberikan kesadaran untuk melangkah maju dan berbuat lebih baik dari sebelumnya.

Berbagi dan berbicara dengan seseorang yang juga mengalami musibah yang sama, sepertinya memberikan saya ketenangan yang baru. Bahwa saya tidak sendirian, dan banyak orang yang benar-benar mengerti apa yang saya rasakan, sebab mereka sendiri mengalaminya. Dan terhadap mereka yang tidak mengalaminya, tentu jawaban serta cerita saat saya berbagi dengan mereka akan memberikan pelajaran yang sama. Tak peduli apapun kalimat yang mereka lontarkan, mereka sesungguhnya menunjukkan cinta yang besar dengan segala bentuk perhatian tersebut. Memang, berpikir rasional saat hati sedang diliputi kesedihan bukan sesuatu yang mudah. Dan saya akhirnya menyadari bahwa walaupun mereka, teman-teman dan keluarga saya itu, tidak mengalami apa yang saya alami, namun mereka merasakan kesedihan yang sama. Itulah sesungguhnya cinta dan ikatan hati, bahwa ketika kita mengalami sesuatu, maka orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita pun merasakan hal yang sama.

Tuesday, February 07, 2006

Karena Mereka Cinta

Being annoyed by others, mungkin itu yang sebagian besar dialami oleh anak-anak remaja, atau mereka yang berusia dewasa dini. Sepertinya orang-orang di sekitar yang lebih dewasa, terutama mungkin orang tua dan anggota keluarga lain, selalu mengatakan hal-hal yang ‘mengganggu’ semangat keremajaan kita. Entah itu memprotes pilihan model pakaian, kegiatan luar sekolah, teman-teman, sampai pilihan jalan hidup. Mungkin tidak semua orang mengalami hal ini, tapi saya sendiri mengalaminya. Memang sih, sebenarnya tidak ada yang salah dengan apa yang orang-orang dewasa itu katakan. Mungkin hanya caranya saja yang kurang pas atau waktu yang tidak tepat. Tapi, dengan emosi seorang remaja atau usia tanggung seperti itu, mana mungkin mau bersabar-sabar meladeni. Bagi mereka yang lost control, bisa jadi akan menghadapi pertengkaran atau hubungan yang renggang dengan keluarga, oleh sebab hanya masalah-masalah yang seharusnya bisa dibicarakan. Kalau ditanya alasan mengapa bersikap demikian, just being annoyed dan tak ingin dicampuri, mungkin itu jawaban gampangnya.

Suatu kali, saya mengalami kesulitan dalam memilih jurusan ketika hendak lulus dari SMU. Saya menyadari betul minat yang sejak kecil sudah muncul, tetapi dengan beragam aktivitas dan kurangnya arahan, saya belum benar-benar menyadari bahwa saya menginginkan minat saya itulah yang akan menjadi profesi saya kelak. Dan sayangnya, hal ini pun tak disadari oleh keluarga saya. Dan akhirnya, saya mengalami sedikit perbedaan pendapat dengan orang tua dalam memutuskan apa yang akan saya pilih. Pada akhirnya, saya mengalah juga. Dan meninggalkan minat saya tersebut. Tapi setiap kali salah satu anggota keluarga saya menyinggung urusan pekerjaan, masa depan, dan pilihan hidup (dan tentu saja mereka menawarkan berbagai bidang yang menurut mereka baik), saya menjadi super malas menanggapinya. Saya lebih suka berkata, “Ya … ya, itu memang bagus.” Ketimbang menjelaskan apa yang benar-benar saya mau. Suatu sikap yang salah, belakangan saya sadari. Atau bila di lain kesempatan mereka melakukannya lagi, dan saya sedang dalam kondisi ‘tidak siap’ dan mood yang jelek, akhir dari percakapan itu akan menjadi tidak enak. Dan saya benar-benar merasa terganggu dengan kejadian yang terus berulang itu.

Pada masa-masa lepas dari bangku SMU hingga masuk dunia perkuliahan, saya masih saja menghadapi situasi tersebut. Dan lucunya, saya tidak benar-benar berusaha untuk memahami permasalahan, dan mencari jalan keluar dalam berdialog yang baik. Supaya saya tidak lagi merasa tidak nyaman ketika topik tersebut dibahas kembali. Supaya saya tidak terus mengatakan, “Mereka benar-benar pengganggu terhebat.” Lagipula, apa enaknya menjalani hubungan yang seperti demikian dengan orang-orang yang paling dekat dengan diri kita? Bukankah masalah ini harusnya bisa menjadi pelajaran untuk bersikap lebih dewasa? Seharusnya. Tapi saya sungguh lambat mempelajarinya dan akhirnya mengubah sikap.

Daripada bersusah-susah meyakinkan apa yang saya mau kepada keluarga, saya malah mengambil sikap: Ya sudahlah, ikuti saja arusnya. Dan saya pun berusaha menyukai bidang yang saya pilih dalam perkuliahan, walau sebenarnya itu saya pilih hanya karena mendekati minat saya dalam dunia psikologi. Padahal cita-cita saya bukanlah menjadi seorang psikolog. Saya hanya menyukai ilmu tersebut. Dan itu tidak cukup untuk menjadi dasar semangat dalam menjalani fase kehidupan berikutnya. Begitulah, saya berkubang dalam kesalahan berkali-kali. Dan setiap kali membicarakan masalah profesi, dunia kerja, dan semacamnya, saya tetap merasa being annoyed by my own family. Bayangkan saja! Betapa menyedihkannya perasaan itu.

Entah bagaimana akhirnya saya memutuskan untuk memperbaiki semuanya. Harus! Bila saya tak ingin cita-cita idaman saya itu terkubur dalam. Saya menyelesaikan kuliah dengan baik, dan menemukan hal-hal positif yang Allah karuniakan pada saya dalam bidang kuliah yang saya pilih. Dan saya pun kembali berusaha meraih cita-cita saya itu. Berusaha mengenal dan terlibat dalam komunitas yang akan mengantarkan saya pada impian itu, berusaha menghasilkan karya-karya yang lebih baik dengan target: harus dipublikasikan di media massa, dan belajar dari siapa saja yang saya temui.

Tahun 2004, mungkin bisa dikatakan bahwa itu tahun ‘kebangkitan’ diri saya. Saya ‘menemukan’ kembali gairah itu! Cita-cita saya: ingin menjadi penulis. Dan itu yang saya tanam kuat-kuat dalam benak saya sampai kapanpun. Saya lulus dari bangku kuliah, bekerja, dan berusaha untuk tetap menulis dan menghasilkan karya yang lebih baik. Publikasi karya saya di media, walau belum banyak, sedikitnya membuktikan hal itu. Dalam hati, saya merasa senang sekali.

Still being annoyed? Hm, saya rasa itu hanya salah satu ion negatif yang berterbangan di pikiran dan hati saya selama ini. Saya merasa demikian sebab saya menyadari ketidakmampuan saya untuk memberi penjelasan dengan cara yang bisa mereka terima. Atau pada saat itu, saya belum benar-benar yakin dapat membuktikan bahwa cita-cita ini adalah sebuah jalan hidup yang saya pilih. Apapun pandangan orang tentang itu. Membuat orang lain mengerti, sepertinya memang tidak bisa hanya melalui kata-kata atau bahkan angan-angan saja.

Pada akhirnya, walau belum sepenuhnya yakin dan mendukung, saya tahu bahwa mereka hanya ingin yang terbaik terjadi pada diri saya. Bila mereka tidak mengerti apakah hal itu, maka kewajiban saya untuk menjelaskan. Semua mereka katakan tentu tidak pernah bermaksud mencampuri atau mengganggu hidup saya, melainkan karena mereka cinta. Ya. Cinta.

Bukankah dengan memandang suatu hal dengan pandangan positif jauh lebih menyenangkan?