Halaman

Friday, October 31, 2008

Melihat ke Luar Jendela

Sepertinya setiap orang memang memiliki arah hidup masing-masing. Selain karena memang atas kehendak Allah SWT, kita sebagai manusia memiliki potensi untuk menentukan arah hidup masing-masing. Semua adalah tentang pilihan. Bukankah Allah SWT mengaruniakan kita semua akal dan hati untuk memilih?

Saya membicarakan tentang semua orang yang pernah mampir dalam hidup saya. Sebagiannya adalah sahabat-sahabat saya sendiri. Yang sudah lama sekali saya kenal, ataupun yang baru setahun-dua tahun ini dekat dengan saya.

Salah satunya adalah sahabat saya Attin. Beberapa hari ini saya sibuk melihat-lihat dan membaca kembali tulisan-tulisannya dalam blog www.fragmensore.blogspot.com. Attin yang selalu membuat saya rindu. Tadi malam, baru saja saya iseng menelponnya. Ternyata Attin sedang sibuk sekali pulang pergi Jakarta-Bandung, katanya. Urusan pekerjaan, pasti. Sahabat tersayang saya ini sudah menyelesaikan program master di Maastricht, Belanda. Hebat, kan? Menurut saya, orang-orang yang memutuskan untuk pergi ke luar negeri untuk kuliah atau bekerja di sana atas biaya sendiri ataupun beasiswa adalah orang-orang yang hebat. Pergi jauh k negeri orang, meninggalkan rumah yang nyaman beserta seluruh kerabat keluarga, beradaptasi dengan kultur yang sama sekali berbeda, dan hal-hal hebat lainnya yang entahlah apakah saya bisa melakukannya.

Kemudian, dengan kerinduan yang sama, Inggrid. Setahun lebih cepat dari Attin mengambil program master atas biaya sendiri di IIUM (Malaysia). Dan akhirnya bekerja di sana kalau tidak salah, tinggal di sana setelah menikah, dan mungkin juga sampai sekarang masih di sana. Inggrid seseorang yang berjiwa pejuang, memang. Mandiri, cerdas, dan sangat disiplin. Saya rasa, setiap yang ingin sukses (baik di Indonesia maupun yang tinggal di negara lain) harus memiliki tiga sifat itu. Setidaknya, modal dasar untuk bertahan.

Sahabat-sahabat saya yang lain, memilih untuk tetap tinggal dan bertahan di sebuah kota terpencil yang sulit dijangkau dari ibukota propinsi. Demi sebuah idealisme, mungkin juga kesadaran dan niat tulus membangun dan membesarkan dakwah di tempat tersebut. Bagaimana dengan saya?

Kata Hasan Al Banna, mimpi hari ini adalah kenyataan esok hari.

Mimpi saya terbangun dan terus dibangun untuk menjelajah ke luar sana. Seperti seseorang yang melihat ke luar jendela, saya menerawangkan kedua mata dan jiwa ini ke luar sana. Membangun mimpi tentu saja akan sia-sia tanpa diserta kekuatan doa dan jerih payah usaha mewujudkannya. Saat ini, tapak kaki ini sedang melangkah perlahan, dan kedua tangan ini bergegas untuk merajut kepingan mimpi itu menjadi lembaran baru yang indah, nantinya, insyaallah ...

to my beloved husband, yang selalu merajutkan mimpi yang indah dan kemudian mewujudkannya dengan cinta