Halaman

Tuesday, February 28, 2006

Surabaya, Desember 2005

Image hosting by Photobucket



ki-ka : Ibuku sayang (mertua), My Dear Hendy Ferdian, diriku, dan Femmy



di Resepsi pernikahan Oki-Pipit (sepupunya suami), Surabaya




STIKOM Surabaya, Desember 2005

Image hosting by Photobucket




Bertigaan di Auditorium STIKOM Surabaya. Yang di tengah itu Femmy, si nakal adek iparku. Hehehe ...



Selamat ya, Fem ... jangan nakal2 lagi...

My Dear Cousin Anya




Image hosting by Photobucket



Anya emang selalu ngangenin. Rambut kritingnya, suara cemprengnya, senyum centilnya, pelukannya pas ketemu, pose-nya kalo difoto, semuanya deh!



Anak ini selalu jadi inspirasi. Seringkali kalo lagi keinget dia, sampe kebawa mimpi segala, ternyata dia lagi sakit or kenapa-kenapa. Kali ini juga gitu, keinget terus sama Anya. Mudah-mudahan gak ada apa-apa sama bidadari kecil itu, ya.



Siang ini mau nelpon Anya ah ....






Wednesday, February 15, 2006

The Great Teachers

Beberapa kali saya sempat menyaksikan sebuah film produksi Jepang tentang kehidupan para guru di sebuah sekolah. Tokoh utama film tersebut adalah seorang guru laki-laki yang bergaya nyentrik dengan sikap yang terkesan seenaknya, tidak serius, dan tampak tak baik menjadi teladan bagi murid-muridnya. Berbagai intrik akibat sikap culas dan iri para guru lainnya pun muncul ketika ternyata guru tersebut menjadi favorit murid-murid di sekolah tersebut. Mereka tak habis pikir, kebaikan apa yang ada pada diri guru nyentrik tersebut hingga murid-murid begitu memujanya. Kedengkian itu terus muncul tak hanya dari guru-guru di sekolah tersebut, melainkan juga sekolah elit lainnya dan juga dari pihak departemen pendidikan. Alhasil, si guru dikeluarkan dari sekolah dengan alasan yang dibuat-buat, dan sekolah tersebut difitnah hingga nyaris dihancurkan demi kepentingan pihak departemen pendidikan dan sekolah elit tersebut. Namun kesetiaan dan semangat para murid demi membela si guru menggugah para orang tua murid serta guru-guru lain yang tadinya tak menyukainya. Kehancuran sekolah tersebut akhirnya digagalkan oleh pengorbanan dan jerih payah seluruh murid dan guru sekolah, yang dipimpin oleh si guru nyentrik itu.

Pada awalnya, si guru nyentrik mendapat reaksi keras dan berbagai alasan ketidaksukaan seluruh sekolah terhadap dirinya. Memang benar, ia sering bertindak seenaknya (dengan memanfaatkan ruang kepala sekolah untuk tidur siang), berpenampilan nyentrik (mengajar di depan kelas hanya dengan menggunakan kaos oblong), dan terkesan tidak tahu malu (bersenang-senang di dalam sekolah walau ia mendapat hukuman tidak boleh mengajar dan harus membersihkan kamar mandi). Tetapi ia dapat membuktikan bahwa ia pantas diperhitungkan sebagai seorang guru, dengan menolong satu per satu muridnya dari bahaya maupun permasalahan yang mereka hadapi. Ia bahkan mengorbankan dirinya dicemooh orang lain demi sikapnya itu, dan bahkan sempat nyaris tak selamat dari upaya percobaan pembunuhan. Hasilnya, murid yang paling membencinya pun berubah pandangan. Sebuah kalimat yang saya ingat diucapkan oleh murid-muridnya adalah, “Kami bersedia melakukan apa saja untuk Onisuka. Kau pasti mengerti apa yang dimaksud dengan ‘apa saja’.” Film yang amat mengharukan.

Saya teringat, entah sudah berapa banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh para guru di sekolah terhadap murid-muridnya. Entah dengan latar belakang apa, sikap demikian bukannya akan menambah kecerdasan murid, melainkan akan menimbulkan dampak psikologis berkepanjangan. Saya tak tahu, apakah hal tersebut disadari atau tidak. Kasus-kasus tersebut hanyalah terkuak sebagian, entah berapa banyak yang sesungguhnya telah terjadi. Sebut saja, kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh guru di dalam kelas. Ketika saya bekerja sebagai pekerja sosial di sebuah LSM, beberapa orang murid sekolah dasar datang bersama orang tua mereka, mengadukan pelecehan yang dilakukan oleh guru mereka di sekolah. Sepertinya memang tidak ada luka fisik yang diderita, tetapi saya memuji keberanian mereka mengadukan kasus tersebut untuk mencegah terjadinya hal-hal yang lebih buruk. Dan, bayangkan saja, pelecehan tersebut dilakukan di dalam kelas di depan murid-murid lain saat pelajaran berlangsung. Anak-anak usia sekitar 8-10 tahun tersebut menceritakannya dengan semangat dan seru sekali pada saya, seolah tak ada kejadian buruk yang menimpa mereka. Trauma masa kecil biasanya akan mengendap untuk beberapa lama, dan kemudian muncul di saat dewasa dengan menampakkan dampak-dampak tertentu terhadap perilaku mereka terhadap diri sendiri maupun orang lain. Teori psikoanalisa dari ilmuwan terkenal, Sigmund Freud, sepertinya bisa dijadikan salah satu dasar pemikiran yang harusnya membuat para pendidik dan kita semua cemas. Akan jadi seperti apakah anak-anak itu kelak?

Jangan tanyakan mengenai kasus kekerasan fisik, sebab sudah tak terhitung lagi banyaknya. Setiap hari program penyiaran berita di semua saluran televisi menayangkan berbagai kisah yang mencengangkan, nyaris membuat bosan. Sekitar tahun 2000-an, saya mendapati beberapa buah kasus saja per bulan dalam catatan rekam medis di LSM tempat saya pernah praktek kerja. Tetapi dua tahun setelahnya, sepertinya LSM tersebut kekurangan petugas untuk menanganinya. Dan tahun 2005-2006 sekarang ini, entah apa yang membuat isu ini menjadi marak kembali, dan semua media berlomba mencari kasus baru yang lebih menghebohkan. Terlepas dari peran media yang kadang membesar-besarkan hal ini, coba tengok kasus kekerasan fisik yang dilakukan oleh para guru di sekolah, dan tanyakan pada diri masing-masing: pernahkah kita mengalaminya? Jangan bayangkan kejadian pemukulan hingga luka parah, atau semacamnya. Hal-hal sederhana, seperti mencubit, menarik rambut, memukul dengan penggaris, dan lainnya pun bisa dikatakan sebagai bentuk kekerasan fisik. Bagaimana dengan kekerasan non fisik, contohnya dalam bentuk pelontaran kata-kata makian dan cacian? Sadarkah bahwa sebuah kalimat makian atau umpatan pun menghasilkan dampak yang sama terhadap anak? Lalu, jangan heran bila beberapa tahun mendatang negeri ini akan penuh dengan orang-orang dewasa serta anak-anak yang suka memaki, berkata kasar, dan bersumpah serapah. Bukankah anak belajar dari orang dewasa yang dekat dengannya? Apalagi bila orang dewasa tersebut adalah seorang guru yang selama berjam-jam dalam sehari berinteraksi dengannya.

Saya teringat seorang sepupu kecil saya yang dengan sengaja ’menjatuhkan’ nilai salah satu mata pelajarannya di sekolah, hingga nyaris meraih angka merah. Sedangkan nilai-nilai lainnya nyaris sempurna. Ia dengan sengaja tak mau memperhatikan pelajaran tersebut di kelas, tak mau mengerjakan pekerjaan rumahnya, dan hal itu sempat menyebabkan amarah kedua orang tuanya. Ia pun mengejutkan ayah ibunya ketika memberikan alasan bahwa: pak guru pelajaran itu sadis, suka menyakiti dan berkata kasar. Sikap pak guru itulah yang menyebabkannya tidak menyukai pelajaran tersebut, bukan karena ia tidak tertarik terhadapnya.

Film yang saya tonton itu berjudul The Great Teacher Onisuka. Mungkin bagi sebagian orang film itu hanyalah salah satu tontonan biasa seperti halnya sinetron-sinetron Indonesia. Tapi bagi saya, membayangkan bersekolah di tempat dimana para guru mengajar dengan semangat dan penuh kecintaan terhadap murid-muridnya, dan para murid belajar dengan penuh kebanggaan terhadap sekolahnya, sungguh indah dan pasti menyenangkan.

Walaupun Jepang terkenal dengan sistem pendidikannya yang ketat, dan terdapat sejumlah kasus bunuh diri yang dilakukan para siswa akibat stres, namun sisi baik dari keberhasilan mereka menanamkan kecintaan para murid untuk belajar dan kecintaan para guru untuk mengajar, patut dicontoh. Saya rasa, di setiap kejadian pastilah terdapat sebuah hikmah yang bisa diambil. Toh, memang mereka dapat memetik buah hasil dari perhatian besar mereka terhadap pendidikan di negeri itu. Seperti halnya murid-murid dan para guru di sekolah dalam film itu, yang akhirnya menyadari kecintaan mereka terhadap sekolah mereka.

Sepertinya nyaris tak mungkin menemui keadaan seperti itu sekarang ini. Entah apabila film tersebut dibuat berdasarkan kisah nyata yang terjadi di Jepang. Tetap saja, menurut saya, sesuatu tak mungkin terjadi bila tidak dimulai. Dan memulai sesuatu sendirian tanpa adanya dukungan dari lingkungan biasanya akan perlahan memudarkan semangat dan idealisme itu. Dan yang menjadi pionir biasanya akan menemui ujian sekeras batu karang, bahkan untuk waktu yang tak bisa ditentukan lamanya. Buah kenikmatan memang tidak bisa diraih dengan mudah, dan perjuangan serta pengorbanan yang dilakukan untuk meraihnya akan menambah kenikmatan buah tersebut nantinya. Tidak hanya harapan dan keyakinan saja yang diperlukan, usaha keras dan dukungan benar-benar menjadi kebutuhan riil untuk mewujudkan sebuah mimpi.

Terjebak Perangkap Setan

Manusia seringkali melakukan hal-hal yang membawanya dekat kepada kemaksiatan tanpa disadari. Akibat seringnya memaklumi sebuah kesalahan kecil yang diperbuat. Padahal tumpukan dosa-dosa kecil itulah yang menjadi awal ‘ketertarikan’nya terhadap dosa yang lebih besar, dan lebih besar lagi. Ibaratnya seseorang yang berbohong, ia akan berbohong untuk kedua kalinya untuk menutupi kebohongan yang pertama, dan kemudian berbohong lagi untuk menutupi kebohongan kedua, dan begitu seterusnya sampai batas dimana ia tak lagi sanggup berbohong sebab tak lagi ada orang yang mempercayainya, atau karena ia tak bisa membedakan mana kejujuran mana kebohongan. Kebaikan dan kebatilan pun dengan mudah menjadi hal yang sama dalam pandangannya. Kebohongan bisa disamakan dengan kemaksiatan apapun, yang akan menjelma menjadi lingkaran setan yang menjerat manusia manapun yang terperangkap di dalamnya.

Perangkap setan itu diciptakan khusus untuk manusia yang tidak mau bersikap waspada dan menjaga diri. Ia terbuat dari sepuh emas dengan harum semerbak bagai bunga cantik penuh madu menarik lebah. Siapapun akan tergoda olehnya. Memang demikianlah sebuah kemaksiatan dibungkus oleh tampilan memikat. Sehingga untuk sesaat, kita akan langsung terpikat dan jatuh dalam lubang hitam, bila tidak menghindarinya. Dan setan pun tertawa. Sekali lagi mereka berhasil menarik manusia untuk menjadi bagian dari golongannya. Dan golongan setan itu akan berbaris rapi menuju neraka, dimana bahan bakarnya terbuat dari batu dan manusia. Semakin banyak, dan semakin banyak lagi, menjadi penghuni kerak neraka.

Padahal peringatan tentang perangkap setan itu telah disebut berkali-kali dalam Alquran. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secaa keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.“ (Al Baqarah, Qs.2:208)

Jangan mengira perintah menaati syariat Allah hanya sebatas melaksanakan salat lima waktu, berpuasa, dan berzakat saja. Padahal seluruh sisi kehidupan kita di dunia telah diatur sampai hal-hal yang paling kecil. Dan semua itu adalah untuk kebaikan manusia sendiri. Tetapi, tentu saja, sebuah kebaikan dan perintah agama rasanya akan seperti memakan buah berduri dan melihat sebuah tampilan tak menarik bahkan mungkin dihindari sebab dirasa menyusahkan dan mengekang kebebasan. Lantas berpikir bahwa kehidupan dunia dan akhirat akan selamat hanya dengan menjalankan perintah-Nya sesuai kehendak hati, bila tak berkenan bisa ditinggalkan. Masihkah bertanya tentang perangkap setan padahal sudah jelas-jelas terlihat di sekeliling kita?

“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.“ (Al Baqarah, Qs. 2:204)

Belakangan ini sepertinya terkuak sebagian dari perangkap setan itu, dan bila mata hati kita jeli, pasti dapat dibedakan dengan jelas mana yang haq dan batil. Memang apa yang ditampilkan dalam media cetak dan elektronik dapat dengan mudah merasuk dalam benak setiap orang. Pembentukan opini mengenai berbagai hal pun terjadi dengan cukup mudah, namun tidak bagi orang-orang yang mau berpikir sebelum meyakini. Benarkah sebuah klaim kebebasan berpendapat dan kebebasan memilih jalan hidup dapat menjadi jaminan akan sebuah kebebasan yang sesungguhnya? Atau pada saat itu kita akan terjebak pada nafsu kapitalisme para pedagang yang berusaha membuat arus baru sebuah modernisasi, lantas mengajak sebanyak-banyaknya manusia untuk menjadi saksi dan pelaku tren mode kehidupan. Sedangkan pada saat yang bersamaan, aqidah serta akhlak dihancurkan sehancur-hancurnya, hingga tak berbekas. Bila hal ini berlangsung terus selama beberapa lama tanpa ada perbaikan, kelak akan terbentuk generasi model baru pengusung nilai-nilai yang ingin mereka tanamkan itu.

Bukankah sudah jelas peringatan Allah dalam surat An-Naas:
Katakanlah,“Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.


Wallahu a’lam

Meyakini Kekafiran

Konon katanya bulan Februari dinyatakan sebagai bulan kesuburan dan cinta. Asosiasi tersebut sudah ada sejak dulu. Menurut kalender Athena kuno, periode antara Januari dan pertengahan Februari disebut dengan bulan Gamelion, yang dipersembahkan kepada pernikahan suci Dewa Zeus dan Hera. Pada kebudayaan bangsa Roma kuno, ada juga yang menyebutkan kebudayaan pagan bangsa Roma, perayaan bulan tersebut dilakukan sebagai ekspresi ‘cinta suci’. Sebuah sumber menyebutkan bahwa hari raya ‘cinta’ tersebut jatuh pada tanggal 15 Februari, dan disebut sebagai Hari Raya Lupercalia. Yaitu sebuah perayaan Lupercus (dewa kesuburan), yang dilambangkan dengan setengah telanjang dan berpakaian kulit kambing. Sebagai bagian dari ritual penyucian, para pendeta Lupercus mempersembahkan korban kambing kepada sang dewa dan setelah meminum anggur, mereka akan berlarian di jalan-jalan kota Roma sambil membawa potongan kulit domba, dan menyentuh siapa pun yang mereka jumpai. Karena ritual tersebut berkaitan dengan kesuburan, maka para wanita muda pun dengan sukarela berebut maju untuk menyambutnya.

Bagi penganut Katolik, perayaan hari cinta itu agak berbeda dari apa yang dilakukan para kaum pagan Roma. Paus Gelasius II menetapkan tanggal 14 Februari (sehari sebelum perayaan Lupercalia) sebagai hari raya peringatan Santo Valentinus. Nama tersebut merujuk pada beberapa nama martir atau santo (orang suci) yang berbeda dan tak jelas asal-usulnya. Namun ia terkait dengan sebuah legenda yang dipercaya muncul pada abad ke-14, ketika Kaisar Claudius II melarang para serdadu Romawi untuk menikah. Pada saat itu, Santo Valentinus muncul sebagai pahlawan dengan membantu menikahkan mereka. Hukuman pun dijatuhkan, dan sore hari sebelum ia menerima hukuman mati, sebuah catatan kecil yang diberikannya pada anak dari sipir penjara menjadi ‘inspirasi’ bagi pengikutnya sampai sekarang untuk merayakan tanggal 14 Februari sebagai hari raya cinta. Dan berbondong-bondonglah kemudian para pasangan memanggil kekasih mereka dengan sebutan “Valentine-ku” (my Valentine). Selanjutnya, setiap tanggal tersebut, gereja dibuka untuk menyambut wisatawan yang ingin menziarahi jenazah Santo Valentinus. Pada tahun 1969, hari raya ini dihapus dari kalender gerejawi sebagai bagian dari usaha untuk menghapus santo-santo yang asal muasalnya tak jelas dan hanya berbasis legenda saja. Namun bagi paroki-paroki tertentu, pesta cinta itu masih dirayakan.

Pada era modern, hari raya tersebut (kemudian dikenal sebagai Valentine’s Day) berubah menjadi ajang pengerukan uang bagi para pebisnis seantero dunia. Dimulai dari dicetaknya kartu ucapan cinta pada abad ke-19. The Greeting Card Association (Asosiasi Kartu Ucapan AS) memperkirakan bahwa di seluruh dunia beredar sekitar satu milyar kartu valentine yang dikirimkan tiap tahun. Dan ini membuat Hari Valentine sebagai hari raya terbesar kedua setelah Natal dimana kartu-kartu ucapan dikirimkan. Kemudian pada pertengahan abad ke-20, tradisi tersebut menuai keuntungan lagi bagi para pebisnis dengan dimulainya pemberian segala macam hadiah (bunga mawar dan cokelat misalnya) kepada para wanita oleh pasangannya. Dan mulai tahun 1980-an, industri berlian pun turut andil ‘menyemarakkan’ tradisi membuang-buang uang tersebut. Rupanya ‘ritual suci’ tersebut mulai berubah menjadi lebih mahal. Bahkan perayaan di Jepang mengharuskan para wanita memberi para pria yang mereka senangi dengan permen cokelat, terutama bagi mereka yang bekerja di kantor-kantor. Mereka memberi cokelat pada teman kerja pria mereka, dan kadang dengan biaya yang cukup besar. Tradisi ini disebut sebagai giri choco (giri = kewajiban, choco = kependekan dari chokoreeto atau cokelat).

Paparan singkat tentang asal muasal Valentine’s Day di atas sepertinya cukup jelas untuk menggambarkan bahwa tak ada satu pun dari kisah, ritual, dan pernak-pernik lainnya yang berkaitan dengan sejarah dunia Islam. Sebuah perayaan, dalam bentuk kecil maupun besar, terhadap sesuatu pastilah berkaitan dengan sebuah hukum atau aturan tertentu yang menjadikan perayaan tersebut sebuah keharusan dan atau kelayakan untuk dilakukan. “Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syariat) ini dan serulah kepada (agama) Tuhan-Mu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.” (Al Hajj, Qs. 22:67).

Jadi, sudah jelas bahwa tidak ada perbedaan antara ikut serta merayakan perayaan tersebut dan atau melakukan salah satu bagian dari ritual perayaan tersebut. Baik dengan mengucapkan selamat, memberikan hadiah, datang pada acara-acara yang diselenggarakan untuk merayakannya, dan lain sebagainya. Meyakini keseluruhan dari ritual dan perayaan itu berarti meyakini kekafiran. Meyakini sebagian darinya sama dengan mendekati jalan kekafiran (entah itu mengikuti jalan keyakinan bangsa pagan Roma, atau umat Katolik yang merayakannya, serta siapa saja yang merayakannya).

Begitulah mereka merayakan cinta. Mengikuti ritual-ritual yang bertentangan dengan apa yang disyariatkan oleh Allah, membesar-besarkan sesuatu yang berasal dari sebuah legenda atau cerita yang diciptakan sendiri, kemudian mengembangkannya menjadi sebuah budaya konsumerisme berlebihan yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, mematok hari-hari tertentu untuk berterus terang dalam menyatakan cinta (atau melakukan sesuatu yang lebih dari itu) kepada seseorang yang bukan muhrimnya, dan bahkan ketika semua alasan tersebut tidak mau diakui oleh mereka yang mengikutinya, mereka akan dengan mudahnya berkata, “Just for fun.”

Untuk kalimat terakhir di atas, ijinkan saya mengingatkan satu hal: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al Israa’, Qs. 17:36)

Wallahu a’lam
Sumber:
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia
www.ukhuwah.or.id

Berbagi Cinta dan Empati

Baru-baru ini saya mendapat sebuah email dari seseorang yang kebetulan membaca sebuah tulisan yang saya tampilkan pada blog pribadi. Tulisan itu adalah sebuah cerpen mengenai proses kuretage yang saya alami sekitar sebulan lalu. Tentu saja, membaca email itu mengingatkan saya pada kesedihan dan berbagai perasaan yang saya rasakan, dan tidak terlupakan sampai sekarang. Email tersebut cukup panjang, namun saya tidak merasakan bosan atau marah saat membacanya. Terus terang saja, menanggapi pertanyaan-pertanyaan seputar proses kuretage tersebut sesungguhnya hanya akan membuat saya sedih kembali, walaupun saya selalu menjawab dengan lengkap dan menerangkannya dengan senang hati. Sebab apa yang saya alami merupakan pengalaman yang dapat diambil pelajaran oleh semua orang. Saya senang berbagi. Tapi kesedihan itu tidak bisa tidak muncul kembali.

Biasanya orang-orang akan bertanya, “Dikuret? Kok bisa sih? Kenapa? Kecapean, ya? Kurang istirahat kali? Terkena virus apa? Kenapa bisa ada bekuan darah? Tenang aja, biasanya habis dikuret pasti cepat hamil lagi ....“ dan seterusnya. Bosan. Tapi ya wajar saja, dan saya tahu pertanyaan-pertanyaan tersebut tak bisa dihindari. Setelah menjelaskan panjang lebar, biasanya saya akan mengatakan,“Ya, jadiin pelajaran aja deh. Doain ya, supaya bisa sehat dan hamil lagi.“ Habis perkara. No hurt feelings, lah. Saya tahu mereka semua hanya memberikan perhatian dan bermaksud menghibur. Walau rasa sedih itu tetap saja ada.

Email yang saya baca itu, tidak berisikan pertanyaan bertubi-tubi tentang apa yang saya alami. Seseorang itu hanya menceritakan mengenai apa yang ia alami, yang ternyata hampir mirip dengan yang saya alami. Ia seorang wanita, yang telah kehilangan bayinya setelah sembilan bulan dalam kandungan. Bayangkan saja, harapan yang telah memenuhi hatinya pupus seketika ia mendapati bayinya tak lagi bernyawa, tak lama setelah melahirkan, kalau tidak salah. Ia mengatakan bahwa perasaan sedihnya tak terkira, yang pastinya sama dengan apa yang saya rasakan. Ia tergerak untuk mengontak saya via email dan menceritakan pengalamannya itu setelah membaca tulisan saya. Saya tidak mengenal wanita itu, dan bisa jadi itu kali pertamanya membaca tulisan saya pada blog pribadi saya. Sebuah tulisan yang langsung membuat hati saya benar-benar tersentuh, dan sekali lagi menyadari bahwa kesedihan seperti yang saya rasakan bukanlah sesuatu hal yang istimewa dan perlu dibesar-besarkan. Toh, pastinya banyak sekali wanita yang mengalami hal serupa atau bahkan lebih lagi dari yang saya alami. Seperti wanita itu. Sesungguhnya saya memang bersyukur, bahwa kehilangan itu saya alami ketika usia kandungan dua bulan. Saya tak bisa membayangkan bila kandungan itu telah membesar, saya telah merasakan gerak janin, atau bahkan setelah ia dilahirkan. Kesedihan macam apa yang akan saya alami? Allah Maha Tahu kesanggupan hamba-Nya.

Sepertinya berbagi sesuatu dengan orang lain telah menjadi sebuah kebutuhan yang akhirnya dapat memberikan pelajaran-pelajaran baru bagi diri saya. Mengalami sebuah musibah atau kejadian apapun tentu saja membuahkan hikmah yang tak terkira nilainya. Namun mendapatkan tanggapan atas apa yang saya alami, baik berupa nasehat, kalimat-kalimat yang menyatakan rasa simpati, dan berbagai bentuk kepedulian lainnya dari teman-teman saya, pun mengajarkan saya hal lain. Bahwa dalam menjalani kehidupan, seorang manusia sungguh amat lemah, dan tak mungkin terlepas dari orang-orang lain yang berada di sekitarnya. Tak bisa kita menghadapi semuanya sendirian. Keberadaan orang lain dalam hidup kita sesungguhnya menjadi salah satu penguat agar kita tidak jatuh tersungkur terlalu dalam, berlarut dalam duka, dan melupakan bahwa ketika kita merasa ada di bawah, ada orang lain yang menempati posisi yang sama, bahkan banyak lagi yang lebih menderita. Kadang, ketika kita merasakan duka, kita lupa bahwa bukan diri kita sendiri yang mengalaminya.

Satu hal lagi, yang saya dapatkan dari kalimat terakhir dari paragraf di atas. Saya sempat memiliki pemikiran ini: Tidak mungkin ada seorang pun yang memahami apa yang saya alami, toh mereka berbicara demikian hanya karena rasa simpati yang dimunculkan. Mereka tidak benar-benar tahu apa yang saya rasakan. Maka percuma saja kalimat-kalimat menghibur itu diucapkan. Sungguh jahat pemikiran saya itu. Tentu saja, emosi memuncak yang menyelimuti hati saya yang menyebabkannya. Dan saya pun sempat berpandangan negatif terhadap beberapa reaksi dan tanggapan orang-orang di sekitar saya. Bukannya mengurangi beban, sikap saya itu hanya menambah tumpukan stres yang merugikan diri saya sendiri.

Setelah membaca email tersebut, saya seakan baru menyadari bahwa saya bukanlah orang yang paling malang sedunia. Saya sungguh berterima kasih pada seseorang yang mengirimkan saya email itu. Isi email tersebut merupakan ‘cara menegur’ yang sungguh baik, menurut saya. Walaupun hanya dengan menceritakan kembali apa yang ia alami, walaupun sepertinya tidak ada kata-kata nasehat ataupun teguran secara eksplisit di sana. Tapi cukup untuk memberikan sebuah ‘tamparan’ yang menyadarkan saya. Tidak ada sebuah cobaan pun yang Allah turunkan melainkan untuk menguji hamba-Nya, memberikan ujian untuk mengukuhkan keimanannya, menjadikan kita lebih dekat pada-Nya, memberikan kesadaran untuk melangkah maju dan berbuat lebih baik dari sebelumnya.

Berbagi dan berbicara dengan seseorang yang juga mengalami musibah yang sama, sepertinya memberikan saya ketenangan yang baru. Bahwa saya tidak sendirian, dan banyak orang yang benar-benar mengerti apa yang saya rasakan, sebab mereka sendiri mengalaminya. Dan terhadap mereka yang tidak mengalaminya, tentu jawaban serta cerita saat saya berbagi dengan mereka akan memberikan pelajaran yang sama. Tak peduli apapun kalimat yang mereka lontarkan, mereka sesungguhnya menunjukkan cinta yang besar dengan segala bentuk perhatian tersebut. Memang, berpikir rasional saat hati sedang diliputi kesedihan bukan sesuatu yang mudah. Dan saya akhirnya menyadari bahwa walaupun mereka, teman-teman dan keluarga saya itu, tidak mengalami apa yang saya alami, namun mereka merasakan kesedihan yang sama. Itulah sesungguhnya cinta dan ikatan hati, bahwa ketika kita mengalami sesuatu, maka orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita pun merasakan hal yang sama.

Tuesday, February 07, 2006

Karena Mereka Cinta

Being annoyed by others, mungkin itu yang sebagian besar dialami oleh anak-anak remaja, atau mereka yang berusia dewasa dini. Sepertinya orang-orang di sekitar yang lebih dewasa, terutama mungkin orang tua dan anggota keluarga lain, selalu mengatakan hal-hal yang ‘mengganggu’ semangat keremajaan kita. Entah itu memprotes pilihan model pakaian, kegiatan luar sekolah, teman-teman, sampai pilihan jalan hidup. Mungkin tidak semua orang mengalami hal ini, tapi saya sendiri mengalaminya. Memang sih, sebenarnya tidak ada yang salah dengan apa yang orang-orang dewasa itu katakan. Mungkin hanya caranya saja yang kurang pas atau waktu yang tidak tepat. Tapi, dengan emosi seorang remaja atau usia tanggung seperti itu, mana mungkin mau bersabar-sabar meladeni. Bagi mereka yang lost control, bisa jadi akan menghadapi pertengkaran atau hubungan yang renggang dengan keluarga, oleh sebab hanya masalah-masalah yang seharusnya bisa dibicarakan. Kalau ditanya alasan mengapa bersikap demikian, just being annoyed dan tak ingin dicampuri, mungkin itu jawaban gampangnya.

Suatu kali, saya mengalami kesulitan dalam memilih jurusan ketika hendak lulus dari SMU. Saya menyadari betul minat yang sejak kecil sudah muncul, tetapi dengan beragam aktivitas dan kurangnya arahan, saya belum benar-benar menyadari bahwa saya menginginkan minat saya itulah yang akan menjadi profesi saya kelak. Dan sayangnya, hal ini pun tak disadari oleh keluarga saya. Dan akhirnya, saya mengalami sedikit perbedaan pendapat dengan orang tua dalam memutuskan apa yang akan saya pilih. Pada akhirnya, saya mengalah juga. Dan meninggalkan minat saya tersebut. Tapi setiap kali salah satu anggota keluarga saya menyinggung urusan pekerjaan, masa depan, dan pilihan hidup (dan tentu saja mereka menawarkan berbagai bidang yang menurut mereka baik), saya menjadi super malas menanggapinya. Saya lebih suka berkata, “Ya … ya, itu memang bagus.” Ketimbang menjelaskan apa yang benar-benar saya mau. Suatu sikap yang salah, belakangan saya sadari. Atau bila di lain kesempatan mereka melakukannya lagi, dan saya sedang dalam kondisi ‘tidak siap’ dan mood yang jelek, akhir dari percakapan itu akan menjadi tidak enak. Dan saya benar-benar merasa terganggu dengan kejadian yang terus berulang itu.

Pada masa-masa lepas dari bangku SMU hingga masuk dunia perkuliahan, saya masih saja menghadapi situasi tersebut. Dan lucunya, saya tidak benar-benar berusaha untuk memahami permasalahan, dan mencari jalan keluar dalam berdialog yang baik. Supaya saya tidak lagi merasa tidak nyaman ketika topik tersebut dibahas kembali. Supaya saya tidak terus mengatakan, “Mereka benar-benar pengganggu terhebat.” Lagipula, apa enaknya menjalani hubungan yang seperti demikian dengan orang-orang yang paling dekat dengan diri kita? Bukankah masalah ini harusnya bisa menjadi pelajaran untuk bersikap lebih dewasa? Seharusnya. Tapi saya sungguh lambat mempelajarinya dan akhirnya mengubah sikap.

Daripada bersusah-susah meyakinkan apa yang saya mau kepada keluarga, saya malah mengambil sikap: Ya sudahlah, ikuti saja arusnya. Dan saya pun berusaha menyukai bidang yang saya pilih dalam perkuliahan, walau sebenarnya itu saya pilih hanya karena mendekati minat saya dalam dunia psikologi. Padahal cita-cita saya bukanlah menjadi seorang psikolog. Saya hanya menyukai ilmu tersebut. Dan itu tidak cukup untuk menjadi dasar semangat dalam menjalani fase kehidupan berikutnya. Begitulah, saya berkubang dalam kesalahan berkali-kali. Dan setiap kali membicarakan masalah profesi, dunia kerja, dan semacamnya, saya tetap merasa being annoyed by my own family. Bayangkan saja! Betapa menyedihkannya perasaan itu.

Entah bagaimana akhirnya saya memutuskan untuk memperbaiki semuanya. Harus! Bila saya tak ingin cita-cita idaman saya itu terkubur dalam. Saya menyelesaikan kuliah dengan baik, dan menemukan hal-hal positif yang Allah karuniakan pada saya dalam bidang kuliah yang saya pilih. Dan saya pun kembali berusaha meraih cita-cita saya itu. Berusaha mengenal dan terlibat dalam komunitas yang akan mengantarkan saya pada impian itu, berusaha menghasilkan karya-karya yang lebih baik dengan target: harus dipublikasikan di media massa, dan belajar dari siapa saja yang saya temui.

Tahun 2004, mungkin bisa dikatakan bahwa itu tahun ‘kebangkitan’ diri saya. Saya ‘menemukan’ kembali gairah itu! Cita-cita saya: ingin menjadi penulis. Dan itu yang saya tanam kuat-kuat dalam benak saya sampai kapanpun. Saya lulus dari bangku kuliah, bekerja, dan berusaha untuk tetap menulis dan menghasilkan karya yang lebih baik. Publikasi karya saya di media, walau belum banyak, sedikitnya membuktikan hal itu. Dalam hati, saya merasa senang sekali.

Still being annoyed? Hm, saya rasa itu hanya salah satu ion negatif yang berterbangan di pikiran dan hati saya selama ini. Saya merasa demikian sebab saya menyadari ketidakmampuan saya untuk memberi penjelasan dengan cara yang bisa mereka terima. Atau pada saat itu, saya belum benar-benar yakin dapat membuktikan bahwa cita-cita ini adalah sebuah jalan hidup yang saya pilih. Apapun pandangan orang tentang itu. Membuat orang lain mengerti, sepertinya memang tidak bisa hanya melalui kata-kata atau bahkan angan-angan saja.

Pada akhirnya, walau belum sepenuhnya yakin dan mendukung, saya tahu bahwa mereka hanya ingin yang terbaik terjadi pada diri saya. Bila mereka tidak mengerti apakah hal itu, maka kewajiban saya untuk menjelaskan. Semua mereka katakan tentu tidak pernah bermaksud mencampuri atau mengganggu hidup saya, melainkan karena mereka cinta. Ya. Cinta.

Bukankah dengan memandang suatu hal dengan pandangan positif jauh lebih menyenangkan?