Halaman

Thursday, January 19, 2006

Kuretage

Saat itu pikiranku benar-benar kosong. Apa yang dikatakan oleh dokter Anti tak lagi kedengaran. Entah dengan suamiku yang duduk di sebelah, mungkin ia juga termangu, sama bodohnya denganku. Beberapa kali tergagap aku menanyakan hal-hal penting yang harus dilakukan setelah ini. Kapan jadwal kuretage, mendaftar ke mana, apa yang perlu dilakukan setelahnya, dan semua itu tak mampu kuingat dengan baik. Hanya satu hal yang ada di benak: aku harus ke kamar mandi sekarang juga!

“Wah, Sayang, ternyata janinnya nggak berkembang. Bekuan darahnya nggak berubah, pasti menghalangi plasenta ngasih makanan ke bayinya. Harus dibersihin ini, ya.” Kalimat yang diucapkan dokter Anti terus berputar-putar di kepalaku. Di-kuret … kuretage … aaah!!! Bagiku sama saja dengan aborsi! Partus sebelum waktunya! Astaghfirullahal’azhiim ….

Dengan surat pengantar di amplop tertutup di genggaman, langkahku bergegas mengalahi suamiku yang pastinya tengah bingung. Berkali-kali ia memanggil, tapi telingaku serasa tuli. Mataku tertuju lurus ke arah sebuah pintu. Aku harus cepat-cepat, sebelum semuanya tumpah di tempat yang tak seharusnya. Seorang perempuan muda penjaga toilet tersenyum kecil melihatku masuk. Segera kubuka pintu toilet paling ujung, menutup pintunya, dan menumpahkan segalanya tanpa suara. Sungguh aku tak butuh perhatian dari orang-orang pada saat seperti ini. Aku menangis diam-diam. Pikiranku melayang, sekaligus berharap bahwa saat ini adalah hanya mimpi buruk yang paling buruk di antara yang kualami akhir-akhir ini. Ya, ini adalah sebuah mimpi buruk. Nyaris saja ingin kucubit pergelangan tanganku untuk membangunkan diriku darinya. Tetapi tangisku menyadarkanku bahwa semua ini nyata. Aku telah kehilangan!

Mungkinkah firasat buruk yang muncul belakangan menandakan hal ini akan terjadi? Entahlah. Tak ada lagi yang ingin kupercayai saat ini. Kebahagiaan itu hilang hanya dalam sekejap. Aku mengingat sebuah momen, di saat suamiku mengelus-elus perutku dan berkata, “Kayaknya perutnya udah mulai besar, ya?” dan saat itu yang kukatakan untuk menjawabnya adalah, “Iya, mudah-mudahan dedek-nya juga makin besar ya, nggak 3 mm kayak kemarin lagi.” Sebenarnya setelah mengatakan itu sebelah hatiku berharap cemas, dan bertanya-tanya, mengapa aku mengucapkan kalimat seperti itu? Bukankah kalimat itu menandakan bahwa aku pesimis terhadap kehamilan ini? Apakah aku sudah merasakannya sejak mengetahui kehamilanku?

Suamiku mengenggam tanganku erat, tapi nyatanya tak mampu meredakan apapun yang sedang merasuki hati dan pikiranku. Berbagai pertanyaan yang tak sempat terjawab sebelum muncul pertanyaan berikutnya. Berbagai perasaan yang tak mampu kuterjemahkan satu per satu pada saat itu. Ketakutan, rasa kehilangan, kesedihan, perih, nyeri, dan seterusnya. Aku tahu, dalam kondisi emosi seperti itu, banyak hal bodoh yang pasti bisa kulakukan terhadap siapa saja termasuk diri sendiri. Sejak awal, aku sudah bertekad untuk tidak akan melakukan hal-hal bodoh itu, dan bersikap sewajarnya.

Perjalanan dari rumah sakit menuju rumah terasa sangat lama. Satu hal yang sangat ingin kulakukan saat itu: menangis keras-keras. Dan tidak mungkin aku melakukannya di dalam angkot dan membiarkan semua orang berpikir bahwa aku ini gila atau sedang stres. Walau kenyataannya mungkin hampir.

Sampai di rumah, aku segera menaruh tas, mengganti baju, dan suamiku menghampiriku di kamar depan. Ia hampir tidak berkata apa-apa, hanya sebaris kalimat yang langsung membuatku menubruknya dan melampiaskan semua sampai beberapa lama. Hari itu adalah pertama kalinya aku menangis sekeras itu di hadapannya. Aku mengharapkan ia juga menangis sama sepertiku, tapi ternyata laki-laki memilih untuk bersikap tegar dan menyembunyikannya sampai waktu ia benar-benar sendiri. Sepertinya begitu. Ia mengatakan hal-hal yang rasional, tapi semua tidak mempan. Aku sudah tahu, bahwa bila kehamilan ini dibiarkan pasti akan membawa penyakit untukku sendiri, sedang si janin tak lagi bisa bertumbuh. Aku sudah tahu, bahwa ini semua hanya cobaan yang perlu dilewati dengan sabar, tapi aku ingin menangis keras-keras untuk kali ini saja. Aku sudah tahu bahwa ini bukan salah siapa-siapa, tapi aku menangis bukan untuk menyalahkan siapapun, melainkan untuk diri sendiri karena sebentar lagi akan melepas sesuatu yang sangat diharap-harapkan sejak lama.

Aku tertidur cukup lama, hingga rasanya sudah tiba waktu ashar. Dari balik pintu kamar yang setengah terbuka, terlihat ada sajadah yang menghampar. Rupanya suamiku tengah menunaikan shalat ashar. Dalam setengah sadar, kudengar isak tangis tertahan. Ia menangis. Mungkinkah? Entah mengapa sepertinya ada sedikit rasa lapang di hati. Kami merasakan kesedihan yang sama. Dan aku menangis lagi.

Ruang bersalin itu terasa lapang, terlalu lapang malah. Sebuah televisi 14 inch tergantung tepat di depan tempat tidur lebar yang cukup nyaman. Aku nyaris tak bisa membedakan, apakah itu ruang bersalin atau ruang rawat inap. Beberapa perangkat persalinan yang telah disiapkan menyadarkanku, bahwa sebentar lagi waktunya tiba. Aku nyaris tersenyum sendiri, melahirkan sebelum waktunya. Atau bisa disebut aku ini mendahului beberapa temanku yang sedang hamil.

Sejam telah lewat, televisi di depanku masih menayangkan film-film lama dari channel HBO. Seorang perawat yang ramah menyuruhku untuk mengganti baju yang kukenakan dengan sebuah baju berlengan pendek selutut dengan pita-pita di belakang. Cukup terbuka dan memang didisain khusus untuk mereka yang akan menjalani operasi macam begini. Untuk memudahkan. Tapi tetap saja pertanyaanku kepada perawat itu terdengar bodoh,

“Suster, jilbabnya boleh dipakai kan?” Perawat itu tersenyum kecil. “Boleh aja sih, tapi bajunya juga terbuka kok.”

Lantas aku memutuskan untuk tetap mengenakan jilbab sampai waktu operasi tiba. Aneh memang, tapi toh aku berada di balik selimut di tempat tidur. Tidak ada yang akan melihat keanehan pemandangan itu. Yang sangat aku hargai adalah, para perawat itu tak ada satu pun yang memaksaku atau berkomentar apapun mengenai jilbab yang tetap kukenakan.

Sambil berbaring, peralatan yang akan digunakan terpampang di hadapan. Di atas sebuah meja dorong dari besi yang ditutupi kain lebar berwarna hijau. Aku dapat melihatnya. Sendok-sendok sepanjang sekitar 30 cm dari besi, ada dua buah, lalu entah berapa lagi yang bentuknya bermacam-macam. Kepalaku mendadak pening. Alat-alat itulah yang nantinya akan mengorek-ngorek rahimku. Melukai janin kecilku, mengambilnya keluar. Aku nyaris menangis lagi. Teringat nama-nama yang sudah kusiapkan untuk anakku kelak. Kulirik suamiku, ia terdiam dengan wajah serius. Seperti biasanya.

Hingga beberapa saat ke depan, suamiku tetap setia menunggu di dalam bersamaku, setelah sebelumnya ia mengisi perut di kantin bawah. Aku sendiri berpuasa sejak semalam, sebab hari ini harus menjalani pembiusan. Total sepertinya. Baguslah. Setidaknya dokter Anti dan perawat tidak menyaksikanku menjerit-jerit nantinya. Waktu operasi diundur sejam. Kegelisahanku hampir memuncak menjelang setengah jam sebelum operasi dimulai. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha melakukan relaksasi sebisaku. Aku sudah merelakannya, Ya Allah … aku sudah ikhlas. Berulang-ulang kalimat itu kuucapkan. Aku tak lagi membayangkan reaksi apa yang akan terjadi setelah operasi selesai, yang penting aku bisa tenang menghadapi berbagai jarum suntik yang akan menusuk tangan kiriku. Suamiku, ia berdiri sambil tersenyum-senyum, berusaha untuk tidak tampak lebih panik daripada aku. Aku sendiri tak menghiraukan apapun reaksinya. Aku tahu ia selalu ada. Itu saja sudah membuatku tenang.

Hingga saat perawat pendamping dokter datang. “Sebentar lagi dokter Anti datang. Sekarang siap-siap ya, Bu.” Ia pun memintaku secara tidak langsung untuk membuka jilbabku, “Jilbabnya musti tetap dipakai, ya? Soalnya mau pasang selang oksigen, Bu.” Aku baru tersadar. Waktunya sudah tiba. Suamiku pun beranjak keluar, setelah aku mencium tangannya, dan ia berkata, “Yang tenang ya, Dek.” Aku pun menjawab lirih, “Doain ya, Mas.”

Tak lama setelah selang oksigen dipakai, lengan kananku dipasangi alat pendeteksi tensi darah dan denyut jantung, serta tangan kiri siap dengan jarum tempat akan disuntikkan obat bius. Dokter anastesi yang bertugas membius datang. Laki-laki. Muncul rasa risih. Apalagi jilbab telah terbuka, dan penutup kaki mulai digeser. Namun ia tampak tenang saja, dan menyuntikkan cairan bening untuk mengetes apakah aliran darah lancar. Setelah aku menyatakan tidak sakit dan cairan dapat masuk dengan lancar, ia pun mulai membius. Yang sempat kusaksikan hanya cairan itu tampak lebih kental dan berwarna putih, dokter Anti beserta perawat bersiap-siap di depan tempat tidurku, kedua kaki telah disangga, dan aku masih merasa tak enak dengan keberadaan si dokter anastesi. Kalimat yang sempat kulontarkan hanyalah, “Dok, nanti antibiotiknya jangan selain amoxicilin ya, karena saya alergi.” Dalam hati mengucap bismilllah dan beberapa doa, lalu semua gelap.

“Diana … Diana …” sayup-sayup sebuah suara membangunkanku dari tidur tak bermimpi. Sepertinya baru beberapa detik saja aku tertidur. Mataku membuka perlahan. Yang pertama kali kulihat adalah dua sosok yang pelan-pelan menjadi jelas, dokter Anti dan suamiku. Ketika melihatku sudah membuka mata, dokter Anti tersenyum dan berkata,

“Nah, udah sadar, tuh.” Lalu ia beranjak keluar. Suamiku duduk atau berdiri di samping kiriku.

“Emangnya udah selesai ya, Mas?” tanyaku takut-takut. Ia mengangguk,

“Iya, operasinya udah selesai.”

Tanpa sadar air mataku langsung keluar deras sekali, sampai sedikit sesengukan. Persis seperti anak kecil. Biar saja. Aku tak bisa merasakan apapun. Kesadaranku belum pulih benar, tetapi satu hal yang benar-benar aku sadari: aku telah kehilangan! Suamiku tak berkata apapun kecuali mengelus-elus tangan kiriku yang masih terbalut perban dan jarum. Pastinya ia tahu, kata-kata apapun tak mampu meredakanku. Aku melirik perutku. Tak ada bedanya. Janinku sudah tidak ada lagi!

“Dedek-nya udah nggak ada …” rintihku antara sadar dan tidak. Seorang perawat yang mundar-mandir membereskan peralatan yang tertinggal tampaknya menanyakan sesuatu kepada suamiku. Lelaki tercinta itu mengulangi apa yang aku katakan barusan. Menyadari akan banyak orang yang masuk ke ruangan, aku cepat-cepat meminta tissue dan menyeka air mata yang masih terus keluar.

“Loh, kok nangis sih, Sayang?” suara ceria dokter Anti ternyata masih bisa membuatku tersenyum sedikit. Memang wanita itu baik sekali, selalu ceria dan bersikap santai. Ya, mau apalagi selain menangis? Toh aku tak mungkin memasukkan kembali janin yang telah mati itu ke dalam rahimku lantas menghidupkannya. Biar saja aku menumpahkan semuanya hari ini. Begitu pikirku. Sesaat terlintas pikiran-pikiran dalam benak, bagaimana kejinya para ibu yang membuang atau menyiksa anak mereka, betapa bodohnya perempuan nakal yang berlaku seks bebas lantas dengan mudahnya mengaborsi janin mereka. Rasanya ingin kutampar mereka semua itu.

Di ruang rawat inap, suasana sedikit berbeda. Sudah ada pasien lain di kiri dan kanan. Ruangan itu tak begitu besar, tapi cukup nyaman, dihuni tiga orang pasien termasuk aku. Aku menempati tempat tidur di tengah. Keuntungannya adalah mendapat televisi tepat di tengah, satu-satunya benda hiburan di ruangan itu. Tak ada pengaruhnya. Sampai di sana, setelah semua perawat keluar dan berpesan ini itu, yang tak lagi kuingat, aku dan suamiku terdiam cukup lama. Dan aku masih saja berusaha keras menghilangkan sisa tangis. Suamiku menyampaikan pesan bahwa tadi mbak Rahma menelpon, Eci juga, ada beberapa sms yang masuk, dan aku segera mengingatkannya untuk memberitahu papa serta Jannah, sahabat dekatku, bahwa aku sudah di kamar rawat inap. Sambil menahan isak yang masih bersisa aku berpesan,

“Mas, nanti kalau ada yang dateng terus nangis-nangis jangan bolehin masuk, ya.” Maksudku supaya aku tidak tergoda untuk menangis lagi. Tapi suamiku bertanya,

“Yang nangis? Memangnya siapa?”

“Ya mama gitu.” Jawabku sambil memalingkan muka. Beberapa detik kemudian, benar saja, mama, papa, dan adikku datang. Tak ada satu pun dari mereka yang datang sambil menangis. Yang ada malah aku sendiri terisak hebat dan tak mampu berkata apapun selain sibuk menghapus air mata. Sepertinya mereka ikut terisak juga. Sudahlah. Sekali ini lagi saja.

12 Januari 2006, sepuluh hari lagi setahun pernikahan kami. Memang kami tidak merasakan bertahun-tahun lamanya tidak memiliki anak. Tetapi tetap saja kejadian ini adalah tekanan hebat bagiku. Rupanya Allah memang selalu mengujiku untuk setiap apa yang akan kudapat. Tak ada sesuatu yang dengan mudah kudapat begitu saja. Pasti sebelumnya akan menghadapi cobaan terlebih dulu. Tidak apa-apa. Sepertinya ujian-ujian ini akan menguatkanku dan juga suamiku. Ia menginap di rumah sakit, hampir saja tidur sambil duduk di kursi. Membantu dan membereskan semua perlengkapanku. Sampai kami tiba di Bekasi. Harus banyak istirahat katanya. Padahal dua hari pertama setelah operasi aku tak merasakan sakit yang dikhawatirkan. Tetapi rupanya itu harus juga aku lewati. Hari ketiga, perut ini terasa begitu sakit sampai aku tak bisa bangun dari tempat tidur, walaupun untuk duduk. Mulanya pukul 4 pagi, dan hingga malamnya suamiku tak beranjak dari kamar untuk mendampingi. Sakit, perih, nyeri, ngilu sampai ke tulang.

Aku telah kehilangan, sesuatu yang mungkin belum waktunya didapat. Atau bukan yang terbaik untuk didapatkan saat ini. Sebab yang muncul dalam setiap doaku adalah: Ya Allah, berikanlah aku yang terbaik dari kehamilan ini, dan janin yang sehat serta tak tersentuh penyakit atau virus apapun yang membahayakannya. Ridhoilah aku dalam menjalani hari-hari kehamilanku ini, dan jadikanlah ia nantinya anak yang sehat dan soleh atau solehah. Yang akan membahagiakanku, mas Hendy, serta keluarga kami, dunia dan akhirat.

Doa itu tak bersalah apapun, dan akan kuulangi lagi saat kehamilanku berikutnya nanti. Yang berlalu sudah terkubur di halaman rumah orang tuaku. Seorang teman kerja suamiku yang kebetulan datang menjenguk di rumah sakit mengatakan sesuatu yang menguatkanku agar tetap bersyukur,

“Kalian semua masih sangat beruntung, nggak seperti aku dan istri yang sudah lima tahun tapi belum punya anak.”

Betul. Bagaimana dengan wanita yang harus di-kuret berkali-kali akibat gagalnya pertumbuhan janin atau rahim yang lemah? Bagaimana dengan wanita yang harus menghadapi kenyataan bahwa anak yang dilahirkannya meninggal setelah beberapa saat karena adanya kelainan atau virus sejak dalam kandungan? Bagaimana dengan … ah! Masih terlalu banyak wanita lain yang merasakan kepedihan lebih dari yang kurasakan.

Aku sudah ikhlas. Bye bye, Baby….


Bekasi, 15-16 Januari 2006.