Halaman

Saturday, May 27, 2006

Muhasabah, yuk!

Amalan apakah yang dapat membawaku ke surga?
Sedangkan salat yang telah rutin kujalankan semenjak baligh seringkali dihiasi oleh mimpi dan lamunan sesaat yang menghilangkan ikhlas dari hatiku. Dan setan selalu tertawa melihatku kebingungan menghitung rakaat dalam hati. Sungguh, aku tak percaya amalan salatku akan lolos dari perhitungan di hari Penghisaban nanti.

Akankah aku sanggup melewati detik mendebarkan di titian sirath-Nya?
Sedangkan lapar dan hausku saat berpuasa menjadikanku lemah dan tak berdaya melakukan ibadah pada-Nya. Dan tak sanggup kumenahan hasrat yang menyisakan ganjaran berpuasa hanya sedikit saja. Padahal prajurit Badar begitu tangguh menerjang musuh di medan juang. Aku kalah.

Bukankah aku bisa meraih ridho dan kebahagiaan orang-orang miskin?
Tetapi aku terlalu sibuk merawat dan menumpuk harta benda hingga tak terjamah. Aku takut kehilangan, maka aku mendekapnya erat-erat. Kupikir jerih payahku lah yang menjadikannya menggunung tinggi. Sedangkan aku lupa bahwa ini semua karena rahmat-Nya.

Mungkinkah kesaksianku akan keesaan-Nya menyelamatkanku?
Tetapi tak terhitung lagi waktu yang habis untukku memamerkan amal baik yang sudah kulakukan pada orang-orang di sekitarku. Kujejerkan bak pameran lukisan dan benda-benda berharga, sebagai bukti yang menerangkan kesalehanku. Dan aku sibuk menyembah-nyembah diriku sendiri.

Yakinkah aku akan mendapatkan singgasana cahaya?
Padahal hati ini tak juga bersih dari prasangka terhadap sesama. Cinta dan kasih sayang sulit tumbuh sebab kerak yang ada telah membeku. Dan hati ini mudah tersulut amarah juga tak mudah memaafkan. Jadi, bagaimanakah benih ukhuwah akan bersemi di sana?

Aku sungguh tak punya apa-apa. Tapi aku selalu berpikir bahwa memiliki segala. Perjalananku di dunia membawaku menjajaki usia, namun tak juga tersentuh hati ini untuk menggerakkan diri ke surga. Padahal sungguh banyak pintu yang masih terbuka.

Ya Allah … akankah diri ini kekal menghuni dasar neraka?

Aku sungguh tak punya apa-apa. Dan aku tak berhenti meminta-Mu mencurahkan ampunan untuk semua dosa.

Ya Rabb-ku, sungguh aku telah zalim, maka ampunilah aku, dan berilah rahmat padaku agar aku tidak termasuk ke dalam orang-orang yang merugi.

Sunday, May 21, 2006

Bercermin pada Kehidupan

Suatu hari, saya akan menghadiri sebuah majelis ta'lim yang terdiri dari ibu-ibu yang bertempat tinggal di daerah Jombang, Bintaro dan sekitarnya. Tak banyak anggotanya, sekitar sebelas orang. Awal bergabung dengan mereka, saya merasa agak jengah dan sedikit tidak nyaman. Maklumlah, pertama kalinya saya merasakan 'bergaul' dengan ibu-ibu muda berusia rata-rata sepuluh tahun lebih tua daripada saya. Sempat saya ingin pindah ke kelompok majelis ta'lim yang lain saja, bila ada. Tapi sampai sekarang, saya masih bertahan.

Hari itu, kegiatan akan diadakan di rumah salah seorang anggota, yang tidak begitu jauh dari rumah saya. Bahkan inilah rumah terdekat yang pernah saya datangi sejak pindah ke Bintaro. Biasanya bila akan menghadiri majelis ta'lim itu, saya harus naik angkot sampai dua kali. Lumayan jauh. Saya berangkat sekitar setengah jam sebelum acara dimulai. Saat itu saya sama sekali tidak tahu alamat pasti si empunya rumah, melainkan hanya mengandalkan arahan dari seorang teman saya saja. Yah, pastinya tidak jauh dari jalan masuk yang tadi ia sebutkan, pikir saya begitu. Dan sekitar lima menit kemudian, sampailah saya di jalan masuk tersebut. Tadinya saya berniat untuk naik ojek saja ke dalam. Tinggal sebutkan nama pemilik rumah dan ciri-ciri rumah, biasanya mereka tahu, begitu petunjuk berikutnya. Tapi sayangnya, tidak satu pun tukang ojek yang saya temui. Lantas saya putuskan untuk berjalan saja masuk ke dalam, siapa tahu ada pangkalan ojek lainnya atau ojek yang lewat. Saya tidak ingin terlambat, malu dong, masa rumah paling dekat malah terlambat.

Saya berjalan terus sampai kira-kira beberapa ratus meter. Kaki mulai pegal, dan saya belum menemukan petunjuk apapun yang mendekati ciri-ciri rumah itu. Saya berinisiatif menelpon seorang teman, dan komentarnya adalah: "Wah! Kalau jalan sih masih jauh! Masuk-masuk ke dalam, susah juga ngasih taunya. Mending kamu tanya sama orang di warung aja deh." Begitu katanya. Saat saya menelpon itu, saya berada di depan sebuah masjid lumayan besar yang pastinya bisa jadi patokan. Dan saya pun lupa menanyakan nomor telepon si pemilik rumah. Ya sudahlah, pasti bisa sampai, begitu tekad saya. Saya bertanya ke sebuah warung, dan petunjuk yang diberikan adalah: "Dari jalan itu masuk aja ke dalam, belok kanan, nanti kalau ada warung tanya lagi aja. Rumahnya masih jauh banget!"

Begitulah, saya akhirnya berjalan saja dan setiap kali ada warung, saya bertanya, dan mereka memberikan informasi yang sama dengan orang terakhir yang saya tanya. Rupanya daerah tersebut belum memiliki nama-nama jalan. Rumah-rumah penduduknya pun jarang-jarang, dari rumah satu ke rumah yang lain berjarak beberapa meter. Padahal lokasi tersebut berdekatan dengan komplek perumahan yang lumayan besar. Jadi petunjuk yang paling praktis ya sebutkan saja nama si pemilik rumah. Dan itu yang saya lakukan berulang-ulang: "Rumahnya bu Yuli, guru SD Annisa, istrinya pak Muslim yang punya kandang kambing itu di mana ya?"

Ketika jalanan sudah hampir tak berujung, dan di sebelah kanan saya adalah tanah lapang yang besar sekali, di sebelah kiri hanya terdapat satu-dua rumah yang terkunci rapat, saya mulai khawatir tersasar. Tapi dari kejauhan saya melihat dua orang wanita berjalan. Mungkin penduduk setempat. Saya langsung berlari mengejar mereka. Alhamdulillah…ternyata memang selalu ada petunjuk bila kita tak segan bertanya. Mereka mengantar saya sampai sekitar dua puluh meter dari rumah yang dicari. Saat itu saya tak memikirkan bagaimana cara pulang, yang tentu saja harus ditempuh dengan berjalan kaki juga. Saya sudah lupa rutenya. Sudahlah, nanti saja. Saya langsung menuju rumah besar bercat oranye.

"Assalamu’alaikum! Bu Yuli ada, bu?"
"Bu Yuli? Wah, dia jam segini belum pulang kerja!"

Saya nyaris pingsan mendengarnya. Seorang wanita setengah tua itu menatap saya dengan agak heran. Duh, sudah hampir nyasar begini, orangnya tidak ada? Lantas acara dipindahkan ke mana?

Tapi rupanya itu hanya kejutan kecil saja. Seorang laki-laki yang duduk bersama wanita itu beranjak dari kursi, dan tersenyum pada saya.

"Masuk aja lewat samping sini. Rumahnya menempel di belakang situ, Neng." Katanya. Saya ragu sejenak. Tapi kemudian wanita tadi berseru, "Oh iya! Ini kan hari Sabtu ya? Berarti ada tuh orangnya!" katanya. Saya nyengir, lalu mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada keduanya.

Perjalanan panjang itu berakhir juga. Waktu menunjukkan pukul dua kurang sepuluh. Hampir satu setengah jam di perjalanan? Hebat juga kedua kaki saya ini. Saya duduk kelelahan. Dan satu per satu anggota majelis ta'lim itu mulai berdatangan, dua orang membawa anak-anak mereka. Mereka sampai dengan wajah yang hampir sama dengan saya, tetapi tidak ada satu pun yang berjalan kaki dari depan hingga sampai di situ. Kami semua tertawa-tawa kelelahan, mereka menertawakan saya yang dengan sangat mengenaskan musti menempuh jarak yang jauh dengan berjalan kaki. Lalu kami menyantap makanan kecil yang dihidangkan, dan mengobrol sebentar melepas lelah.

Hari itu semua hadir di majelis dengan penat. Saya bersiap untuk kecewa bila acara tidak berjalan atau datang hanya untuk bersantai. Tapi ternyata itu tidak terjadi. Acara dibuka dengan tertib, kami bergantian tilawah quran, salah satu dari kami membacakan tafsir surat al-lahab, lalu dilanjutkan dengan diskusi mengenai permasalahan majelis ta'lim lain yang ada di daerah tempat tinggal kami, seterusnya sampai waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Subhanallah. Saya nyaris tidak percaya bahwa kondisi-kondisi tak terduga, seperti kesulitan mencapai lokasi dan keterlambatan dimulainya acara, tidak menjadikan pertemuan yang hanya seminggu sekali itu menjadi tidak efektif. Jiwa saya kembali segar, penat saya hilang, dan saya siap bila harus pulang dengan berjalan kaki lagi.

Sudah sekitar lima bulan saya menjadi bagian dari mereka. Dan rupanya saya mulai merasakan ikatan hati yang cukup kuat pada mereka semua. Bahkan saya mengagumi mereka. Saya nyaris yang paling muda di antara mereka semua. Hampir semua sudah menikah, memiliki anak dua-tiga-atau empat orang, tapi mereka tetap konsisten hadir di pertemuan, mengerjakan tugas dengan lumayan tertib, bersemangat membahas permasalahan yang ada, dan saya tak segan untuk bercermin pada ketegaran mereka semua. Sedikitnya saya mengetahui permasalahan keluarga yang mereka hadapi, terhadap suami dan anak-anak, pekerjaan, dan lingkungan. Mereka mungkin tak semua berasal dari keluarga berkecukupan. Tapi semangat mereka untuk menghadiri majelis ta'lim rutin, juga semangat dan tindakan konkret berkontribusi dalam dakwah, itu semua menjadi bahan renungan yang tak habis-habis buat saya. Dan saya seringkali bertanya dalam hati, akankah saya tetap istiqomah seperti mereka sepuluh tahun dari sekarang? Semoga saja. Insyaallah. Amiin.

Saturday, May 20, 2006

Berjuang untuk Menang

Ketika diri kita sudah terbiasa menghadapi berbagai macam rintangan dalam kehidupan, kita akan mengerti bahwa rintangan itu ada untuk dilewati, dan melewatinya perlu kerja keras dan kesungguhan. Dan bukan hanya itu, setelah kita berhasil melewatinya, kita akan mendapatkan kepuasan dan memperoleh nikmat sesudah kepayahan.

Saya teringat seorang teman yang pernah mengatakan bahwa betapa beruntungnya si anu yang diberi kemudahan oleh Allah dalam hidupnya. Pada waktu itu yang ia sebutkan sebagai kemudahan adalah: cepat lulus kuliah dan mudah mendapat pekerjaan. Si anu yang sedang dibicarakan memang baru saja diterima bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji yang lumayan. Teman saya itu menceritakannya dengan maksud membandingkan dengan dirinya yang hingga waktu itu belum bekerja, dan sudah 3 bulan lulus dari kampus. Mendengar ia mengucapkan keluhan itu, saya berkata dalam hati, betapa ia tidak tahu berbagai kesulitan yang telah si anu lewati sebelum akhirnya Allah menurunkan rezeki sebuah pekerjaan untuknya. Saya mengenal si anu sama baiknya dengan teman saya itu. Si anu sudah dua tahun lebih lulus dari kampus, lebih dulu dari teman saya itu, dan belum juga mendapatkan pekerjaan tetap. Saya tahu upaya yang telah dikerahkan olehnya selama ini, dan berbagai sandungan yang ia alami. Ia pernah ditipu oleh seorang teman, dan akhirnya beberapa juta uangnya hilang. Ia pernah berusaha mendirikan usaha sendiri, namun akhirnya ditutup setelah setahun tak memberi hasil bahkan merugi. Ia sudah melamar ke mana-mana dan menjalani banyak sekali proses interview, tapi tak juga diterima. Dan banyak lagi yang sudah ia lakukan, dan menurut saya hal-hal itu tidak mudah.

Teman saya itu, tiga bulan setelah lulus, ia diterima bekerja sebagai seorang sekretaris pada sebuah perusahaan. Sejak itu saya tidak pernah menanyakan padanya, apakah sekarang ia masih mengatakan bahwa si anu sangat beruntung dan iri hati padanya. Dan saya pun tidak pernah lagi mendengar ia berkeluh-kesah tentang keberhasilan si anu.

Begitulah manusia. Sepertinya hal-hal yang berada di luar dirinya kelihatan jauh lebih baik dan bagus daripada yang telah ada padanya. Tidak pernah puas, sering lupa bersyukur, dan setiap kali mendapatkan sesuatu, ia pasti menginginkan hal yang lain lagi. Ibnul Qayyim pernah mengatakan bahwa sifat seperti itu memang selalu ada pada diri manusia. Sebab manusia memiliki kelemahan dalam syahwat yang bersemayam. Padahal di luar dirinya masih banyak sekali orang-orang yang mengalami penderitaan yang jauh lebih berat, sedangkan mereka masih bisa memaknai hidup dengan lebih positif. Bukankah pikiran yang membawa kita pada perbuatan? Dan akar dari pikiran adalah aqidah yang benar. Maka bila akar tersebut telah terpancang kuat, ia akan membentuk pikiran-pikiran positif yang mendorong diri kita untuk berbuat yang lebih baik dalam kehidupan. Tanpa harus memandang kiri-kanan dengan perasaan iri, dengki, bahkan akhirnya bernafsu untuk saling menjatuhkan.

Ujian yang datang kepada tiap diri kita tidak pernah sama. Ia akan turun sesuai porsi kemampuan kita menghadapinya. Semakin baik kualitas keimanan seseorang, maka semakin kencang pula badai menerpa. Hal ini pasti sudah diketahui banyak orang, tapi banyak orang sering lupa bila ia sendiri yang sedang menghadapinya. Menanggapi ujian yang datang dengan lapang hati memang tidak mudah. Tapi itu adalah salah satu cara untuk menjaga keikhlasan dalam diri untuk setiap perbuatan, dan meneguhkan diri untuk menang dari segala macam ujian itu.

Saya tidak tahu mau menyebutkannya sebagai apa, tapi menurut saya, bersyukur kala ujian datang akan memudahkan kita untuk berjuang melewatinya. Sebab ketika Allah menurunkan lagi sebuah ujian pada diri kita, saat itu harusnya kita tahu, bahwa Allah menyimpan sebuah kenikmatan lagi di baliknya. Bila kita lulus, maka kenikmatan itu akan terasa jauh berkali lipat. Sesuatu yang diperoleh dengan perjuangan biasanya akan terasa lebih indah. Dan kepuasan seperti itu tidak hanya akan berakibat kenikmatan dunia, melainkan juga merupakan saham pribadi untuk membuka pintu surga. Jadi, kita semua memang harus berjuang untuk menang.