Halaman

Thursday, February 28, 2008

Si Noddy dan Tulisan yang Membosankan

Dulu, saya pernah berpikir bahwa saya selamanya tidak akan pernah bisa menulis tulisan non fiksi. Bagi saya, yang sangat gandrung pada buku cerita, membaca tulisan selain dongeng atau cerita khayalan terasa sangat tidak menarik dan membosankan. Memang, sejak kecil saya sudah tenggelam dalam dunia buku yang semuanya adalah cerita anak-anak dan komik. Saya sangat akrab dengan seri Noddy (yang ditulis oleh Enid Blyton), yang bukunya sampai lecek-lecek karena terlalu sering saya baca. Buku Noddy adalah cerita dengan ilustrasi lucu di setiap halamannya. Hampir mirip komik, dalam bentuk buku yang mini (kalau ibu saya membaca tulisan ini, ia pasti tertawa geli mengingat bagaimana dulu kedua mata saya hampir copot membaca semua serial Noddy). Saya juga menyukai cerita-cerita karangan Hans C. Andersen, maupun majalah Bobo atau komik-komik lainnya. Dunia saya adalah imajinasi, dan saya mulai tertarik menulis ketika kelas 2 SD membaca komik “Buku Harian Penari Ballet” yang ditampilkan bersambung pada majalah Bobo. Sejak saat itu, saya mulai rajin menulis cerita-cerita pendek versi anak kecil, bertema “Star Trek” yang kebetulan juga menjadi salah satu tontonan favorit saya dulu. Saya bahkan mempunyai buku kumpulan cerpen dengan tema film tersebut.

Pikiran ‘tak bisa menulis non fiksi’ tersebut terus saya tanamkan dalam benak saya, dan ternyata itu berpengaruh terhadap selera membaca saya. Saya cenderung menarik diri dari bacaan-bacaan selain cerpen, dongeng, novelet, dan sejenisnya. Kalau bukan cerita fiksi, saya tak akan menjamahnya. Itu yang saya lakukan hingga saya duduk di bangku SMP atau SMU. Tentu saja, bacaan-bacaan wajib seperti buku pelajaran atau buku-buku pendukung pelajaran tetap saya akrabi, tetapi itu tidak termasuk dalam daftar ‘buku menarik yang harus saya baca di waktu luang’.

Waktu berjalan terus, dan kemampuan menulis saya begitu-begitu saja. Belajar secara otodidak, menulis dengan meniru, dan tidak dipublikasikan.

Menjelang akhir tahun 2004, saya bekerja sebagai sekretaris redaksi Eramuslim.com. Pada tahun 2004 itu pula, di tempat kerja saya itu, saya baru ‘menemukan’ sisi menarik dari tulisan non fiksi, yang dulu saya buang jauh-jauh. Rubrik ‘Oase Iman’ pada situs Eramuslim.com, yang isinya tentang pengalaman hidup atau berbagai peristiwa yang ditulis secara ringan, berisi, dan penuh dengan hikmah yang menggetarkan jiwa, telah membuka alam sadar saya bahwa: tulisan non fiksi tidak selalu membosankan. Buktinya, rubrik tersebut selalu menempati urutan pertama rubrik terpopuler dan yang terbanyak dibaca. Saya pun langsung terpacu untuk mengembangkan kemampuan menulis saya, dan mengakrabkan diri dengan Bayu Gautama (pada saat itu ia penanggung jawab rubrik ‘Oase Iman’), yang kemudian saya panggil dengan sebutan “Suhu Gaw” karena melalui dirinyalah saya menemukan gaya lain dalam menulis.

Tulisan Bayu Gautama begitu digemari orang, sederhana, menyentuh, dan selalu membuat iri. Karena begitu kaya pengalaman hidupnya yang ternyata bisa membawa perubahan pada orang-orang yang membacanya. Bentuk tulisan seperti itu kemudian saya kenal dengan sebutan tulisan feature. Atau sebut saja artikel, atau karangan khas. Karena hingga kini belum ada definisi yang jelas dan disepakati tentang bentuk tulisan yang satu itu. Saya terus menempa diri saya, memanfaatkan waktu saya di Eramuslim.com, dan mendapatkan hasilnya dengan dipublikasikannya “Bercermin pada Hatimu” (buku pertama saya, yang merupakan kumpulan artikel saya yang dimuat pada rubrik ‘Oase Iman’ sepanjang tahun 2004-2006).

Ternyata memang, memiliki pandangan negatif terhadap satu hal bisa membawa kita menutup diri terhadap hal lainnya. Contohnya adalah soal keengganan membaca non fiksi itu tadi, dan kemudian berimbas pada kurangnya kemampuan saya menulis non fiksi, padahal tidaklah sepayah dan se-membosankan itu. Banyak sekali yang bisa didapat dari memperkaya diri dengan membaca dan menulis tulisan non fiksi. Di antaranya adalah, kita terlatih untuk membaca dan menulis sesuatu yang informatif, tidak hanya mengandalkan kemampuan berimajinasi, namun menguatkan kemampuan menuliskan fakta dalam bentuk dan gaya menarik, hingga sebuah berita yang sederhana dan tidak terperhatikan sebelumnya bisa menjadi sesuatu yang bernilai. Mengolah urutan peristiwa menjadi cerita yang berhikmah. Memberikan pelajaran dari sesuatu yang nyata, memberikan sentuhan manis pada sesuatu yang sepele, dan sebagainya. Serta, meningkatkan kemampuan menggali data dan menempatkannya dengan ramah di dalam tulisan.

Ketika mengisi acara Bedah Karya dan Diskusi Hari Valentine di SMPN 1 Sengata Utara, saya cukup terkejut dengan respon dari peserta. Semua peserta yang hadir membawa satu berkas tulisan lengkap, hingga saya dan mbak Rien kewalahan harus membacanya satu per satu sebelum dibedah. Permintaan panitia waktu itu adalah: menulis artikel tentang Hari Valentine. Saya tak mengira bahwa kemampuan menulis para peserta sudah sebaik itu. Beberapa tulisan bahkan sudah dilengkapi dengan data-data lengkap yang didapat dari berbagai sumber, disajikan rapi dan dituliskan ulang dalam bentuk yang sangat layak baca. Walaupun di antaranya memberikan tulisan fiksi dalam bentuk cerpen, yang artinya tidak sesuai dengan persyaratan.

Ada beberapa orang yang menyerahkan tulisan sederhana sesuai dengan data yang didapat, ada satu dua yang bisa menganalisis tema dan menyajikan tulisan yang tajam dan penuh dengan dalil Alquran dan hadits serta data-data lain hingga terasa sangat ilmiah. Tetapi, yang menarik, ada yang menuliskannya dalam bentuk feature seperti gaya khas rubrik Oase Iman yang saya ceritakan di atas. Mungkin si penulis tidak menyadari apa dan bagaimana bentuk dan jenis tulisan yang mereka hasilkan. Tapi saya membacakan beberapa yang menulis dalam bentuk feature, atau sebutlah curhat, yang di dalamnya secara implisit juga menampilkan pendapat pribadi mereka tentang tema yang diangkat. Sederhana, tapi menarik. Inilah bentuk tulisan yang tepat sebagai sarana belajar penulis pemula yang ingin menghasilkan tulisan non fiksi. Seperti juga saya.

Saya kembali teringat akan keasyikan saya menulis feature, dan sampai-sampai beberapa orang teman bertanya: “Mana cerpen-cerpenmu?”

Setiap orang punya kemampuan yang berbeda, sesuai dengan mana yang lebih banyak diasah. Saya sih percaya, bahwa kalau saja kita mengasah keduanya seimbang (kemampuan menulis fiksi dan non fiksi), insyaallah kita akan dapat menjadi seorang penulis yang pandai menulis keduanya. Jadi, masih ragu menulis? [dev]

Ditulis untuk mengisi rubrik SMS dalam Bulletin MEMORI FLP Sengata

Sunday, February 24, 2008

Pancingan Jitu

Pernahkah kita mengukur, seberapa berprestasi negara tercinta ini dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya? Jawabannya pasti bervariasi. Mungkin ada yang mengatakan tidak pernah, tidak tahu, tidak peduli, atau bagi mereka yang memiliki kebanggaan tinggi sepenuh hati sebagai warga negara Indonesia, pastinya selalu akan berpikir positif bahwa bagaimanapun Indonesia tetaplah negara tercinta yang kaya raya serta mampu bersaing dalam berbagai hal di dunia.

Satu sisi saja, bila kita berkenan untuk menengok lebih dekat, kita akan mendapati betapa banyak pengabaian yang dilakukan oleh perusahaan terhadap tenaga kerjanya yang berakibat tingginya tingkat kecelakaan kerja, dan sebaliknya betapa banyak tenaga kerja Indonesia yang bermental rendah alias pemalas dalam hal mendisiplinkan diri mengikuti aturan hukum keselamatan dan kesehatan kerja.

Pada pertengahan tahun 2002, ILO (International Labour Organization) mencatat Indonesia sebagai negara yang menduduki peringkat ke-26 dari 27 negara dalam hal keselamatan kerja. Menurut data tersebut, tercatat tidak kurang dari 52 ribu kasus kecelakaan kerja atau lebih dari 400 kasus setiap harinya. Dari kasus-kasus tersebut, lebih dari 5400 tenaga kerja mengalami cacat sebagian, 317 lainnya mengalami cacat total, serta 1049 meninggal dunia. Data yang tidak menggembirakan, dan itu baru yang ‘tercatat’. Sudah pasti kasus-kasus kecelakaan kerja sama halnya dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga misalnya, bahwa jumlah yang tercatat menduduki puncak gunung es, dan jumlah yang lebih besar lagi tenggelam di bawah.

Sekitar dua tahun kemudian, Indonesia kembali meraih ‘prestasi’ besar yang sangat tak bisa dibanggakan. Faktor keselamatan dan kesehatan tenaga kerja Indonesia menduduki urutan nomor 5 se-ASEAN, atau yang terburuk dibandingkan Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Pada tahun 2004 tersebut, terjadi sekitar 95 ribu kasus kecelakaan kerja yang tercatat, yang 1,28 persennya mengakibatkan kematian. Total biaya yang dikeluarkan perusahaan pada saat itu sekitar Rp 102 milyar. Bayangkan apabila jumlah tersebut dikeluarkan untuk peningkatan produksi perusahaan atau lainnya.

Data-data yang disebutkan di atas hanyalah sebagian kecil saja yang menggambarkan betapa penting dan mendesaknya perhatian terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja untuk lebih ditingkatkan. Dan jangan hanya menuding sepihak, tanpa keterlibatan perusahaan dan tenaga kerja sekaligus, tujuan tersebut tidak mungkin tercapai dengan mulus.

Bila saja perusahaan meningkatkan perhatian kepada jaminan K3 para tenaga kerja, perhatian dalam bentuk lain misalnya sosialisasi intens kepada karyawan serta masyarakat umum, dan imbalan menarik bagi tercapainya prestasi sekian waktu tanpa kecelakaan kerja, maka semua itu menambah poin positif bagi peningkatan perhatian dan kepedulian tenaga kerja akan K3, yang merupakan penentu keselamatan dan kesehatan diri mereka sendiri. Tampaknya memang sesuatu yang ingin diraih harus menyediakan pancingan jitu sebagai penariknya.

Bila saja tenaga kerja yang ada menyadari betul pentingnya K3 dan tidak lagi mengenakan motto hidup ‘aturan ada buat dilanggar’, maka perusahaan tidak akan dirugikan dengan berkurangnya produktivitas kerja serta pemborosan dalam hal-hal yang sebenarnya bisa dicegah. Dan sekaligus mereka akan membuat keluarga tercinta merasa lega bahwa si tulang punggung keluarga berada di tempat yang aman dengan disiplinnya ia mengikuti peraturan.

Bila negara ini sudah banyak dirugikan dengan dicomotnya kekayaan negara melalui korupsi serta pungli, maka janganlah lagi menambah dengan memperbesar biaya penanggulangan kecelakaan kerja bermilyar-milyar, padahal banyak hal yang bisa dilakukan untuk mencegahnya.

Dalam pengetahuan sayItalica yang terlalu sederhana, apa yang dilakukan PT Kaltim Prima Coal cukup menarik dan sepertinya jitu mencegah laju kecelakaan kerja. Sebut saja berbagai imbalan yang diterima secara berkala, penghargaan bagi tercapainya sekian jam kerja tanpa lost time injury atau tidak adanya fatality, sosialisasi intens di media setempat, dan sebagainya. Satu hal yang cukup efektif memberikan semangat meningkatkan produktivitas kerja serta efisiensi bagi pengeluaran perusahaan. Pertanyaannya, apakah selalu harus ada pancing dan umpan menggiurkan bagi sesuatu yang menyelamatkan dan menenteramkan banyak jiwa? Begitulah kita, yang selalu harus diberi sebelum memberi. Bahkan untuk diri sendiri.

Ditulis dalam rangka mengikuti lomba K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) PT Kaltim Prima Coal. (duh, lolos gak ya? hehe...deg-degan...)

Friday, February 22, 2008

As a Mom ...

As a Mom ... Siapa sih yang nggak panik dan super cemas ketika anak sakit?

Sekitar dua minggu lalu, Firna sakit. Awalnya pilek, meler terus, dan akhirnya jadi batuk berdahak yang lumayan mengkhawatirkan. Tidur malam selalu terganggu, dan jadi agak rewel, walaupun tetep lincah ke sana ke mari. Saya hampir-hampir nggak tahan mendengarnya selalu terbatuk-batuk, dengan wajah sedikit terlihat kesakitan.

Keputusan bulat, konsultasi ke dokter anak yang konon kabarnya 'killer' alias ditakuti para ibu. Tapi juga sama banyaknya dengan yang merekomendasikan, karena pengalaman yang sudah lama dan banyak yang cocok. Saya nggak tahu, katanya untuk urusan dokter anak biasanya cocok-cocokan. Yang jelas, dengan dokter spesialis anak yang sebelumnya Firna 'nggak cocok'. Kalau memang itu istilahnya. Kenapa? Setiap kali sakit, obat-obat yang diberikan 'nggak ngaruh'. Setidaknya itu pemikiran saya.

Jadilah Firna ke dokter baru ini. Kesan saya? Nggak 'killer' sama sekali. Memang tegas, kalau bicara langsung pada pokok masalah, tapi sangat mendetail menjelaskan bila ditanya maupun tidak, dan cerewet mewanti-wanti para ibu untuk senantiasa disiplin memberikan obat. Reaksi Firna? Gembira ria mendapati ruangan dokter yang penuh mainan bergelantungan, walaupun nangis juga.

Minggu pertama lewat, obat habis, kontrol lagi, sudah ada perbaikan walaupun lendir masih banyak. Harus dijemur, disiplin obat, banyak makan. Syarat pertama, ini yang susah. Matahari nggak mau kompromi. Giliran udah siap di luar, malah ngumpet dan mendung jadinya. Giliran siap, taunya hujan. Paling hanya beberapa kali. Minggu pertama Firna sakit, saya benar-benar cemas setiap hari. Syarat kedua, disiplin obat, alhamdulillah terlewati, dibantu suami tercinta, walaupun harus menghadapi Firna menjerit-jerit karena obatnya pahit sekali. Syarat ketiga, banyak makan? Jawab saya: "Jangan khawatir, Dok, Firna tukang makan."

Tadi pagi baru aja kontrol terakhir sebelum obat habis. Batuk sudah hilang, dan lendir tidak kedengaran lagi, walaupun sesekali ada. Katanya kalau masih batuk sampai 3 kali berobat dengan antibiotik, harus fisioterapi dan tes darah. Bayangan saya udah ke mana-mana. Saya sampai searching soal ISPA, bronkitis, dan sebagainya. Mereka-reka gejala apakah yang mirip dengan kondisi Firna. Dan ketika saya ceritakan ke si dokter, beliau cuma cengar-cengir nggak menanggapi. Artinya, saya terlalu cemas. Cemas berlebihan.

Alhamdulillah, kontrol tadi pagi berlangsung singkat. Kondisi fisik bagus, katanya. Dan saya semakin bersemangat masak macem-macem untuk nasi tim Firna, yang selalu dimakan lahap (walaupun kadang 'dilepeh' sambil ketawa-ketawa).

As a mom ... tingkah saya yang memperlakukan Firna seakan-akan sakit parah dua minggu kemarin, rasanya udah sepantasnya ya. Karena kalau ada sesuatu yang buruk terjadi (na'udzubillah...) saya akan sangat merasa menyesal tidak berbuat semaksimal mungkin untuk kesembuhannya.

Alhamdulillahi robbil 'alamiin ...

Monday, February 18, 2008

Sebab Cinta Tak Kenal Waktu


Buku ini hasil duet dengan Rien Hanafiah, seorang penulis dari Sengata yang sekarang jadi Ketua FLP cabang Sengata periode 2007-2009. Waktu itu saya maksa beliau untuk nulis 13 artikel dalam seminggu. Kejam sekali, bukan? Yah, dalam rangka ngotot mengambil peluang diterbitkan oleh AFRA.

Alhamdulillah, prosesi launching-nya yang bersamaan dengan launching "Bercermin pada Hatimu" berjalan cukup lancar dan menyenangkan, dengan peserta yang lumayan banyak dari berbagai kalangan serta usia.

Hingga sekarang, saya sendiri masih dalam proses berjuang untuk kembali produktif menulis. Semoga kembali berkarya tahun ini. Amin.

Gersang

Pernahkah merasakan hati yang gersang?
Mungkin ketika kita sendiri merasakan baik-baik saja, tapi orang lain di sekitar yang malah merasakannya. Biasanya, hati yang gersang ditandai dengan apa yang terlihat kasat mata, tapi bisa juga tidak. Katanya, bila hati gersang, lawan bicara akan dengan mudah mengenali. Artinya, setiap perkataan yang kita ucapkan bisa jadi tidak 'mengena' di hati lawan bicara.

Tapi saya percaya, nurani yang terjaga baik akan langsung memberikan 'tanda' apabila ia telah mulai kering, belum sampai gersang. Ada sesuatu yang terasa tak enak, dan mestinya ia langsung 'disiram' supaya segar kembali. Bayangkan, apabila waktu-waktu yang kita punya dialokasikan untuk memberikan cinta kepada banyak orang, tetapi suatu saat ia dalam kondisi kering atau gersang, maka cinta itu tak dapat menumbuhkan sesuatu pada diri orang lain. Atau bahkan, yang kita keluarkan dari diri kita bukanlah cinta sama sekali.

Satu hal yang sepertinya menyebabkan 'gersang' adalah penat. Dan Rasulullah SAW pernah mengatakan pada sahabatnya yang sungguh teladan,
"Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan sholat."

Lalu, bagaimana dengan kita sendiri? Akankah sholat menjadi pilihan utama tatkala hati ini gersang dan penuh dengan penat?