Halaman

Saturday, December 02, 2006

Jakarta-Sangatta

Balikpapan-Sangatta

Setelah satu hari beristirahat di sebuah hotel di Balikpapan, akhirnya tiba juga saatnya berangkat menuju Sangatta. Setibanya di airport, saya rada deg-degan. Sedikit gugup dan sibuk menebak-nebak, seperti apa bentuknya pesawat CASA yang akan mengangkut kami menuju Sangatta. Petugas dari Aircraft tersebut memeriksa selembar kertas yang berisikan informasi pemesanan tempat yang dibawa suami saya. Tak lama, ia meminta kami bergantian menimbang berat badan di sebuah timbangan raksasa (yang saya pikir timbangan semacam itu hanya diperuntukkan barang-barang besar, karung goni, atau semacamnya). Saya melirik benda aneh itu, dan sedikit ragu untuk menggunakannya, atau lebih tepatnya takut terlihat baru pertama kali naik CASA dan dengan bodohnya melakukan hal-hal yang memalukan. Tapi melihat suami saya menaiki timbangan tersebut dengan santainya, lengkap beserta sepatu yang dipakai dan tas ransel di punggung, saya memutuskan untuk juga melakukannya seolah sudah pernah sebelumnya. Namun tak urung celoteh-celoteh heran pun meluncur deras dari mulut saya kepada suami yang saat itu hanya menanggapi dengan cengar-cengir.

Pesawat CASA

Saya tidak boleh lupa menyebutkan bahwa di counter check in tadi kami berdua masing-masing diberikan sebuah bungkusan berwarna kuning. Hampir saya mau mengantonginya saja dan berpikir akan membukanya nanti atau bahkan melupakannya. Suami saya mengingatkan bahwa benda empuk di dalamnya adalah sepasang penyumbat telinga yang sangat dianjurkan untuk dipakai ketika pesawat akan lepas landas. Ups … lagi-lagi hampir saya lupa bahwa saya akan menaiki kendaraan yang masih asing sama sekali, yang kabarnya super berisik serta berguncang-guncang. Tak sadar saya mengelus-elus perut yang mulai membuncit berisikan janin usia 3 bulan.

Tak lama menunggu, kami berdua (beserta beberapa belas orang penumpang) dipanggil untuk menaiki pesawat. Ha. Akhirnya saya bertemu muka dengan pesawat kecil itu. Jantung saya berdebar cukup kencang, antara penasaran karena belum pernah dan khawatir akan mengalami guncangan kencang di dalamnya nanti. Sepertinya saya akan memegangi perut saya terus sepanjang perjalanan.

Ruang dalam pesawat mungkin benar-benar didesain pas untuk 20 orang penumpang beserta dua atau tiga orang awak pesawat. Si pramugari (kalau memang bsia disebut begitu) sampai hapal nama-nama kami dan dengan sigap menunjuk tempat duduk yang akan kami tempati. Sepertinya ia memang petugas yang tadi mendata kami di counter check in. Saya dan suami menempati tempat duduk nomor dua dari depan. Dua lajur tempat duduk tersebut masing-masing berisi dua tempat duduk di tiap barisnya, dan terdapat sekitar lima baris ke belakang. Jangan membayangkan tempat duduk empuk dan lebar dari pesawat tipe BOEING. Saya hampir-hampir sibuk berpikir, bagaimana dengan penumpang yang memiliki bobot berlebih dan postur badan lebar, sepertinya tidak akan muat duduk di kursi tersebut. Setelah mengenakan sabuk pengaman, saya sibuk menenangkan diri dengan membaca doa-doa. Itu juga saya lakukan setelah bersusah payah menggunakan penyumbat telinga dengan benar, dengan sebelumnya melirik ke kiri dan kanan, memperhatikan bagaimana orang-orang menggunakannya.

Jarak Balikpapan-Tanjung Bara ditempuh selama kurang lebih satu jam perjalanan. Terbayang kan betapa jauhnya Sangatta dari 'pusat peradaban' Kalimantan Timur? Bila berkenan menempuhnya lewat darat, siap-siap saja tertidur panjang atau malah duduk sambil pegal-pegal selama kurang lebih tujuh jam.

Tanjung Bara

Airport yang benar-benar kecil. Mungkin kurang tepat kalau disebut sebagai bandar udara ya? Landasan pesawat CASA, sebuah bangunan beratap tanpa pintu dan jendela tak begitu besar, dan lapangan parkir cukup luas merupakan bagian dari 'airport' tersebut. Cukup untuk menjadi tempat turun-naik penumpang beserta bagasinya, dengan ruang tunggu seadanya.

Bersama penumpang lainnya (yang sebagian besar adalah pegawai KPC) kami mengantri di tempat pengambilan bagasi. Agak lama juga, sebab koper-koper dan barang-barang lain milik penumpang diturunkan dan diantar dengan menggunakan troli khusus yang didorong dengan tenaga manusia sampai ke tempat pengambilan. Troli tersebut hanya ada satu, jadi dua orang petugas itu harus bolak-balik mengambilnya kembali dari bagasi pesawat.

Kami berdua dijemput oleh seorang sopir kantor KPC yang telah dihubungi sebelumnya oleh suami saya. Di dalam mobil, suami saya cepat-cepat mengingatkan mengenai aturan ketat dari KPC bagi pengguna kendaraan, yaitu memasang seat belt (baik yang duduk di depan maupun di belakang) apabila menggunakan mobil kantor. Katanya bila aturan itu tidak dipatuhi, ada denda sekian rupiah yang harus dibayar, beserta teguran keras. Hmm … cukup bagus juga sebagai motivasi untuk mendisiplinkan diri. Namun saya dengan payah memasangkan seat belt itu dengan nyaman di perut saya yang sudah berubah bentuk.

Perjalanan dari Tanjung Bara ke Lembah Hijau (nama komplek perumahan tempat kami akan tinggal) membawa nuansa berbeda ke dalam hati saya. Apalagi sebelumnya kami sempat singgah ke komplek perumahan Tanjung Bara mengantarkan seorang pegawai KPC yang ikut di mobil bersama kami. Suasana yang rasanya tidak bisa ditemui di Jakarta. Sepanjang jalan yang agak berkelok-kelok, saya mengedarkan pandangan ke kiri-kanan jalan yang masih terlihat 'hijau' dan berbukit-bukit. Sepertinya kontur tanah di Sangatta memang begitu.

Rumah-rumah yang terletak di komplek Tanjung Bara sekilas terlihat tidak 'tertata rapi' seperti halnya yang ada di kota-kota besar lain. Dari satu rumah ke rumah lainnya agak berjauhan, tapi itu malah memberi kesan lega dan tidak bertumpuk-tumpuk apalagi padat. Disamping penyebabnya adalah kontur tanah yang memang berbukit-bukit. Pihak kontraktor perumahan mungkin memutuskan untuk tidak mengubah kontur tanah, dan menyiasatinya dengan mendirikan perumahan dengan struktur bangunan semacam 'rumah panggung', berdinding kayu, beratap genting atau asbes (tergantung jenis perumahan). Sebab bahan bangunan macam semen, batu, pasir, dan sebagainya memang super mahal. Maklum, keterbatasan transportasi.

Katanya memang komplek di Tanjung Bara diperuntukkan mereka yang jabatan di PT KPC sudah lebih senior dengan gaji yang sudah pasti jauh lebih besar dari kebanyakan pegawai. Sebab bila mau, bisa saja rumah-rumah tersebut ditempati oleh siapa saja, asal mampu membayar uang sewanya yang bisa dua-tiga kali lipat dari pasaran harga sewa di komplek lain. Kelebihannya, komplek Tanjung Bara memang tertata lebih apik, asri, dengan bahan bangunan yang lebih bagus, ukuran rumah lebih besar, yang menurut saya suasananya mirip 'luar negeri'. Bukan hanya saya saja yang berkomentar begitu. Seorang teman saya yang kebetulan juga agak mengenal kondisi Sangatta dan suasananya pun menyatakan hal yang sama.

Sangatta Baru dan Sangatta Lama

Keluar dari wilayah Tanjung Bara, sampailah kami di kota Sangatta. PT KPC mendirikan area yang kemudian dinamakan Sangatta Baru atau orang-orang sering menyebutnya komplek KPC atau daerah 'dalam'. Tidak usah repot-repot membayangkan ada semacam gerbang besar yang memisahkan satu daerah ke daerah lainnya. Sebab yang saya visualisasikan sebagai Sangatta Baru dan Lama adalah seperti ini:

Bayangkan dua buah garis yang membentuk huruf T, dengan ukuran masing-masing garis yang tidak usah dipusingkan mana yang lebih panjang. Garis yang terletak melintang adalah wilayah Sangatta Lama atau Luar, dan yang terletak vertikal adalah wilayah Sangatta Baru atau Dalam. Pertigaan yang mempertemukan kedua garis tersebut ditandai dengan berdirinya bangunan Plasa Telkom di sebelah kanan garis yang vertikal. Nah, mulai dari Plasa Telkom hingga garis lurus ke bawah tersebut terletak berbagai fasilitas umum dan komplek perumahan yang agak sulit saya sebutkan satu persatu. Tetapi tentu saja, Yayasan Sangatta Baru atau PT KPC mengatur bangunan-bangunan tersebut demikian rapi, dan fasilitas umum terletak di pinggir jalan supaya mudah dijangkau. Seperti Medical Center, masjid Darussalam, gereja, Radio GWP, PMI, Town Hall, dll. Sedangkan komplek-komplek perumahan diatur terpisah dari sarana-sarana umum tersebut, terletak agak ke belakang dengan ciri khas yang berbeda-beda.

Walaupun sepertinya di Sangatta Baru segala macam keperluan bisa didapat di Town Hall (seperti pasar tradisional, mini market dan koperasi yang cukup besar, bank BRI, beberapa ATM, medical center, pusat makanan, bahkan perpustakaan dan sekolah), tetapi tentu saja beranjak ke Sangatta Lama kerap kali dilakukan untuk mendapatkan barang-barang dengan harga lebih murah dan alternatif yang lebih banyak. Walaupun sepanjang 'garis horizontal' tersebut hanya terdapat toko-toko kecil di pinggir jalanan yang terlihat lurus hingga entah sampai ke mana. Ada pasar Teluk Lingga yang lebih lengkap serta menjual berbagai kebutuhan pokok dengan harga lebih murah. Ada toko-toko meubel yang menjual perabot rumah semacam tempat tidur, meja rias, lemari pakaian, dan lain-lain. Cukup lengkap dan bisa memenuhi kebutuhan para pendatang baru, walaupun jangan berharap terlalu banyak pilihan yang bisa didapat. Bahkan ada sebuah toko yang terletak di ujung jalan Sangatta Lama, yang menerima kreditan bagi pegawai PT KPC maupun perusahaan kontraktor lain yang ada di Sangatta, atau siapa saja yang sudah berlangganan di toko tersebut.

(to be continued)