Halaman

Tuesday, June 24, 2008

Perjalanan ke Langit

Mencermati sebuah peristiwa Isra’ Mi’raj memang membawa persepsi bermacam-macam bagi setiap orang. Memahaminya sebagai sebuah mukjizat pun bisa menimbulkan ‘pernak-pernik’ lain dalam keyakinan yang tertanam dalam diri masing-masing. Dan sesungguhnya, peristiwa-peristiwa menakjubkan yang terjadi pada momen tersebut bukanlah satu-satunya yang menjadi tema utama bagi sebuah keyakinan. Melainkan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.

Sebuah Hiburan yang Menakjubkan
Menapaki awal perjalanan dakwah yang penuh rintangan telah menjadi ujian tersendiri bagi Rasulullah SAW. Sebagian dari kita mungkin pernah mendengar atau membaca tentang peristiwa Thaif, dimana beliau mengalami penghinaan dan siksaan dari penduduk kota tersebut. Sebelum itu pun Rasulullah SAW dan para sahabat telah mengalami ujian berat, dengan menjalani tiga tahun pemboikotan total oleh kaum kafir Quraisy terhadap Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib.

Ujian tak terperi berikutnya adalah meninggalnya dua orang yang sangat berarti dalam kehidupan Rasulullah SAW, yaitu Siti Khadijah dan Abu Thalib. Seorang istri tercinta yang selalu menjadi pendukung utama dakwah beliau, dan paman tercinta yang telah menjadi pelindung dan penjaga beliau dari intimidasi kaum kafir.

Maka perisitwa Isra’ dan Mi’raj menjadi sebuah bentuk hiburan tak biasa yang hanya dialami oleh seorang Muhammad SAW.

Ganjaran bagi Sebuah Kesabaran
Sebuah ujian yang paling ringan sekali pun, tak mungkin sukses dilewati tanpa adanya kesabaran. Hakikatnya sabar adalah tidak terbatas. Maka keberhasilan Rasulullah SAW menjalani setiap kesulitan –yang rasanya tak mungkin bisa dihadapi dengan sukses oleh manusia mana pun- sebelum perisitwa Isra dan Mi’raj memang mewajarkan adanya ganjaran luar biasa dari-Nya. Yaitu berjumpa dan berbicara langsung dengan Sang Khalik.



Membawa Perintah Shalat
Menemui Allah SWT secara langsung dan mendapatkan perintah untuk melaksanakan shalat lima waktu tidak sesederhana seperti seorang murid yang menerima perintah mengerjakan tugas dari gurunya. Ketika pada awalnya Rasulullah SAW menerima perintah dari Allah SWT untuk menjalankan shalat sebanyak 50 kali sehari semalam, terjadilah dialog antara dirinya dengan Nabi Musa as.

Sesungguhnya umat manusia, umat Muhammad SAW, adalah lemah. Tak mungkin sanggup melaksanakan sekian banyak waktu shalat yang awalnya ditetapkan. Demikian yang digambarkan oleh percakapan antara Nabi Musa as dengan Rasulullah SAW. Jika saja kita mau mengintrospeksi diri, apakah lima waktu shalat wajib yang sudah ‘diperjuangkan’ oleh Nabi tercinta di hadapan Allah SWT telah kita jalani dengan sempurna? Sedangkan dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Ishaq, Rasulullah SAW mengatakan bahwa jika salah seorang di antara umatnya mengerjakan shalat lima waktu dengan mengimaninya dan mengharap ridha Allah, maka ganjarannya adalah pahala sebanyak lima puluh shalat.

Sebuah Pembuktian akan Kekuasaan Allah SWT
Sadarkah kita semua, bahwa waktu yang harus ditempuh antara kota Makkah dan Palestina adalah lebih kurang selama 40 hari, jika ditempuh pada zaman Rasulullah SAW hidup. Dimana pada waktu itu belum tersedia kendaraan modern seperti yang ada sekarang. Dan perjalanan menuju langit hingga ke hadapan Sang Pencipta sungguh merupakan jenak waktu yang tak terbayangkan bagi manusia mana pun.

Maka kesemua dari detail perjalanan Rasulullah menuju Allah SWT tak mungkin terhitung oleh penelitian empirik mana pun, melainkan oleh sebuah keyakinan mantap akan kekuasaan Allah SWT, Sang Pemilik Kehidupan.

Subhanallah, Maha Suci Ia yang telah memperjalankan seorang Muhammad dalam perjalanan Isra’ dan Mi’raj. Sebuah perjalanan agung yang tak mungkin terulang dan dialami oleh manusia mana pun.

Maka mendekatlah selalu kepada-Nya dalam setiap amal baik yang kita lakukan. Jalani kehidupan yang singkat ini dengan langkah yang selalu menuju kebaikan. [dev]

Ditulis untuk rubrik "Bahasan Utama" buletin MEMORI FLP Sengata

Sebuah Perjalanan Hati

Bagi kita, selama ini yang dinamakan ‘sebuah perjalanan’ mungkin hampir selalu diidentikkan dengan pergi jarak jauh, sibuk membawa perbekalan lengkap, dan keluar banyak uang. Apalagi bagi para perantau yang tinggal jauh dari rumah. Mereka yang bersekolah di luar kota kelahiran misalnya, atau yang mencari rezeki di tanah orang. Sudah pasti momen ‘pulang kampung’ selalu ditunggu-tunggu. Tetapi, ada saja yang tak seberuntung itu. Yang tidak memiliki cukup uang untuk bepergian, atau memang sedang menghemat pengeluaran sehingga liburan cukup dihabiskan di tempat berdomisili saja.

Tetapi sebuah perjalanan, entah untuk momen liburan atau lainnya, pastinya tidak harus selalu dengan mengeluarkan banyak uang atau waktu dan tenaga. Hakikatnya, melakukan sebuah ‘perjalanan hati’ akan lebih banyak menyisakan bekas yang indah untuk dikenang, dijadikan pelajaran, dan mengawali sebuah perubahan ke arah kebaikan. Dan pastinya tidak harus selalu dilakukan pada saat liburan panjang atau meluangkan waktu khusus.

Jadi, apa saja yang bisa dilakukan untuk merehatkan hati dan pikiran sejenak dari kelelahan?

Membaca buku-buku yang menginspirasi.
Pernah mencoba? Cobalah temukan beberapa judul buku yang menarik, dan bisa menyiram hati ini dari segala penat keseharian yang selama berbulan-bulan ini kita penuhi dengan urusan dunia. Bisa saja buku-buku fiksi berupa kumpulan cerpen atau novel islami, yang pasti membawa nuansa berbeda ke setiap hati kita. Disamping bisa meliburkan hati dari pikiran-pikiran yang melelahkan, juga bisa meninggalkan hikmah luar biasa yang nantinya dapat menjadi pelajaran penting bagi kehidupan.

Berkunjung ke masjid terdekat untuk beri’tikaf (berdiam diri)
Nah, aktivitas yang satu ini tidak hanya bisa dilakukan saat sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Di waktu luang misalnya ketika liburan, bisa saja kita menyempatkan diri untuk mengunjungi masjid terdekat, ataupun masjid yang tidak biasa dikunjungi karena jarak yang tak terlalu dekat dari rumah. Untuk apa? Yang pasti merehatkan diri sekaligus mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

Bawalah ‘bekal’ untuk beri’tikaf supaya kegiatan tersebut lebih khusyu’ dilakukan. Misalnya, sebuah mushaf Alquran beserta terjemahannya. Membaca Alquran disertai dengan terjemahannya akan membuat kita semakin mengerti akan ayat-ayat Allah. Lalu, seperangkat alat shalat untuk menunaikan shalat wajib dan sunnah di masjid tercinta. Kemudian satu atau dua buku yang menyejukkan hati pun bisa kita bawa, sebagai kegiatan selingan di sela-sela waktu shalat.

Kegiatan i’tikaf sederhana ini juga makin asyik jika dilakukan bersama teman-teman terdekat. Supaya pahala kebaikan yang kita dapatkan bisa dinikmati bersama yang lain.

Menonton film, mengharu-biru, menambah semangat!
Nonton film? Pastinya film-film yang mengisahkan perjalanan hidup nabi atau orang-orang salih, yang senantiasa akan memompakan semangat baru ke dalam jiwa kita. Rehat yang asyik, kan?

Sudah pernah menyaksikan kegigihan seorang Hamzah bin Abdul Muththalib dalam film “The Messenger”? Film yang satu ini merupakan ‘remake’ dari film “Ar Risalah”, yang salah satu pemainnya adalah bintang film Hollywood yang kabarnya ‘nyaris’ menjadi seorang muslim ketika film tersebut diproduksi. Beliau adalah Anthony Quinn. Seru, dan pastinya mengharukan. Akan selalu menjadi pengingat akan sulitnya dakwah yang dilakukan Rasulullah beserta para sahabat dulu.

Atau film “Fatahillah”, misalnya. Film asli buatan anak negeri yang, walaupun banyak kritik terhadapnya, selalu membangkitkan memori tentang perjuangan kaum muslimin di Indonesia jaman ‘baheula’.

Sudah terinspirasi? Berhentilah sejenak dari kesibukan untuk sesuatu yang menyenangkan sekaligus mendekatkan diri kita pada-Nya. Yuk, isi waktu dengan melakukan perjalanan hati! [dev]

Ditulis untuk dimuat dalam rubrik "Tambahan Tema Utama" buletin MEMORI FLP Sengata

Friday, June 20, 2008

Merindukan Taubat

Pernahkah Anda merasa begitu penat dengan semua kesibukan yang sedang dikerjakan dan yang menanti untuk diselesaikan?

Suatu malam, saya menjelang tidur dengan pikiran penuh dengan berbagai macam hal yang tak bisa saya enyahkan. Hari itu, beberapa tugas belum diselesaikan, esok hari ada tugas lain yang menanti untuk dirampungkan, lalu curhat dari dua orang 'adik' yang baru saja memenuhi kepala saya, kemudian problem kecil di rumah yang rasanya begitu menghimpit dada. Terlalu banyak bagi saya, pikir saya malam itu. Dan mata saya tak bisa terpejam hingga sekitar sejam setelah saya membaringkan badan.

Lelah, hampir di semua persendian dan tulang-tulang rasanya sedang merintih-rintih kesakitan. Tapi entah bagaimana, berbagai hal yang memenuh-sesakkan kepala ini mencuat ke segala sisi, seakan seperti berontak ingin diselesaikan satu per satu. Dan sepertinya malam itu saya tertidur dengan otak terus bekerja keras, hingga pagi.

Paginya, semua penat itu berkumpul jadi satu dan 'menyerang' saya, ketika sebuah insiden kecil terjadi. Tangis saya seketika tumpah, tanpa bisa saya tahan. Dan saya beraktivitas sepanjang pagi dengan membiarkan air mata saya mengalir deras.

Waktu dhuha, dan saya memutuskan untuk bersimpuh pada-Nya. Setelahnya, saya menutup pintu kamar rapat-rapat, dan menikmati lembaran ayat-ayat cinta-Nya, yang sepertinya pagi itu terasa begitu merindukan. Mungkin sekitar satu jam saya terpekur, dan terus membaca. Kedua tangan saya rasanya betah untuk berlama-lama menggenggam erat mushaf bersampul merah itu. Dan saya menangis lagi.

Mungkin banyak yang menganggap ini adalah sebuah hal klise yang bisa saja dialami setiap orang. Memang betul. Selepas dhuha dan tilawah, saya keluar dari kamar. Perasaan saya jauh lebih ringan. Satu per satu tumpukan masalah di kepala saya seperti tertata sendiri di 'laci' masing-masing. Sore harinya, ketika saya bercuap-cuap di sebuah stasiun radio untuk sebuah program 'Zona Inspirasi', sepertinya benak saya merenung jauh, dan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut saya menambah kesejukan ke dalam hati saya sendiri.

Saya jadi teringat, seseorang pernah mengatakan pada saya bahwa, apa yang keluar dari lisan kita akan sesuai dengan apa yang tersimpan dalam hati kita. Jika ruh ini 'penuh' dengan rasa cinta pada-Nya, maka kita akan mampu menjadi 'ruh' bagi orang lain. Bukti nyata tentu saja harus ada. Tidak mungkin tampilan luar akan baik apabila isi hati tak baik pula. Kecuali jika ia termasuk golongan orang-orang munafik. Na'udzubillahi min dzaalik.

Subhanallah ... pagi ini, hati saya segar. Dan mushaf merah itu terus saya rindukan. Rupanya penat yang menumpuk itu sempat menyisakan lalai pada diri saya, hari-hari kemarin. Semoga Ia berkenan untuk kembali menerima taubat saya hari ini, dan juga hari-hari setelah ini. Amin.

Tuesday, June 10, 2008

Mengawali Sebuah Perubahan

Setiap manusia pastinya menginginkan segala sesuatu yang terbaik yang terjadi pada dirinya. Dan bila sesuatu yang baik sudah terjadi, di kemudian hari ia akan menginginkan hal yang lebih baik dari sebelumnya. Begitu terus berjalan, setiap orang memang pasti menginginkan perubahan untuk kebaikan.

Suatu ketika, saya berada pada lingkungan yang sangat kondusif untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Artinya, cukup banyak orang yang berpotensi untuk melakukan perubahan, dan sebagian besar masyarakat terlihat antusias dengan keberadaan orang-orang tersebut yang sepertinya bisa menjadi bagian dari ‘penolong’ masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan. Subhanallah … tak terbayang betapa besar manfaat yang bisa diberikan lingkungan kecil itu kepada masyarakat luas.

Kondisi tersebut pastinya memberikan harapan lebih sekaligus bisa menjadi ranjau bagi mereka. Harapan lebih untuk bisa berbuat lebih banyak untuk masyarakat, melihat tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi. Sekaligus ranjau berbahaya, yaitu kesombongan yang bisa jadi menyelip di antara ruang keikhlasan yang selama ini dibangun dengan susah payah. Yaitu dalam wujud perasaan ‘akan mendapat dukungan besar’, ‘rencana pasti berhasil’, dan ‘semua di tangan kita’. Bukankah kita seharusnya menyadari, bahwa kesombongan adalah awal dari kehancuran? Sedangkan tak ada yang patut kita sombongkan dari diri kita, sebab tak mungkin kesempurnaan itu kita miliki.

Sebuah masalah kembali muncul, ketika orang-orang yang memiliki potensi sebagai perubah tidak mau berbuat apa-apa, bersikap pasif, dan mengurungkan niat untuk menyebarkan kebaikan. Entah dengan alasan mendahulukan yang lain, sungkan, tidak mampu menyampaikan dengan baik, dan seribu alasan lainnya. Sesungguhnya, bersikap demikian hanya akan menjadikan potensi yang sudah dikaruniakan Allah tersebut terkubur sia-sia, tanpa bisa dirasakan manfaatnya oleh orang lain. Menumpulkan pisau tajam dengan sengaja.

Bukankah Allah akan membukakan pintu perubahan bagi sebuah kaum apabila kaum tersebut mau berupaya untuk berubah? Artinya tidak mungkin turun hujan uang dari langit, dan tidak mungkin pula kesuksesan didulang tanpa kerja keras dan doa panjang dipanjatkan. Dan sungguh sayang, apabila terdapat sekumpulan orang yang memiliki kompetensi untuk melakukan perubahan dalam masyarakatnya, namun bungkam tak mau berkata dan bertindak apapun.

Lantas saya bertanya pada diri sendiri, termasuk dalam bagian yang manakah diri saya? Seseorang yang mampu berbuat, tetapi kemudian tergelincir dalam kesombongan yang tidak pada tempatnya? Atau seseorang yang mampu berbuat, tetapi tenggelam dalam kemalasan untuk berupaya mengubah keadaan dikarenakan berbagai alasan yang berasal dari syahwat untuk menyenangkan diri sendiri. Semoga tidak keduanya. Semoga Allah berkenan untuk selalu menempatkan diri saya dan Anda semua ke dalam golongan orang-orang yang senantiasa berikhtiar, mengawali setiap perubahan ke arah yang baik, dan selalu bersemangat untuk menebarkan manfaat kepada masyarakat.

Dan setiap peristiwa pasti menyisakan hikmah untuk dipelajari. Jika diri kita adalah seseorang yang dapat menangkapnya, alangkah sangat bermanfaat jika kemudian kita sebarkan pada yang lain. Sehingga kebaikan itu terus menyebar dan mengawali sebuah perubahan lagi.

Sambil merenungkan kejadian semalam ...

Monday, June 09, 2008

Pernikahan Itu ...

Selama ini saya selalu berpikir bahwa menjadi seorang ibu tidaklah mudah. Maka tidak heran jika ada sebagian perempuan yang menunda pernikahan atau bahkan bersikap enggan bila membicarakan urusan pernikahan karena alasan yang satu. Sudah jelas, menikah dengan seseorang akan membawa langkah ini ke tahap berikutnya, yaitu menjadi ibu dari anak-anak si lelaki tercinta.

Tapi ada juga yang berpikir sebaliknya. Ia dengan kesadaran penuh begitu bersemangat untuk menjadi seorang istri dan ibu nantinya. Bahkan sedari usianya baru beranjak dari 20-an. Seperti teman saya Anggi. Dulu, di tingkat pertama perkuliahan, saya selalu terheran-heran sekaligus kagum dengan semangatnya itu. Bahkan kadang saya jadi 'takut' sendiri, dan kadang suka menghindar dari dirinya yang tengah berbinar-binar membicarakan rencana ini-itu seputar pernikahan.

Bagi saya, ini semua masalah kesiapan. Dan soal kesiapan adalah satu hal yang bercampur-baur dengan berbagai hal lainnya, seperti pola asuh yang diterapkan orang tua kita, pengalaman pribadi dengan berbagai hal seputar pernikahan, atau persepsi yang terbentuk dari berbagai informasi yang diterima, dan sebagainya. Dan ini juga masalah pilihan. Pilihan untuk menetapkan target waktu untuk menikah, atau kriteria si calon pendamping hidup, dan lain-lain. Rumit? Bisa iya, bisa tidak.

Begitulah hidup. Sebagiannya adalah mengenai pilihan-pilihan. Dan saya mendapati teman-teman perempuan saya mengalami hal-hal yang berbeda mengenai pernikahan. Yang membawa pikiran saya melayang sejenak ke saat dulu saya menetapkan bahwa 'saya akan menikah'. Bagi saya, mencari pendamping hidup dan kemudian menjalani kehidupan pernikahan membutuhkan konsentrasi penuh. Dan tentu saja berbekal kesiapan mental dan material. Bagaimanapun, saya menyadari bahwa saya tidak hanya akan menjalani 'keindahan' pernikahan saja, tetapi juga pernak-pernik lain yang mungkin terjadi. Pada saya, suami saya, keluarga besar kami, dan juga anak-anak kami nantinya. Rasa takut pasti ada. Tapi ketika saya sudah berikhtiar sebaik yang saya bisa untuk mendapatkan yang terbaik disertai dengan memasrahkan diri pada-Nya dan meraih ridho orang tua, hati saya menjadi lebih tenang.

Kembali tentang menjadi seorang ibu. Siapapun, pastinya akan mendapati pengalaman berbeda untuk yang satu ini. Dan percayalah, tidak ada yang akan bisa menjadi 'super woman' dalam hidupnya. Ketika dulu bisa teratur dan perfect menjaga kerapian rumah, menyenangkan hati suami, melakukan semuanya sesempurna mungkin, tapi setelah hadir bidadari dan jagoan kecil, tampaknya 'kesempurnaan' itu akan menjadi semakin sulit dilakukan. Setidaknya butuh upaya ekstra keras, karena perhatian akan terbagi-bagi. Satu hal yang menjadi pernik unik yang akan ditemui setiap istri pastinya.

Dan ada saja teman saya yang akhirnya ragu dan berpikir berkali-kali dulu sebelum memastikan diri siap menjalaninya, karena pengalaman yang satu itu. Apalagi jika kini ia sedang asyik tenggelam dalam pekerjaannya yang mapan, segudang kegiatannya di luar kantor, dan lain-lain alasannya. Saya paling hanya tersenyum-senyum dan menggeleng-geleng. Yah, setiap orang berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Dan setiap pilihan pasti ada konsekuensinya. Kadang sepertinya kita perlu menentukan saja dengan 'nekat' pilihan hidup kita, berbekal sedikit keberanian dan pemikiran matang tentunya. Masalah apa yang dihadapi kemudian, hadapilah saja.

Untuk pernikahan, kadar 'nekat' yang saya maksudkan pastinya tidak 100% 'nekat'. Alias sebaiknya punya persiapan-persiapan yang riil, sebab hidup tak bisa hanya bermodalkan cinta dan keinginan saja. Bukankah begitu? Setidaknya bagi saya.

Panjang juga cerita saya tentang yang satu ini. Yah, usia pernikahan saya baru beranjak dari tahun ke 3, lebih beberapa bulan. Belum ada apa-apanya. Dan saya dan suami masih sangat bersemangat menjelajahi tempat-tempat lain selain kota kelahiran untuk mencari pernak-pernik baru. Semoga ada rezeki dan izin Allah. Amiin...

Saturday, June 07, 2008

Si Kutu Buku yang Lucu

Sewaktu saya kecil, saya bisa dikatakan adalah seorang ‘kutu buku’ cerita. Masih ingat tulisan saya dalam rubrik SMS yang lalu tentang Si Noddy? Ya, seperti itulah. Bila sedang berhadapan dengan buku-buku cerita, terutama yang bergambar, saya bisa ‘lupa segalanya’. Istilah yang sering dilontarkan oleh ibu saya terhadap kebiasaan saya tersebut adalah ‘lupa dunia’. Yah, istilah ‘kutu buku’ seringkali diidentikkan dengan seseorang yang maniak baca buku, dengan kaca mata tebal bertengger di atas hidung, dan penampilan yang nerd alias aneh. Tapi masa sih anak kecil seperti saya dulu juga diistilahkan dengan ‘kutu buku’ bila penjelasannya seperti itu? Yah, mungkin bisa juga. Kutu buku yang lucu.

Apa hubungannya dengan teknik menulis? Tentu ada. Sekarang ini, ketika saya sedang memacu diri untuk lebih produktif menulis, sedikitnya saya merasakan manfaat besar dari kegemaran membaca (yang kini sudah meningkat, tidak lagi hanya membaca buku komik saja). Apa saja? Daya imajinasi yang berkembang, referensi atas berbagai hal yang bisa didapat dari buku fiksi maupun non fiksi, gaya menulis yang berbeda dari tiap pengarang, dan kekayaan bahasa. Nah! Yang terakhir ini, yang menurut saya akan membuat seorang penulis bisa menghasilkan karya-karya yang ‘kaya’. Kaya isi, kaya makna, kaya kosa kata, dan sebagainya. Tulisan yang tidak berisi kalimat-kalimat membosankan yang akan membuat pembacanya mengantuk atau malah melempar bukunya di sudut rak hingga tak terbaca lagi di kemudian hari. Tulisan yang membuat pembacanya terkagum-kagum akan keindahan, keunikan, dan berbagai istilah lain yang bisa menggambarkan bahwa si penulis adalah seseorang yang ‘cerdas’, ‘terampil’, serta ‘kaya bahasa’. Sampai di sini, sepertinya saya kesulitan untuk menggambarkan dan mendeskripsikan lebih jauh tentang diksi. DIKSI. Sudah pernah dengar?

Pada sebuah kesempatan kegiatan SMS khusus pengurus, kami sempat melakukan simulasi sederhana tentang diksi. Masing-masing menuliskan satu paragraf tulisan fiksi, dan syaratnya adalah tidak boleh membuat pembacanya bosan dengan paragraf yang telah ditulis tersebut. Simulasi sekenanya yang sebenarnya hanya bertujuan untuk memacu masing-masing dari kami untuk memperkaya kosa kata yang dimiliki, sehingga ketika menulis tidak lagi ada kata ‘stagnan’, ‘kehabisan kata-kata’, atau apalah. Ada beberapa yang cukup berhasil, ada juga yang masih terpaku pada kalimat-kalimat klise atau malah terlalu kaku seperti bukan sebuah tulisan fiksi. Satu pertemuan singkat tersebut memang tidak mungkin akan membuat seorang penulis langsung pandai dan memiliki diksi yang ‘kaya’, kalau boleh saya katakan begitu. Karena, sekali lagi menurut saya, kekayaan kosa kata serta keragaman gaya bahasa bisa dimiliki apabila kita rajin mengumpulkan ilmunya sejak lama. Melalui proses yang dinamakan: membaca.

Kenal dengan Karl May? Beliau adalah pengarang novel Winnetou yang terkenal itu dan juga beberapa judul novel yang mendunia. Favorit saya adalah novel yang berjudul “Dan Damai di Bumi”, sebuah novel tebal yang sangat indah dari segi bahasa. Kalau boleh ber-hiperbola, saya akan mengatakannya: menakjubkan. Saya bisa mendapati satu paragraf yang panjangnya hampir satu halaman, yang isinya adalah sebuah dialog yang ditulis begitu indah, penuh kata-kata yang tidak biasa didapati dalam bacaan lain, walaupun hanya untuk mengungkapkan sebuah makna sederhana. Saya yakin, si penerjemah buku turut andil dalam membahasakan teks aslinya dengan nyaris sempurna. Atau pengarang asli Indonesia Remy Silado, yang begitu detail dalam mendeskripsikan latar tulisan, yang membuat pembacanya seolah-olah berada tepat di lokasi peristiwa. Atau J.K Rowling dengan Harry Potter-nya? Pasti masih banyak lagi. Saya yakin, disamping imajinasi yang kuat, tentu para penulis tersebut adalah para ‘kutu buku’ yang senang melahap berbagai buku sebagai modal kesuksesan mereka.

Jadi, membacalah! Karena membaca bisa memperkaya tulisanmu. Dan belilah buku! Karena membeli buku berarti menabung ilmu. Bagi Anda, para orang tua, membiasakan anak-anak membaca sejak dini tak pernah rugi. Mereka akan menjadi ‘para kutu buku yang lucu’, yang nantinya bisa merambah dunia dengan ilmu yang mereka punya, atau bahkan dengan tulisannya!

[artikel ini dimuat dalam rubrik SMS pada buletin MEMORI FLP Sengata]

Thursday, June 05, 2008

Dua bulan menjelang partus

Salam'alaikum semuanya...

Sekedar menyapa nih ... di tengah terengah-engahnya diriku mengerjakan buku yang satu ini. Subhanallah ... nyaris aja kehilangan semangat dan nyaris 'dicampakkan' begitu saja. But, I need the money...hehe...

Dua bulan menjelang partus...nyaris nggak kerasa sebenernya. Mungkin karena udah ngalamin yang pertama, jadi yang kedua ini malah kadang lupa kalo lagi hamil :)

Dua bulan menjelang partus, dan Firna makin lincah aja. Kadang sedih kalo inget Firna bakal punya 'saingan', tapi seneng juga karena gosipnya adeknya Firna laki-laki :)

Dua bulan menjelang partus, apa yang belum disiapin? Hmm ... banyak. Tenggelam oleh kesibukan-kesibukan yang lagi dicoba dikurangin pelan-pelan. Tapi nulis harus terus. Hiks, kejar setoran ceritanya. Buku yang satu ini...hiks. Buku apa sih emangnya? Haha...sudahlah nggak usah dibahas.

Hari ini break dulu dari nerusin ngebut perbaikan buku itu. Tapi paling bentar lagi juga dikerjain...hiks....