Halaman

Wednesday, October 21, 2009

Berdamai dengan Hati

Sebagai seorang manusia biasa, setiap kita pasti pernah mengalami berbagai peristiwa yang membekaskan perasaan-perasaan tertentu dalam hati masing-masing. Bahagia, sedih, kecewa, marah, kesal, gundah, bimbang, dan seterusnya. Kadang perasaan-perasaan itu hanya terbersit saja, tapi sering juga bekasnya tak terhapus selamanya. Tergantung dari peristiwa yang kita alami. Tergantung dari bagaimana kita memaknai perasaan tersebut.

Saya sedang berhadapan dengan seorang sahabat, yang kali ini (tak seperti biasanya) ia terlihat begitu rapuh. Saya berusaha melihat jauh ke dalam hatinya, berusaha mencari dan ingin sekali menemukan sebuah gundah yang sedang ia rasakan. Tapi tak berhasil. Saya tak menemukannya. Padahal biasanya penerawangan saya tak meleset, tapi kali itu ia begitu lihai menyembunyikannya. Bagi saya, saat itu ia tengah meracau tak tentu arah, menyembunyikan perasaannya, lalu menampakkannya sedikit, dan kembali memutar-mutar sederet cerita yang tak runut ia lontarkan.

Ia, sahabat saya itu, adalah seorang dari sekian banyak orang yang dideskripsikan sebagai: seorang yang rapuh di balik ketegaran sikapnya. Itu penilaian saya padanya, setelah beberapa tahun berhubungan. Dan kali itu, sesuatu yang membuatnya rapuh adalah sesuatu yang patut menjadi pelajaran bagi orang lain.

Mari berbicara tentang perasaan, walau akan membuatmu bosan nyaris tertidur membahasnya. Tapi kadang diri kita harus disadarkan, bahwa tak selamanya sebuah 'perasaan' bermakna remeh-temeh atau 'menye-menye'. Karena dari sesuatu yang 'menye-menye' inilah seseorang akan dapat menjadi kuat atau malah sebaliknya.

Perasaan yang bahagia dapat membawa seseorang bersemangat menjalani hari-harinya. Bahagia seperti mendatangkan kekuatan untuk terus beraktivitas, dan kemudian bersemangat untuk melakukan banyak hal lain yang dapat mendatangkan seribu kebahagiaan lagi. Tapi terkadang, kebahagiaan yang berlebihan dapat membuat seseorang lupa dan terlena. Ia hanya terbawa ke langit ketujuh dengan perasaannya, namun terlupa untuk tetap berpijak ke bumi, dan terlebih lagi: lupa untuk bersyukur.

Perasaan sedih dan marah biasanya akan mengaburkan akal sehat seseorang untuk sesaat. Terbakar emosi yang berlebihan akan menjadikannya lupa bahwa banyak lagi orang di sekitarnya yang juga merasakan sakit yang sama, atau bahkan melebihi yang ia rasakan. Bukan tak boleh bersedih, tetapi jangan lupa bahwa masih banyak sekali yang bisa dilakukan selain meratapi kesedihan secara berlebihan dan mengasihani diri sendiri.

Merasakan sebuah kebahagiaan, ataupun sebuah kesedihan, adalah hal yang pasti dialami oleh setiap manusia yang memang dikaruniai hati dan perasaan oleh Sang Pencipta. Tetapi kadang, ada pula yang tidak mau atau tidak berani untuk memiliki dan mengakui perasaan tersebut. Bahkan berusaha untuk menghindarkan diri dari merasakannya.

Bagi saya, perasaan sedih dan bahagia itu seperti sebuah peristiwa suka dan duka yang kita alami setiap hari. Bagaimanapun rasanya, satu hal yang selalu harus diupayakan terhadapnya: mensyukuri. Karena apapun itu, selalu ada pelajaran berharga yang Allah Swt karuniakan untuk setiap hamba-Nya. Berusaha untuk menyikapinya dengan positif, insyaallah akan membawa diri kita untuk melihat lebih dekat hikmah yang tersimpan di balik setiap peristiwa. Bukankah segala ciptaan-Nya tidak pernah ada yang sia-sia?

Tetapi, begitulah manusia dengan segala kelemahannya. Kita bisa menjadi begitu rapuh jika berhadapan dengan sesuatu yang tidak kita sukai, atau yang tidak kuasa kita hadapi. Dan dari hatilah semuanya bermula. Bila yang menjadi sandaran kita selama ini adalah Allah Swt, Sang Pemilik Hati, maka insyaallah Ia akan selalu bersama kita dalam setiap sedih, susah, dan senang. Tapi jika kita mulai lupa dengan-Nya, maka hati ini akan dipenuhi oleh yang lain: setan dan hawa nafsu kita sendiri.

Jadi, berdamailah dengan perasaanmu, syukurilah, dan hadapi dengan segenap kekuatan hati. Bukankah kita adalah orang-orang pemberani yang selalu bersemangat menjalani hidup ini? Sesungguhnya di balik setiap kesusahan ada kemudahan.

Saturday, October 10, 2009

Resensi Buku di PRO 2 FM


Alhamdulillah, pada hari Minggu tanggal 27 September 2009 lalu saya jadi juga berkunjung ke Pro 2 FM Jakarta. Buat apa? Promo buku pastinya. Acara Pro Resensi yang dibawakan oleh Lia Achmadi tersebut memang sudah menarik perhatian saya sejak lama, tetapi sekitar dua bulan sebelumnya baru sempat untuk mengajukan buku-buku untuk diresensi di acara tersebut.

Saya menghubungi mereka via email dan multiply, dan kemudian direspon oleh mbak Vira (asistennya mbak Lia), dan saya segera mengirimkan 3 buah buku yang saya ajukan untuk diresensi. Dua di antaranya disetujui: Bercermin pada Hatimu dan Desau Angin Maastricht. Tahap selanjutnya adalah kesepakatan waktu. Saya memohon supaya disesuaikan dengan kunjungan saya ke Jakarta dalam rangka mudik. Alhamdulillah, dimudahkan, dan terlaksana. Dan beberapa waktu sebelum tanggal tersebut saya sibuk mengirimkan sms ke banyak sekali kenalan maupun keluarga saya sendiri supaya mereka mendengarkan program tersebut. Biasa, promosi murah pakai sms. "Jangan lupa nyalain radio ya!" gitu. Tapi lupa nulis salurannya berapa, alhasil banyak juga yang sms balik "Saluran berapa sih itu?" Heheh. Pro 2 105 FM.

Program ini rasanya sayang untuk dilewatkan oleh para pecinta buku. Mbak Lia tampaknya cukup update juga dengan buku-buku baru, dan pastinya acara ini dimanfaatkan juga oleh para penulis untuk mempromosikan bukunya. Simbiosis mutualisme, bukan? Dan nggak kecewa lah, karena saya merasa lebih puas menceritakan novel saya di acara ini daripada saat launching di Sengata tempo hari. Yang menariknya, acara ini dibawakan secara interaktif dengan pendengar atau para facebook-er, atau blogger, atau multiplier. Ada kuisnya juga, berhadiah buku-buku yang sedang diresensi.

Awalnya saya sempat bingung juga, gimana ya siaran sambil bawa krucil? Tapi ternyata Firna diajak jalan-jalan sama nenek-neneknya, dan saya berangkat ke Pro 2 bersama suami tercinta dan Fakhry. Cemas lagi, gimana ya kalau saya di ruang siaran terus Fakhry rewel? Ini kan bukan GWP FM Sangatta yang bisa nitipin anak sama penyiar lainnya ... hehe ... tapi alhamdulillah, ternyata mbak Lia dan mbak Vira dengan senyum lebar menyambut Fakhry yang asyik berkeliaran di dalam ruang siaran. Dimudahkan lagi, Fakhry asyik seliweran sambil mainin apa aja yang ada di ruangan itu. Lancar deh semuanya.

Ketika mbak Lia membuka acara, saya baru tahu kalau paruh waktu pertama (1 jam pertama) adalah waktunya meresensi buku saya, dan paruh waktu kedua (1 jam berikutnya) adalah giliran buku-buku berikutnya, yang salah satunya adalah buku antologi puisi. Pertama dengar judulnya, saya teringat buku antologi puisi FLP. Dan ketika disebut nama "Lia Octavia", saya tambah semangat, wah! Ketemu Lia Octavia! (padahal belum kenal sama sekali, hihihi)

Cerita tentang Lia Octavia lain lagi. Saya tahu kerja kerasnya membantu pelaksanaan Silnas FLP kemarin dari beragam berita yang dipublikasikan di milis maupun dari teman-teman pengurus FLP, kemudian tanggal 19 September 2009 kemarin saya dengar kabar bahwa beliau datang dari Jakarta ke Balikpapan dan ingin silaturahmi dengan teman-teman FLP Balikpapan. Saat itu saya memang sedang di Balikpapan, transit sebelum berangkat mudik ke Denpasar. Ingin sekali ketemuan, tapi ternyata jadwal berangkat dimajukan, dan batal deh.

Acara berlangsung lancar sampai selesai. Menjawab beberapa pertanyaan dari pendengar, terus foto-foto dengan mbak Lia dan buku-buku yang diresensi. Sore yang menyenangkan, dan kami pun bersiap pulang karena Fakhry juga sudah ngantuk.

Di pintu studio, bertemu dua orang perempuan berkerudung, saya langsung membatin, salah satunya pasti Lia Octavia. Benar aja, mbak Lia keluar studio cepat-cepat dan memanggil saya "Mbak Vita, ini lho mbak Lia Octavia!" katanya. Sebelumnya saya memang cerita bahwa saya penasaran ingin ketemu beliau. Dan akhirnya ketawa-ketiwi sedikit dengan mbak Lia Octavia yang ramah sekali dan full senyum. Memang dasar FLP'ers, di mana-mana rasanya rindu aja gitu. Hehe.

Yah, begitulah. Kunjungan ke Jakarta membuahkan banyak hasil. Nggak cuma ke Jakarta sebenarnya, karena mudik kemarin langsung ke 3 tempat: Denpasar, Jakarta, dan Surabaya. Pastinya nggak menghabiskan waktu hanya dengan jalan-jalan atau belanja, dong. Harus ada produktivitasnya! Salah satunya ya yang satu ini. Yang lain? Tenang ... tunggu tulisan berikutnya ya!!!

Friday, September 18, 2009

Berawal dari Cinta

Suatu hari, saya berkesempatan hadir pada sebuah acara diskusi buku. Acara ini hanya menghadirkan sekitar 20 orang saja, dan hampir semuanya adalah ibu-ibu, hanya beberapa orang saja yang masih 'single'. Buku yang dibahas berjudul "Quantum Tarbiyah", karangan Solikhin Abu Izzuddin. Sebuah buku yang menarik, dengan pembahasan spesifik pada hal-hal positif yang bisa kita dapatkan dalam proses tarbiyah atau memperdalam keislaman secara intensif.

Pembahasan buku tersebut pada hari itu masuk ke sesi kedua, setelah pekan sebelumnya telah rampung dipresentasikan beberapa bagiannya. Ada satu bagian yang begitu menarik, hingga saya terpikir untuk langsung menuliskannya, tapi tertunda hingga sekarang ini.

Seorang peserta mengajukan sebuah pertanyaan ketika sesi pertama untuk tanya jawab dibuka.

"Saya pernah mengalami hal ini. Suatu ketika, saya begitu lelah dengan pekerjaan rutin di rumah yang tidak ada habisnya, dan menghendaki suami saya untuk sedikitnya membantu. Bukankah tiap kali seorang ibu pergi ke luar rumah dan meninggalkan anak-anak pastilah pikirannya selalu kembali tertuju ke rumah? Sedangkan seorang ayah/suami yang pergi ke luar beraktivitas pastinya tidak memiliki beban pikiran yang seperti itu. Saat itu saya mencetus pada suami supaya ia membantu saya, tapi dengan kalimat yang mungkin bernada marah atau jengkel. Kemudian suami saya berkomentar: "Berarti kamu kurang ikhlas". Saat itu saya langsung menjawabnya: "Ikhlas itu bisa dicapai jika ada faktor pendukungnya.""

Selepas si ibu melontarkan pertanyaan tersebut, seorang ibu yang tadi bertugas mempresentasikan sebuah bagian dalam buku itu menanggapinya dengan cukup sentimentil. Pastilah. Lontaran pertanyaan tersebut saya rasa adalah bagian yang pasti dialami oleh setiap istri dan ibu. Betul saja, beberapa orang berikutnya yang menanggapi pun mengutarakan pendapat masing-masing dengan nada curhat yang mengharu-biru. Tetapi, subhanallah, banyak sekali nasihat dan kalimat-kalimat saling menguatkan yang saya dapatkan. Pernyataan yang terkesan 'keluhan klise' tersebut malah membawa suasana pada perenungan akan arti ikhlas dan pengorbanan yang mendalam. Tentu hal ini tidak bisa dimaknai tanpa rasa cinta dan keimanan yang juga mendalam kepada Allah Swt. Yang akan mendasari sebuah pemahaman bahwa apa yang dilakukan oleh seorang perempuan di rumahnya, asalkan ia mematri kuat sebuah keikhlasan dalam hatinya dan niat untuk beribadah kepada Sang Pencipta, insyaallah Ia juga menyediakan ganjaran kebaikan yang begitu besarnya.

Selanjutnya, diskusi buku kali itu berlangsung seru. Masing-masing memaknai bab yang dibaca dengan pengalaman sehari-hari, dan menguatkan diri bahwa bagaimanapun kita semua memerlukan bekal yang tak habis-habis untuk menjalani semua aktivitas.

Saya banyak sekali merenung selepas pertemuan pagi itu. Saya melihat binar semangat, dan juga lelah, dalam mata para mujahidah itu. Subhanallah ... saya menyebut mereka sebagai 'mujahidah' bukan tanpa alasan. Mereka adalah para istri dan ibu yang masih bisa meluangkan waktu untuk berdakwah ke sana ke mari, sambil menjalankan tugas mereka di rumah masing-masing. Pergi mengisi pengajian sambil membawa satu atau dua orang anak, adalah hal biasa di Sengata. Bahkan sampai mengunjungi mereka yang tinggal di pinggiran, dengan jalur darat yang lumayan tak nyaman dan sulit ditempuh ketika cuaca buruk, atau banyak lagi hal yang sampai sekarang selalu menjadi penyemangat bagi diri saya sendiri. Saya banyak sekali belajar dari mereka semua. Dan pagi itu, menambah keistimewaan mereka di mata saya.

Bagi saya, pernyataan yang kemudian menjadi perbincangan serius pagi itu bukanlah sekadar keluh kesah belaka. Hal itu adalah gundah yang mungkin seringkali menggelayuti benak tiap perempuan yang memikul tanggung jawab berlipat-lipat. Menjadi seorang istri yang harus melayani kebutuhan suami dan anak-anak setiap hari, menjadi seorang ibu yang harus menggandakan kesabaran bagi tingkah laku anak-anak tercintanya, menjadi seorang karyawati atau wirausaha demi sebuah kemandirian ekonomi sekaligus peran ganda membantu suami mencari nafkah, menjadi seorang da'iyah karena itulah kewajiban asasi setiap diri kita: menyampaikan kebaikan pada siapapun juga sesuai kemampuan diri, menjadi anggota dan pengurus sebuah (atau dua buah) organisasi untuk membantu dakwah sekaligus menjadi sarana aplikasi kemampuan diri. Subhanallah. Tidak ada manusia super yang bisa mengerjakan itu semua dengan sempurna. Tidak ada. Jadi, gundah itu bukanlah sesuatu yang harus enyah dari diri mereka (dan kita semua), melainkan memerlukan sebuah pelipur yang dengan sangat mudah dan sederhana bisa dilakukan oleh seseorang yang bernama 'suami'.

Seseorang yang lain berkomentar dengan nada geli:
"Memang sih, abinya juga ngebantuin. Tapi ya gitu-gitu doang. Udah cuman sebentar, belum selesai dikerjakan dan anak rewel pastinya udah bilang: 'Mi, udahan belom sholatnya? Udah rewel nih.'"

Dan semua peserta terbahak mendengarnya. Ada yang benar-benar terbahak, ada yang sambil menghapus air mata, ada yang hanya senyum-senyum simpul. Pastilah. Semua mengalaminya.

Saya pikir, ketika membahas persoalan ini hanya dari sisi perempuan, tidak adil juga. Karena ternyata sudut pandang yang seringkali berbeda antara seorang perempuan dan laki-laki malah akan membawa pertengkaran tak berujung. Padahal intinya sama saja. Ketika si istri sedang gundah, dan mengharapkan suami hadir untuk menghiburnya, yang dimaksud dengan 'menghibur' di sini bisa jadi adalah sebuah sikap manis yang ditunjukkan suami, disertai dengan kata-kata:

"Subhanallah, Ummi/Bunda/Sayang (apapun sebutannya), hari ini pasti capek sekali, ya? Gimana tadi anak-anak? Sabar ya, Sayang ... semoga Allah memberimu ganjaran kebaikan yang banyak, ya. Sekarang, Abi/Ayah/Mas (apapun sebutannya) bisa bantu apalagi?"

Coba saja, pasti habis itu si istri langsung tersenyum, dan merasakan beban di hatinya hilang separuh. Karena ia merasakan 'kehadiran' sang suami untuknya, dan dukungan akan tugasnya yang berat sebagai ibu rumah tangga. Kadang, kelemahan memerlukan penyangga yang unik.

Tetapi, jika hal ini tidak dikomunikasikan (sayang sekali, komunikasi memang benar-benar penting dan diperlukan sampai kapanpun), maka yang terjadi bisa jadi adalah hal ini:

Si suami pulang kerja, melihat si istri sedang gundah, wajahnya ditekuk walau kedua tangannya tetap sibuk. Saat itu, suami langsung menyadari bahwa istrinya sedang lelah dan ada yang sedang dipikirkan. Yang terlihat di matanya adalah kesibukan kedua tangan si istri, dan menurutnya cara untuk membuat istrinya tersenyum kembali adalah membantu pekerjaan rumahnya yang belum selesai. Maka ia pun langsung turun tangan: mencuci piring, menjaga anak-anak, membersihkan yang perlu dibersihkan, dan kesibukan itu berlanjut hingga waktunya keduanya telah lelah dan bersiap tidur. Si suami berpikir bahwa ia telah banyak membantu dan menghibur istri tercinta (dan memang banyak yang sudah ia lakukan, atau bisa juga tidak), sedangkan si istri malah berang dan berpikir: suamiku ini tidak perhatian sekali.

Apakah kedua hal di atas ada yang salah? Saya rasa tidak. Tetapi kedua hal tersebut sangat berbeda. Berbeda sudut pandang, padahal tujuannya sama: ingin dibahagiakan, dan ingin membahagiakan. Tetapi, ujungnya bukanlah sebuah kebahagiaan. Karena apa? Tidak adanya komunikasi yang baik.

Saya tidak bermaksud menggeneralisasi semua peristiwa. Karena pastilah cerita yang dialami setiap pasangan berbeda-beda. Dan tentunya kebutuhan dari tiap istri dan suami tidak sama. Tapi, saya ingin mengatakan bahwa seringkali ketidakbahagiaan itu berawal dari persepsi yang tidak sama akan suatu hal. Dan hal ini bukannya tidak memiliki solusi, malah sebenarnya mudah sekali penyelesaiannya. Satu saja: luangkan waktu untuk bicara.

Sedikit mengulas tentang keikhlasan yang disebutkan di atas, mari kita luruskan suatu hal yang dinamakan 'pemahaman'. Karena yang mendasari segala perilaku adalah pemahaman kita akan hal-hal yang kita lakukan. Jika motivasi untuk melakukannya adalah niat beribadah dan ditujukan kepada Allah Swt semata, maka insyaallah hal itu akan menggiring kita untuk senantiasa memperbarui niat ikhlas kita setiap saat. Mengapa memperbarui? Karena manusia pastilah bisa saja khilaf dan tergoda hingga niat tersebut terkotori. Memahami bahwa segala amal perbuatan tergantung pada niatnya, akan memperoleh ridho dari Allah Swt atau tidaknya, maka pemahaman itu akan membawa serta keikhlasan dalam hati ini untuk senantiasa terjaga. Jika melenceng, kembali luruskan. Begitu seterusnya. Sesudah itu, maka apapun perbuatan kita, sepenuhnya akan menjadi deretan amal ibadah yang ditujukan untuk meraih keridhoan Allah Swt. Dan tentu saja, amal yang berlandaskan niat ikhlas adalah tabungan berharga untuk kita di akhirat kelak.

Dan, bukankah berumah tangga adalah ibadah kepada-Nya juga? Rumah tangga yang dilandasi oleh motivasi beribadah kepada-Nya, insyaallah akan dinaungi keberakahan, ketenangan, dan penuh rasa cinta.

Ah, lagi-lagi cinta. Memang betul, sungguh beruntung mereka yang memiliki cinta. Melakukan sesuatu dengan cinta, pasti akan terasa indah dan bermakna. Bukan begitu?

Monday, September 14, 2009

SALIMAH Kutim Berbagi THR




Minggu (6/09) yang lalu, SALIMAH (Persaudaraan Muslimah) Kutim kembali mengadakan bakti sosial bertajuk SALIMAH Kutim Berbagi. Kegiatan ini dilaksanakan di Masjid Baiturrahman (Panorama, Swarga Bara), sejak pukul 9 pagi hingga sebelum zuhur. Pengurus mengundang anak yatim, para janda, dan dhuafa lainnya sebagai peserta acara yang direkomendasikan oleh Majelis Taklim binaan SALIMAH Kutim maupun perorangan, yang mendapatkan santunan berupa sejumlah uang yang dibagikan pada masing-masing undangan tersebut.

Kegiatan yang menyertakan partisipasi donatur dari berbagai kalangan ini terlaksana dengan koordinasi yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Panitia yang sekaligus merupakan pengurus SALIMAH Kutim mengupayakan untuk meningkatkan pengawasan terhadap pembagian jatah peserta. Jika di satu wilayah sudah menyertakan cukup banyak calon penerima santunan, maka ia tidak diperkenankan menambah kuota, melainkan harus diberikan kepada wilayah lain yang belum mendapatkan kesempatan. Panitia juga menerapkan aturan bahwa di hari H tidak lagi menerima peserta baru, tetapi pada kenyataannya ada satu dua orang yang akhirnya diterima padahal belum mendaftar sebelumnya. “Hal ini tidak akan terjadi lagi tahun depan, sebab kita harus konsisten dalam menerapkan aturan. Supaya adil bagi semua pihak.” Begitu komentar Ningsih, salah seorang panitia yang bertugas menjadi pembawa acara. Adapun peserta acara berasal dari wilayah Kampung Kajang, Kenyamukan, Jl Sangkima, dan sekitar Sangatta/Teluk Lingga.

Total dana yang terkumpul dari berbagai sumber donatur adalah sebesar Rp 25.990.000,- dan telah terdistribusikan dalam 176 paket THR. Sebanyak 55 paket THR untuk janda tidak mampu, dan 121 paket THR untuk anak yatim dan fakir miskin lainnya. Acara berlangsung lancar, tidak ada kekisruhan yang tidak diinginkan, sebab seluruh undangan sangat kooperatif dan tertib mengikuti jalannya acara demi acara. Selain dihadiri oleh penerima santunan, acara ini juga dihadiri oleh beberapa orang perwakilan Majelis Taklim binaan SALIMAH Kutim dan juga perwakilan donatur sebagai saksi penyelenggaraan kegiatan.

Pengurus SALIMAH Kutim mengharapkan acara ini dapat dilakukan rutin setiap tahun, dengan jumlah donatur yang bertambah. Sehingga harta yang menjadi bagian dari hak fakir miskin dan anak yatim dapat tersalurkan dan mereka yang membutuhkan dapat merasakannya walau tak seberapa.

Wednesday, September 09, 2009

Ketinting


Ini namanya 'ketinting' atau ada juga yang menyebutnya 'ponton'. Alat transportasi air yang berfungsi 'memindahkan' orang atau barang dari sisi sungai yang satu ke sisi yang lain. Sungainya juga nggak lebar sih, tapi kadang katanya arusnya deras dan bisa 'makan korban'. Hiiiy... nggak tau bener apa nggak sih. Belum pernah naik (dan nggak akan mau naik kalau nggak terpaksaaaaa banget).

Ada apa di seberang sungai? Ada wilayah 'Sangatta Lama'. Rumah-rumah penduduk dan pasar. Pasar Sangatta Lama adalah tempat belanja yang termurah, karena jangkauannya juga jauh dari pusat kota. Tapi dulunya daerah Sangatta Lama inilah yang dinamakan kota Sangatta. Tapi semenjak banyak perkembangan, wilayah pusat kota beralih ke Sangatta Baru alias lokasi Swarga Bara dan sekitarnya.

Ketinting ini lumayan populer di kalangan masyarakat Sangatta, dan menjadi sarana tercepat untuk menjangkau wilayah Sangatta Lama. Sebab jika harus menempuh jalan darat, harus memutar jauh dan tidak praktis bagi pengendara motor.

Padang Golf di Tengah Hutan


Padang Golf mini di tengah hutan :) ... lokasinya ya di sekitar wilayah Tanjung Bara (sekitar setengah jam dari pusat kota Sangatta). Biasanya yang bersantai sambil ayun-ayun stik golf adalah para pejabat KPC ... hehehe.

Saya sendiri belum pernah menginjakkan kaki di tempat ini, hanya pernah sesekali menengok beberapa orang yang tengah asyik main golf di hari libur. Biasanya pagi-pagi sekali.

Welcome to Tanjung Bara


Ini adalah bandar udara Tanjung Bara, Sangatta. Satu-satunya 'tempat singgah' pesawat seukuran Airfast yang lagi nangkring itu. Bangunan yang atapnya bertulisan 'Tanjung Bara' itulah 'airport'nya ... hihihi.

Nah, barangsiapa yang ingin mengunjungi Sangatta, ia harus berangkat dengan pesawat dari daerahnya masing-masing menuju Balikpapan (Bandara Sepinggan), lalu dari situ naik pesawat Airfast ini ke Tanjung Bara. Jarak tempuh dari Sepinggan ke Tanjung Bara adalah 1 jam. Lumayan lelah ya? Total perjalanan dari Jakarta-Sangatta adalah 3 jam di udara. Fiuh!

Bandara Tanjung Bara ini padat sekali dengan jadwal penerbangan terbatasnya. Maksimal penumpang dalam satu kali penerbangan adalah 20 orang, dan tentunya diutamakan karyawan PT Kaltim Prima Coal atau keluarganya. Untuk saat ini, sepertinya hanya satu buah pesawat ini saja yang menjadi andalan semua orang yang ingin bepergian dari Tanjung Bara. Adakah alternatif lain? Ada. Jalur darat, melewati jalanan Sangatta-Bontang, lalu menuju Samarinda atau Balikpapan, atau wilayah lain yang ingin dituju.

Yah, begitulah Sangatta, dengan terbatasnya akses jalan dan sarana transportasi.

The Beauty of Aquatic


Hmm ... keren ya? Ini pemandangan sebuah kapal pengangkut yang diambil dari pantai Aquatic, Tanjung Bara, Sangatta. Pantai? Di Sangatta emang ada pantai? Hehehe ... ada. Salah satunya ya Aquatic ini. Nggak besar sih, tapi cukup sebagai salah satu tempat hiburan keluarga. Ini pemandangan waktu malam hari pastinya, ya. Indah dengan kerlap-kerlip lampu dari kapal itu. Kapal pengangkut apa? Ya, batubara lah! Hehehe...padahal sok tau aja nih.

Thursday, August 27, 2009

Demi Sebuah Cinta

Malam ini melewatkan sebuah momen yang sudah saya nantikan sejak tadi pagi. Momen yang seharusnya bisa membangkitkan kembali kenangan masa SMA dan kuliah dulu. Duduk rapi, pegang pulpen dan buku tulis siap terbentang di hadapan, manggut-manggut sambil terpesona dengan penjelasan demi penjelasan si pemateri. Saya begitu merindukannya. Selepas itu, hati dan pikiran jadi segar, seolah terguyur embun yang menyejukkan. Istilah kerennya: habis nge-charge.

Saya meminta ijin dengan sangat berat hati, hampir menangis bahkan. Semua padahal sudah siap: gembolan isi baju anak-anak, snack, buku-buku yang diperlukan, diapers, lengkap. Keduanya juga sudah siap dengan 'baju perang' masing-masing. Detik demi detik berlalu, pukul sembilan malam. Saya melirik cemas, kurcaci-kurcaci itu mulai kuyu. Dan beberapa menit setelah sedikit rewel mereka tertidur di kamar. Saya agak cemas, akankah batal lagi? Hiks ...

Jarang sekali ada momen seperti ini. Si pemateri pun bukan sembarang orang. Dan yang paling penting adalah: saya butuh charger yang super oke saat ini! Pikiran saya campur aduk, dan mulai menghubungi seorang teman.

Sebuah jiwa yang terus menerus dibiarkan lesu lama kelamaan akan tumpul dan mandul. Tapi ia yang terasah dan terpakai tanpa henti pun perlu waktu sejenak untuk menyegarkan diri kembali. Yang terus terpakai tanpa perawatan akan aus, dan bisa-bisa jadi tak bisa dipakai lagi. Bukankah setiap hal perlu keseimbangan? Memberikan lebih, maka asupannya juga musti lebih. Begitulah kira-kira alam pikiran saya berandai-andai. Andaikan semua tertata dengan rapi, andaikan semua berjalan seiring sejalan, andaikan semua seimbang rata ... tapi di dunia ini tidak ada satu pun yang sempurna. Yang baik pasti terselip kekhilafan juga. Namanya saja sekumpulan manusia, bukan para malaikat.

Dan untungnya kemarin sore saya mendapatkan beberapa menit siraman itu, walaupun tidak sedahsyat yang diadakan malam ini sepertinya. Tapi cukuplah membuat saya kembali kepada kesadaran semula. Bahwa setiap hal yang diperoleh pasti akan lebih berharga jika tertoreh sebuah pengorbanan penuh cinta di sana. Dan semoga inilah yang sedang saya lakukan. Berkorban demi sebuah cinta dan ketaatan.

Ya Allah ... dalam ketidakmampuanku untuk mendekati-Mu lebih saat ini,
Ampunilah setiap khilaf yang mengotori hati dan pikiranku hari ini, hari kemarin, dan hari-hari mendatang ...
Berkahilah kami dengan cinta dan kasih sayang-Mu,
hingga yang tersisa hanyalah ketaatan dan kesadaran penuh untuk berpasrah diri kepada-Mu.
Ya Allah ... dalam ketidakmampuanku untuk melakukan lebih dari yang kulakukan saat ini,
Berikanlah jalan bagiku dan bagi keluargaku untuk senantiasa taat dan patuh pada setiap perintah-Mu, mengikuti sunnah Rasul-Mu, dan berada pada jalan yang lurus bersama orang-orang yang Engkau ridhoi,
hingga Hari Akhir nanti.
Aamiiin ...

~with tears, to my beloved ones, here and everywhere~

Wednesday, August 26, 2009

Biar Anak Belajar Mandiri

Suatu pagi, saya kembali menemani Firna sekolah di salah satu PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di daerah Lembah Hijau, Sengata. Seperti biasa, saya langsung bergabung dengan para bunda yang sedang repot membujuk anaknya untuk masuk kelas, atau yang sedang mengerjakan pernak-pernik persiapan karnaval kemerdekaan, atau yang sambil mengasuh adik kecil si sulung yang berlarian ke sana ke mari. Repot yang menyenangkan.

Saya pastinya sibuk mengamati tingkah polah Firna dan teman-temannya, tapi kali itu yang jadi perhatian saya bukan Firna seorang, melainkan para bunda dan reaksi mereka terhadap tingkah anak-anaknya. Saya banyak sekali belajar dari mereka, bahwa kemandirian anak akan terbangun atau tidak terbangun karena sikap orang tuanya juga. Namanya anak usia 2 sampai 3 tahun, perkara menempel terus pada ibunya pasti hal biasa. Tapi jika berada di lingkungan sekolah yang penuh hal-hal menarik dan teman-teman sebaya ia masih bersikap demikian, maka tindakan si ibu akan menentukan keberaniannya. Dan pastinya sikap satu anak akan menular ke anak yang lain. Jika ada seorang bunda yang bolak-balik masuk ke dalam kelas, terlalu khawatir dengan anaknya yang padahal sedang asyik mengikuti pelajaran, maka bisa dipastikan anak yang lain pun akan merengek meminta bundanya ikut masuk ke dalam. Atau malah para bunda yang berada di luar ikutan masuk karena ikut-ikutan khawatir dengan keadaan anaknya.

Saat itu saya memerhatikan kondisi tersebut, dan penasaran dengan apa yang sedang terjadi di dalam. Saya melirik sebentar dari jendela, Firna menoleh dan melihat saya, lalu ia berteriak kencang, "Bundaaaaaa ...!!!" Saya cepat-cepat pergi dari jendela, dan duduk bersama bunda-bunda lainnya. Teriakan Firna masih terdengar selama beberapa saat, tapi tidak saya hiraukan. Seorang bunda menegur saya sambil tertawa,"Memang begitu, mbak, makanya nggak usah ditengok-tengok. Mereka nggak mandiri nantinya." Saya nyengir lebar dan kami pun asyik mengobrol ini-itu. Perilaku yang satu menjadi pelajaran bagi yang lain.

Ketika memutuskan untuk menyekolahkan Firna di PAUD, saya mempertimbangkan kondisi anak itu sendiri. Firna sudah bisa memakai dan melepas baju sendiri, memakai dan melepas sepatu dan kaos kaki, sudah paham instruksi ini-itu dan selalu ingin terlibat di semua aktivitas saya di rumah. Tapi kemandirian Firna harus dilengkapi dengan kemampuan bersosialisasi dengan lingkungan. Ini yang masih lemah, apalagi Firna memiliki seorang adik yang jarak usianya tak jauh. Firna sempat cenderung egois, kurang bisa berbagi, dan dominan sekali di rumah. Menempatkannya di lingkungan teman sebaya mungkin akan sedikit mengubah hal-hal tersebut. Tapi, sekali lagi, tidak ada yang mudah.

Dengan minimnya pengetahuan saya, saya berusaha membahas setiap kejadian penting di sekolahnya, dan mengembalikan kepada diri Firna.

"Firna, tadi di sekolah lihat ada teman yang nangis, ya?"
"Iya, Bunda, tadi teman nangis, Loh!"
"Kenapa dia nangis?"
"Tadi teman pukul ..." (maksudnya nangis karena dipukul teman yang lain)
"Kalau Firna gimana?"
"Firna nggak boleh pukul teman ya, main sama-sama, kalau pukul teman nanti teman nangis, Loh!" (ini kalimat khas Firna, diulang-ulang setiap kali melihat kejadian yang sama)

Atau ketika waktu pulang sekolah, Firna langsung ngeloyor pergi tanpa salim dan pamit dengan Bunda Guru (sebutan untuk para guru di PAUD-nya). Pasti saya akan mengajak Firna masuk kembali ke dalam kelas, dan menyalami satu per satu gurunya. Tanpa diperlakukan begitu, anak mungkin akan menganggap hal itu bukan sesuatu yang penting. Walaupun harus berlarian dulu mengejar Firna yang sudah sibuk dengan ayunan dan perosotannya, atau harus membujuk-bujuk begitu lama karena ia sudah ingin pulang. Yang lain mungkin melihat, kok ibu ini repot sekali sih, tapi saya tidak peduli.

Saya terus terngiang saat pertemuan orang tua murid dengan kepala PAUD. Pesan-pesan beliau singkat saja namun jelas. Yang membuat anak tidak mandiri dan bersikap negatif di sekolah adalah lingkungan terdekatnya. Tentu maksudnya orang tua.

Tanpa bermaksud untuk terlalu perfeksionis, kita memang harus berusaha keras untuk mendidik anak sebaik mungkin. Gagal dan berhasil itu hal yang sangat wajar. Bagaimanapun hasilnya, semoga yang terbaik, utamakan saja prosesnya supaya optimal. Jangan menganggap anak tidak mengerti apa yang diajarkan walau usia mereka masih sangat muda. Semakin muda kebaikan ditanam, ia akan dengan sendirinya membentuk akhlak si anak nantinya.

Menulis dan Mencerahkan Hati


Baru selesai baca tulisannya mbak Sinta Yudisia di milis FLP. Fiuh ... jadi mau terharu :)

Mengingat kembali motivasi saya dalam menulis, untuk apa sebenarnya? Sebagai pembuktian bakat, atau ajang curhat alias ember perasaan, latihan pencerdasan emosi, cari penghasilan tambahan, atau apa?

Yang jelas, saya masih ingat, betapa saya terkesan dengan sebuah cerita pendek karya Helvy Tiana Rosa (yang menurut saya 'cerpen abadi' hehe) yang bisa membuat pembaca tersadar dan bergiat untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Atau cerpen-cerpen karyanya yang bertahun-tahun tersebar di berbagai media, yang mengetengahkan konflik yang sedang terjadi, ataupun kisah sehari-hari. Helvy Tiana Rosa salah satu penulis favorit saya pastinya.

Lalu keinginan saya beberapa tahun silam (sampai-sampai saya jadikan salah satu resolusi tahunan yang harus dicapai), yang saya buat tahun 2002 dan baru tercapai pada tahun 2004: menjadi anggota Forum Lingkar Pena. Hehehe ... agak konyol, ya? Tapi bagi saya, organisasi yang satu ini begitu memikat hati, sebab memang sejak lama sekali saya ingin menjadi bagian darinya (mungkin sejak akrab dengan majalah ANNIDA sejak tahun 1998), dan berjanji dalam hati bahwa saya harus bisa menulis.

Menjadi bagian dari FLP cabang Bekasi adalah awalnya. Bertemu teman-teman baru yang lucu, sama-sama mendirikan kembali FLP Bekasi, berjuang dengan anggota yang datang dan pergi (dan kini makin berkibar tampaknya...congrats FLP Bekasi :) ) dan akhirnya hijrah ke FLP cabang Sengata tahun 2006. Menjadi bagian dari FLP pastinya berpengaruh besar bagi aktivitas menulis yang saya lakukan. Kala merasa malas, maka pertemuan dengan teman-teman di FLP akan mencambuk kembali diri saya untuk aktif berkarya. Kala merasa puas dengan hasil karya yang diterbitkan, maka bertemu dengan sekumpulan penulis muda dan hebat di FLP akan menjadi teguran keras bagi saya bahwa apa yang sudah saya lakukan belumlah apa-apa. Saya masih harus banyak belajar, dan menjadi penulis yang lebih baik lagi.

Bukan saja untuk mendapatkan penghasilan tambahan, bukan juga menjadi pelampiasan emosi semata, apalagi hanya untuk sebuah popularitas. Menulis untuk dakwah, adalah visi yang harus selalu tertanam.

Terkenang percakapan maya dengan Afifah Afra dua hari lalu (tepatnya menjelang subuh),

afra: lagi nerusin buku kedua dari tetralogi De Winst, sudah hampir setahun belum kelar (kira-kira begitu isinya)

Setahun menulis novel? Wow, hebat sekali. Pikir saya waktu itu. Dan mbak Afra menceritakan tentang begitulah konsekuensi dari mempertahankan idealismenya. Saya tahu, beliau adalah seorang penulis yang rajin sekali riset mendalam untuk sebuah tulisan yang pastinya apik. Setahun yang produktif, dan mungkin seluruhnya efektif. Kalau saya? Ya iya sih, merampungkan novel dalam kurun tahunan juga, tapi bolong karena malas, nggak sempat, nyicil nggak kelar-kelar, dan riset seadanya. Jauuuh...deh!


Tadi pagi, soulmate saya (predikat ini Ganjar Widhiyoga yang memberikan) menelpon dari Yogyakarta, dan bisa ditebak, kami berbincang hampir sejam untuk berbagai hal yang sedang melintas di kepala kami. Mengenai FLP juga, dan yang lain-lain. Ide untuk merintis hubungan harmonis antara FLP Kaltim dengan dunia sastra di Kaltim, mengenai perbaikan kualitas FLP Sengata, dan banyak lagi. Namanya Nurika Nugraheni, dulu saya mengenalnya secara maya juga via Yahoo Messenger, lalu bertemu di Munas ke 1 FLP tahun 2005, dan secara mengejutkan tahun 2007 kalau tidak salah ia menjadi penghuni Sengata mengikuti suami tercintanya.

FLP dan dunia menulis saya sudah memberikan banyak sekali warna dalam kehidupan saya bertahun-tahun ini. Kalau belajar tidak pernah mengenal waktu, maka sama saja dengan menulis. Tidak pernah ada kata terlambat untuk memperbaiki yang sudah dilakukan. Bukankah dengan menulis kita bisa mencerahkan umat? Ya, tentu tergantung apa yang ditulis :) dan jiwa setiap penulis ada dalam tulisannya. Begitulah yang saya yakini. Menulis untuk dakwah, kepada diri sendiri, kepada orang lain, kepada lingkungan, kepada umat ini. Jika saya tak mampu memberikan lebih pada umat ini, setidaknya tulisan saya semoga bisa mencerahkan hati yang membaca. Amin.

Tuesday, August 25, 2009

Something about Firna (part two)


Berkali-kali saya mengingatkan diri saya sendiri, bahwa seorang anak kecil adalah 'penyerap yang luar biasa hebatnya'. Makanya jangan heran jika suatu ketika mereka mengatakan sesuatu yang mengejutkan, padahal mereka baru mendengarnya sekali atau dua kali saja. Hal ini sudah terjadi berkali-kali pada Firna, anak saya, dan setiap kali yang ia sebutkan adalah hal yang tidak baik (yang mungkin ia dengar dari orang lain, dari televisi, maupun ayah dan bundanya) saya harus segera memperbaikinya. Segera. Sebab jika dibiarkan, anak akan menganggap bahwa hal tersebut boleh-boleh saja dikatakan. Atau bahkan, jika kita mendengarnya lalu tertawa geli, ia mungkin akan berpikir bahwa hal itu hal baik sebab reaksi orang dewasa di sekitarnya adalah reaksi yang ia anggap positif.

Suatu malam, saya dan suami sedang menonton berita di salah satu stasiun televisi, dan kebetulan hari itu (secara berulang-ulang hingga membosankan) dikabarkan seorang yang dianggap fenomenal telah meninggal, namanya Mbah Surip. Terus terang saja, akhir-akhir ini saya memang membatasi tontonan televisi apalagi pada waktu pagi hingga malam ketika anak-anak sedang bermain. Jadi, malam itu adalah kali pertama saya mengetahui ada seorang Mbah Surip yang mendadak kaya raya dengan lagunya yang fenomenal (tapi menurut saya sih syairnya "nggak penting banget").

"Oh, ini toh lagunya," gumam saya.

Firna yang kala itu sedang makan malam dengan ayahnya tiba-tiba nyeletuk,

"Pak gendong, ke mana-mana ..." dengan raut tanpa ekspresi dan wajah menunduk menatapi piringnya.

Kontan saja saya melirik suami yang nyaris terbahak, saya pun hampir tertawa mendengar Firna menggumamkan lagu tersebut, lalu ia menatap wajah saya dan suami sambil tersenyum. Saya hafal betul, saat itu Firna menantikan reaksi kami. Bila kami tertawa, ia akan ikut tertawa dan terus akan mengulang-ulang lagu tersebut. Ia seakan meminta 'persetujuan' bahwa kalimat baru yang ia hafal adalah lagu yang boleh ia nyanyikan. Sebelumnya suami saya memang sudah cerita, bahwa ketika mereka menonton berita yang menayangkan meninggalnya penyanyi gaek itu, Firna langsung bisa menghafal lagunya. Mungkin karena liriknya yang ear-catching atau entah apa.

"Firna, tidak usah nyanyi lagu itu ya. Itu lagu nggak bagus." tukas saya dengan tegas. Ayahnya mengatakan hal yang sama.

"Kalo lagu bintang kecil, boleh?" tanya Firna.

"Ya, kalau lagu bintang kecil boleh. Lagu balonku juga boleh." kata saya, lega. Setelah itu Firna mengulang-ulang lagu bintang kecil, balonku, dan lagu-lagu lainnya.

Apakah setelah itu Firna lupa dengan lagu fenomenal itu? Tentu tidak. Hari-hari berikutnya ia sekali dua kali mengatakan bait pertama lagu itu, dan bertanya pada saya,

"Bunda, nggak boleh lagu 'pak gendong' ya? Kalau lagu Kakak Mia, boleh?"

Seperti itulah Firna. Alhamdulillah, ia memang tidak merekam keseluruhan lagu itu karena memang kecelakaan kecil ketika ia mendengarnya pertama kali langsung kami alihkan. Tetapi, bagaimanapun ia bisa sewaktu-waktu mengingatna bila ada stimulusnya. Di sinilah pentingnya kesabaran dan konsistensi kami untuk menjaga Firna dari faktor buruk lingkungan, terutama televisi.

Satu hal yang saya sayangkan adalah, tayangan berita (yang selama ini menurut saya relatif aman untuk ditonton) pun bisa memberi dampak buruk bagi anak-anak. Apabila memang tayangan beritanya seperti itu contohnya. Belum lagi jika yang dipublikasikan adalah soal perselingkuhan anggota dewan, artis yang terjerat narkoba atau sedang stres, dan sebagainya. Ya, peran orang tua memang besar sekali untuk mendampingi dan menjelaskan apapun pada anak-anak kita. Jangan sampai mereka merekam hal yang tidak baik, dan kemudian melakukan hal yang tidak baik pula. Na'udzubillah ...

Untuk hal ini, pandangan setiap orang pasti berbeda-beda. Tapi bagi saya, bersusah payah sejak dini tentu sangat penting jika kita peduli pada perkembangan anak-anak kita. Tidak ada yang sempurna memang, tapi bukan berarti kita akan lelah dan putus asa dalam berusaha, kan?

Tuesday, August 11, 2009

Something about Firna :)




Belakangan ini Firna sangat bisa diandalkan. Nggak pernah lagi 'gangguin' adek Fakhry sampai nangis, selalu semangat bantuin bunda jaga adek (walaupun kalau adeknya tetep aja nangis gara-gara ditinggal bunda jemur baju atau mandi akhirnya Firna bengong aja terus asyik sendiri), bantuin bunda rapikan baju ke dalam lemari, dan sederet hal-hal kecil yang rasanya jadi pelajaran baru setiap harinya.

Mendidik anak sudah pasti butuh kesabaran, setiap orang tua pasti paham. Tapi kesabaran yang saya maksud di sini adalah sabar untuk memperhatikan hasil dari didikan yang kita lakukan pada mereka. Jangan pernah berharap sekali atau dua kali mengajarkan sesuatu pada anak kemudian langsung dipahami dan diikuti. Butuh waktu, butuh berkali-kali mencoba, dan akhirnya ketika si anak melakukannya sudah pasti senang sekali hati ini rasanya.

Suatu kali, Firna memiliki kebiasaan baru yang sangat tidak saya inginkan, yaitu berteriak dan membentak. Menurut berbagai sumber, anak usia dua tahun bisa dikatakan sedang dalam masa 'terrible years'. Wah, saya terus terang tidak menyangka akan sesulit itu menghadapi kondisi tersebut. Kuping juga lama-lama panas mendengar seorang anak kecil yang tiba-tiba hobi berteriak-teriak dan menghardik setiap orang. SETIAP ORANG. Ini nggak bisa dibiarkan. Saya pun mencari cara, putar otak, trials dan errors, dan akhirnya ketemu!

Suatu pagi, ketika akan memandikan Firna, saya mendapatinya melakukan kedua hal itu lagi. Dan saya langsung menghampirinya, menatap lurus padanya dan mengatakan:

"Firna, kalau Firna membentak, teriak-teriak, atau nakal sama adek, Firna duduk di kursi."

Saya mengatakannya tegas-tegas, sambil menunjuk ke arah 'kursi hukuman' yang sudah lama saya berlakukan pada Firna. Reaksinya? Bisa ditebak. Ia teriak-teriak dan membentak saya. Ini dia. Saya langsung mengangkatnya, dan mendudukkannya di kursi itu. Ia berteriak lagi, membentak lagi, saya tinggalkan. Selama sekitar dua menit saja. Ia masih berteriak-teriak ditambah menangis. Tapi tidak turun dari kursi. Karena hukuman 'duduk diam di kursi' sudah ia pahami sejak lama. Cara itu efektif untuk Firna.

"Ingat ya, Firna. Kalau Firna membentak, teriak-teriak, atau nakal sama adek, Firna dihukum di kursi ini." tegas saya lagi setelah waktu 'hukumannya' selesai.

Apakah ia langsung menurut. Tentu saja tidak. Setelah tiga atau empat hari, baru saya mendapatinya berubah. Ketika ia mulai akan berteriak, saya langsung mengingatkannya tentang 'perjanjian' itu, dan ia tidak jadi berulah. Begitu terus selama beberapa waktu, sampai Firna benar-benar paham bahwa saya serius dengan larangan itu. Ini bukan masalah sepele, ini salah satu bagian dari mendidik kesopanan dalam sikap dan perkataannya. Setidaknya ini menurut saya. Membentak dan berteriak pada orang tua bukan suatu hal yang patut ditolerir, juga kepada siapapun sebenarnya.




Itu hanya satu peristiwa dengan putri kecil saya yang ceriwis itu. Kali lain saya mendapat sebuah pelajaran, bahwa otak seorang anak kecil memang benar-benar jernih, hingga saking jernihnya dapat menyerap apapun dengan begitu cepat. Kita sebagai orang tua hanya perlu bersabar dan tidak pernah bosan mengajarkan mereka. Berulang-ulang diucapkan (atau dinyanyikan), sampai mereka menghapalnya sendiri.

Firna anak yang cerdas musik. Apapun yang saya sampaikan dalam bentuk nyanyian akan dilahapnya. Sekarang malah ditambah menari. Geli kadang-kadang melihatnya megal-megol menirukan instruksi di film Sesame Street yang sering ditontonnya. Tapi yang membahagiakan adalah ketika Firna sudah mulai hapal huruf-huruf hijaiyah (ada beberapa huruf yang ia nggak tau menyebutnya gimana), dan dua buah doa pendek. Optimis dan bersabar! Pasti anak-anak kita bisa menyerap kebaikan sebanyak-banyaknya, asalkan kita sebagai orang tua mampu dan yakin bahwa kita bisa mengajarkannya pada mereka.

Tuesday, July 14, 2009

Yang Kuat dan Lemah

Terkadang, ketika iman sedang lemah, sebagai seorang manusia kita semua butuh penyangga. Supaya kondisi hati yang sedang rapuh tak lekas merubuhkan pertahanan diri dari hal-hal yang tidak baik. Namanya saja manusia, makhluk yang seringkali sombong padahal ia punya segudang kelemahan. Tak mungkin seorang manusia bisa berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain, dan lebih tak mungkin lagi seorang manusia mengesampingkan peran Sang Pencipta dari kehidupannya.

Terkadang, kita juga sering tidak menyadari, bahwa orang terdekat kita selalu memberikan cinta dan sayangnya dalam berbagai bentuk. Mungkin tidak dengan cara yang spektakuler, mungkin tidak dengan sesuatu yang paling kita inginkan, mungkin tidak banyak hingga tak diketahui. Tetapi apakah itu berarti kita bisa meragukannya? Bukankah tak adil jika menyamaratakan seseorang dengan seseorang lainnya? Padahal orang-orang terdekat kita, keluarga kita, adalah tempat berpulang yang paling nyaman. Tetapi seringkali keegoisan dan emosi tak terkendali yang berasal dari diri kita sendiri mengaburkan semua itu.

Di antara kelemahan-kelemahan sifat manusia, sebenarnya terdapat celah untuk saling menguatkan satu sama lainnya. Kelemahan dari yang satu bisa ditutupi oleh kekuatan yang lainnya. Manusia yang satu bisa menjadi penolong bagi yang lainnya. Di atas semua itu, tentu yang Maha Kuasa puncak segalanya. Bagaimana bisa seorang hamba yang lemah mengaku adikuasa untuk menjadi penolong yang lainnya tanpa kehendak dan ketentuan dari Allah SWT?


Seperti sebuah pelangi yang menceriakan isi bumi,
Manusia punya rasa rindu yang terkadang seperti mimpi,
Tak usah risau pada mereka yang meneriakkan cinta seperti guruh,
atau pada mereka yang lantang meminta cinta datang kembali padanya,
Ke mana pun cintamu berlabuh,
seharusnya hanyalah kepada-Nya.


(menyudahi rasa gundah, ayo tersenyum kembali!)

Friday, July 10, 2009

Rihlah SALIMAH




Rihlah SALIMAH Kutim pertama kalinya. Cuaca pagi itu memang kurang mendukung, hujan deras sejak semalaman, dan pagi-pagi gerimis hingga mendekati waktu pelaksanaan acara. Untungnya tinggal di Sengata, jarak ke mana-mana tak terhalang macet atau lamanya waktu perjalanan karena jarak yang ditempuh tak seberapa. Dalam waktu setengah jam saja bisa sampai ke ujung Sengata. Tapi, alhamdulillah, sebagian besar pengurus bisa hadir, beserta suami dan anak-anaknya. Tak ramai, tapi cukup menghangatkan rihlah perdana ini.

Acara pun berlangsung sederhana. Dimulai dengan sedikit sambutan dari ibu Sundari selaku PJS Ketua SALIMAH Kutim, dilanjutkan dengan serah terima jabatan bendahara (dari mbak Mugi Suhartini beralih ke mbak Wiwik Budiati). Bendahara kita itu akan bertolak ke Palangkaraya untuk melanjutkan studi. Selanjutnya, games. Games ringan yang memunculkan kesegaran dan tawa ringan di sana sini.

Diakhiri dengan makan siang bersama, dan semoga semangat baru menyentuh setiap diri kami. Bagaimanapun, SALIMAH Kutim terus dibutuhkan keberadaannya.

Tuesday, July 07, 2009

Rindu

Rasanya beberapa hari ini lelah fisik dan pikiran. Seringkali karena jenuh. Jenuh terhadap apa? Banyak hal. Banyak hal yang sulit untuk diubah menjadi lebih baik. Atau saya yang kurang berupaya lebih keras lagi untuk mengubahnya menjadi lebih baik? Mungkin saja.

Apa kabar Jakarta?
Rindu sekali. Rindu dengan aneka ragamnya orang-orang di sana. Dengan berbagai ide dan pikiran yang meluaskan wawasan saya. Yang juga bisa membuat saya menangis haru atau tertawa gembira. Mereka yang selalu mengisi ruang kosong di hati saya: teman-teman lama di sekolah dan kampus. Saya rindu sekali dengan kalian. Rindu dengan bagaimana kita dulu sering bergandengan tangan mengerjakan sesuatu yang kita yakini sebagai sebuah amal soleh. Rindu akan segala hal yang dulu bisa membuat mata dan pikiran saya terbuka lebar. Selebar ruang Jakarta yang menerima berbagai kesibukan di dalamnya.

Apa kabar Bintaro?
Walau hanya 'singgah' selama 6 bulan di sana, tetapi secuil kenangan manis membekas sampai sekarang.

Tidak ada waktu untuk bermalasan. Akhir tahun tinggal beberapa bulan lagi. Saya menantikan bulan Januari :) bismillah ...

Saturday, June 27, 2009

Mencari Kesempurnaan

Manusia sampai kapanpun tidak pernah akan menjadi sempurna. Dan seorang manusia lebih tidak mungkin lagi mampu membuat manusia lain menjadi sempurna, sesuai keinginannya. Dua kalimat itu patut saya pancangkan dalam-dalam di hati ini. Sebab seringkali kemauan pribadi mengalahkan realita yang ada. Dan akhirnya ujung yang ditemui adalah kekecewaan semata.

Jika kita menemukan seseorang yang merasa dirinyalah yang paling sempurna, yang selalu bisa berbuat apa saja, dan orang lain selalu berbuat salah di matanya, maka di saat itulah tampak ketidaksempurnaannya. Bahwa ia merasa dirinya lebih penting dibandingkan yang lainnya, merasa lebih bisa, dan segala hal yang akhirnya berujung kepada satu hal yaitu: kesombongan. Karena, sekali lagi, manusia sampai kapanpun tidak pernah bisa menjadi sempurna. Kecuali satu orang saja, seseorang yang mulia dan telah dihapuskan dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang, yang mendapat koreksi langsung dari Allah Swt untuk kekhilafannya. Muhammad Rasulullah SAW.
Suatu ketika, saya mendapatkan cerita dari seorang teman tentang pengalamannya mengikuti sebuah forum diskusi terbatas. Ia mengatakan bahwa saat itu adalah waktunya saling mengoreksi dan menyampaikan masukan. Saat yang pastinya ditunggu-tunggu. Sebagai sesama aktivis dakwah, pastinya sudah saling tahu dan paham etika menyampaikan kritik dan bagaimana mengutarakan isi hati tanpa menyinggung perasaan yang lainnya. Dan begitulah yang terjadi, masing-masing menyampaikan pendapat, pesan kesan, kritikan, usulan dengan cara yang santun dan bahkan mencairkan suasana yang tadinya tegang dan kaku akibat kelelahan dari semua peserta yang hadir. Semua berjalan lancar, sampai seseorang angkat bicara dan memotong perkataan seorang peserta yang tengah menyampaikan pendapatnya. Ia menukas setiap pendapat yang peserta tadi sampaikan dengan cara yang sepertinya membuat setiap yang mendengar merasa kerdil dan malu akan pendapat-pendapat yang telah disampaikan. Sepertinya mereka telah melakukan hal yang memalukan dengan mengutarakan usulan-usulan tersebut.
Dan itu telah terjadi berkali-kali. Di forum yang berbeda-beda, oleh orang yang sama.

Teman saya itu seorang sarjana psikologi, dan saya seorang peminat ilmu psikologi. Kami pun cukup sering membahas panjang lebar alasan kenapa orang tersebut berlaku demikian, bagaimanakah analisa karakternya, apa terapi yang tepat untuknya, sebab perilaku yang tidak menyenangkan seperti itu tidak akan membangun suasana kondusif untuk belajar dan saling berinteraksi. Adakah yang bisa kami lakukan untuknya? Terus terang saja, saya jadi merasa kasihan dengan tipikal orang yang seperti itu. Merasa dirinya paling benar dengan cara menjatuhkan orang lain di setiap kesempatan. Lalu, saya bertanya dalam hati, apakah saya pernah melakukan sikap seperti itu? Astaghfirullahal’azhiim … semoga saja tidak.

Seringkali diri kita melewati hal-hal penting yang berseliweran di sekitar kita. Melewatkannya bisa jadi sama dengan menganggapnya tidak atau kurang penting. Oleh sebab kekurangpentingannya itulah makanya sesuatu hal itu bisa terlewatkan begitu saja. Sebab, mana mungkin sesuatu hal yang dianggap penting bisa dengan mudah terlupakan. Contohnya saja, kalau membaca Alquran setiap hari sudah menjadi sebuah kebutuhan, maka ketika sekali saja terlupa atau tidak dapat membaca disebabkan hal lain, perasaan menyesal bukan kepalang akan terasa. Lain jika ibadah yang satu itu belum menjadi sebuah kebutuhan, maka melewatkannya akan terasa biasa saja.
Bicara soal kebutuhan, tidak semua orang memiliki kebutuhan untuk bisa ‘memperbaiki keburukan yang ada pada orang lain’. Memperbaiki bukanlah dimaksudkan sebagai ‘upaya turut campur’. Berbeda. Yang saya maksudkan adalah kewajiban saya sebagai seorang muslim untuk dapat menasehati saudara saya sesama muslim lainnya bila ia melakukan sebuah kekhilafan. Menasehati di sini bisa jadi tidak dalam artian berbicara empat mata lalu menceramahinya panjang lebar. Sungguh banyak varian yang bisa dilakukan untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Hanya sekadar mengingatkan, selebihnya urusan dirinya sendiri apakah mau memperbaiki diri atau tidak. Ini hanyalah sebuah ikhtiar demi kebaikannya.

Dan memang, kebutuhan setiap orang berbeda. Mungkin saja ketika saya merasa perlu untuk bertindak demikian terhadap orang tersebut, bagi orang lain hal itu tidaklah penting. Bagaimanapun, bertindak atau tidak bertindak, menasehati atau tidak, kita akan menghadapi konsekuensi perilaku setiap orang di sekitar kita. Demikian juga sebaliknya.

Kesempurnaan memang hanya milik Sang Pencipta. Tetapi Ia memberi kita semua begitu banyak potensi untuk diarahkan menuju kebaikan dan kesempurnaan sikap. Tinggal kitalah yang akan memilih, akan memanfaatkan potensi tersebut, atau membuangnya sia-sia. Menyeru kebaikan pada orang lain sama dengan upaya kita membenahi diri sendiri. Semuanya berawal dari hati.

Friday, June 26, 2009

Biarpun Berkali-kali Jatuh

Pernahkah Anda menemukan seseorang yang begitu pesimis menghadapi kehidupannya? Dan ia yang hampir selalu memiliki pandangan negatif terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya?
Saya mengenal seseorang yang seperti itu. Hampir di sepanjang hidupnya, ia mengalami kejadian-kejadian buruk yang begitu menyakitkan hati. Hubungan saya dengannya bisa dikatakan cukup dekat, hingga saya seolah bisa merasakan sendiri pedihnya mengalami peristiwa-peristiwa tersebut. Bagaimanapun, saya tidak akan pernah bisa merasakan langsung perasaannya. Saya hanya bisa mencoba untuk mengerti, bahwa di setiap sikap pesimisnya, tersimpan amarah akan hal-hal buruk yang menimpanya. Sekaligus kesedihan karena ketidaksanggupan untuk mencegah hal-hal buruk itu supaya tidak terjadi, dan juga rasa malu yang kini ditanggung atas bad ending yang ia jalani. Menyedihkan, bukan?
Kehidupan ini seperti roda yang berputar, begitu kata orang. Kadang ia membawa kita ke atas, lalu ia berputar ke bawah. Kadang terhampar kemudahan, namun selanjutnya bisa pula badai menghadang. Dan sebagai seorang manusia yang lemah ini, kita seringkali terjebak akan ‘lubang-lubang’ keangkuhan dan keserakahan apabila kesenangan yang sedang digenggam. Atau kita seringkali terjerembab masuk ke dalam jebakan keingkaran dan kelalaian saat menerima kesedihan. Tak pernah ada puasnya. Hidup memang tempatnya salah dan lupa, tempatnya belajar dan berusaha, tempatnya kegagalan, dan sekaligus tempat manusia berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik atau berpasrah diri menjadi yang terburuk tanpa upaya apapun. Semua tergantung apa yang kita pilih.
Kadang kita sering bertanya, mengapa si anu yang tampaknya biasa-biasa saja ibadahnya bisa selalu merasa senang dalam hidupnya? Bukankah Sang Pemilik Jiwa mencintai orang-orang saleh yang rajin memanjatkan doa serta beribadah dengan segenap jiwa? Bukankah keimanan yang menghujam dalam dada ini sanggup mendobrak penghalang apapun dan menumbuhkan semangat juang berkali-kali lipat dari yang lainnya?
Memang. Tetapi di balik setiap peristiwa pasti terkandung pelajaran dari-Nya. Ada rahasia-rahasia hidup yang tak disingkap, yang akan menguji sejauh mana kesetiaan kita sebagai seorang hamba.
Seseorang yang saya sebutkan di atas, mungkin saja memiliki sikap yang demikian karena mengalami kepahitan hidup yang telah membuatnya jatuh berkali-kali. Orang lain yang melihat dari luar mungkin akan menganggapnya rapuh, tak punya pendirian, pesimistik, tak punya semangat hidup, dan penilaian negatif lainnya. Sedangkan mereka tak benar-benar mengetahui apa saja yang pernah ia alami. Apa yang membuatnya berkali-kali mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan. Dan apa yang ia lakukan setelah berkali-kali jatuh. Tidak banyak yang tahu.
Tetapi biasanya, seseorang yang telah mengalami berbagai kesulitan dalam hidup, akan bisa bersikap lebih dewasa dan bijak dalam menanggapinya. Dan pastinya ia memiliki hati yang lebih tegar, karena terbiasa tertoreh rasa sakit. Biarpun berkali-kali jatuh, dengan iman di dada, ia pasti akan kembali bangkit.
Kesedihan dan kepedihan sebesar apapun, bila kita senantiasa mengingat bahwa hanya Allah Yang Maha Menentukan segala sesuatu, niscaya yang tertinggal dalam hati adalah keikhlasan untuk menerima. Dan prasangka baik bahwa memang apa yang terjadi adalah yang terbaik untuk diri kita saat ini. Bukankah Sang Pencipta tak akan pernah menzalimi hamba-hamba-Nya?
Di setiap kesulitan, pasti ada kemudahan. Insyaallah.

Kangen ...

Sudah lama sekali tak menengok blog yang satu ini, rasanya kangen...

Akhir-akhir ini perasaan saya campur aduk. Jenuh, penat, tapi sekaligus juga bersemangat untuk melakukan hal-hal yang baru. Atau pindah ke tempat baru? Rasanya ide yang bagus juga. Tapi, kapan?

Beberapa 'pekerjaan' menumpuk di file yang tersimpan dalam otak. Ada yang mendesak keluar, ada yang 'mendem' di pojokan, sebagian lagi samar-samar menghilang.

Apa saja yang belum dikerjakan ya?

Menyelesaikan naskah yang tertunda, melanjutkan naskah baru, menulis surat-surat untuk FLP Sengata, merapikan pembukuan bisnis kecil-kecilan ... masih ada lagi yang lainnya.

Sementara ini penat itu reda dengan dua buku yang membawa benak ini melayang sebentar karena keindahannya: Dilatasi Memori dan Diorama Sepasang AlBanna.

Thanks to Ari Nur, (wah, Ry, jangan ge-er yah...istrimu memang pandai menulis :))

Everything's inspiring me now.

Hayo, mulai lagi!

Saturday, April 25, 2009

Sebuah Profesi atau Bukan, Tetaplah Mulia

Saya seringkali mendapati pendapat-pendapat miring tentang profesi ‘ibu rumah tangga’. Bagaimanapun sepertinya banyak orang yang berpendapat bahwa menjadi seorang ibu rumah tangga bukanlah sebuah pekerjaan, melainkan sebuah pilihan terpaksa yang harus diambil oleh seorang perempuan ketika ia ‘terjebak’ dalam aktivitas rumah tangga, tidak memiliki profesi lain, dilarang bekerja oleh keluarga atau oleh suami, dan seterusnya. Sehingga muncul stigma negatif tentangnya.

Terus terang, dulu saya menjadi bagian dari orang-orang yang memiliki pendapat negatif tersebut. Tepatnya, sekadar ikut-ikutan tanpa pernah mendalami maknanya. Saya hanya beranggapan, bahwa menjadi seorang ibu rumah tangga artinya berdiam diri di rumah hanya mengurusi hal-hal yang itu-itu saja, dan seterusnya. Kadang, kita memang sering terlarut dengan apa yang dipikirkan oleh orang lain. Namun setelah menjalaninya, pikiran saya berubah.

Seorang teman kuliah saya pernah menuliskan dalam sebuah situs pribadi bahwa profesi yang ia geluti sekarang adalah: a housewife. Seorang ibu rumah tangga. Awalnya saya hanya mengerenyit membacanya, sebab pada saat itu saya belum menikah dan sedang asyik-asyiknya menjalani pekerjaan saya. Seorang teman saya yang lain, ia seorang penulis, meyakinkan saya dengan ceritanya tentang kesehariannya yang mengurusi kelima orang anaknya dan dalam kondisi seperti itu ia produktif menerbitkan buku. Di tempat tinggal saya sekarang, ada seorang janda yang memiliki lima orang anak, ia tidak bekerja pada sebuah perusahaan manapun, tetapi memiliki keterampilan memasak yang akhirnya menjadi salah satu peluang mendapatkan rezeki, dan sekarang ia malah sedang menekuni kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta.

Dan kemudian saya merenungkan jalan hidup yang dilakoni ibu saya tercinta. Seseorang yang mungkin bisa dikatakan merelakan banyak hal pergi dari dirinya demi keluarganya. Begitu banyak yang ia korbankan. Seseorang yang sangat supel, gigih dalam meraih sesuatu, luwes, punya banyak ide kreatif, terampil dalam berbagai hal. Ibu saya sejak dulu bisa dibilang selalu sukses menjual segala macam hal, baik itu buatan sendiri maupun tidak. Semua orang mengenalnya sebagai seseorang yang luwes dalam berdagang, dan kenyataannya, keterampilannya tersebut memberinya kemampuan untuk menghidupi dirinya sendiri, menyekolahkan saya dan adik saya, dan ia mampu bertahan dalam situasi sesulit apapun. Mengagumkan, bukan?

Ketika akhirnya saya menikah, saya sedang berada dalam keasyikan menekuni pekerjaan yang sangat saya sukai di sebuah perusahaan. Waktu berlalu, dan pikiran untuk memiliki anak mulai sering menghampiri saya dan suami tentunya. Kebetulan saya termasuk seseorang yang selalu memikirkan segala sesuatu dengan detail, merencanakannya, baru memutuskannya. Dan saya waktu itu mulai berpikir serius, apakah ketika saya nantinya memiliki anak akan terus bekerja atau tidak? Apakah saya akan membayar seorang babysitter untuk mengurus anak-anak saya di rumah dan saya tetap bekerja? Bagaimana dengan rencana saya untuk mengurus anak-anak saya sendiri? Dan, memiliki seorang pembantu rumah tangga, benarkah itu yang saya inginkan?

Akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan saya, dan mengejar mimpi saya untuk menjadi seorang penulis. Bercermin pada beberapa orang teman penulis yang menjadikan ‘menulis’ sebagai profesi, kemudian bahkan bisa menghidupi diri sendiri serta keluarga dari profesi tersebut, saya mulai merajut mimpi itu dan menjadikannya kenyataan. Tentu keputusan ini bukan tanpa pemikiran terlebih dulu. Tentu saya pun mengukur kemampuan diri dan suami untuk memutuskan hal ini. Suami sangat mendukung, dan ternyata Allah SWT memang memberikan jalan ini sebagai salah satu pintu rezeki bagi saya.

Dan inilah saya, dengan profesi baru saya sebagai ibu rumah tangga yang bisa menulis.
Dua tahun ini, saya banyak merenungkan hal ini, dan kemudian berkembanglah pikiran-pikiran positif tentang profesi sebagai ibu rumah tangga. Toh, memutuskan untuk berada di rumah dan sepenuhnya mengurus rumah tangga bukan berarti menjadi halangan bagi kreativitas diri untuk berkembang. Apalagi jika kita bisa mensiasati waktu untuk bisa menggali potensi diri, mengembangkannya, dan bahkan akhirnya mencari penghasilan sendiri dari rumah. Seorang ibu rumah tangga yang pandai berdagang, seorang ibu rumah tangga yang punya bisnis sendiri di rumah, seorang ibu rumah tangga yang pandai menulis, seorang ibu rumah tangga yang pandai berkebun dan akhirnya melakukan sesuatu dengan keterampilan itu, dan seterusnya. Bukankah banyak sekali hal yang bisa kita lakukan dari rumah?

Pikiran-pikiran tersebut akhirnya menjadikan saya lebih bersemangat menjalani hari-hari bersama keluarga kecil saya. Kepercayaan diri saya meningkat, dan bahkan saya makin produktif menulis. Kegembiraan ini sedapat mungkin saya tularkan pada mereka yang sering mengeluhkan hal serupa pada saya. Yang merasa tak bisa berbuat apa-apa atau kadang jenuh beraktivitas rutin di rumah. Pengalaman saya berumah tangga memang baru seumur jagung, tetapi semangat yang saya punya, boleh lah ditularkan kepada yang lain.

Ketika saya kemudian menghadapi beberapa anggota pengajian yang saya tangani yang berprofesi sebagai karyawati perusahaan, saya menjadikannya bahan tambahan bagi perenungan saya.

Beberapa orang menginspirasi saya, dan beberapa yang lain membuat saya merenung lebih dalam. Seseorang di antara mereka memiliki tiga orang anak, dua di antaranya sudah bersekolah. Ia kadang mengantar jemput sendiri anak-anaknya, memasak sendiri makanan di rumah, dan teratur menelpon ke rumah untuk mengontrol kondisi anak-anak dengan pembantu rumah tangga yang menjaganya, ketika pulang ia tekun mendampingi anak-anaknya belajar.

Bagi saya, seseorang seperti yang saya contohkan di atas adalah seorang perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan kebetulan bekerja pada sebuah perusahaan. Ia tidak mengkonsentrasikan diri untuk bekerja saja, tetapi bisa dikatakan melakukan keduanya dengan sama baiknya. Memang ada lebih kurangnya, tetapi tetaplah ia melakukan kebaikan dengan menjalaninya dengan ikhlas dan penuh senang hati.

Rumit sekali jika harus mendebat ini-itu tentang hal ini. Saya hanya tak ingin kita terjebak pada profesi A atau B yang lebih mulia dan ‘bergengsi’, lalu akhirnya mengecilkan yang lainnya. Sepertinya melakukan hal-hal tersebut malah akan mengurangi keikhlasan dari yang sedang mengamalkannya.

Menjadi seorang ibu rumah tangga saja, atau yang didampingi dengan profesi lainnya, tetaplah ia sebuah pekerjaan yang mulia. Dan bagi yang mengerjakannya dengan ikhlas sepenuh hati, baginya ganjaran kebaikan yang telah dijanjikan Allah SWT. Subhanallah …

Dakwah dan Sebuah Proses Belajar

Semenjak saya berkecimpung dalam dakwah, saya telah diajarkan bahwa siapapun yang melakukan dan apapun caranya (asalkan tidak melanggar perintah Allah Swt dan Sunnah Rasulullah SAW) maka tujuan yang sama yaitu berdakwah kepada Islam tidaklah boleh menjadi awal pertentangan. Toh, tujuan kita sama: berdakwah kepada Islam dengan tujuan lillahi ta'ala. Dan apapun sarananya, akan tetap menjadi sebuah sarana saja, tidak boleh berubah menjadi tujuan utama. Sebab jika berubah, maka itu akan mengubah niat lurus tulus ikhlas menjadi melenceng. Bukankah sebuah amal yang tidak didasari niat yang ikhlas maka amal itu tidak diterima?

Dan kemudian saya merenungkan perjalanan dakwah yang telah semenjak tahun 1994 saya tekuni. Saya telah bersama-sama dengan orang-orang yang sabar, yang rajin mengkaji Islam serta memacu saya untuk meningkatkan ibadah harian, yang mengajarkan saya cara menyampaikan kebaikan pada orang lain dengan simpatik, dan juga memahamkan pada saya bahwa walaupun sekian banyak orang menentang dakwah namun langkah tak boleh berhenti. Sebab proses perjalanan dakwah itu sendiri lah yang terpenting; bagaimana kita berinteraksi, bagaimana perlahan pemahaman mulai terbentuk, bagaimana belajar berkorban untuk kepentingan orang lain, dan bagaimana menang dan kalah harus dihadapi. Jawabannya tetap sama: jika konsisten, maka apapun hasilnya akan selalu terasa membanggakan. Bukankah kita semua adalah para pembelajar? Dan orang-orang yang belajar harus terbiasa dengan kegagalan serta keberhasilan.

Bagaimana dengan hasil maksimal yang selalu menjadi target sebuah tindakan, dan harapan tinggi dari sebuah upaya? Tentu saja hal tersebut patut diperhitungkan. Sebab dari mencanangkan sebuah target, semangat dan kerja keras akan termunculkan. Seseorang yang memiliki impian tinggi dan kemauan untuk mewujudkannya, suatu saat akan mengubah mimpinya menjadi sebuah kenyataan. Dan saat itu ia akan menikmati sebuah hasil membanggakan dari upayanya selama ini. Tetapi memang waktu dimana impian itu terwujud tidak pernah bisa diatur oleh si pelaku. Sebab manusia memang hanya bisa berusaha, dan selebihnya akan berlaku ketentuan Sang Maha Kuasa. Bila memang terwujudnya sebuah mimpi merupakan kebaikan baginya, maka Allah SWT akan mengabulkan, namun bila ternyata itu bukanlah sebuah kebaikan, bisa jadi Allah SWT tidak memberikannya atau menundanya hingga saat yang tepat. Wallahu A’lam. Hidup memang misteri, sebab itulah kita semua hanya bisa berusaha dan terus berusaha. Siapa tahu, impian tersebut akan terwujud ketika kelak anak dan cucu kita yang menjadi pelakunya. Hingga kita sendiri tak bisa menikmati, namun bukankah dengan tetap berusaha dengan ikhlas berarti kita sedang merajut investasi untuk generasi mendatang? Berarti tidak ada satu pun usaha manusia di dunia yang sia-sia.

Ketika saya berpindah-pindah tempat tinggal, tentunya lebih beragam lagi orang yang saya temui. Berbagai karakter pribadi, berbagai pemahaman. Pengetahuan seseorang memang sepertinya tidak bisa diukur dengan umur. Artinya, seseorang yang berusia 40 tahun misalnya, bukan berarti lebih paham dan lebih banyak pengetahuannya daripada seseorang yang berusia 20 tahun. Dan sebaliknya, seseorang yang berusia 20 tahun memang belum tentu lebih berpengalaman daripada seseorang yang berusia 40 tahun. Bagaimanapun, setiap orang telah menjalani kehidupannya masing-masing, dan itu akan menjadi penentu bagi lebih dan kurangnya pemahaman seseorang akan sesuatu.

Demikian juga dengan sikap berbeda yang ditunjukkan masing-masing orang terhadap kemenangan maupun kekalahan. Seperti yang dipaparkan di atas. Karakter pribadi, kekuatan iman, dan pemahaman akan hidup akan menjadikan reaksi itu berbeda-beda. Kadang, ketidaksiapan menghadapi sebuah kemenangan akan membuat sikap seseorang menjadi konyol di hadapan orang lain. Dan juga sebaliknya, ketidaksiapan seseorang dalam menghadapi kekalahan akan membuat orang tersebut terlihat betul sebagai seorang pecundang. Padahal tidak perlu seperti itu, sebab kita semua adalah pembelajar. Dan pembelajar sejati tak pernah berlebihan dalam menanggapi kemenangan dan kekalahan yang mesti ada dalam kehidupan. Tapi, ya memang, manusia tetaplah seorang manusia. Ia selamanya tidak pernah menjadi malaikat. Jadi, tak perlu risau dengan ketidaksempurnaan itu.

Di balik keberhasilan dan kegagalan selalu ada pelajaran besar bagi kelanjutan hidup ini. Bukankah dakwah tidak akan pernah berhenti selama masih ada orang-orang yang perlu didakwahi? Dan bukankah inti darinya adalah proses belajar? Dan proses belajar yang selama ini dijalani tidak boleh berkurang atau bahkan berhenti hanya karena kita semua sedang sibuk bertarung. Seperti juga Rasulullah dan para sahabat dulu, yang tidak pernah melupakan aktivitas peningkatan ruhiyah ketika pun sedang perang. Jadi, ketika Allah belum menakdirkan kemenangan itu hadir, berarti ada satu dua pelajaran yang perlu kita pahami. Mungkin kesibukan bekerja menjadikan kita lupa akan esensi dari dakwah yang dilakukan? Yaitu belajar dan mengajarkan.

Mari, kembali kepada orisinalitas dakwah ini. Mari beningkan hati kembali.

Wallahu A’lam.

Sebab Cinta Selalu Ada

Tak mengapa bila rindu tak berlabuh,
Sebab cinta selalu ada.
Di antara kepingan duka dan luka yang menganga
Harap yang tersisa hanyalah untuk-Nya.

Di antara sekian perjuangan hidup manusia, salah satunya adalah perjuangan dalam mendapatkan cinta. Entah mengapa, persoalan yang satu ini hampir selalu dihubungkan dengan jiwa melankolis tak tertahankan dari diri manusia. Padahal tak semestinya selalu begitu. Bagi mereka yang bergelimang bahagia, mungkin persoalan ini tak berarti apa-apa. Tapi bagaimana dengan mereka yang tak bisa mencicipi kehidupan yang lega? Apakah tak patut mereka mempertanyakan cinta?

Cobalah diingat, adakah satu dua peristiwa yang masih terekam dalam memori kita yang menyiratkan pendaman rindu akan sebuah cinta? Misalnya sebuah kenangan indah saat dulu remaja, atau kerinduan akan keluarga yang kini terpisah jarak, sebuah mimpi yang hingga hari ini tak kunjung tiba di dunia nyata, atau mungkin kedamaian hati yang dulu pernah dirasa tetapi kini menghilang entah ke mana. Memang, kedengarannya begitu menyedihkan. Tetapi sepertinya kita harus sepenuhnya sadar, bahwa tidak setiap orang hidup bahagia. Apabila kita menjadi salah satunya, mungkin kita baru mengakui. Tapi manusia memang selalu menjadi manusia dengan segala kelalaiannya. Saat bahagia ia selalu terlupa akan segala derita yang dulu dilewati, namun ketika masa susah tiba ia tak bisa membendung penyesalan dan terus menyesali. Bukankah seharusnya kita tetap bersyukur, dengan kondisi apapun yang sedang kita alami? Karena sepertinya, masih terlalu banyak orang di luar sana yang sanggup menelan segala penderitaannya.

Kadang-kadang, ketidakbahagiaan memang bisa menghanyutkan. Entah itu dalam keputusasaan, atau kemarahan, mungkin juga dalam kesedihan mendalam yang tidak ada akhirnya, atau apalagi? Ketidakbahagiaan memang selalu menjadi hal yang tidak diinginkan oleh setiap orang. Sayangnya, hal itu telah menjadi teman akrab dari yang namanya kehidupan. Tak mungkin hidup ini berjalan lurus dan mulus terus menerus. Tak mungkin seorang manusia tak mengalami musibah dan ujian dalam detik-detik hidupnya. Tak mungkin bila kita berharap untuk tak pernah sekalipun merasakan derita. Sebab ketidakbahagiaan membuat diri kita bangkit untuk mencarinya. Sebab musibah dan ujian adalah rahmat apabila kita mau mensyukuri dan mengambil hikmahnya. Sebab derita adalah awal dari bahagia. Sebab di setiap kesulitan tersimpan kemudahan untuk melewatinya.

Saya hanya ingin kita semua memunculkan harap walau hanya secercah. Sebab selama roda kehidupan masih berputar, pencarian akan sekeping cinta selalu akan menumbuhkan gairah yang indah dalam hati kita. Walaupun begitu berat cobaan yang sedang menimpa. Walaupun kita berpikir tak ada lagi yang menjadi tumpuan. Tetapi percayalah, pikiran itu salah. Sebab cinta selalu ada.

Pendar Kasih Ibu

Ketika senyummu pudar,
Sewaktu kedua matamu tak lagi berbinar,
Saat gundah menghilangkan tempat bersandar,
Maka seorang ibu akan merengkuhmu,
Dengan sejuta kasihnya yang kian berpendar.

Menjadi seorang ibu adalah sejuta harap yang terpenuhi bagi diri seorang perempuan. Menjadi seorang istri dari lelaki yang dicintai bagaikan memenuhi keinginan hati untuk menjadi seorang kekasih sekaligus permaisuri. Tak lengkap, apabila keduanya tak diraih. Tak sempurna, apabila waktu yang tersisa menghadiahkan kesendirian.

Dari sekian juta perempuan yang ada, tak pernah ada cerita yang sama yang dijalani. Kadang, ketika derita sedang ditanggung, kita sering merasa menjadi seseorang yang nasibnya paling malang sedunia. Tanpa mau menoleh bahwa masih banyak orang lain yang mungkin sedang menanggung beban yang lebih berat. Kadang tak berpikir bahwa mensyukuri yang sedang dijalani adalah pilihan sikap yang senantiasa melegakan.

Seorang ibu, bagaimanapun, adalah kedamaian bagi keluarganya. Banyak hal indah yang diucapkan, dituliskan, didendangkan, mengenai seorang ibu. Namun yang terjadi di dunia nyata seringkali berkebalikan. Satu kata yang kerap kali membuat bulu kuduk berdiri dan hal terburuk yang mungkin terjadi pada seorang perempuan yang dizalimi: kekerasan. Satu hal yang sepertinya kian hari kian menjadi teman akrab telinga dan mata kita semua.

Sedikit saja pengaruh buruk dari kejadian-kejadian menyedihkan yang menimpa seorang perempuan dengan berbagai statusnya (istri, ibu, calon istri, calon ibu, dan sebagainya) adalah ketakutan dan keputusasaan akan ‘profesi mulia’ diri sebagai seorang pendamping hidup laki-laki sekaligus ibu bagi anak-anaknya.

Disamping itu, banyak pula perempuan yang menjalani proses menuju kebahagiaan dengan jalan yang tak semulus yang dialami perempuan lainnya. Sebagian mungkin terasa lucu bila diingat kembali, sebagian lagi menyisakan derita yang menyayat memori, atau meninggalkan luka yang menggores tak terperi. Yang kadang akan menumbuhkan satu ketakutan menjadi ketakutan lainnya. Dan bila kebahagiaan itu akhirnya datang, seperti goresan gambar di atas pasir yang luruh akibat sapuan ombak. Yang teringat adalah bahagia.

Saya mungkin tak pandai menganalisa setiap peristiwa. Pun tak banyak hal yang telah saya ketahui untuk dibagikan pada semua. Yang saya tahu, hidup memang tak hanya berisikan kebahagiaan saja. Namun tetap saja, setiap orang pantas untuk bahagia. Dan kebahagiaan yang akan menjadi pelengkap pada diri seorang perempuan adalah menjadi seorang ibu.

Saya pikir, ketika saya telah dewasa dan mencari penghasilan sendiri, saya telah puas menjadi seorang anak. Ingin ‘pergi’ jauh dari orang tua. Tetapi rasanya pikiran itu salah. Dan ketika saya telah menikah, pikiran itu muncul lagi. Demikian pula ketika Allah telah mengaruniakan seorang anak. Saya pikir saya akan ‘berhenti bersikap sebagai seorang anak’. Tidak lagi manja, tidak lagi membutuhkan rengkuhan ibu, dan sebagainya. Tapi nyatanya saya makin yakin bahwa pikiran itu salah.

Justru ketika saya telah menjadi seorang ibu, saya makin membutuhkan sosok ibu saya. Dan saya makin menghargai dan lebih lagi mencintai ibu saya. Bagaimanapun saya mulai merasakan hal-hal yang pastinya dulu pernah ia rasakan. Letihnya, gundahnya, cemasnya, bahagianya ... semua hal yang dirasakan oleh semua ibu untuk keluarganya tercinta. Dan kini hari-hari saya banyak terisi oleh renungan, betapa ibu begitu berharga bagi diri saya. Terlebih untuk semua pengorbanan yang rasanya tak pernah sanggup saya balas.

Dan perjalanan kehidupan setiap perempuan memang tak sama. Saya benar-benar bersyukur telah diberi kesempatan untuk merasakan semuanya kini. Menjadi seorang anak, seorang istri, dan seorang ibu. Kebahagiaan apalagi yang saya cari?

Biarkan jadi Berbeda

Setiap diri kita punya keunikan masing-masing. Dan rasanya tidak ada seorang pun yang ingin dirinya dibanding-bandingkan dengan orang lain. Menjadi diri sendiri, dengan menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada, mungkin akan lebih sulit dibandingkan melihat apa yang ada pada orang lain kemudian memujinya, atau bahkan melecehkannya.

Menjadi diri sendiri dan memiliki rasa percaya diri untuk itu, entah kenapa menjadi suatu hal yang membutuhkan perjuangan keras untuk mencapainya. Sebab kini sudah begitu banyak orangyang merasa “senang” menjadi orang lain. Menjadi seseorang yang bukan dirinya yang asli. Supaya juga dipandang hebat oleh orang lain yang melihat, supaya mendapatkan sebuah penghormatan yang sama, tidak bisa menerima perbedaan yang ada. Berusaha terlihat bagus di hadapan orang lain, sama saja menipu. Tidak percaya dengan diri sendiri, dan tidak menghargai keunikan yang diri kita punya. Bukankah akhlak yang baik itu muncul tanpa direkayasa?

Saya teringat sebuah percakapan ringan antara saya dan teman baik saya. Waktu itu ia mengeluhkan beberapa hal yang sepertinya sama dengan apa yang ada di pikiran saya. Kemudian saya berkomentar: “Entah kenapa, akhir-akhir ini orang-orang yang saya kenal berubah jadi aneh.” Dan ia menanggapi dengan sebuah tulisan yang isinya mengatakan bahwa berbeda itu unik, dan unik itu seni.
Saya tersenyum membacanya. Menarik sekali kesimpulan yang diberikan teman saya itu. Kalau setiap orang berbeda, maka setiap orang itu unik, dan setiap orang berarti memiliki nilai seni tersendiri. Sepertinya saya setuju dengan kalimat tersebut. Dengan begitu, kita akan belajar menghargai setiap perilaku yang berbeda yang ditampakkan oleh orang lain. Tidak malah menghujatnya dengan penilaian macam-macam, walaupun apa yang mereka lakukan itu tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Memang, untuk apa berharap macam-macam pada seorang manusia yang tidak kuasa memberikan apapun untuk kita? Bukankah Yang Maha Pemberi itu adalah Allah?

Seperti halnya ketika kita sedang terlibat dalam sebuah forum musyawarah. Dari sekian kepala yang hadir, sangat mungkin masing-masing membawa pikiran yang berlainan. Karena memang setiap individu berasal dari lingkungan dan pemahaman yang berbeda satu sama lain. Jadi, tak mungkin dipaksakan sama. Jikalau ada yang memaksakan untuk sama, rasanya sungguh egois dan otoriter sekali. Yang bisa dilakukan adalah saling berargumentasi, mengutarakan alasan-alasan yang logis, kemudian mencari jalan keluar atau solusi yang terbaik dari semua pendapat yang ada. Merangkul yang bawah dulu, baru kemudian memutuskan. Itu kan lebih baik.

Memang setiap manusia pasti berbeda. Siapapun dia, bagaimanapun kedudukannya, berapapun banyak hartanya, ia akan menjadi berarti di hadapan Allah jika perbedaan itu membawanya kepada keimanan yang tinggi. Bukankah Allah hanya menilai ketakwaan seseorang?

Maka sebaiknya kita tak repot-repot mencari-cari kesalahan orang lain karena merasa ia berbeda dengan diri kita. Cukuplah di akhirat kelak Allah Yang Maha Kuasa yang menilainya.

Perubahan itu Pasti

Saya mengenal seseorang yang menurut saya sedang mengalami trauma terhadap beberapa hal dalam hidupnya. Ia kemudian jadi takut untuk memutuskan sesuatu, selalu gundah berkepanjangan, dan sulit untuk melangkahkan kakinya untuk beralih ke fase yang lebih maju dalam karirnya maupun kehidupan pribadinya. Dan saya mengamati bahwa sekian orang yang sudah menyemangatinya tak digubris atau bahkan ditanggapi dengan hanya tertawa saja.

Rasanya hampir setiap orang pernah mengalami semacam trauma, baik kecil maupun besar. Sebab perjalanan hidup manusia tidak selalu berjalan di jalanan yang mulus tanpa hambatan. Sungguh penting merasakan ujian-ujian yang Allah berikan, sebab itu adalah sarana untuk belajar dan memperbaiki diri. Jika lulus, maka bersyukurlah. Jika gagal, maka selalu ada kesempatan untuk mencobanya lagi, jika diri kita bersedia. Masalahnya, tidak setiap orang siap untuk mengalami kegagalan.

Contohnya adalah tentang pernikahan. Seseorang yang berasal dari keluarga yang kurang harmonis akan cenderung merasa takut untuk menjalani sebuah pernikahan. Takut gagal, seperti orang tua atau saudaranya yang lain yang mengalami kegagalan dalam pernikahan. Takut untuk merasakan sakit sebab sakit tidak pernah terasa enak. Untuk apa menambah rasa tak enak dalam hidup, mungkin begitu pikirnya.

Tetapi bukankah takdir setiap manusia itu berbeda-beda? Dan usaha keras serta panjatan doa akan menentukan arahnya? Dan Allah sungguh yang Maha Tahu yang paling tepat bagi hamba-hamba-Nya? Merasakan sakit berkali-kali atau gagal berkali-kali belum tentu akan membawa ujung yang tak enak pula? Selalu ada harapan untuk bisa mendapatkan yang baik, yang lebih baik, yang terbaik. Tetapi memang, tidak setiap orang pula siap untuk bersusah-payah menjalani aral melintang dalam kehidupannya.

Kadang saya sulit untuk menerima sebuah perubahan dalam hidup saya sendiri. Dulu, saya termasuk yang paling takut untuk menghadapi sesuatu tanpa persiapan matang terlebih dulu. Saya sebenarnya tidak terlalu suka kejutan, sebab kejutan itu bisa membahagiakan atau menyedihkan. Dan saya terbiasa mengenang masa lalu dengan penuh penghayatan, bahkan mengharapkan masa lalu itu terus hadir hingga sekarang. Sehingga tidak ada yang berubah, semua tetap menyenangkan.

Tentu saja hal tersebut tidak akan terjadi. Perubahan selalu akan ada, dan masa depan adalah misteri. Jika kita bisa berpikir positif, bukankah ‘misteri’ tersebut akan membantu kita untuk bersikap lebih kreatif dalam berusaha sehingga hasil yang diterima lebih optimal, dan akan menjadikan diri kita ‘siap tempur’ kapan saja. Sebab rintangan yang ringan ataupun berat sudah pasti ada dalam jalan hidup manusia. Menyadari bahwa ‘perubahan’ adalah sebuah ‘kewajaran’ tentunya akan menjadikan diri kita lebih dewasa dalam menyikapi sesuatu, tidak melulu menanggapinya dengan emosi semata.

Teman saya yang sangat saya sayangi itu hingga kini tampaknya masih terkukung dalam ketakutannya. Saya turut prihatin, namun selalu mendoakannya supaya bisa membuka mata lebih lebar dan meniupkan keberanian pada dirinya supaya mengambil kesempatan yang ada di hadapan mata. Sebab kesempatan tidak selalu mampir setiap hari. Dan dalam kesempatan yang mampir, tidak harus berakhir suka, bisa saja duka tetapi itulah hidup.

Jika saat ini kita sedang mengalami masa-masa sulit dan membekaskan trauma baru dalam diri, maka yakinlah bahwa suatu saat nanti keadaan itu akan berbalik, berubah menjadi lebih baik. Keyakinan adalah sesuatu yang tidak boleh hilang. Keyakinan bahwa Yang Maha Kuasa akan memberikan hamba-hamba-Nya perubahan untuk yang lebih baik jika kita sendiri tekun berusaha dan berdoa. Yakin saja. Sebab perubahan itu sebuah kepastian.

Tutup Mulut, Buka Telinga

Bagian penting dalam sebuah masyarakat adalah adanya keteraturan. Dan untuk mencapai sebuah keteraturan pastinya perlu kesepakatan yang dicapai dengan jalan terbaik yaitu: musyawarah. Saya meyakini benar hal itu, dan memang seperti itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dalam lingkup masyarakat terkecil saja kita diajarkan untuk bermusyawarah. Misalkan dalam hal merencanakan pendidikan bagi anak, orang tua pastinya bermusyawarah terlebih dulu untuk memutuskan akan menjalankan pola pendidikan seperti apa di rumah, akan menyekolahkan anak di mana, dan sebagainya. Dalam lingkungan kerja, sudah pasti sekian pertemuan penting dilakukan untuk menentukan langkah bisnis. Atau bila kita sedang berbelanja di pasar, tentunya proses tawar-menawar merupakan bagian dari musyawarah antara kita dengan pedagang untuk mencapai harga yang disepakati.

Jadi, sepertinya tidak ada satu bagianpun dalam kehidupan manusia yang luput dari hal ini. Menjalankannya memang merupakan sebuah keharusan, jika kita ingin mendapatkan solusi menang-menang atas segala permasalahan yang dihadapi.
Saya sendiri merasakan betul pentingnya musyawarah ketika saya menjalankan amanah di beberapa organisasi yang pernah saya ikuti. Membuka telinga lebar-lebar untuk mendengarkan. Dan menutup mulut rapat-rapat untuk kritik atau perintah yang mungkin belum tepat waktunya untuk dikeluarkan. Sulit. Sulit sekali. Tetapi teori tidak boleh berhenti sampai di dalam kepala dan mulut saja, menjalankannya adalah tantangan sekaligus juga keharusan.

Saya kemudian membayangkan, apabila sebuah forum harus memutuskan sebuah perkara penting kemudian mengeluarkan keputusan tanpa adanya musyawarah alias hanya omong-omong sambil lalu dan menetapkan begitu saja hasil akhirnya. Apa yang akan terjadi? Demikian pula dengan seorang pemimpin yang tak peduli dengan saran serta kritikan dari anak buahnya, sehingga misalnya dalam forum tersebut ia dengan kerasnya menekankan bahwa apa yang ia rencanakan maka itulah yang terbaik dan harus dilaksanakan. Berusaha tampak tegas, tetapi yang terjadi malah sikap keras. Seperti membangun tembok tinggi antara dirinya dan bawahannya. Bukankah sikap tersebut tak akan menimbulkan rasa cinta dan dukungan dari yang dipimpin? Bisalah kemudian dihitung waktu kehancuran dari organisasi tersebut. Sebab sikap diam dan penurut dari bawahan bisa jadi tercipta karena rasa tertekan dan ketidakrelaan yang tak tersampaikan. Menyedihkan.

Bermusyawarah berarti meminta kesediaan dari setiap anggota musyawarah untuk memberikan sumbangsih pikirannya, mendiskusikan mana yang baik dan mana yang beresiko, mencoba mencari jalan tengah dari sekian pendapat, dan yang terutama adalah bermusyawarah berarti menyediakan tempat serta kelapangan hati untuk mendengarkan pikiran orang lain. Sebab manusia selalu membutuhkan tempat untuk mencurahkan pikirannya. Sebab manusia selalu butuh untuk didengarkan pendapatnya.

Bukankah indah apabila setiap orang merasakan haknya terpenuhi dengan diberi kesempatan untuk berbicara lalu dihargai pendapatnya? Dan sungguh indah bila setiap orang mau menutup mulutnya rapat-rapat dahulu untuk membuka lebar kedua telinganya mendengarkan yang lain. Yang akan terjadi adalah kita semua akan lebih saling mengerti, dan kemudian mendapatkan berbagai sudut pandang yang akan memperkaya.
Ini sebuah hal yang sulit, namun bukan berarti tak mungkin dilakukan. Karena Allah dan Rasul-Nya telah memberikan ajaran bagi manusia terhadap hal yang memang dibutuhkannya.

Batu dan Air

Suatu malam, saya terlibat percakapan dengan seseorang. Ia punya jabatan lumayan di kantornya, pun juga sedang mengemban amanah di sebuah lembaga sebagai seorang ketua. Saat itu saya belum terlalu lama mengenalnya, dan mencoba menggali pola pikir dan pendapatnya tentang berbagai hal, yang memang telah menjadi kebiasaan saya. Kami sedang membicarakan tentang permasalahan organisasi, dan kemudian saya berkata,

“Menurut saya, Pak, untuk meningkatkan kinerja anggota perlu sekali diadakan pelatihan atau pembekalan. Karena banyak orang yang bergerak tanpa pemahaman, dan itu butuh waktu untuk melatih mereka dengan memberikan pelatihan atau semacamnya. Sepertinya agak jarang diadakan, ya?”
Tanpa saya duga, ia menjawab dengan ketus, padahal sebelumnya pembicaraan itu berlangsung santai dan hangat.

“Ah, itu nggak perlu! Buang-buang waktu dan tenaga saja. Yang penting itu prakteknya. Kalau teori mereka semua sudah hafal. Praktek itu bisa langsung memberikan hasil.”

Saya terdiam. Dan mulai sedikit mencerna bagaimana sifat orang yang sedang saya ajak bicara. Saat itu saya belum menyimpulkan apa-apa, tetapi di dalam hati saya tetap tak setuju. Praktek untuk hasil maksimal akan terjadi bila seseorang memiliki pemahaman utuh tentang apa yang akan ia lakukan. Manusia kan bukan kambing yang bisa diikat pakai tali lalu diseret ke mana pun majikannya mau.

Di kesempatan lain, saya terlibat dalam sebuah diskusi untuk memutuskan sebuah perkara penting. Saya sudah siap dengan segala argumentasi dan usulan, begitu juga dengan beberapa teman lain yang hadir, dan kami bersemangat untuk mempelajari banyak hal dari kesempatan yang jarang itu. Acara dimulai, pemimpin diskusi menjelaskan, bahwa kami akan memilih beberapa orang untuk menjadi perwakilan organisasi dalam sebuah acara besar yang akan diikuti. Di benak saya terbayang berbagai mekanisme yang pernah saya lakukan di kampus dulu. Bermusyawarah untuk menentukan nama-nama, menentukan kriteria calon yang akan dipilih, atau yang lebih bagus lagi yaitu melakukan fit and proper test supaya perwakilan yang akan kami pilih tersebut benar-benar mumpuni dan bisa menjadi delegasi yang baik nantinya.

Ketika usulan itu diajukan, saya cukup senang karena ada dua atau tiga orang selain saya yang juga mengusulkan dan melengkapi usulan tersebut. Saya mulai merasakan semangat yang sama ketika dulu beraktivitas di kampus, dan hal ini memang saya rindukan sejak lama. Tetapi, seketika perasaan itu berubah drastis ketika saya mendapati sebagian dari peserta diskusi (termasuk pemimpin forum) tertawa lepas. Seolah menertawakan usulan yang baru kami sampaikan. Saya kebingungan, menoleh ke sana ke mari. Apa ada yang salah? Saya melewatkan sesuatu yang lucu? Ada apa ini?

Kemudian pemimpin forum dan satu orang lagi menjelaskan bahwa sudah terpilih nama-nama yang akan mewakili, dan malam itu kami hanya perlu memutuskan yang mana yang disetujui dengan cara voting supaya cepat. Atau jika ada usulan tambahan langsung saja dimasukkan, sebab hasilnya sedang ditunggu malam itu juga. Saya langsung lemas. Dan malas melirik ke kanan dan kiri lagi. Jadi, apa maksudnya ini? Tetapi saya tetap berusaha mengikuti diskusi dengan konsentrasi. Mungkin karena saya baru saja datang, saya jadi kurang memahami sesungguhnya apa yang sudah mereka diskusikan sebelumnya.

Lantas, ketika tiba waktu pemungutan suara, peserta diskusi laki-laki sibuk sendiri melontarkan nama ini dan itu, lalu tertawa sesekali, dan langsung menulis-nulis hasil usulan di papan tulis. Saya mendesak teman saya untuk mengacungkan jari dan meminta penjelasan kenapa peserta perempuan tidak diikutsertakan. Bukankah di antara delegasi tersebut diharuskan ada perwakilan perempuan? Saya bertambah bingung dengan arah forum tersebut. Si pemimpin diskusi yang ditanya hanya tersenyum sedikit tertawa menanggapi, dan salah satu peserta laki-laki berujar nyaring, “Ibu-ibu nggak usah ikut, biar bapak-bapak aja.”

Saya tidak kuat. Lalu memandangi teman di sebelah saya, meminta penjelasan. Ia tersenyum getir, dan mengusap-usap punggung saya. Saya mengerti, bahwa kondisi seperti ini rupanya telah terjadi sejak dulu dan sulit sekali diubah. Saya mengerti, sepertinya teman saya itu tak sanggup menjadi pengubahnya karena entah apa. Saya permisi keluar ruangan, dan menangis di depan kran air. Saya tak peduli ketika kedua mata saya terlihat jelas merah habis menangis oleh seluruh peserta diskusi. Malam itu emosi saya tidak terkontrol. Titik lemah saya tercapai.

Semakin lama saya berinteraksi dengan si bapak yang malam itu saya ajak diskusi (yang juga memimpin forum diskusi), saya makin mengenali sifatnya yang keras seperti batu. Begitulah saya menyebutnya. Ia sulit sekali menerima pendapat orang lain, dan selalu memajukan pikirannya sendiri. Sebagian orang terbawa oleh gaya kepemimpinannya itu. Dan sudah berlangsung sekian tahun kondisi memprihatinkan ini. Saya lantas terpikir berbagai strategi dan cara untuk mengubah keadaan, menjadi pendobrak, dan segala macam yang sifatnya heroik. Tampaknya beberapa teman pun mengharapkan sikap itu muncul dari saya dan beberapa orang yang sependapat. Tapi, sekali lagi, perubahan tak akan terjadi apabila si manusia tak mau berubah. Dan hanya Allah lah yang kuasa untuk membolak-balikkan hati manusia.

Semoga semangat untuk memperbaiki keadaan tak surut dari diri saya, dan semoga niatnya tetap lurus hanyalah untuk beramal soleh memperbaiki umat. Jikalau memang kelemahan diri ini tak sanggup melakukan hal-hal heroik itu, maka saya tak akan berhenti menjadi ‘air’. Yang dengan perlahan tetapi pasti menetesi sebongkah batu untuk memecahkannya. Jika tak sekarang perubahan itu terjadi, maka kelak, dengan izin-Nya, akan tercapai. Jika bukan saya yang menikmati perubahan kondisi ke arah yang lebih baik, maka generasi selanjutnya akan mendapatkan buahnya.