Halaman

Wednesday, July 05, 2006

Di Antara Pilihan-pilihan

Sekali lagi saya menuliskan sesuatu tentang seorang teman. Saya mengenalnya sejak awal tahun perkuliahan. Tahun pertama dan kedua, saya tidak bisa beranjak dekat kepadanya. Entah. Mungkin waktu itu saya terlalu disibukkan oleh urusan organisasi di kampus. Saya pun tak pusing-pusing berusaha untuk dekat dengannya. Tapi ternyata di tahun ketiga, hingga akhir kuliah, dan sampai kami lulus, Allah menakdirkan saya mengenalnya lebih dekat dari yang pernah saya bayangkan. Saya tidak menyangka bisa begitu dekat dengannya. Mungkin juga teman-teman lain berpikir hal yang sama, saya tidak tahu. Saya mendapati teman saya itu ternyata sangat cerdas, memiliki pikiran-pikiran yang menarik-walau kadang agak keterlaluan, dan talkative sekali. Rasanya saya betah mengobrol lama-lama dengannya, tentang berbagai hal. Pada beberapa bidang, kami ternyata memiliki minat yang sama.

Pelan-pelan saya mencoba mengerti 'dunia'nya, dan demikian juga dia. Kadang bahkan saya merasa saya terlalu 'masuk' ke dalam dunianya, dan cukup sering bertanya pada diri sendiri "Ngapain saya di sini?" serta merasa bahwa sebenarnya saya tidak nyaman bila menempatkan diri terlalu 'dalam'. Saya tahu bahwa awalnya saya sekadar tertarik untuk mengetahuinya, dan pada akhirnya toh saya mengeluarkan diri, bersikap biasa, dan sedikit membuat jarak supaya saya tahu bahwa saya lebih nyaman menjadi seperti apa adanya diri saya. Saya tetap berteman seperti biasa dengannya. Untuk satu dua hal, ia sering menelpon saya lama sekali untuk bertanya ini-itu dan mengobrol sedikit ngelantur. Kami berdua rasanya memang kadang memiliki ide-ide aneh yang disepakati bersama sebagai hal yang mengasyikkan untuk dilakukan. Contohnya adalah menulis novel. Padahal saya sempat berkata pada diri sendiri bahwa rasanya saya tidak mungkin membuat sebuah novel. Saya belum punya 'napas yang cukup panjang' untuk menghasilkan karya sepanjang itu. Itu perkataan saya dulu.

Teman saya itu, tentu saja, seringkali membicarakan topik-topik novel yang akan atau sedang ia tulis. Dan saya tidak pernah tahu apakah ia benar-benar menuliskannya. Yang jelas setiap kali ia mendeskripsikan cerita yang sedang ia imajinasikan, atau baru menyebutkan judulnya saja sudah membuat saya terpingkal-pingkal dan saya berkata akan mendukungnya seratus persen untuk menyelesaikan novel itu. Sepertinya kepalanya penuh dengan ide-ide gila (setingkat lebih tinggi dari kreatif) yang kalau benar-benar bisa dituliskan dalam bentuk novel, pasti saya adalah orang pertama yang akan menertawainya habis-habisan, lalu membelinya.

Memang orang yang sedikit aneh, teman saya itu. Saya tidak mau menyebutnya 'eksentrik', karena penampilannya benar-benar rapi jali seperti halnya dandanan pria-pria metropolis lainnya. Lho? Laki-laki? Ya tentu saja. Ia adalah seorang laki-laki yang rasanya bisa berteman dekat dengan semua wanita. Dan untuk 'jenis' yang seperti ini, tentu saja sangat oke untuk jadi teman ngobrol. Singkat cerita, soal ‘keanehannya’, saya tidak mau menjadikan kata ‘aneh’ sebagai standar atau patokan. Itu hanya istilah saja, karena saya tidak tahu harus mendefinisikannya dengan apa. Sebutlah ia sebagai seseorang yang punya banyak sekali keinginan-keinginan yang kadang membuat orang-orang menggeleng-geleng, bila tidak terbiasa mendengar hal-hal itu. Punya pendapat yang mungkin sebagaian orang bilang 'nyeleneh' atau 'tidak pantas' dan sebagainya. Sejak tingkat pertama kuliah, ia sudah begitu. Kadang kalau penyakit 'skeptis' saya timbul, saya hanya akan mendengus dan menolehkan kepala ke arah yang lain. Tidak peduli. Tapi semenjak saya berhubungan dekat dengannya, dan juga mulai mendapatkan informasi tambahan dari beberapa teman lain tentang dirinya, sepertinya hati dan pikiran saya memutuskan sesuatu. Ia butuh pertolongan.

Saya tidak membicarakan akan memindahkannya ke rumah sakit jiwa. Tentu tidak. Yang saya tahu, bertahun-tahun kemudian saya menjaga hubungan baik saya dengannya, dan mendengarkan setiap perkataannya yang paling konyol dan 'nyeleneh' sekalipun, tanpa menunjukkan rasa tertarik atau kaget. Sebab saya memang tidak kaget. Tertarik, mungkin sedikit. Ia sungguh mudah ditebak. So predictable. Saya jadi ingat seorang teman sekelas saya waktu SMA yang juga punya kecenderungan yang sama dengannya. Teman saya yang di SMA itu juga demikian, curhat habis-habisan pada saya, dan saya menjadi salah satu orang yang (secara tak terduga-duga) dekat dengan dirinya. Mungkin saya seperti punya magnet untuk orang-orang yang seperti itu, tidak tahu juga. Tapi saya sungguh-sungguh ingin membantunya. Walau saya tidak paham segala macam teori psikologi, dan saya memang bukan psikiater, tapi nilai mata kuliah psikiatri saya A, dan saya paham bahwa Sigmund Freud berkoar-koar tentang masa lalu seseorang yang mempengaruhi kehidupannya di masa depan bukan tanpa alasan. Walau sebagian orang kurang percaya dan menganggapnya sinting, tapi rasanya teori itu berguna juga.

Dalam sebuah kesempatan, saya berbicara blak-blakan padanya, bahkan setengah mengomelinya, dan memintanya untuk kali itu saja berpikir lebih waras. Hilangkan semua sisi kepribadiannya yang dibuat-buat atau jadilah normal sekali itu saja. Tapi kemudian, saya malah mendapatinya dalam kondisi yang 'lebih mengenaskan'. Dan saya mulai paham bahwa ia tak sekalipun pernah mengatakan sesuatu dengan jujur pada saya. Saya bahkan berkata bahwa seringkali bingung, manakah sisi kepribadian yang sesungguhnya yang ia tunjukkan selama ini. Kapan ia menjadi dirinya sendiri. Asal tahu saja, dalam lima atau enam tahun pertemanan kami, saya sudah melihatnya 'berganti-ganti' kepribadian (kalau tidak bisa dibilang 'gaya hidup') sebanyak tiga atau empat kali. Dan saya tidak pernah tahu mana yang benar, atau sejak kapan ia mulai menjadi labil seperti itu. Yah, sebenarnya saya tidak perlu ambil pusing. Seorang teman sekampus dulu pernah bicara serius dengan saya dan mewanti-wanti untuk tidak mempercayai setiap ucapan yang dilontarkan teman laki-laki saya itu. Saya sudah menduga. Dan mengira bahwa anak itu hanya butuh perhatian dan rasanya memang ingin dinilai sebagai seseorang yang 'hebat', 'tidak terduga', melakukan hal-hal yang tidak umum atau tidak dilakukan orang lain, gila, sinting, dan macam-macam lagi. Kalau saya pernah sekali 'mencela'nya, dan mengatakan bahwa dia sudah keterlaluan, maka reaksinya adalah nyengir lebar-lebar dan mengatakan "Itulah gue, gue sendiri juga nggak habis pikir. Kadang ide-ide itu muncul begitu aja dari otak gue." Kira-kira begitu katanya. Saya pun hanya geleng-geleng, dan meneruskan pertemanan itu tanpa beban. Walau dalam hati saya tetap berharap ia bisa berpikir jernih.

Panjang sekali cerita saya tentang dia. Dengan tidak bermaksud memujinya, ia memang salah seorang yang cukup unik. Tapi dari sudut pandang pikiran saya, saya justru sangat amat mengasihaninya. Rasanya ada sesuatu yang tidak beres padanya di masa lalu, atau di keluarganya. Entah. Jumlah tahun pertemanan saya dengannya mungkin belum cukup banyak untuk membicarakan hal-hal yang serius seperti itu.

Pagi ini, saya membaca sesuatu yang nyaris membuat saya membelalak, tapi sebenarnya tidak perlu. Teman saya itu kini tidak lagi tinggal di Jakarta, ia telah ‘merantau’ entah untuk apa ke kota lain yang cukup jauh. Ia memutuskan untuk meninggalkan Jakarta, dengan segala macam kenangan di sini. Dan menjadi seseorang yang lain. Saya tidak tahu apakah ia lantas berpindah keyakinan (agama), tapi yang cukup jelas ia sebutkan adalah ia memang berpindah keyakinan dalam hal identitas seksual. Saya tidak tahu apakah istilah itu tepat atau tidak. Ia memutuskan untuk menjadi seorang 'gay'. Saya tidak kaget. Tentu tidak. Yang pertama kali terbayang di benak saya adalah judul makalah yang dulu pernah ia bawakan dalam sebuah kelas mata kuliah: homoseksualitas.

Pikiran saya lantas menyambangi wajah-wajah teman-teman saya yang lain. Teman saya sejak SD, SMP, SMA, kuliah, dan teman-teman di kantor tempat saya bekerja dulu.

Allah memang Maha Membolak-balikkan hati seseorang. Bila pilihan hidup yang kita ambil jatuh pada jalan yang lurus, maka Allah akan melindungi dan menjaga. Bila pilihan itu berpaling pada kesesatan, maka kita akan semakin terjerumus. Ini adalah salah satu prinsip dasar kehidupan yang saya pegang terus sejak dulu. Tak perlu lagi tanya-tanya soal 'standar dan patokan'. Bagi saya sudah jelas. Bila ia muslim, maka lihat saja pedoman hidup yang sudah Allah berikan! Dan bila ia non-muslim, mereka tahu yang terbaik buat diri mereka sendiri.

Hari ini saya berdoa panjang sekali, memohon supaya segala perkataan yang dulu pernah saya ucapkan padanya terselip sedikit atau banyak nasehat atau peringatan. Kalau tidak, maka saya tidak menjadi teman yang baik baginya, dan saya tidak memberikan manfaat kebaikan apapun padanya.

6 April 2006

Menjadi Orang-orang yang Dewasa

Ketika saya masih kecil, kabarnya kedua orang tua saya kewalahan menjawab segala macam pertanyaan yang saya ajukan, seringkali berturut-turut. Kadang, seingat saya, ada beberapa pertanyaan yang tidak dijawab karena ayah atau ibu saya tidak tahu cara yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi mereka biasanya berusaha menjawabnya, walau mungkin tidak dengan jawaban yang tepat atau tidak memuaskan saya. Begitulah anak kecil, dan sepertinya sekarang ini kelakuan anak-anak kecil sudah semakin luar biasa. Dalam hal positif atau negatif? Saya tidak mau bersilat lidah dengan ada atau tidaknya batasan yang jelas tentang 'alat ukur' ini, maka saya katakan dengan jelas bahwa sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang yang seharusnya digunakan oleh setiap muslim di dunia: Islam.

Menjadi orang tua, atau orang yang lebih tua dari anak-anak itu, kadang memang merepotkan. Malah seringkali berita-berita tak enak seputar kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak terjadi hanya gara-gara masalah sepele: kurangnya kedewasaan si orang dewasa tersebut dalam menyikapi permasalahan hidup. Misalnya soal pekerjaan, urusan perut, masalah rumah tangga, dan sebagainya. Persoalan-persoalan yang menuntut penyelesaian segera, namun karena berbagai kondisi tidak bisa dituntaskan. Akibatnya, orang-orang dewasa yang bermasalah tersebut jadi stres, dan kemudian melampiaskannya pada yang ada di sekitarnya, termasuk anak-anak mereka sendiri. Bukankah itu ciri-ciri ketidakdewasaan? Modal akal dan hati yang dikaruniakan oleh Sang Pencipta Alam tentunya bisa digunakan untuk mencari penyelesaian yang tepat, dan sesuai dengan syariat agama. Tetapi ciri-ciri ketidakdewasaan tadi itulah yang menghambat. Mudahnya tersulut amarah, tidak bisa mengendalikan emosi, melampiaskannya pada hal-hal yang tidak benar, terperosok dalam kemaksiatan. Hal-hal itu bukan barang baru lagi di masyarakat kita. Sungguh menyedihkan.

Sepertinya pola hidup masyarakat kita sudah terbentuk pada suatu lingkaran yang itu-itu saja. Kriminalitas dan apa saja yang berbau maksiat begitu dekat dan sering dihubung-hubungkan dengan level paling bawah dari lapisan masyarakat. Walau tindakan tersebut juga bisa saja dilakukan oleh orang-orang yang berlevel atas, dilihat dari sisi kemapanan ekonomi. Mengambil sesuatu yang bukan milik sendiri, mengadu domba, saling menjatuhkan, berebut kekuasaan, dan berbagai hal yang mencerminkan keburukan akhlak. Padahal orang-orang dewasa tersebut sama saja semuanya, sama-sama memiliki akal dan hati nurani. Dua anugerah yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Akibat dari ambisi-ambisi tersebut, kadang, mengakibatkan mereka bersikap kekanak-kanakan.

Entah berapa banyak jumlah orang-orang yang butuh pengingatan dari orang lain. Butuh nasehat supaya tak tersesat. Butuh bimbingan supaya tak salah arah. Butuh pegangan supaya berjalan lurus. Apalagi? Sudah pasti jawabannya adalah kembali kepada agama. Dan menanamkan nilai-nilai Islam sejak masih dalam kandungan (baca: sedini mungkin) adalah kiat yang paling jitu untuk menghindarkan terbentuknya generasi yang kekanak-kanakan seperti ilustrasi di atas. Dengan mematuhi apa yang Allah turunkan, segala macam persoalan pasti selesai. Karena memang aturan-aturan dalam Islam sangat sesuai dengan fitrah manusia. Mencari solusi yang tepat atas semua permasalahan? Kembali saja kepada Islam. Sayangnya, sejak entah berapa waktu lampau, sudah tak terhitung lagi jumlah upaya-upaya yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk menjauhkan kita semua dari Allah. Mencoba mengisolir para remaja dari agama, menyuguhkan berbagai godaan yang sudah pasti lebih enak dinikmati ketimbang bersusah payah meraih jalan ke surga, membalut kaum muslimin dengan gemerlapnya dunia modern dan menghembuskan bujukan supaya meninggalkan agama sebab hal itu dipandang kuno. Sampai hari kiamat, musuh-musuh Allah itu tidak akan berhenti berupaya. Percaya saja.

Satu contoh kecil, yaitu enggannya orang-orang untuk memberi dan menerima nasehat. Dengan dalih kehidupan masing-masing adalah privasi, tidak ada waktu untuk saling bertanya-jawab soal agama, dan sebagainya. Padahal aktivitas memberi dan menerima nasehat sama dengan memberi nutrisi bagi jiwa kita, yang seharusnya selalu menjadi panglima yang menunjukkan mana kebenaran dan mana kebatilan.

Tapi saya memilih untuk tidak skeptis terhadap hal ini. Bagaimanapun buruknya kondisi umat islam sekarang ini, pasti masih ada orang-orang yang mau merendahkan hatinya untuk bisa menerima nasehat dari siapa saja yang bersedia menasehatinya.

Kemarin malam, saya mendapatkan pesan di handphone saya. Pesan tersebut dikirimkan oleh paman saya dan ditujukan kepada ayah saya. Pesan itu kemudian diteruskan oleh ayah saya kepada saya. Bunyinya begini:

"Insyaallah mulai minggu depan aku belajar ngaji lagi sama gurunya Raihan. Ngobrol sama dia, Raihan bilang katanya banyak orang yang sudah berumur belum bisa baca Alquran tapi malu mau belajar karena ngerasa terlambat dan udah ketuaan. Padahal, kata dia, banyak orang lupa, Alquran itu diturunkan untuk orang tua. Waktu pertama diturunkan, Rasul SAW berusia 40 tahun kan? Subhanallah…ayo belajar ngaji!"

Raihan adalah anak dari paman saya itu, dan ia berusia sekitar 9 tahun. Subhanallah … Maha Suci Allah yang telah menganugerahkan kedewasaan kepada Raihan (yang dengan berani menasehati orang tuanya) dan kepada paman saya (yang dengan lapang hati menerima nasehat dari anaknya).