Halaman

Saturday, August 25, 2007

Finally ... sudah beredar!!!

Menjadi cermin bagi orang lain, merupakan satu hal yang pasti dari setiap diri kita. Tetapi, mampukah kita memantulkan bayangan yang baik? Atau kita hanya memantulkan gambar buram yang tak sudi dilirik orang?

Diterbitkan oleh:
Pro-U Media, Yogya.

Kunjungi toko buku kesayangan Anda, dan beli bukunya ya!!! :-)

Thursday, August 16, 2007

Main, yuk!


OOooppsss ... !!!
Hehehe ... siapa sih yang bisa nerjemahin bahasa bayi? Saya sebagai bunda-nya kadang-kadang juga sok tau aja nebak-nebak.
Firna udah hampir lima bulan nih. Rambutnya udah digundulin dua kali, supaya rata tumbuhnya. Sekarang udah guling-gulingan, dan belajar merangkak. Udah makin lancar, kedua kakinya udah berenang-renang gaya katak di lantai. Lucu? Bangettt!!!

Firna !



Firna Sabila Husna.
Artinya "Segera Menuju Jalan Kebaikan".
Firna-ku lahir tanggal 1 Maret 2007, di Klinik Medika Plaza, Sengata. Sejak jam setengah lima sore di ruang bersalin sampe jam delapan malam. Berat 3,1Kg dan panjang 50cm. Perjuangan berat, nggak bisa dilupakan, sekaligus seru untuk diceritain berkali-kali ke khalayak ramai ... ;p

Ini foto Firna waktu usia kira-kira satu bulan. Mumpung ada kamera pinjeman, cepet-cepet deh fotoin Firna banyak-banyak. Tapi sayang, pas setting internet di komputer lagi error berat. Jadi agak basi deh baru diposting sekarang. Nggak apa-apa dehh ...

Sekarang Firna udah lima bulan lebih. Udah nggak kayak gini lagi mukanya. Duh, pengen cepet-cepet ke Jakarta, trus ajak Firna ketemu orang-orang. (kangen berat mode on)

Ganti Template Lagi ... ???

Ups ... yah, ganti template lagi? Yep. Template sebelumnya bagus, saya suka banget, tapi kok jadi kacau gitu tampilan side bar-nya. Jadi males ngeliatnya, deh. Kembali aja deh ke sebelumnya, kayaknya kok lebih rapi. Sambil cari-cari inspirasi buat bikin yang baru (lagi). Hehe. Bisa aja ngelesnya ....

Selalu Memberikan Maaf

Dari dulu, saya selalu yakin bahwa sepanjang nyawa masih menempel di raga, Allah pasti akan menerima taubat seseorang. Betapapun seseorang tersebut berkali-kali melakukan kesalahan. Betapapun seseorang tersebut tak menyadari betapa Allah telah berulang kali memberikannya kesempatan untuk bertaubat. Oleh karena itulah, saya tidak pernah putus asa menyemangati seseorang yang saya kenal, yang saya tahu sudah begitu banyak kesalahan yang ia perbuat semasa hidupnya.

Kalau ditanyakan kepada orang lain, mungkin beragam tanggapan yang akan saya terima. Ada yang langsung bersikap sinis dan mengatakan bahwa dosa orang tersebut terlalu besar. Dan mungkin ada pula yang memilih bersikap skeptis bahwa seseorang tersebut tidak mungkin berubah sampai kapanpun. Saya adalah salah seorang terdekat dari seseorang tersebut, sebut saja si A, yang cukup mengetahui sejarah panjang ‘kelakuannya’ yang tak pernah tidak membuat orang lain geleng-geleng kepala. Bahkan untuk beberapa kasus, saya sendiri terhitung menjadi korban akibat perilakunya yang tidak bertanggung jawab. Tetapi, entah kenapa, saya tetap saja ‘membela’ si A di hadapan orang lain seraya mengatakan: “Ia sedang berusaha untuk bertaubat”.

Banyak orang mungkin merasa heran dengan sikap saya tersebut. Padahal mereka mengetahui apa saja yang telah diperbuat oleh si A terhadap diri saya. Saya sendiri memang merasakan tak sedikit penderitaan yang saya rasakan akibat ulah si A tersebut. Tetapi, sekali lagi, entah kenapa saya selalu berusaha memaafkannya. Mungkin rasa sayang saya begitu besar pada si A. Mungkin di lubuk hati saya yang paling dalam, saya begitu mengharapkan si A untuk berubah, bertaubat, dan tidak lagi mengulangi perbuatannya. Saya rasanya masih bisa membuka lebar-lebar hati saya untuknya. Apalagi dalam kurun waktu tiga tahun belakangan ini si A memang benar-benar berubah, menurut saya. Saya jadi mensyukuri keputusan saya untuk memaafkan segala perbuatan buruknya yang dilakukan pada saya.

Melihat perubahan demi perubahan yang terjadi pada dirinya, saya tak habis-habis mengucap syukur pada Allah. Bahkan kadang-kadang saya tidak percaya, bahwa si A bisa begitu berubah. Ia tak pernah tidak menunaikan shalat tepat waktu. Ketika adzan berkumandang, ia langsung bangkit dari aktivitasnya dan langsung mengambil wudhu. Saat hari Jumat tiba, ia dengan begitu bersemangat berjalan kaki dari rumah menuju masjid terdekat. Seringkali saya terharu melihatnya tersenyum-senyum pulang ke rumah dengan sajadah tersampir di pundak. Pun ketika saya mendapatinya begitu rajin berpuasa sunnah setiap hari Senin dan Kamis. Sewaktu ia berada di luar rumah, misalnya sedang berjalan-jalan ke sebuah mal, ia dengan percaya dirinya langsung menghampiri mushala untuk menunaikan shalat apabila waktunya telah tiba. Saya melihat semangat menuju kebaikan yang tak habis-habisnya pada diri si A. Dan rasanya saya ingin melakukan apapun untuk membuatnya tambah bersemangat, dan memberikan sedikit ilmu yang saya punya untuknya. Ternyata benar, memberikan maaf kepada orang yang berbuat salah bisa jadi akan menimbulkan semangat pada dirinya untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Allah saja mengampuni seluruh dosa hamba-hamba-Nya, masa manusia tidak? Begitu keyakinan saya.

Dalam banyak diskusi yang kami lakukan, saya pun mendapati dirinya penuh keingintahuan tentang Islam. Tak jarang kami mengobrol lama mengenai hal-hal yang ingin diketahuinya. Dan saya sendiri merasakan bahwa sepertinya saya yang jadi bersemangat untuk menceritakan dan memberitahukan segala hal yang saya tahu kepadanya. Tak henti-hentinya saya bersyukur pada Allah akan kesempatan yang Ia berikan pada si A untuk memperbaiki diri.

Suatu hari, secara tak sengaja saya mendengar sebuah kabar mengejutkan dari seorang saudara saya. Ia mengatakan bahwa ia mengetahui si A melakukan lagi perbuatan yang sudah lama ia tinggalkan. Saya kontan saja kaget. Benar-benar tidak menyangka. Saya meminta saudara saya itu untuk memeriksa kembali, bahkan memintanya untuk memberikan bukti-bukti kepada saya akan perbuatan yang dilakukan si A. Dan demikianlah, beberapa bukti yang secara tidak sengaja ditemukan oleh saudara saya itu, benar-benar membuat saya kaget. Sepertinya saya tidak mau percaya. Dan si A berusaha untuk berkilah, menghindari pertanyaan yang kami berdua sodorkan. Awalnya saya menemukan rasa sesal dan mungkin sedikit rasa takut pada diri si A bahwa perbuatannya telah diketahui. Tetapi ketika kedua kalinya saya memintanya untuk menjelaskan, pernyataan yang saya dapatkan adalah ”Apa ada yang salah?”

Saya rasanya tidak bisa lagi mengobati rasa kecewa ini, pada saat ini. Dan saya tidak tahu kapan saya akan bisa memberikan maaf untuknya yang ke sekian kalinya menyakiti lagi diri saya, dan juga keluarga kami. Kesalahan yang diperbuat untuk yang kedua kalinya, atau entah ke sekian kali. Memang ada saja ulah setan untuk menggoda manusia yang sedang berusaha bertaubat. Memang selalu ada ujian-ujian bagi orang-orang yang ingin meningkatkan keimanannya. Memang hanya Allah yang memiliki kuasa untuk memberikan dan mencabut hidayah pada diri seseorang. Saya benar-benar kecewa. Tetapi satu hal yang saat ini sedang saya usahakan dengan sangat keras untuk tetap mendiami hati saya. Sebuah keyakinan bahwa taubat seseorang akan selalu diterima oleh Allah, sampai waktu ajalnya tiba nanti. Dan saya berdoa, agar Allah masih berkenan untuk memberikan ampunan serta kesempatan pada si A untuk sekali lagi bertaubat.

Jatuh untuk yang Kedua Kalinya

Seekor hewan yang selalu menjadi perumpamaan jelek untuk seseorang yang berbuat kesalahan adalah seekor keledai. Bila seseorang sekali berbuat kesalahan, kemudian nasehat yang muncul adalah: jangan seperti seekor keledai, yang jatuh ke lubang yang sama dua kali. Ibaratnya, jika manusia yang memiliki kesempurnaan akal dan hati bisa berbuat kesalahan yang sama berkali-kali, ia sama saja seperti seekor keledai, hewan yang tidak memiliki akal dan hati. Memang, sebagai seorang makhluk yang penciptaannya begitu sempurna, agak keterlaluan bila tidak bisa mengoptimalkan potensi akal dan hatinya untuk melindungi diri dari kebodohan tersebut. Tetapi, sungguh tidak sedikit orang yang melakukannya.

Ada seorang kerabat saya yang telah melakukannya. Saya telah mengenalnya selama bertahun-tahun. Kesalahan pertama yang ia perbuat bertahun-tahun yang lalu demikian menyakitkan bagi istri dan anak-anaknya. Saya tak bisa membayangkan bagaimana dampak yang diakibatkan dari perbuatannya tersebut dahulu. Yang saya tahu, beberapa keluhan serta gejala-gejala traumatik dapat dilihat dengan jelas pada proses perkembangan kedua anak-anaknya. Yang satu, tumbuh menjadi anak yang sedikit penakut bahkan bisa histeris dan panik bila sewaktu-waktu mendengar pertengkaran kecil kedua orang tuanya, atau mendengar suara-suara berintonasi keras dari orang lain. Walaupun seiring dengan pertumbuhannya, trauma itu berangsur-angsur berkurang, tetapi tidak bisa hilang sama sekali. Yang satunya lagi, seringkali secara tidak sadar bersikap kasar sekali kepada ayahnya tersebut, dan sedikit memiliki potensi sifat pendendam. Memang, kejadian yang menyebabkan trauma tersebut terjadi ketika mereka berdua masih sangat kecil. Tentu saja, apapun yang dialami seorang anak, sekecil apapun dia, pasti akan terus membekas hingga dewasa.

Namun bertahun-tahun kemudian, sampailah hidayah yang membuahkan keterbukaan hati pada kerabat saya itu. Alhamdulillah. Banyak sekali orang yang lega dan senang akan perubahannya tersebut. Saya sendiri termasuk salah seorang yang mendukung perubahannya menuju kebaikan. Saya tak lelah menyemangatinya untuk terus berubah menjadi lebih baik, yang tentu saja hal itu akan membahagiakan keluarganya.

Dan memang, campur tangan setan untuk menyesatkan tak akan pernah jera menghantui manusia. Saya sendiri tak mengerti, dari mana godaan itu berasal, dalam tempo yang sangat singkat, perilaku kerabat saya tersebut berubah total. Hal ini mengagetkan istri dan anak-anaknya, terlebih diri saya yang tadinya begitu optimis akan dirinya. Dan ia pun mengulangi kesalahan yang telah ia perbuat dulu. Begitu cepat terjadinya. Hingga kedua anaknya sendiri pun tak mampu mencegah atau menyadarkan ayahnya akan kesalahannya tersebut. Tak sedikit orang yang akhirnya turun tangan menasehatinya, tetapi tidak mempan. Sungguh benar, ketika seseorang sudah memilih untuk menempuh jalan yang sesat dan tak lagi mengindahkan kebenaran, maka siksa Allah akan menimpanya. Ia pun semakin tersesat. Jatuh ke lubang yang sama dua kali.

Seandainya ’lubang kesalahan’ memiliki tanda, maka bisa jadi setiap orang akan mudah untuk menghindarinya supaya tidak terjatuh. Atau bila ketika berbuat sebuah dosa seseorang akan tercoreng hitam mukanya, maka bisa jadi tak ada orang yang mau berbuat dosa. Masalahnya, dosa dan kemaksiatan diselimuti dengan pagar kenikmatan serta kesenangan yang akan memuaskan nafsu manusia. Sedangkan kebaikan dan jalan menuju surga diliputi kerikil yang tampak menyusahkan. Dan memang tidak semua orang di dunia ini mengerti tujuan akhir kehidupannya. Sehingga yang ia cari hanyalah kenikmatan dan kesenangan untuk sesaat, tanpa memikirkan ganjaran apa yang akan ia terima atas perbuatannya tersebut.

Tuesday, August 14, 2007

Jakarta-Sengata (part two)

Mati Lampu

Sudah hampir dua bulan ini Sangatta benar-benar menjadi seperti asal-usul namanya: Sangat Menderita. Kami harus merasakan satu hari mati lampu selama sekitar 6 jam di pagi hari, dan kemudian keesokan harinya mati lampu sekitar 5 jam di malam hari. Kalau lagi ‘tega’, kami semua dikagetkan dengan mati lampu selama 12 jam. Mungkin sudah beberapa kali terjadi. Biasanya jam-jam mati lampu bergiliran bisa ditebak. Kalau giliran pagi, pasti mulai pukul 8 hingga sekitar pukul 4 atau 5 sore. Kalau giliran malam, bila pukul 5 sore atau menjelang maghrib mati lampu, maka siap-siap bergelap ria hingga pukul 10 malam. Awalnya memang terasa menyebalkan, tapi lama-lama sepertinya terbiasa juga. Tapi, beberapa waktu belakangan, mati lampu tak bisa ditebak. Kadang jam 6 pagi, atau jam 11 siang, bahkan kemarin malam mati lampu hanya berlangsung 2 jam, dan kembali terang pukul 8 malam. Dan menjelang saat tidur, sekitar pukul 10, tiba-tiba semua gelap lagi. Ya sudah pasrah saja lah. Sempat ada kabar bahwa seluruh Sangatta akan ‘dimatikan’ selama seharian penuh, dalam rangka perbaikan listrik seluruh Sangatta. Kami sempat berharap-harap cemas, terserah lah mau dimatikan berapa jam asal setelahnya tidak terjadi lagi mati lampu bergantian seperti dua bulan ini. Ternyata???? Mati lampu se-Sangatta tidak jadi, dan hingga sekarang kami masih cukup hafal dengan jadwal mati lampu ‘siang-malam’.

Mati Air

Penderitaan yang satu ini memang nggak dirasakan oleh penghuni komplek perumahan KPC di Swarga Bara alias Sangatta Baru. Tapi rasanya saya perlu tulis, karena ini menyangkut penderitaan banyak sekali teman-teman saya yang memang tinggal di daerah Sangatta Lama, Teluk Lingga dan sekitarnya. Sudah sekitar dua minggu terakhir mereka sama sekali tidak mendapatkan aliran air dari PAM. Bayangkan saja, biasanya mereka harus berebut menampung air yang hanya ‘lewat’ satu atau dua kali seminggu, biasanya keluar di malam hari, sehingga mereka harus bergadang hingga pukul dua dini hari untuk menunggui tampungan air. Kemudian hari-hari berikut mereka harus mengirit pemakaian air, terbatas hanya untuk mencuci baju dan mandi saja. Saya membayangkan kalau hidup seperti itu, apa jadinya nasib saya yang selalu kepanasan di siang hari hingga bisa mandi berkali-kali untuk menghilangkan gerah. Nah, sekarang ini, dua minggu berturut-turut mereka sama sekali tidak mendapatkan pasokan air, hingga banyak di antara mereka yang harus menampung air hujan untuk mandi dan mencuci. Dan akibatnya? Seorang bapak, namanya pak Gatot (saya sih nggak kenal), masuk rumah sakit karena terkena demam berdarah akibat dari sekali waktu itu mandi pakai air tampungan hujan. Mungkin terkena jentik-jentik yang berkembang di tempat tampungan tersebut. Akhirnya banyak orang yang menampung hujan waspada dengan meneteskan obat pada air tampungan tersebut.

Uang Belanja Bengkak

Dulu, saya pikir hidup di Jakarta bisa menghabiskan uang karena semua barang mahal. Saya pikir hidup di daerah (apalagi daerah kecil) pasti lebih enak, karena lebih banyak uang yang bisa ditabung. Ternyata????

Pertama kali ‘menyentuh’ pasar Town Hall, saya sempat terpelongo lama sekali di stan sayuran, daging, ayam, dll. Harga-harga bisa dua kali lipat lebih mahal dari pengeluaran belanja saya di Bintaro dulu. Bahkan ada beberapa penjual yang tidak bersedia melakukan tawar-menawar. Walaupun pembeli dibolehkan untuk menyebutkan harga sekian untuk membeli dagangan mereka. Tapi menyebutkan ‘seribu rupiah’ untuk membeli cabe merah sama saja dengan mendapatkan cabe merah sekitar hampir sepuluh biji. Kadang-kadang, hanya membeli beberapa jenis sayuran beserta bumbu-bumbu saja bisa menghabiskan uang dua puluh ribu rupiah lebih. Jadi, semangat saya untuk menawar dan mendapatkan harga murah di pasar Town Hall menurun drastis. Akhirnya saya lebih sering mencomot barang-barang yang saya perlukan, dan menyerahkan pada si penjual untuk dihitung, lalu pasrah saja menyerahkan uangnya. Walau saya sering mendapat ‘korting’ lima ratus rupiah, karena si penjual sudah kenal dan baik sekali pada saya. Tapi lima ratus rupiah itu sama saja dengan sebutir jeruk nipis. Haha. Bahkan saya sempat ragu untuk membeli buah-buahan. Disamping karena harganya memang relatif mahal (apel sekilo sekitar dua puluh tiga ribu rupiah), dan hanya sedikit jenis buah yang ada di pasar Town Hall. Tapi semenjak saya tidak tahan lagi untuk makan buah, jadilah buah pepaya ditabur jeruk nipis jadi cemilan favorit saya. Selain karena harganya lebih murah dari jenis buah lainnya, saya juga butuh si pepaya untuk mencegah sembelit akibat si bayi kecil di perut.

Belakangan, setelah punggung saya sudah semakin sering pegal-pegal dan kaki berat dipakai jalan, saya sering menitip belanja pada mbak Siti (menantu ibu kontrakan). Beliau sering berbelanja ke pasar Teluk Lingga (di Sangatta Lama) atau ke warung komplek G-House (perumahan di sebelah Lembah Hijau) dengan sepeda motor. Dan sepertinya saya akan sering menitip-nitip begitu, sebab harga akan berbeda cukup jauh. Sekitar dua ribu hingga tiga ribu rupiah untuk daging dan sejenisnya, atau seribu rupiah untuk sayuran. Yah, mungkin para pedagang di pasar Town Hall menganggap penduduk perumahan KPC cukup ‘kaya raya’ untuk dihabiskan uangnya.


Kota Berdebu

Pertama kali sampai di Sangatta, saya mengirimkan sms kepada seorang teman FLP Sangatta. Beliau membalas dengan kalimat “Selamat datang di kota berdebu”. Wah, pada waktu itu, karena saya berada dalam mobil dan masih memandangi hijaunya lingkungan Tanjung Bara, saya tidak berpikir sampai ke sana. Malah saya memuji-muji Sangatta dan mengatakan bahwa pemandangannya indah. Ternyata????

Saya baru menyadari bahwa Sangatta benar-benar ‘kota berdebu’ ketika mendapati lantai penuh pasir dan debu padahal setiap pagi dan sore selalu disapu dan dipel. Misalnya pagi harinya dipel, sekitar jam 10 pagi sudah mulai terasa ‘pasir-pasir’ di kaki. Juga perabotan lain, terutama meja makan yang terletak di dekat pintu samping dapur. Setiap kali membersihkan meja, saya selalu mengelapnya hingga ke sudut-sudut, tapi beberapa jam kemudian ketika saya ‘iseng’ mengelapkan selembar tissue, hasilnya ‘hitam legam’. Ada yang bilang debu-debu tersebut berasal dari tambang batu bara, ada juga yang dengan santainya bilang, “Ah, emang di sini aja yang ‘debuan’”. Hal ini dikeluhkan cukup banyak orang. Tapi pada akhirnya mungkin tiap orang memutuskan untuk menerima saja debu-debu yang berterbangan dengan tidak terlalu rajin dan ngotot menyapu tiap kali debu tersebut mampir.

Pentol, Payau, dan Kates

Adakah yang merasa asing dengan tiga buah kata tersebut? Yang jelas, saya sendiri baru menemukannya di Sangatta. Mungkin bahasa Indonesia yang saya gunakan terlalu sedikit kosa katanya, hingga saya terbengong-bengong saat semua orang di Sangatta (baik yang pendatang maupun asli) begitu fasih mengucapkannya.

“Pentolnya berapa nih, mbak?” suatu hari di pasar Town Hall, saya mendengar seorang ibu yang bertanya pada si penjual. Saya langsung melirik ke arah ‘benda’ yang ia sebut ‘pentol’ itu. Ternyata sebungkus bakso kecil-kecil yang biasa didapat di tukang sayur manapun. Apanya yang pentol? Begitu pikir saya. Tapi ternyata ibu kontrakan, mbak-mbak yang kost di rumah, dan semua orang dengan lancarnya menggunakan kata ‘pentol’ untuk menyebutkannya. Apakah kata ‘bakso’ di sini memang disebut dengan ‘pentol’? Atau mungkin ‘pentol’ itu bahasa kalimantan ya? Begitu yang ada di benak saya. Tapi sampai sekarang, walaupun saya sudah tahu bahwa sebutan untuk tiap benda yang dibentuk bulat-bulat seperti bakso dinamakan ‘pentol’, saya tetap ‘enggan’ menyebutkannya. Bakso ya bakso. Somay ya somay. Bakso yang kecil-kecil ya sebut saja bakso kecil, bakso urat, dan sebagainya. Bentuk seperti itu ya sebut saja ‘bulat’. Tapi saya selalu dikoreksi suami saya, yang dengan geli selalu bilang, “Bakso itu artinya pentol-pentolnya lengkap dengan mie, kuah, pangsit, dan semua isinya. Kalau pentol itu ya daging-daging yang bulet itu.” Dan saya tetap bilang, “Bakso.”

Cerita soal ‘payau’ lain lagi. Jangan bayangkan sebuah kalimat yang berbunyi “ikan itu berenang di air payau”. Karena maksud sebenarnya tidak nyambung ke arah sana sama sekali. Suatu hari, saya sedang mengobrol lewat pintu samping dengan menantu perempuan si ibu kontrakan. Mbak Siti, namanya. Mbak Siti bertanya,”Mbak suka makan payau, kah?” (soal dialek orang sini, itu lain cerita lagi) dan saya terbengong sedikit untuk mencerna maksudnya. “Maksudnya makan ikan payau gitu? Ikan apa?” sahut saya sok tahu. “Bukan, Mbak, tapi daging payau.” Baru saya mengerti bahwa ada istilah ajaib lagi yang saya tidak tahu. Akhirnya saya bertanya dengan nada heran, “Payau itu binatang apa?” (saya membayangkan jenis binatang yang belum ada di dunia tapi kemudian memutuskan untuk mendengarkan saja penjelasan mbak Siti) “Payau itu apa ya … sejenis rusa gitu, na!” (ini salah satu bagian dari dialek menarik orang sini) dan saya pun berkata dengan tenangnya, “Oh, rusa … bilang aja rusa gitu, mbak. Yang ada tanduknya itu kan?” mbak Siti belum puas, “Iya, tapi beda mbak. Yang ini lebih besar gitu, na. Bukan rusa, tapi payau. Dagingnya empuk dan rasanya enak. Murah kalau di sini, karena gampang nangkapnya.” Binatang sejenis rusa tapi bukan rusa? Nenek moyangnya kah? Binatang khas kalimantan? Saya belum pernah dengar. Saya putuskan saja untuk memvisualisasikan ‘payau’ dengan rusa. Akhirnya saya menyimpulkan, “Oh, bilang aja rusa. Nggak, nggak suka ah. Aneh. Kasian kan mereka yang dipajang-pajang di kebon raya bogor itu dimakanin orang.” Jawab saya sekenanya. Mbak Siti tertawa geli, demikian juga suami saya ketika malamnya saya ceritakan. Malah ia dengan antusiasnya bilang, “Enak lagi, dek, sate payau.” Dan saya pun dengan tegasnya bilang, “Jangan suruh aku masak payau, ya. Kasian. Masak bamby dimakan.” Saya menyebutkan sebuah nama tokoh kartun yang dipresentasikan dengan rusa betina muda. Suami saya tertawa geli lagi. Dalam hati saya: kok ya orang-orang ini suka sekali makan sesuatu yang tidak lazim ya? Sudah ada sapi, ayam, kambing yang bertebaran, masih juga makan rusa.

Soal kates, suami saya duluan yang memancing pengetahuan saya. “Kalo ‘kates’ tahu nggak?” tanyanya. Saya langsung saja menggeleng. Ternyata ‘kates’ itu artinya pepaya. Baik orang jawa yang tinggal di sini maupun penjual ‘kates’ yang penduduk asli dengan lantangnya berteriak: “Kateeees … katesnya buuuu …”. Dan saya tetap bilang, “Bu, beli pepaya matang yang itu.”

Sangatta atau Sengata?

Suatu hari ketika membaca koran Kaltim Post, saya dan suami terheran-heran. Seperti biasanya, di lembar-lembar tertentu, Kaltim Post memuat berita lokal yang meliput kegiatan sosial masyarakat di tiap kecamatan setempat. Seperti misalnya ada penyuluhan anu di Bontang, Tenggarong, dsb termasuk Sangatta. Nah, ini dia. Kami berdua saling bertanya, “Loh, kok tulisannya ‘sengata’ ya? Emang itu daerah mana lagi? Apa maksudnya ‘sangatta’?” tanya suami saya. Saya pun keheranan, “Apa mungkin salah tulis ya, mas?” Tapi kemudian, kami perhatikan setiap kolom berita tersebut dan keterangan tempatnya tetap tertulis ‘Sengata’. Jadi, tidak mungkin salah ketik rasanya.

Beberapa hari kemudian, suami saya bilang, “Dek, ternyata tulisan ‘sengata’ itu nggak salah. Dan emang namanya diganti jadi itu.”

Rupanya pemerintah daerah memutuskan untuk mengganti nama kecamatan Sangatta, menjadi Sengata. Alasannya adalah nama ‘Sangatta’ sudah sangat identik disebutkan orang-orang sebagai kependekan dari kata ‘Sangat Menderita’, yang ternyata memang merupakan asal nama kota kecil ini. Disebut seperti itu karena memang bertahun-tahun lalu (sekitar 12 tahun lalu), ketika kota ini belum berkembang seperti sekarang, masyarakat pendatang terutama merasakan betapa menderitanya hidup di Sengata. Oleh karena sulitnya mendapatkan air bersih (di Sengata Lama dan daerah Teluk Lingga pun sampai sekarang air bersih hanya datang 2 kali seminggu), listrik, minim fasilitas, serta kondisi lingkungan yang masih terlihat ‘hutan sekali’. Lama kelamaan, setelah PT Kaltim Prima Coal ‘bekerja sama’ dengan pemerintah membangun Sengata, penduduk mulai merasakan kemajuan, walau dengan segala kekurangan yang masih ada, kata ‘Sangatta’ tetap diidentikkan dengan penderitaan itu tadi.

Oleh sebab itulah nama salah satu kecamatan di kabupaten Kutai Timur ini diganti menjadi ‘Sengata’, yang juga merupakan kependekan dari sebuah istilah lain. Sengata diambil dari dua kata: ‘Seng’ dan ‘Ata’. ‘Seng’ itu artinya sungai, dan ‘Ata’ berarti kucing kecebur. Jadi, apakah Sangatta menjadi Sengata membawa sebuah perubahan arti yang besar? Sepertinya tidak, ya. Sama-sama menggambarkan penderitaan. Haha. Dasar aneh.

ps. Tulisan ini ditulis berbulan-bulan yang lalu, saking lamanya jadi lupa. Sekarang, Sengata nggak se-menderita tulisan di atas. Haha.

Pertemuan-pertemuan Cahaya

Pertama kali saya bertemu muka dengannya adalah saat saya mengikuti sebuah acara pelatihan khusus muslimah yang diadakan saat bulan Ramadhan. Saat itu juga adalah pertama kalinya saya menghadiri sebuah acara dimana tidak seorang pun yang saya kenal, sebab saat itu merupakan kali kedua ‘pemunculan’ diri saya di muka umum. Hari ke sekian di tempat baru, Sengata. Waktu itu, ia menjadi seorang pembawa acara di pelatihan tersebut, dan saya langsung saja menyukai dirinya yang sepertinya tak lepas dari senyum lebar sambil dengan lantang membawakan acara. Entah kenapa, saya biasanya bisa langsung tertarik pada seseorang pada perjumpaan pertama dari berbagai kesan yang saya tangkap. Kali itu, perhatian saya tertuju pada postur tubuhnya yang terlihat ‘tak biasa’. Setelah saya perhatikan, rupanya ia tengah hamil cukup besar. Saya agak kaget juga, sebab nyaris tak tampak dari gerak-geriknya yang luwes, lincah, namun tetap terlihat tenang. Dalam hati saya terbetik sebuah pikiran, “Apa tidak ada orang lain yang bisa menggantikan, kok hamil besar begitu disuruh jadi panitia acara.”

Kali berikutnya pertemuan saya dengannya, adalah ketika saya bergabung dalam sebuah kelompok pengajian, yang ternyata ia juga turut di dalamnya. Hati saya bersorak, sebab saya begitu penasaran ingin mengenalnya lebih dekat. Walaupun pada acara pelatihan tersebut kami sudah berkenalan, dan ternyata ia juga seorang pengurus Forum Lingkar Pena.

Ketiga kalinya saya bertemu dengannya adalah ketika kami menghadiri sebuah acara tabligh di sebuah masjid besar yang biasa mengkoordinir acara-acara saat bulan Ramadhan tiba, atau di hari-hari lainnya. Di tempat itu kami sempat berbincang cukup lama, dan saya berkenalan dengan seorang lagi anggota FLP. Kami bertiga bertukar cerita tentang pengalaman di FLP dan sampailah pada pembicaraan mengenai kehamilan dan aktivitas keseharian. Kemudian wanita yang saya kagumi itu berkata,

“Dulu ketika Nida –anak pertama saya- masih beberapa bulan, saya berangkat ke Bontang bersama rombongan FLP Sengata. Panitia dan peserta di sana sampai heboh karena saya membawa-bawa bayi begitu. Tapi saya pikir, acara seperti itu jarang sekali ada, dan saya nggak mau melewatkan. Nah, kalau lagi hamil begini, enaknya bisa ke mana-mana, karena bayinya masih di dalam perut. Kalau sudah keluar, jadi agak repot. Paling tidak istirahat selama satu bulan lah, baru setelah itu bisa dibawa-bawa lagi.”

Ia mengatakan hal itu menanggapi sikap seorang temannya yang, menurut cerita, sempat ragu dan takut untuk terus beraktivitas selama hamil dan apalagi setelah punya anak. Saya yang mendengar langsung merasa malu. Sebab saya sama sekali belum terpikir untuk tetap aktif seperti itu kala hamil atau nanti setelah punya anak. Tak sadar saya memegang perut, dan membatin, “Kuatkah saya seperti dia?”

Ia melanjutkan bicaranya,
“Karena di Sengata sumber daya manusianya sedikit sekali, jadi setiap ada kesempatan dakwah, ada amanah apapun, kita harus siap. Kondisi seperti itu bikin kita jadi kuat. Kalau yang masih single atau belum punya anak bisa ke mana-mana, itu sih sudah biasa. Tapi kalau yang lagi hamil atau sudah punya anak berapa tapi tetap aktif, itu baru luar biasa.”

Saya tersenyum. Kalimat yang terakhir diucapkannya pernah saya dengar dari guru ngaji saya semasa saya tinggal di Jakarta dulu. Wanita itu mengucapkannya tanpa maksud menggurui, bahkan saya merasa ia seperti sedang menceritakan sesuatu yang seru saja. Sebab raut wajahnya yang begitu bersemangat, tak lupa senyum lebarnya, dan intonasi suara yang sangat persuasif. Diam-diam rupanya hati saya memupuk sesuatu dari kesan yang saya dapatkan darinya.

Memang, seringkali kondisi yang serba ada, atau kemudahan yang mengelilingi kita, akan membuat diri menjadi manja. Malah mungkin kita jadi terbiasa untuk mencetuskan berbagai kalimat ‘permakluman’ atau ‘permaafan’ untuk tidak mengikuti acara ini-itu, menolak tugas anu, dan sebagainya, dengan alasan yang bisa jadi kita buat-buat sendiri, padahal masih bisa diusahakan. Kalau mau mengikuti nafsu, mungkin saya akan memilih mendekam saja di rumah, tidak berpartisipasi dalam setiap aktivitas yang ada, supaya tidak ditugaskan macam-macam. Tetapi akhirnya saya teringat kehidupan yang saya jalani beberapa bulan tinggal di Bintaro, atau ketika menunggu waktu menyusul suami dan saya sementara tinggal di rumah orang tua di Bekasi. Kota besar macam Jakarta mungkin sudah berkelimpahan orang, sehingga potensi yang ada pada segelintir orang tidak termanfaatkan, dan akhirnya segelintir orang itu menjadi ‘pisau-pisau tumpul’ akibat tak sering dipakai. Saya pernah merasakannya, dan sungguh tidak enak.

Kondisi yang melemahkan itu bahkan hampir terbawa hingga kepindahan saya ke Sengata. Kota kecil yang, seperti banyak dibilang orang, kalau ada acara pasti bertemu dengan ‘dia lagi-dia lagi’. Tak ada kata ‘menganggur’, dan siap-siap diberdayakan. Saya teringat perjumpaan pertama saya dengan wanita itu, dan langsung membandingkan. Bila di Jakarta, kondisi hamil atau yang sejenisnya mungkin akan menjadi excuse yang bisa selalu digunakan, dan semua orang maklum. Dan saya memang sering menemukan kondisi macam itu pada teman-teman saya dulu. Tapi di Sengata? Jangan ditanya.

Bulan Januari lalu, usia kehamilan saya memasuki bulan ke delapan. Dan dalam sebuah organisasi yang baru saya ikuti, saya dipilih untuk menjadi ketua pelaksana acara launching organisasi tersebut. Saya menyanggupi. Berkali-kali rapat persiapan sampai mendatangi nara sumber, saya jalani dengan perut besar saya. Anehnya, seringkali di tiap kesibukan itu saya hampir-hampir lupa akan kehamilan saya sendiri. Saya merasakan semangat yang mengembalikan kerinduan saya akan aktivitas ketika dulu di kampus dan di tempat lain. Saya merasa begitu bersemangat lagi, dan setiap pulang ke rumah, walau dengan membawa lelah, berbagai cerita seru mengalir dari mulut saya menjadi pembicaraan menarik bersama suami.

Sungguh beruntung seseorang yang apabila saudaranya melihat wajahnya, langsung akan mengingatkannya kepada Allah. Seseorang yang bila kita mengingatnya, maka diri kita akan tertegur dari kelalaian dan kembali bersemangat untuk memperbarui iman dan meningkatkan ibadah. Seseorang yang bila kita mengingatnya, maka yang terlintas di pikiran adalah kebaikan-kebaikannya. Bayangkan, bila kita berada di sekeliling orang-orang yang seperti itu. Dan memang diri kita membutuhkan orang-orang yang bisa senantiasa mengingatkan diri kita apabila rasa malas dan lalai menyerang.

Dan hingga sekarang, saya berusaha terus memperbanyak amal ibadah sebagai bentuk rasa syukur saya, karena Allah telah menghadirkan wanita itu, sahabat baru saya, dalam kehidupan baru saya di tempat yang baru ini. Dan menjadikan setiap kali pertemuan saya dengannya menjadi pertemuan yang membuahkan cahaya dalam hati saya. Walaupun akhirnya ia sekeluarga pindah ke kota lain, sampai sekarang, ketika malas mulai menyerang, saya tak pernah lupa kata-katanya saat ia memberikan pesan-kesan di acara perpisahannya:

“Terus semangat, jaga kesehatan, dan jangan malas. Allah lebih menyukai seorang muslim yang kuat daripada yang lemah.”

Tak Berhenti Memberi

Saya pernah merasakan sebuah titik jenuh dimana saya memutuskan untuk tidak berusaha untuk bersikap aktif seperti biasanya pada sebuah organisasi dimana saya bergabung di dalamnya. Biasanya, saya tidak bisa tinggal diam dan kadang malah agak keterlaluan dalam ‘memuntahkan’ ide-ide yang berputar di kepala saya. Rasanya akan lebih ‘plong’ bila saya menceritakannya kepada teman-teman di organisasi, walaupun konsekuensinya saya akan ditunjuk untuk mengetuai kegiatan ini atau bertanggung jawab atas tugas itu. Sama sekali tidak bermaksud untuk menyombongkan diri ataupun bertingkah ‘sok jagoan’. Melainkan saya hanya sering tak bisa mengendalikan diri saya yang kadang terlalu bersemangat untuk melakukan ini itu. Sebuah kelemahan saya, mungkin.

Suatu ketika, saya harus (sekali lagi) pindah rumah mengikuti suami yang diberikan rezeki untuk pindah bekerja ke perusahaan lain. Tidak masalah buat saya. Karena saya tahu bahwa di tempat yang baru saya tetap bisa bergabung dengan sebuah cabang organisasi yang telah menjadi tempat beraktivitas favorit saya selama dua tahun ini. Tentu saja, di kepala saya sudah berputar-putar berbagai ide untuk melakukan ini itu sesampainya saya di tempat baru. Semangat saya tumbuh seiring dengan harapan besar akan kemajuan diri saya di dalam organisasi tersebut nantinya

Ternyata, memang harapan tak pernah selalu seindah kenyataan. Saya agak terkejut dengan kondisi cabang organisasi tersebut. Kondisi anggota organisasi, pengurusnya, aktivitas organisasi, kegiatan-kegiatannya ... saya lantas membanding-bandingkan dengan cabang organisasi di tempat saya tinggal dulu. Jauh berbeda. Dan sebagai ’orang baru’, saya berusaha untuk ’tahu diri’ dengan tidak banyak berkomentar atau mengusulkan ide ini itu kepada para pengurus. Namanya sedang menyesuaikan diri di tempat baru, saya pun memutuskan untuk memerhatikan dulu kondisi di sekitar, nuansa baru yang saya terima di cabang organisasi tempat saya tinggal sekarang. Dan saya pun merasa jenuh. Bukan akibat terlalu padat kegiatan atau over loaded tugas, melainkan karena tidak ada kegiatan apa-apa, nyaris sama sekali. Lalu saya benar-benar merasa sangat kehilangan dengan segala kesibukan yang dulu pernah saya lakukan di organisasi tersebut. Seperti halnya sebuah pisau yang tak pernah dipakai, saya merasa ’tumpul’ sekali.

Tentang kondisi tersebut, terutama apa yang terjadi pada diri saya, seseorang pernah menanyakannya. Katanya, ”Kenapa bukan kamu saja yang memulai untuk mengadakan kegiatan?” dan pertanyaan bagus tersebut saya sambut dengan tidak antusias dengan menjawab sekenanya. Alasan tidak enak karena bukan pengurus, khawatir akan melangkahi wewenang ketua, jadi malas karena tiadanya semangat pada pengurus organisasi tersebut, dan sebagainya. Semua itu cukup untuk membuat diri saya berada pada titik stagnan selama beberapa bulan, dalam organisasi tersebut. Bila mengingat perjuangan saya untuk menjadi bagian darinya, hal yang saya lakukan tersebut memang sungguh konyol dan merugikan diri saya sendiri.

Akhirnya saya pun merasa tidak tahan dengan ’aksi diam’ yang saya lakukan tersebut. Saya mencoba untuk berinisiatif mengusulkan sebuah acara kecil-kecilan sebagai kegiatan kedua yang diselenggarakan oleh organisasi tersebut pada tahun ini. Dan, begitulah. Pekan demi pekan berlalu dengan semangat yang kembali menyala dalam benak saya, dan sepertinya juga pada para pengurus. Saya yang tadinya pesimis terhadap kinerja dan kepedulian pengurus organisasi tersebut, akhirnya merasakan bahwa sepertinya kami memiliki semangat dan kepedulian yang sama. Acara berlangsung cukup lancar, dengan kelegaan yang tersirat pada masing-masing raut wajah kami semua. Puas. Bukan terhadap hasil dari acara yang akhirnya terlaksana itu. Melainkan terhadap keberhasilan saya untuk mengalahkan keegoisan diri dan mungkin juga keangkuhan untuk bersikap tidak peduli pada awalnya. Tidak pernah ada kata terlambat. Dan saya kembali menyadari bahwa selalu menjadi yang memberikan sesuatu tidaklah jelek sama sekali. Bahkan kepuasan batin yang dirasakan tak mungkin hilang.

Satu hal yang menempati ruang hati saya sekarang. Bahwa bagaimanapun tidak kondusifnya kondisi lingkungan tempat kita berada, jangan pernah berhenti memberikan manfaat dan kebaikan. Hasilnya? Rasakan sendiri.

Monday, August 13, 2007

I'm Back!

assalamu'alaikum semuanyaaaa ....

Rasanya seperti berteriak di tepi pantai yang tidak ada seorang pun mendengar. Bergema. Dan gema yang sangat merdu. Haha. Sebegitu besar kah kerinduan saya pada dunia maya? Betul. Apalagi saat ini hampir setahun berada di kota kecil yang lama-kelamaan menorehkan begitu banyak cerita yang mungkin tidak akan saya temui bila saya menetap di Jakarta. Indah? Pastinya. Lain kali saya akan menceritakannya. Tidak sekarang. Ngantuk. Hehe.