Halaman

Friday, October 31, 2008

Melihat ke Luar Jendela

Sepertinya setiap orang memang memiliki arah hidup masing-masing. Selain karena memang atas kehendak Allah SWT, kita sebagai manusia memiliki potensi untuk menentukan arah hidup masing-masing. Semua adalah tentang pilihan. Bukankah Allah SWT mengaruniakan kita semua akal dan hati untuk memilih?

Saya membicarakan tentang semua orang yang pernah mampir dalam hidup saya. Sebagiannya adalah sahabat-sahabat saya sendiri. Yang sudah lama sekali saya kenal, ataupun yang baru setahun-dua tahun ini dekat dengan saya.

Salah satunya adalah sahabat saya Attin. Beberapa hari ini saya sibuk melihat-lihat dan membaca kembali tulisan-tulisannya dalam blog www.fragmensore.blogspot.com. Attin yang selalu membuat saya rindu. Tadi malam, baru saja saya iseng menelponnya. Ternyata Attin sedang sibuk sekali pulang pergi Jakarta-Bandung, katanya. Urusan pekerjaan, pasti. Sahabat tersayang saya ini sudah menyelesaikan program master di Maastricht, Belanda. Hebat, kan? Menurut saya, orang-orang yang memutuskan untuk pergi ke luar negeri untuk kuliah atau bekerja di sana atas biaya sendiri ataupun beasiswa adalah orang-orang yang hebat. Pergi jauh k negeri orang, meninggalkan rumah yang nyaman beserta seluruh kerabat keluarga, beradaptasi dengan kultur yang sama sekali berbeda, dan hal-hal hebat lainnya yang entahlah apakah saya bisa melakukannya.

Kemudian, dengan kerinduan yang sama, Inggrid. Setahun lebih cepat dari Attin mengambil program master atas biaya sendiri di IIUM (Malaysia). Dan akhirnya bekerja di sana kalau tidak salah, tinggal di sana setelah menikah, dan mungkin juga sampai sekarang masih di sana. Inggrid seseorang yang berjiwa pejuang, memang. Mandiri, cerdas, dan sangat disiplin. Saya rasa, setiap yang ingin sukses (baik di Indonesia maupun yang tinggal di negara lain) harus memiliki tiga sifat itu. Setidaknya, modal dasar untuk bertahan.

Sahabat-sahabat saya yang lain, memilih untuk tetap tinggal dan bertahan di sebuah kota terpencil yang sulit dijangkau dari ibukota propinsi. Demi sebuah idealisme, mungkin juga kesadaran dan niat tulus membangun dan membesarkan dakwah di tempat tersebut. Bagaimana dengan saya?

Kata Hasan Al Banna, mimpi hari ini adalah kenyataan esok hari.

Mimpi saya terbangun dan terus dibangun untuk menjelajah ke luar sana. Seperti seseorang yang melihat ke luar jendela, saya menerawangkan kedua mata dan jiwa ini ke luar sana. Membangun mimpi tentu saja akan sia-sia tanpa diserta kekuatan doa dan jerih payah usaha mewujudkannya. Saat ini, tapak kaki ini sedang melangkah perlahan, dan kedua tangan ini bergegas untuk merajut kepingan mimpi itu menjadi lembaran baru yang indah, nantinya, insyaallah ...

to my beloved husband, yang selalu merajutkan mimpi yang indah dan kemudian mewujudkannya dengan cinta

Tuesday, June 24, 2008

Perjalanan ke Langit

Mencermati sebuah peristiwa Isra’ Mi’raj memang membawa persepsi bermacam-macam bagi setiap orang. Memahaminya sebagai sebuah mukjizat pun bisa menimbulkan ‘pernak-pernik’ lain dalam keyakinan yang tertanam dalam diri masing-masing. Dan sesungguhnya, peristiwa-peristiwa menakjubkan yang terjadi pada momen tersebut bukanlah satu-satunya yang menjadi tema utama bagi sebuah keyakinan. Melainkan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.

Sebuah Hiburan yang Menakjubkan
Menapaki awal perjalanan dakwah yang penuh rintangan telah menjadi ujian tersendiri bagi Rasulullah SAW. Sebagian dari kita mungkin pernah mendengar atau membaca tentang peristiwa Thaif, dimana beliau mengalami penghinaan dan siksaan dari penduduk kota tersebut. Sebelum itu pun Rasulullah SAW dan para sahabat telah mengalami ujian berat, dengan menjalani tiga tahun pemboikotan total oleh kaum kafir Quraisy terhadap Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib.

Ujian tak terperi berikutnya adalah meninggalnya dua orang yang sangat berarti dalam kehidupan Rasulullah SAW, yaitu Siti Khadijah dan Abu Thalib. Seorang istri tercinta yang selalu menjadi pendukung utama dakwah beliau, dan paman tercinta yang telah menjadi pelindung dan penjaga beliau dari intimidasi kaum kafir.

Maka perisitwa Isra’ dan Mi’raj menjadi sebuah bentuk hiburan tak biasa yang hanya dialami oleh seorang Muhammad SAW.

Ganjaran bagi Sebuah Kesabaran
Sebuah ujian yang paling ringan sekali pun, tak mungkin sukses dilewati tanpa adanya kesabaran. Hakikatnya sabar adalah tidak terbatas. Maka keberhasilan Rasulullah SAW menjalani setiap kesulitan –yang rasanya tak mungkin bisa dihadapi dengan sukses oleh manusia mana pun- sebelum perisitwa Isra dan Mi’raj memang mewajarkan adanya ganjaran luar biasa dari-Nya. Yaitu berjumpa dan berbicara langsung dengan Sang Khalik.



Membawa Perintah Shalat
Menemui Allah SWT secara langsung dan mendapatkan perintah untuk melaksanakan shalat lima waktu tidak sesederhana seperti seorang murid yang menerima perintah mengerjakan tugas dari gurunya. Ketika pada awalnya Rasulullah SAW menerima perintah dari Allah SWT untuk menjalankan shalat sebanyak 50 kali sehari semalam, terjadilah dialog antara dirinya dengan Nabi Musa as.

Sesungguhnya umat manusia, umat Muhammad SAW, adalah lemah. Tak mungkin sanggup melaksanakan sekian banyak waktu shalat yang awalnya ditetapkan. Demikian yang digambarkan oleh percakapan antara Nabi Musa as dengan Rasulullah SAW. Jika saja kita mau mengintrospeksi diri, apakah lima waktu shalat wajib yang sudah ‘diperjuangkan’ oleh Nabi tercinta di hadapan Allah SWT telah kita jalani dengan sempurna? Sedangkan dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Ishaq, Rasulullah SAW mengatakan bahwa jika salah seorang di antara umatnya mengerjakan shalat lima waktu dengan mengimaninya dan mengharap ridha Allah, maka ganjarannya adalah pahala sebanyak lima puluh shalat.

Sebuah Pembuktian akan Kekuasaan Allah SWT
Sadarkah kita semua, bahwa waktu yang harus ditempuh antara kota Makkah dan Palestina adalah lebih kurang selama 40 hari, jika ditempuh pada zaman Rasulullah SAW hidup. Dimana pada waktu itu belum tersedia kendaraan modern seperti yang ada sekarang. Dan perjalanan menuju langit hingga ke hadapan Sang Pencipta sungguh merupakan jenak waktu yang tak terbayangkan bagi manusia mana pun.

Maka kesemua dari detail perjalanan Rasulullah menuju Allah SWT tak mungkin terhitung oleh penelitian empirik mana pun, melainkan oleh sebuah keyakinan mantap akan kekuasaan Allah SWT, Sang Pemilik Kehidupan.

Subhanallah, Maha Suci Ia yang telah memperjalankan seorang Muhammad dalam perjalanan Isra’ dan Mi’raj. Sebuah perjalanan agung yang tak mungkin terulang dan dialami oleh manusia mana pun.

Maka mendekatlah selalu kepada-Nya dalam setiap amal baik yang kita lakukan. Jalani kehidupan yang singkat ini dengan langkah yang selalu menuju kebaikan. [dev]

Ditulis untuk rubrik "Bahasan Utama" buletin MEMORI FLP Sengata

Sebuah Perjalanan Hati

Bagi kita, selama ini yang dinamakan ‘sebuah perjalanan’ mungkin hampir selalu diidentikkan dengan pergi jarak jauh, sibuk membawa perbekalan lengkap, dan keluar banyak uang. Apalagi bagi para perantau yang tinggal jauh dari rumah. Mereka yang bersekolah di luar kota kelahiran misalnya, atau yang mencari rezeki di tanah orang. Sudah pasti momen ‘pulang kampung’ selalu ditunggu-tunggu. Tetapi, ada saja yang tak seberuntung itu. Yang tidak memiliki cukup uang untuk bepergian, atau memang sedang menghemat pengeluaran sehingga liburan cukup dihabiskan di tempat berdomisili saja.

Tetapi sebuah perjalanan, entah untuk momen liburan atau lainnya, pastinya tidak harus selalu dengan mengeluarkan banyak uang atau waktu dan tenaga. Hakikatnya, melakukan sebuah ‘perjalanan hati’ akan lebih banyak menyisakan bekas yang indah untuk dikenang, dijadikan pelajaran, dan mengawali sebuah perubahan ke arah kebaikan. Dan pastinya tidak harus selalu dilakukan pada saat liburan panjang atau meluangkan waktu khusus.

Jadi, apa saja yang bisa dilakukan untuk merehatkan hati dan pikiran sejenak dari kelelahan?

Membaca buku-buku yang menginspirasi.
Pernah mencoba? Cobalah temukan beberapa judul buku yang menarik, dan bisa menyiram hati ini dari segala penat keseharian yang selama berbulan-bulan ini kita penuhi dengan urusan dunia. Bisa saja buku-buku fiksi berupa kumpulan cerpen atau novel islami, yang pasti membawa nuansa berbeda ke setiap hati kita. Disamping bisa meliburkan hati dari pikiran-pikiran yang melelahkan, juga bisa meninggalkan hikmah luar biasa yang nantinya dapat menjadi pelajaran penting bagi kehidupan.

Berkunjung ke masjid terdekat untuk beri’tikaf (berdiam diri)
Nah, aktivitas yang satu ini tidak hanya bisa dilakukan saat sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Di waktu luang misalnya ketika liburan, bisa saja kita menyempatkan diri untuk mengunjungi masjid terdekat, ataupun masjid yang tidak biasa dikunjungi karena jarak yang tak terlalu dekat dari rumah. Untuk apa? Yang pasti merehatkan diri sekaligus mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

Bawalah ‘bekal’ untuk beri’tikaf supaya kegiatan tersebut lebih khusyu’ dilakukan. Misalnya, sebuah mushaf Alquran beserta terjemahannya. Membaca Alquran disertai dengan terjemahannya akan membuat kita semakin mengerti akan ayat-ayat Allah. Lalu, seperangkat alat shalat untuk menunaikan shalat wajib dan sunnah di masjid tercinta. Kemudian satu atau dua buku yang menyejukkan hati pun bisa kita bawa, sebagai kegiatan selingan di sela-sela waktu shalat.

Kegiatan i’tikaf sederhana ini juga makin asyik jika dilakukan bersama teman-teman terdekat. Supaya pahala kebaikan yang kita dapatkan bisa dinikmati bersama yang lain.

Menonton film, mengharu-biru, menambah semangat!
Nonton film? Pastinya film-film yang mengisahkan perjalanan hidup nabi atau orang-orang salih, yang senantiasa akan memompakan semangat baru ke dalam jiwa kita. Rehat yang asyik, kan?

Sudah pernah menyaksikan kegigihan seorang Hamzah bin Abdul Muththalib dalam film “The Messenger”? Film yang satu ini merupakan ‘remake’ dari film “Ar Risalah”, yang salah satu pemainnya adalah bintang film Hollywood yang kabarnya ‘nyaris’ menjadi seorang muslim ketika film tersebut diproduksi. Beliau adalah Anthony Quinn. Seru, dan pastinya mengharukan. Akan selalu menjadi pengingat akan sulitnya dakwah yang dilakukan Rasulullah beserta para sahabat dulu.

Atau film “Fatahillah”, misalnya. Film asli buatan anak negeri yang, walaupun banyak kritik terhadapnya, selalu membangkitkan memori tentang perjuangan kaum muslimin di Indonesia jaman ‘baheula’.

Sudah terinspirasi? Berhentilah sejenak dari kesibukan untuk sesuatu yang menyenangkan sekaligus mendekatkan diri kita pada-Nya. Yuk, isi waktu dengan melakukan perjalanan hati! [dev]

Ditulis untuk dimuat dalam rubrik "Tambahan Tema Utama" buletin MEMORI FLP Sengata

Friday, June 20, 2008

Merindukan Taubat

Pernahkah Anda merasa begitu penat dengan semua kesibukan yang sedang dikerjakan dan yang menanti untuk diselesaikan?

Suatu malam, saya menjelang tidur dengan pikiran penuh dengan berbagai macam hal yang tak bisa saya enyahkan. Hari itu, beberapa tugas belum diselesaikan, esok hari ada tugas lain yang menanti untuk dirampungkan, lalu curhat dari dua orang 'adik' yang baru saja memenuhi kepala saya, kemudian problem kecil di rumah yang rasanya begitu menghimpit dada. Terlalu banyak bagi saya, pikir saya malam itu. Dan mata saya tak bisa terpejam hingga sekitar sejam setelah saya membaringkan badan.

Lelah, hampir di semua persendian dan tulang-tulang rasanya sedang merintih-rintih kesakitan. Tapi entah bagaimana, berbagai hal yang memenuh-sesakkan kepala ini mencuat ke segala sisi, seakan seperti berontak ingin diselesaikan satu per satu. Dan sepertinya malam itu saya tertidur dengan otak terus bekerja keras, hingga pagi.

Paginya, semua penat itu berkumpul jadi satu dan 'menyerang' saya, ketika sebuah insiden kecil terjadi. Tangis saya seketika tumpah, tanpa bisa saya tahan. Dan saya beraktivitas sepanjang pagi dengan membiarkan air mata saya mengalir deras.

Waktu dhuha, dan saya memutuskan untuk bersimpuh pada-Nya. Setelahnya, saya menutup pintu kamar rapat-rapat, dan menikmati lembaran ayat-ayat cinta-Nya, yang sepertinya pagi itu terasa begitu merindukan. Mungkin sekitar satu jam saya terpekur, dan terus membaca. Kedua tangan saya rasanya betah untuk berlama-lama menggenggam erat mushaf bersampul merah itu. Dan saya menangis lagi.

Mungkin banyak yang menganggap ini adalah sebuah hal klise yang bisa saja dialami setiap orang. Memang betul. Selepas dhuha dan tilawah, saya keluar dari kamar. Perasaan saya jauh lebih ringan. Satu per satu tumpukan masalah di kepala saya seperti tertata sendiri di 'laci' masing-masing. Sore harinya, ketika saya bercuap-cuap di sebuah stasiun radio untuk sebuah program 'Zona Inspirasi', sepertinya benak saya merenung jauh, dan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut saya menambah kesejukan ke dalam hati saya sendiri.

Saya jadi teringat, seseorang pernah mengatakan pada saya bahwa, apa yang keluar dari lisan kita akan sesuai dengan apa yang tersimpan dalam hati kita. Jika ruh ini 'penuh' dengan rasa cinta pada-Nya, maka kita akan mampu menjadi 'ruh' bagi orang lain. Bukti nyata tentu saja harus ada. Tidak mungkin tampilan luar akan baik apabila isi hati tak baik pula. Kecuali jika ia termasuk golongan orang-orang munafik. Na'udzubillahi min dzaalik.

Subhanallah ... pagi ini, hati saya segar. Dan mushaf merah itu terus saya rindukan. Rupanya penat yang menumpuk itu sempat menyisakan lalai pada diri saya, hari-hari kemarin. Semoga Ia berkenan untuk kembali menerima taubat saya hari ini, dan juga hari-hari setelah ini. Amin.

Tuesday, June 10, 2008

Mengawali Sebuah Perubahan

Setiap manusia pastinya menginginkan segala sesuatu yang terbaik yang terjadi pada dirinya. Dan bila sesuatu yang baik sudah terjadi, di kemudian hari ia akan menginginkan hal yang lebih baik dari sebelumnya. Begitu terus berjalan, setiap orang memang pasti menginginkan perubahan untuk kebaikan.

Suatu ketika, saya berada pada lingkungan yang sangat kondusif untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Artinya, cukup banyak orang yang berpotensi untuk melakukan perubahan, dan sebagian besar masyarakat terlihat antusias dengan keberadaan orang-orang tersebut yang sepertinya bisa menjadi bagian dari ‘penolong’ masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan. Subhanallah … tak terbayang betapa besar manfaat yang bisa diberikan lingkungan kecil itu kepada masyarakat luas.

Kondisi tersebut pastinya memberikan harapan lebih sekaligus bisa menjadi ranjau bagi mereka. Harapan lebih untuk bisa berbuat lebih banyak untuk masyarakat, melihat tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi. Sekaligus ranjau berbahaya, yaitu kesombongan yang bisa jadi menyelip di antara ruang keikhlasan yang selama ini dibangun dengan susah payah. Yaitu dalam wujud perasaan ‘akan mendapat dukungan besar’, ‘rencana pasti berhasil’, dan ‘semua di tangan kita’. Bukankah kita seharusnya menyadari, bahwa kesombongan adalah awal dari kehancuran? Sedangkan tak ada yang patut kita sombongkan dari diri kita, sebab tak mungkin kesempurnaan itu kita miliki.

Sebuah masalah kembali muncul, ketika orang-orang yang memiliki potensi sebagai perubah tidak mau berbuat apa-apa, bersikap pasif, dan mengurungkan niat untuk menyebarkan kebaikan. Entah dengan alasan mendahulukan yang lain, sungkan, tidak mampu menyampaikan dengan baik, dan seribu alasan lainnya. Sesungguhnya, bersikap demikian hanya akan menjadikan potensi yang sudah dikaruniakan Allah tersebut terkubur sia-sia, tanpa bisa dirasakan manfaatnya oleh orang lain. Menumpulkan pisau tajam dengan sengaja.

Bukankah Allah akan membukakan pintu perubahan bagi sebuah kaum apabila kaum tersebut mau berupaya untuk berubah? Artinya tidak mungkin turun hujan uang dari langit, dan tidak mungkin pula kesuksesan didulang tanpa kerja keras dan doa panjang dipanjatkan. Dan sungguh sayang, apabila terdapat sekumpulan orang yang memiliki kompetensi untuk melakukan perubahan dalam masyarakatnya, namun bungkam tak mau berkata dan bertindak apapun.

Lantas saya bertanya pada diri sendiri, termasuk dalam bagian yang manakah diri saya? Seseorang yang mampu berbuat, tetapi kemudian tergelincir dalam kesombongan yang tidak pada tempatnya? Atau seseorang yang mampu berbuat, tetapi tenggelam dalam kemalasan untuk berupaya mengubah keadaan dikarenakan berbagai alasan yang berasal dari syahwat untuk menyenangkan diri sendiri. Semoga tidak keduanya. Semoga Allah berkenan untuk selalu menempatkan diri saya dan Anda semua ke dalam golongan orang-orang yang senantiasa berikhtiar, mengawali setiap perubahan ke arah yang baik, dan selalu bersemangat untuk menebarkan manfaat kepada masyarakat.

Dan setiap peristiwa pasti menyisakan hikmah untuk dipelajari. Jika diri kita adalah seseorang yang dapat menangkapnya, alangkah sangat bermanfaat jika kemudian kita sebarkan pada yang lain. Sehingga kebaikan itu terus menyebar dan mengawali sebuah perubahan lagi.

Sambil merenungkan kejadian semalam ...

Monday, June 09, 2008

Pernikahan Itu ...

Selama ini saya selalu berpikir bahwa menjadi seorang ibu tidaklah mudah. Maka tidak heran jika ada sebagian perempuan yang menunda pernikahan atau bahkan bersikap enggan bila membicarakan urusan pernikahan karena alasan yang satu. Sudah jelas, menikah dengan seseorang akan membawa langkah ini ke tahap berikutnya, yaitu menjadi ibu dari anak-anak si lelaki tercinta.

Tapi ada juga yang berpikir sebaliknya. Ia dengan kesadaran penuh begitu bersemangat untuk menjadi seorang istri dan ibu nantinya. Bahkan sedari usianya baru beranjak dari 20-an. Seperti teman saya Anggi. Dulu, di tingkat pertama perkuliahan, saya selalu terheran-heran sekaligus kagum dengan semangatnya itu. Bahkan kadang saya jadi 'takut' sendiri, dan kadang suka menghindar dari dirinya yang tengah berbinar-binar membicarakan rencana ini-itu seputar pernikahan.

Bagi saya, ini semua masalah kesiapan. Dan soal kesiapan adalah satu hal yang bercampur-baur dengan berbagai hal lainnya, seperti pola asuh yang diterapkan orang tua kita, pengalaman pribadi dengan berbagai hal seputar pernikahan, atau persepsi yang terbentuk dari berbagai informasi yang diterima, dan sebagainya. Dan ini juga masalah pilihan. Pilihan untuk menetapkan target waktu untuk menikah, atau kriteria si calon pendamping hidup, dan lain-lain. Rumit? Bisa iya, bisa tidak.

Begitulah hidup. Sebagiannya adalah mengenai pilihan-pilihan. Dan saya mendapati teman-teman perempuan saya mengalami hal-hal yang berbeda mengenai pernikahan. Yang membawa pikiran saya melayang sejenak ke saat dulu saya menetapkan bahwa 'saya akan menikah'. Bagi saya, mencari pendamping hidup dan kemudian menjalani kehidupan pernikahan membutuhkan konsentrasi penuh. Dan tentu saja berbekal kesiapan mental dan material. Bagaimanapun, saya menyadari bahwa saya tidak hanya akan menjalani 'keindahan' pernikahan saja, tetapi juga pernak-pernik lain yang mungkin terjadi. Pada saya, suami saya, keluarga besar kami, dan juga anak-anak kami nantinya. Rasa takut pasti ada. Tapi ketika saya sudah berikhtiar sebaik yang saya bisa untuk mendapatkan yang terbaik disertai dengan memasrahkan diri pada-Nya dan meraih ridho orang tua, hati saya menjadi lebih tenang.

Kembali tentang menjadi seorang ibu. Siapapun, pastinya akan mendapati pengalaman berbeda untuk yang satu ini. Dan percayalah, tidak ada yang akan bisa menjadi 'super woman' dalam hidupnya. Ketika dulu bisa teratur dan perfect menjaga kerapian rumah, menyenangkan hati suami, melakukan semuanya sesempurna mungkin, tapi setelah hadir bidadari dan jagoan kecil, tampaknya 'kesempurnaan' itu akan menjadi semakin sulit dilakukan. Setidaknya butuh upaya ekstra keras, karena perhatian akan terbagi-bagi. Satu hal yang menjadi pernik unik yang akan ditemui setiap istri pastinya.

Dan ada saja teman saya yang akhirnya ragu dan berpikir berkali-kali dulu sebelum memastikan diri siap menjalaninya, karena pengalaman yang satu itu. Apalagi jika kini ia sedang asyik tenggelam dalam pekerjaannya yang mapan, segudang kegiatannya di luar kantor, dan lain-lain alasannya. Saya paling hanya tersenyum-senyum dan menggeleng-geleng. Yah, setiap orang berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Dan setiap pilihan pasti ada konsekuensinya. Kadang sepertinya kita perlu menentukan saja dengan 'nekat' pilihan hidup kita, berbekal sedikit keberanian dan pemikiran matang tentunya. Masalah apa yang dihadapi kemudian, hadapilah saja.

Untuk pernikahan, kadar 'nekat' yang saya maksudkan pastinya tidak 100% 'nekat'. Alias sebaiknya punya persiapan-persiapan yang riil, sebab hidup tak bisa hanya bermodalkan cinta dan keinginan saja. Bukankah begitu? Setidaknya bagi saya.

Panjang juga cerita saya tentang yang satu ini. Yah, usia pernikahan saya baru beranjak dari tahun ke 3, lebih beberapa bulan. Belum ada apa-apanya. Dan saya dan suami masih sangat bersemangat menjelajahi tempat-tempat lain selain kota kelahiran untuk mencari pernak-pernik baru. Semoga ada rezeki dan izin Allah. Amiin...

Saturday, June 07, 2008

Si Kutu Buku yang Lucu

Sewaktu saya kecil, saya bisa dikatakan adalah seorang ‘kutu buku’ cerita. Masih ingat tulisan saya dalam rubrik SMS yang lalu tentang Si Noddy? Ya, seperti itulah. Bila sedang berhadapan dengan buku-buku cerita, terutama yang bergambar, saya bisa ‘lupa segalanya’. Istilah yang sering dilontarkan oleh ibu saya terhadap kebiasaan saya tersebut adalah ‘lupa dunia’. Yah, istilah ‘kutu buku’ seringkali diidentikkan dengan seseorang yang maniak baca buku, dengan kaca mata tebal bertengger di atas hidung, dan penampilan yang nerd alias aneh. Tapi masa sih anak kecil seperti saya dulu juga diistilahkan dengan ‘kutu buku’ bila penjelasannya seperti itu? Yah, mungkin bisa juga. Kutu buku yang lucu.

Apa hubungannya dengan teknik menulis? Tentu ada. Sekarang ini, ketika saya sedang memacu diri untuk lebih produktif menulis, sedikitnya saya merasakan manfaat besar dari kegemaran membaca (yang kini sudah meningkat, tidak lagi hanya membaca buku komik saja). Apa saja? Daya imajinasi yang berkembang, referensi atas berbagai hal yang bisa didapat dari buku fiksi maupun non fiksi, gaya menulis yang berbeda dari tiap pengarang, dan kekayaan bahasa. Nah! Yang terakhir ini, yang menurut saya akan membuat seorang penulis bisa menghasilkan karya-karya yang ‘kaya’. Kaya isi, kaya makna, kaya kosa kata, dan sebagainya. Tulisan yang tidak berisi kalimat-kalimat membosankan yang akan membuat pembacanya mengantuk atau malah melempar bukunya di sudut rak hingga tak terbaca lagi di kemudian hari. Tulisan yang membuat pembacanya terkagum-kagum akan keindahan, keunikan, dan berbagai istilah lain yang bisa menggambarkan bahwa si penulis adalah seseorang yang ‘cerdas’, ‘terampil’, serta ‘kaya bahasa’. Sampai di sini, sepertinya saya kesulitan untuk menggambarkan dan mendeskripsikan lebih jauh tentang diksi. DIKSI. Sudah pernah dengar?

Pada sebuah kesempatan kegiatan SMS khusus pengurus, kami sempat melakukan simulasi sederhana tentang diksi. Masing-masing menuliskan satu paragraf tulisan fiksi, dan syaratnya adalah tidak boleh membuat pembacanya bosan dengan paragraf yang telah ditulis tersebut. Simulasi sekenanya yang sebenarnya hanya bertujuan untuk memacu masing-masing dari kami untuk memperkaya kosa kata yang dimiliki, sehingga ketika menulis tidak lagi ada kata ‘stagnan’, ‘kehabisan kata-kata’, atau apalah. Ada beberapa yang cukup berhasil, ada juga yang masih terpaku pada kalimat-kalimat klise atau malah terlalu kaku seperti bukan sebuah tulisan fiksi. Satu pertemuan singkat tersebut memang tidak mungkin akan membuat seorang penulis langsung pandai dan memiliki diksi yang ‘kaya’, kalau boleh saya katakan begitu. Karena, sekali lagi menurut saya, kekayaan kosa kata serta keragaman gaya bahasa bisa dimiliki apabila kita rajin mengumpulkan ilmunya sejak lama. Melalui proses yang dinamakan: membaca.

Kenal dengan Karl May? Beliau adalah pengarang novel Winnetou yang terkenal itu dan juga beberapa judul novel yang mendunia. Favorit saya adalah novel yang berjudul “Dan Damai di Bumi”, sebuah novel tebal yang sangat indah dari segi bahasa. Kalau boleh ber-hiperbola, saya akan mengatakannya: menakjubkan. Saya bisa mendapati satu paragraf yang panjangnya hampir satu halaman, yang isinya adalah sebuah dialog yang ditulis begitu indah, penuh kata-kata yang tidak biasa didapati dalam bacaan lain, walaupun hanya untuk mengungkapkan sebuah makna sederhana. Saya yakin, si penerjemah buku turut andil dalam membahasakan teks aslinya dengan nyaris sempurna. Atau pengarang asli Indonesia Remy Silado, yang begitu detail dalam mendeskripsikan latar tulisan, yang membuat pembacanya seolah-olah berada tepat di lokasi peristiwa. Atau J.K Rowling dengan Harry Potter-nya? Pasti masih banyak lagi. Saya yakin, disamping imajinasi yang kuat, tentu para penulis tersebut adalah para ‘kutu buku’ yang senang melahap berbagai buku sebagai modal kesuksesan mereka.

Jadi, membacalah! Karena membaca bisa memperkaya tulisanmu. Dan belilah buku! Karena membeli buku berarti menabung ilmu. Bagi Anda, para orang tua, membiasakan anak-anak membaca sejak dini tak pernah rugi. Mereka akan menjadi ‘para kutu buku yang lucu’, yang nantinya bisa merambah dunia dengan ilmu yang mereka punya, atau bahkan dengan tulisannya!

[artikel ini dimuat dalam rubrik SMS pada buletin MEMORI FLP Sengata]

Thursday, June 05, 2008

Dua bulan menjelang partus

Salam'alaikum semuanya...

Sekedar menyapa nih ... di tengah terengah-engahnya diriku mengerjakan buku yang satu ini. Subhanallah ... nyaris aja kehilangan semangat dan nyaris 'dicampakkan' begitu saja. But, I need the money...hehe...

Dua bulan menjelang partus...nyaris nggak kerasa sebenernya. Mungkin karena udah ngalamin yang pertama, jadi yang kedua ini malah kadang lupa kalo lagi hamil :)

Dua bulan menjelang partus, dan Firna makin lincah aja. Kadang sedih kalo inget Firna bakal punya 'saingan', tapi seneng juga karena gosipnya adeknya Firna laki-laki :)

Dua bulan menjelang partus, apa yang belum disiapin? Hmm ... banyak. Tenggelam oleh kesibukan-kesibukan yang lagi dicoba dikurangin pelan-pelan. Tapi nulis harus terus. Hiks, kejar setoran ceritanya. Buku yang satu ini...hiks. Buku apa sih emangnya? Haha...sudahlah nggak usah dibahas.

Hari ini break dulu dari nerusin ngebut perbaikan buku itu. Tapi paling bentar lagi juga dikerjain...hiks....

Monday, March 10, 2008

Tentang Dua Orang

Kangen banget sama Jakarta. Bukan kotanya, melainkan orang-orangnya. Terutama dua orang spesial yang selama hampir 15 tahun ini sudah menjadi 'soulmates' saya. Dua orang yang tahu segalanya tentang kehidupan saya. Dua orang yang selalu menanggapi cerita-cerita saya dengan penuh antusias dan empati tiada tara (hiperbola mode on). Dua orang yang paling saya butuhkan saat ini.

Kepulangan ke Jakarta tahun lalu tidak memuaskan. Saya tidak menjumpai keduanya bersamaan, tidak punya banyak waktu untuk ngobrol, tidak memenuhi kebutuhan saya. Memang, bagaimanapun, there's no place like home. Rumah? Yang mana rumah saya? Sekarang, ya tentu aja di Sangatta. Tapi mereka berdua adalah 'rumah' saya yang lain, yang selalu saya butuhkan, terutama di saat-saat penat seperti sekarang ini. Dan saya sedang berusaha menyabar-nyabarkan diri sambil menghitung hari. Bulan ini saya akan 'pulang'.

Yap, sepertinya semua orang perlu beberapa waktu untuk 'bernapas'. Termasuk juga diri saya. Sebentar lagi ...

Saturday, March 08, 2008

Menolehkan Hati kepada Ibu

Ketika saya menjadi seorang ibu, saya menjalani semuanya dengan sangat berbeda. Seolah-olah saya seperti menjadi orang lain, bukan diri saya sendiri. Tetapi ternyata tidak ada satu pun yang berubah dalam kehidupan saya, melainkan hidup saya menjadi lebih lengkap dan sempurna. Rupanya itulah yang membuatnya terasa berbeda.

Saya tidak sedang membicarakan segala tingkah polah putri mungil saya dan bagaimana saya menghadapinya. Saya ingin mengatakan bahwa, setelah menjadi seorang ibu, saya jadi lebih mencintai dan menghargai ibu saya sendiri. Dan sepertinya kepala saya penuh dengan bermacam ide untuk menuliskan sesuatu tentang ibu. Sekonyong-konyong begitu banyak hal yang ingin saya ungkapkan mengenai ibu saya.

Ibu saya seorang wanita sederhana. Ia tidak berpendidikan tinggi, ia tak banyak memberikan materi, tetapi ia mungkin adalah seseorang yang bisa membuat banyak mata memandang iri. Bahwa ia tetap bisa bertahan dan tersenyum ceria ketika kesulitan demi kesulitan melandanya. Bahwa ia bisa menyekolahkan saya hingga lulus kuliah dengan hasil kerja kerasnya. Bahwa ia sangat mudah bergaul, diterima banyak orang, dan punya banyak kenalan berbisnis karena sifatnya yang ramah dan pantang menyerah.

Sejak saya masih kecil, ibu tak pernah bosan bekerja keras. Padahal waktu itu ayah cukup sukses dengan pekerjaannya. Ketika kondisi keuangan terguncang, ia makin bekerja keras. Dan ketika keadaan sudah benar-benar payah, ia dengan tenang tetap bekerja keras. Seolah 'kerja keras' adalah teman akrab dalam hidupnya, layaknya sebuah napas yang kita hembuskan tanpa beban. Semua orang yang mengenalnya tahu bahwa ia seorang wanita tangguh yang mampu memikul segudang tanggungan selama puluhan tahun ini.

Suatu hari, saya ditanya oleh ibu mertua saya tercinta, tentang mengapa ibu saya bisa tertawa-tawa di kala kesulitan terberat sedang dihadapinya saat itu. Saya hanya tersenyum dan mengatakan, "Justru masalah tersebut telah membuatnya lega." Sebuah kalimat yang kedengarannya tidak masuk akal, tetapi itulah ibu. Ia tak pernah menyerah untuk berapa pun kesusahan yang mampir di kehidupannya. Ia tetap sering menelpon saya dengan ceria, kami tertawa-tawa, menceritakan hal-hal seru, atau membicarkan perkembangan putri mungil saya yang selalu membuatnya rindu. Apakah ada tangis? Sudah pasti. Tetapi keesokan harinya, ia menceritakan pada saya bahwa bisnisnya berjualan peyek kian maju, walaupun harus berpacu dengan sedikitnya modal dan banjir yang menggenangi Jakarta. Tak ada kendaraan pribadi, berpeluh dengan ojek, dan berbagai kisah yang sepertinya malah menjadi hiburan baginya ketika menceritakannya pada saya sambil terkikik geli.

Ibu memang jarang menceramahi saya tentang bagaimana menjadi seorang ibu yang baik. Kadang ia memang mencetuskan satu dua hal yang berkaitan dengan pengalamannya. Dulu, saya sempat kebingungan mencari ‘referensi’ bagi kehidupan baru saya setelah menikah. Apalagi ketika akhirnya saya melahirkan anak pertama. Tapi sekarang, rupanya saya kian sering mengingat-ingat apa saja yang sudah dilakukan ibu untuk saya dan adik saya. Dan saya tak pernah lupa betapa dulu ibu berpayah-payah menjaga kami ketika kami sakit atau saat kami malas belajar. Dan melihat tingkah putri mungil saya sekarang, saya makin yakin bahwa penat dan letih yang dulu menghinggapi ibu tak terhitung.

Saat ini, di tahun pertama saya menjadi seorang ibu, saya seolah menemukan 'pintu baru' di mana saya dapat melongok sepuas hati, mencari pelajaran apalagi yang bisa saya temukan pada diri ibu saya. Satu hal yang saya tanamkan dalam benak saya adalah saya juga akan berjuang semampu saya untuk menjaga dan membesarkan anak-anak saya, seperti halnya ibu saya yang telah berjuang menjaga dan membesarkan saya dan adik perempuan saya. Saya pun tidak akan menyerah dengan 'hanya' sebuah kesulitan ekonomi bila saya menghadapinya, seperti halnya ibu saya yang tak pernah lelah ke sana ke mari mencari tambahan penghasilan. Walaupun saya tak bisa menikmati semua materi yang mampir dalam hidup saya, walaupun yang saya dapatkan harus saya korbankan untuk keluarga saya, walaupun saya harus berjualan peyek sambil naik ojek.

Saya makin mencintai ibu saya. Bila dulu, ketika saya dan adik saya kecil, ibu telah menjaga kami dari apapun yang membahayakan hidup kami. Maka inilah saatnya saya menjaga ibu saya, menenangkannya, dan membahagiakannya hingga akhir hidupnya nanti. Walaupun saya tahu, semua upaya saya itu tak akan dapat membalas secuil pun kebaikan ibu terhadap saya.

Semua yang telah ibu lakukan pada saya, memang akhirnya menjadi semangat dalam diri saya untuk juga melakukan yang terbaik. Saya kian menyadari, bahwa kehidupan yang telah dilewati ibu, terlalu berharga untuk saya lewatkan begitu saja. Kini, saya tak lagi enggan untuk 'menolehkan' hati saya ke kehidupan ibu yang telah berjasa besar.

Thursday, February 28, 2008

Si Noddy dan Tulisan yang Membosankan

Dulu, saya pernah berpikir bahwa saya selamanya tidak akan pernah bisa menulis tulisan non fiksi. Bagi saya, yang sangat gandrung pada buku cerita, membaca tulisan selain dongeng atau cerita khayalan terasa sangat tidak menarik dan membosankan. Memang, sejak kecil saya sudah tenggelam dalam dunia buku yang semuanya adalah cerita anak-anak dan komik. Saya sangat akrab dengan seri Noddy (yang ditulis oleh Enid Blyton), yang bukunya sampai lecek-lecek karena terlalu sering saya baca. Buku Noddy adalah cerita dengan ilustrasi lucu di setiap halamannya. Hampir mirip komik, dalam bentuk buku yang mini (kalau ibu saya membaca tulisan ini, ia pasti tertawa geli mengingat bagaimana dulu kedua mata saya hampir copot membaca semua serial Noddy). Saya juga menyukai cerita-cerita karangan Hans C. Andersen, maupun majalah Bobo atau komik-komik lainnya. Dunia saya adalah imajinasi, dan saya mulai tertarik menulis ketika kelas 2 SD membaca komik “Buku Harian Penari Ballet” yang ditampilkan bersambung pada majalah Bobo. Sejak saat itu, saya mulai rajin menulis cerita-cerita pendek versi anak kecil, bertema “Star Trek” yang kebetulan juga menjadi salah satu tontonan favorit saya dulu. Saya bahkan mempunyai buku kumpulan cerpen dengan tema film tersebut.

Pikiran ‘tak bisa menulis non fiksi’ tersebut terus saya tanamkan dalam benak saya, dan ternyata itu berpengaruh terhadap selera membaca saya. Saya cenderung menarik diri dari bacaan-bacaan selain cerpen, dongeng, novelet, dan sejenisnya. Kalau bukan cerita fiksi, saya tak akan menjamahnya. Itu yang saya lakukan hingga saya duduk di bangku SMP atau SMU. Tentu saja, bacaan-bacaan wajib seperti buku pelajaran atau buku-buku pendukung pelajaran tetap saya akrabi, tetapi itu tidak termasuk dalam daftar ‘buku menarik yang harus saya baca di waktu luang’.

Waktu berjalan terus, dan kemampuan menulis saya begitu-begitu saja. Belajar secara otodidak, menulis dengan meniru, dan tidak dipublikasikan.

Menjelang akhir tahun 2004, saya bekerja sebagai sekretaris redaksi Eramuslim.com. Pada tahun 2004 itu pula, di tempat kerja saya itu, saya baru ‘menemukan’ sisi menarik dari tulisan non fiksi, yang dulu saya buang jauh-jauh. Rubrik ‘Oase Iman’ pada situs Eramuslim.com, yang isinya tentang pengalaman hidup atau berbagai peristiwa yang ditulis secara ringan, berisi, dan penuh dengan hikmah yang menggetarkan jiwa, telah membuka alam sadar saya bahwa: tulisan non fiksi tidak selalu membosankan. Buktinya, rubrik tersebut selalu menempati urutan pertama rubrik terpopuler dan yang terbanyak dibaca. Saya pun langsung terpacu untuk mengembangkan kemampuan menulis saya, dan mengakrabkan diri dengan Bayu Gautama (pada saat itu ia penanggung jawab rubrik ‘Oase Iman’), yang kemudian saya panggil dengan sebutan “Suhu Gaw” karena melalui dirinyalah saya menemukan gaya lain dalam menulis.

Tulisan Bayu Gautama begitu digemari orang, sederhana, menyentuh, dan selalu membuat iri. Karena begitu kaya pengalaman hidupnya yang ternyata bisa membawa perubahan pada orang-orang yang membacanya. Bentuk tulisan seperti itu kemudian saya kenal dengan sebutan tulisan feature. Atau sebut saja artikel, atau karangan khas. Karena hingga kini belum ada definisi yang jelas dan disepakati tentang bentuk tulisan yang satu itu. Saya terus menempa diri saya, memanfaatkan waktu saya di Eramuslim.com, dan mendapatkan hasilnya dengan dipublikasikannya “Bercermin pada Hatimu” (buku pertama saya, yang merupakan kumpulan artikel saya yang dimuat pada rubrik ‘Oase Iman’ sepanjang tahun 2004-2006).

Ternyata memang, memiliki pandangan negatif terhadap satu hal bisa membawa kita menutup diri terhadap hal lainnya. Contohnya adalah soal keengganan membaca non fiksi itu tadi, dan kemudian berimbas pada kurangnya kemampuan saya menulis non fiksi, padahal tidaklah sepayah dan se-membosankan itu. Banyak sekali yang bisa didapat dari memperkaya diri dengan membaca dan menulis tulisan non fiksi. Di antaranya adalah, kita terlatih untuk membaca dan menulis sesuatu yang informatif, tidak hanya mengandalkan kemampuan berimajinasi, namun menguatkan kemampuan menuliskan fakta dalam bentuk dan gaya menarik, hingga sebuah berita yang sederhana dan tidak terperhatikan sebelumnya bisa menjadi sesuatu yang bernilai. Mengolah urutan peristiwa menjadi cerita yang berhikmah. Memberikan pelajaran dari sesuatu yang nyata, memberikan sentuhan manis pada sesuatu yang sepele, dan sebagainya. Serta, meningkatkan kemampuan menggali data dan menempatkannya dengan ramah di dalam tulisan.

Ketika mengisi acara Bedah Karya dan Diskusi Hari Valentine di SMPN 1 Sengata Utara, saya cukup terkejut dengan respon dari peserta. Semua peserta yang hadir membawa satu berkas tulisan lengkap, hingga saya dan mbak Rien kewalahan harus membacanya satu per satu sebelum dibedah. Permintaan panitia waktu itu adalah: menulis artikel tentang Hari Valentine. Saya tak mengira bahwa kemampuan menulis para peserta sudah sebaik itu. Beberapa tulisan bahkan sudah dilengkapi dengan data-data lengkap yang didapat dari berbagai sumber, disajikan rapi dan dituliskan ulang dalam bentuk yang sangat layak baca. Walaupun di antaranya memberikan tulisan fiksi dalam bentuk cerpen, yang artinya tidak sesuai dengan persyaratan.

Ada beberapa orang yang menyerahkan tulisan sederhana sesuai dengan data yang didapat, ada satu dua yang bisa menganalisis tema dan menyajikan tulisan yang tajam dan penuh dengan dalil Alquran dan hadits serta data-data lain hingga terasa sangat ilmiah. Tetapi, yang menarik, ada yang menuliskannya dalam bentuk feature seperti gaya khas rubrik Oase Iman yang saya ceritakan di atas. Mungkin si penulis tidak menyadari apa dan bagaimana bentuk dan jenis tulisan yang mereka hasilkan. Tapi saya membacakan beberapa yang menulis dalam bentuk feature, atau sebutlah curhat, yang di dalamnya secara implisit juga menampilkan pendapat pribadi mereka tentang tema yang diangkat. Sederhana, tapi menarik. Inilah bentuk tulisan yang tepat sebagai sarana belajar penulis pemula yang ingin menghasilkan tulisan non fiksi. Seperti juga saya.

Saya kembali teringat akan keasyikan saya menulis feature, dan sampai-sampai beberapa orang teman bertanya: “Mana cerpen-cerpenmu?”

Setiap orang punya kemampuan yang berbeda, sesuai dengan mana yang lebih banyak diasah. Saya sih percaya, bahwa kalau saja kita mengasah keduanya seimbang (kemampuan menulis fiksi dan non fiksi), insyaallah kita akan dapat menjadi seorang penulis yang pandai menulis keduanya. Jadi, masih ragu menulis? [dev]

Ditulis untuk mengisi rubrik SMS dalam Bulletin MEMORI FLP Sengata

Sunday, February 24, 2008

Pancingan Jitu

Pernahkah kita mengukur, seberapa berprestasi negara tercinta ini dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya? Jawabannya pasti bervariasi. Mungkin ada yang mengatakan tidak pernah, tidak tahu, tidak peduli, atau bagi mereka yang memiliki kebanggaan tinggi sepenuh hati sebagai warga negara Indonesia, pastinya selalu akan berpikir positif bahwa bagaimanapun Indonesia tetaplah negara tercinta yang kaya raya serta mampu bersaing dalam berbagai hal di dunia.

Satu sisi saja, bila kita berkenan untuk menengok lebih dekat, kita akan mendapati betapa banyak pengabaian yang dilakukan oleh perusahaan terhadap tenaga kerjanya yang berakibat tingginya tingkat kecelakaan kerja, dan sebaliknya betapa banyak tenaga kerja Indonesia yang bermental rendah alias pemalas dalam hal mendisiplinkan diri mengikuti aturan hukum keselamatan dan kesehatan kerja.

Pada pertengahan tahun 2002, ILO (International Labour Organization) mencatat Indonesia sebagai negara yang menduduki peringkat ke-26 dari 27 negara dalam hal keselamatan kerja. Menurut data tersebut, tercatat tidak kurang dari 52 ribu kasus kecelakaan kerja atau lebih dari 400 kasus setiap harinya. Dari kasus-kasus tersebut, lebih dari 5400 tenaga kerja mengalami cacat sebagian, 317 lainnya mengalami cacat total, serta 1049 meninggal dunia. Data yang tidak menggembirakan, dan itu baru yang ‘tercatat’. Sudah pasti kasus-kasus kecelakaan kerja sama halnya dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga misalnya, bahwa jumlah yang tercatat menduduki puncak gunung es, dan jumlah yang lebih besar lagi tenggelam di bawah.

Sekitar dua tahun kemudian, Indonesia kembali meraih ‘prestasi’ besar yang sangat tak bisa dibanggakan. Faktor keselamatan dan kesehatan tenaga kerja Indonesia menduduki urutan nomor 5 se-ASEAN, atau yang terburuk dibandingkan Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Pada tahun 2004 tersebut, terjadi sekitar 95 ribu kasus kecelakaan kerja yang tercatat, yang 1,28 persennya mengakibatkan kematian. Total biaya yang dikeluarkan perusahaan pada saat itu sekitar Rp 102 milyar. Bayangkan apabila jumlah tersebut dikeluarkan untuk peningkatan produksi perusahaan atau lainnya.

Data-data yang disebutkan di atas hanyalah sebagian kecil saja yang menggambarkan betapa penting dan mendesaknya perhatian terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja untuk lebih ditingkatkan. Dan jangan hanya menuding sepihak, tanpa keterlibatan perusahaan dan tenaga kerja sekaligus, tujuan tersebut tidak mungkin tercapai dengan mulus.

Bila saja perusahaan meningkatkan perhatian kepada jaminan K3 para tenaga kerja, perhatian dalam bentuk lain misalnya sosialisasi intens kepada karyawan serta masyarakat umum, dan imbalan menarik bagi tercapainya prestasi sekian waktu tanpa kecelakaan kerja, maka semua itu menambah poin positif bagi peningkatan perhatian dan kepedulian tenaga kerja akan K3, yang merupakan penentu keselamatan dan kesehatan diri mereka sendiri. Tampaknya memang sesuatu yang ingin diraih harus menyediakan pancingan jitu sebagai penariknya.

Bila saja tenaga kerja yang ada menyadari betul pentingnya K3 dan tidak lagi mengenakan motto hidup ‘aturan ada buat dilanggar’, maka perusahaan tidak akan dirugikan dengan berkurangnya produktivitas kerja serta pemborosan dalam hal-hal yang sebenarnya bisa dicegah. Dan sekaligus mereka akan membuat keluarga tercinta merasa lega bahwa si tulang punggung keluarga berada di tempat yang aman dengan disiplinnya ia mengikuti peraturan.

Bila negara ini sudah banyak dirugikan dengan dicomotnya kekayaan negara melalui korupsi serta pungli, maka janganlah lagi menambah dengan memperbesar biaya penanggulangan kecelakaan kerja bermilyar-milyar, padahal banyak hal yang bisa dilakukan untuk mencegahnya.

Dalam pengetahuan sayItalica yang terlalu sederhana, apa yang dilakukan PT Kaltim Prima Coal cukup menarik dan sepertinya jitu mencegah laju kecelakaan kerja. Sebut saja berbagai imbalan yang diterima secara berkala, penghargaan bagi tercapainya sekian jam kerja tanpa lost time injury atau tidak adanya fatality, sosialisasi intens di media setempat, dan sebagainya. Satu hal yang cukup efektif memberikan semangat meningkatkan produktivitas kerja serta efisiensi bagi pengeluaran perusahaan. Pertanyaannya, apakah selalu harus ada pancing dan umpan menggiurkan bagi sesuatu yang menyelamatkan dan menenteramkan banyak jiwa? Begitulah kita, yang selalu harus diberi sebelum memberi. Bahkan untuk diri sendiri.

Ditulis dalam rangka mengikuti lomba K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) PT Kaltim Prima Coal. (duh, lolos gak ya? hehe...deg-degan...)

Friday, February 22, 2008

As a Mom ...

As a Mom ... Siapa sih yang nggak panik dan super cemas ketika anak sakit?

Sekitar dua minggu lalu, Firna sakit. Awalnya pilek, meler terus, dan akhirnya jadi batuk berdahak yang lumayan mengkhawatirkan. Tidur malam selalu terganggu, dan jadi agak rewel, walaupun tetep lincah ke sana ke mari. Saya hampir-hampir nggak tahan mendengarnya selalu terbatuk-batuk, dengan wajah sedikit terlihat kesakitan.

Keputusan bulat, konsultasi ke dokter anak yang konon kabarnya 'killer' alias ditakuti para ibu. Tapi juga sama banyaknya dengan yang merekomendasikan, karena pengalaman yang sudah lama dan banyak yang cocok. Saya nggak tahu, katanya untuk urusan dokter anak biasanya cocok-cocokan. Yang jelas, dengan dokter spesialis anak yang sebelumnya Firna 'nggak cocok'. Kalau memang itu istilahnya. Kenapa? Setiap kali sakit, obat-obat yang diberikan 'nggak ngaruh'. Setidaknya itu pemikiran saya.

Jadilah Firna ke dokter baru ini. Kesan saya? Nggak 'killer' sama sekali. Memang tegas, kalau bicara langsung pada pokok masalah, tapi sangat mendetail menjelaskan bila ditanya maupun tidak, dan cerewet mewanti-wanti para ibu untuk senantiasa disiplin memberikan obat. Reaksi Firna? Gembira ria mendapati ruangan dokter yang penuh mainan bergelantungan, walaupun nangis juga.

Minggu pertama lewat, obat habis, kontrol lagi, sudah ada perbaikan walaupun lendir masih banyak. Harus dijemur, disiplin obat, banyak makan. Syarat pertama, ini yang susah. Matahari nggak mau kompromi. Giliran udah siap di luar, malah ngumpet dan mendung jadinya. Giliran siap, taunya hujan. Paling hanya beberapa kali. Minggu pertama Firna sakit, saya benar-benar cemas setiap hari. Syarat kedua, disiplin obat, alhamdulillah terlewati, dibantu suami tercinta, walaupun harus menghadapi Firna menjerit-jerit karena obatnya pahit sekali. Syarat ketiga, banyak makan? Jawab saya: "Jangan khawatir, Dok, Firna tukang makan."

Tadi pagi baru aja kontrol terakhir sebelum obat habis. Batuk sudah hilang, dan lendir tidak kedengaran lagi, walaupun sesekali ada. Katanya kalau masih batuk sampai 3 kali berobat dengan antibiotik, harus fisioterapi dan tes darah. Bayangan saya udah ke mana-mana. Saya sampai searching soal ISPA, bronkitis, dan sebagainya. Mereka-reka gejala apakah yang mirip dengan kondisi Firna. Dan ketika saya ceritakan ke si dokter, beliau cuma cengar-cengir nggak menanggapi. Artinya, saya terlalu cemas. Cemas berlebihan.

Alhamdulillah, kontrol tadi pagi berlangsung singkat. Kondisi fisik bagus, katanya. Dan saya semakin bersemangat masak macem-macem untuk nasi tim Firna, yang selalu dimakan lahap (walaupun kadang 'dilepeh' sambil ketawa-ketawa).

As a mom ... tingkah saya yang memperlakukan Firna seakan-akan sakit parah dua minggu kemarin, rasanya udah sepantasnya ya. Karena kalau ada sesuatu yang buruk terjadi (na'udzubillah...) saya akan sangat merasa menyesal tidak berbuat semaksimal mungkin untuk kesembuhannya.

Alhamdulillahi robbil 'alamiin ...

Monday, February 18, 2008

Sebab Cinta Tak Kenal Waktu


Buku ini hasil duet dengan Rien Hanafiah, seorang penulis dari Sengata yang sekarang jadi Ketua FLP cabang Sengata periode 2007-2009. Waktu itu saya maksa beliau untuk nulis 13 artikel dalam seminggu. Kejam sekali, bukan? Yah, dalam rangka ngotot mengambil peluang diterbitkan oleh AFRA.

Alhamdulillah, prosesi launching-nya yang bersamaan dengan launching "Bercermin pada Hatimu" berjalan cukup lancar dan menyenangkan, dengan peserta yang lumayan banyak dari berbagai kalangan serta usia.

Hingga sekarang, saya sendiri masih dalam proses berjuang untuk kembali produktif menulis. Semoga kembali berkarya tahun ini. Amin.

Gersang

Pernahkah merasakan hati yang gersang?
Mungkin ketika kita sendiri merasakan baik-baik saja, tapi orang lain di sekitar yang malah merasakannya. Biasanya, hati yang gersang ditandai dengan apa yang terlihat kasat mata, tapi bisa juga tidak. Katanya, bila hati gersang, lawan bicara akan dengan mudah mengenali. Artinya, setiap perkataan yang kita ucapkan bisa jadi tidak 'mengena' di hati lawan bicara.

Tapi saya percaya, nurani yang terjaga baik akan langsung memberikan 'tanda' apabila ia telah mulai kering, belum sampai gersang. Ada sesuatu yang terasa tak enak, dan mestinya ia langsung 'disiram' supaya segar kembali. Bayangkan, apabila waktu-waktu yang kita punya dialokasikan untuk memberikan cinta kepada banyak orang, tetapi suatu saat ia dalam kondisi kering atau gersang, maka cinta itu tak dapat menumbuhkan sesuatu pada diri orang lain. Atau bahkan, yang kita keluarkan dari diri kita bukanlah cinta sama sekali.

Satu hal yang sepertinya menyebabkan 'gersang' adalah penat. Dan Rasulullah SAW pernah mengatakan pada sahabatnya yang sungguh teladan,
"Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan sholat."

Lalu, bagaimana dengan kita sendiri? Akankah sholat menjadi pilihan utama tatkala hati ini gersang dan penuh dengan penat?