Halaman

Monday, March 10, 2008

Tentang Dua Orang

Kangen banget sama Jakarta. Bukan kotanya, melainkan orang-orangnya. Terutama dua orang spesial yang selama hampir 15 tahun ini sudah menjadi 'soulmates' saya. Dua orang yang tahu segalanya tentang kehidupan saya. Dua orang yang selalu menanggapi cerita-cerita saya dengan penuh antusias dan empati tiada tara (hiperbola mode on). Dua orang yang paling saya butuhkan saat ini.

Kepulangan ke Jakarta tahun lalu tidak memuaskan. Saya tidak menjumpai keduanya bersamaan, tidak punya banyak waktu untuk ngobrol, tidak memenuhi kebutuhan saya. Memang, bagaimanapun, there's no place like home. Rumah? Yang mana rumah saya? Sekarang, ya tentu aja di Sangatta. Tapi mereka berdua adalah 'rumah' saya yang lain, yang selalu saya butuhkan, terutama di saat-saat penat seperti sekarang ini. Dan saya sedang berusaha menyabar-nyabarkan diri sambil menghitung hari. Bulan ini saya akan 'pulang'.

Yap, sepertinya semua orang perlu beberapa waktu untuk 'bernapas'. Termasuk juga diri saya. Sebentar lagi ...

Saturday, March 08, 2008

Menolehkan Hati kepada Ibu

Ketika saya menjadi seorang ibu, saya menjalani semuanya dengan sangat berbeda. Seolah-olah saya seperti menjadi orang lain, bukan diri saya sendiri. Tetapi ternyata tidak ada satu pun yang berubah dalam kehidupan saya, melainkan hidup saya menjadi lebih lengkap dan sempurna. Rupanya itulah yang membuatnya terasa berbeda.

Saya tidak sedang membicarakan segala tingkah polah putri mungil saya dan bagaimana saya menghadapinya. Saya ingin mengatakan bahwa, setelah menjadi seorang ibu, saya jadi lebih mencintai dan menghargai ibu saya sendiri. Dan sepertinya kepala saya penuh dengan bermacam ide untuk menuliskan sesuatu tentang ibu. Sekonyong-konyong begitu banyak hal yang ingin saya ungkapkan mengenai ibu saya.

Ibu saya seorang wanita sederhana. Ia tidak berpendidikan tinggi, ia tak banyak memberikan materi, tetapi ia mungkin adalah seseorang yang bisa membuat banyak mata memandang iri. Bahwa ia tetap bisa bertahan dan tersenyum ceria ketika kesulitan demi kesulitan melandanya. Bahwa ia bisa menyekolahkan saya hingga lulus kuliah dengan hasil kerja kerasnya. Bahwa ia sangat mudah bergaul, diterima banyak orang, dan punya banyak kenalan berbisnis karena sifatnya yang ramah dan pantang menyerah.

Sejak saya masih kecil, ibu tak pernah bosan bekerja keras. Padahal waktu itu ayah cukup sukses dengan pekerjaannya. Ketika kondisi keuangan terguncang, ia makin bekerja keras. Dan ketika keadaan sudah benar-benar payah, ia dengan tenang tetap bekerja keras. Seolah 'kerja keras' adalah teman akrab dalam hidupnya, layaknya sebuah napas yang kita hembuskan tanpa beban. Semua orang yang mengenalnya tahu bahwa ia seorang wanita tangguh yang mampu memikul segudang tanggungan selama puluhan tahun ini.

Suatu hari, saya ditanya oleh ibu mertua saya tercinta, tentang mengapa ibu saya bisa tertawa-tawa di kala kesulitan terberat sedang dihadapinya saat itu. Saya hanya tersenyum dan mengatakan, "Justru masalah tersebut telah membuatnya lega." Sebuah kalimat yang kedengarannya tidak masuk akal, tetapi itulah ibu. Ia tak pernah menyerah untuk berapa pun kesusahan yang mampir di kehidupannya. Ia tetap sering menelpon saya dengan ceria, kami tertawa-tawa, menceritakan hal-hal seru, atau membicarkan perkembangan putri mungil saya yang selalu membuatnya rindu. Apakah ada tangis? Sudah pasti. Tetapi keesokan harinya, ia menceritakan pada saya bahwa bisnisnya berjualan peyek kian maju, walaupun harus berpacu dengan sedikitnya modal dan banjir yang menggenangi Jakarta. Tak ada kendaraan pribadi, berpeluh dengan ojek, dan berbagai kisah yang sepertinya malah menjadi hiburan baginya ketika menceritakannya pada saya sambil terkikik geli.

Ibu memang jarang menceramahi saya tentang bagaimana menjadi seorang ibu yang baik. Kadang ia memang mencetuskan satu dua hal yang berkaitan dengan pengalamannya. Dulu, saya sempat kebingungan mencari ‘referensi’ bagi kehidupan baru saya setelah menikah. Apalagi ketika akhirnya saya melahirkan anak pertama. Tapi sekarang, rupanya saya kian sering mengingat-ingat apa saja yang sudah dilakukan ibu untuk saya dan adik saya. Dan saya tak pernah lupa betapa dulu ibu berpayah-payah menjaga kami ketika kami sakit atau saat kami malas belajar. Dan melihat tingkah putri mungil saya sekarang, saya makin yakin bahwa penat dan letih yang dulu menghinggapi ibu tak terhitung.

Saat ini, di tahun pertama saya menjadi seorang ibu, saya seolah menemukan 'pintu baru' di mana saya dapat melongok sepuas hati, mencari pelajaran apalagi yang bisa saya temukan pada diri ibu saya. Satu hal yang saya tanamkan dalam benak saya adalah saya juga akan berjuang semampu saya untuk menjaga dan membesarkan anak-anak saya, seperti halnya ibu saya yang telah berjuang menjaga dan membesarkan saya dan adik perempuan saya. Saya pun tidak akan menyerah dengan 'hanya' sebuah kesulitan ekonomi bila saya menghadapinya, seperti halnya ibu saya yang tak pernah lelah ke sana ke mari mencari tambahan penghasilan. Walaupun saya tak bisa menikmati semua materi yang mampir dalam hidup saya, walaupun yang saya dapatkan harus saya korbankan untuk keluarga saya, walaupun saya harus berjualan peyek sambil naik ojek.

Saya makin mencintai ibu saya. Bila dulu, ketika saya dan adik saya kecil, ibu telah menjaga kami dari apapun yang membahayakan hidup kami. Maka inilah saatnya saya menjaga ibu saya, menenangkannya, dan membahagiakannya hingga akhir hidupnya nanti. Walaupun saya tahu, semua upaya saya itu tak akan dapat membalas secuil pun kebaikan ibu terhadap saya.

Semua yang telah ibu lakukan pada saya, memang akhirnya menjadi semangat dalam diri saya untuk juga melakukan yang terbaik. Saya kian menyadari, bahwa kehidupan yang telah dilewati ibu, terlalu berharga untuk saya lewatkan begitu saja. Kini, saya tak lagi enggan untuk 'menolehkan' hati saya ke kehidupan ibu yang telah berjasa besar.