Halaman

Saturday, April 25, 2009

Sebuah Profesi atau Bukan, Tetaplah Mulia

Saya seringkali mendapati pendapat-pendapat miring tentang profesi ‘ibu rumah tangga’. Bagaimanapun sepertinya banyak orang yang berpendapat bahwa menjadi seorang ibu rumah tangga bukanlah sebuah pekerjaan, melainkan sebuah pilihan terpaksa yang harus diambil oleh seorang perempuan ketika ia ‘terjebak’ dalam aktivitas rumah tangga, tidak memiliki profesi lain, dilarang bekerja oleh keluarga atau oleh suami, dan seterusnya. Sehingga muncul stigma negatif tentangnya.

Terus terang, dulu saya menjadi bagian dari orang-orang yang memiliki pendapat negatif tersebut. Tepatnya, sekadar ikut-ikutan tanpa pernah mendalami maknanya. Saya hanya beranggapan, bahwa menjadi seorang ibu rumah tangga artinya berdiam diri di rumah hanya mengurusi hal-hal yang itu-itu saja, dan seterusnya. Kadang, kita memang sering terlarut dengan apa yang dipikirkan oleh orang lain. Namun setelah menjalaninya, pikiran saya berubah.

Seorang teman kuliah saya pernah menuliskan dalam sebuah situs pribadi bahwa profesi yang ia geluti sekarang adalah: a housewife. Seorang ibu rumah tangga. Awalnya saya hanya mengerenyit membacanya, sebab pada saat itu saya belum menikah dan sedang asyik-asyiknya menjalani pekerjaan saya. Seorang teman saya yang lain, ia seorang penulis, meyakinkan saya dengan ceritanya tentang kesehariannya yang mengurusi kelima orang anaknya dan dalam kondisi seperti itu ia produktif menerbitkan buku. Di tempat tinggal saya sekarang, ada seorang janda yang memiliki lima orang anak, ia tidak bekerja pada sebuah perusahaan manapun, tetapi memiliki keterampilan memasak yang akhirnya menjadi salah satu peluang mendapatkan rezeki, dan sekarang ia malah sedang menekuni kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta.

Dan kemudian saya merenungkan jalan hidup yang dilakoni ibu saya tercinta. Seseorang yang mungkin bisa dikatakan merelakan banyak hal pergi dari dirinya demi keluarganya. Begitu banyak yang ia korbankan. Seseorang yang sangat supel, gigih dalam meraih sesuatu, luwes, punya banyak ide kreatif, terampil dalam berbagai hal. Ibu saya sejak dulu bisa dibilang selalu sukses menjual segala macam hal, baik itu buatan sendiri maupun tidak. Semua orang mengenalnya sebagai seseorang yang luwes dalam berdagang, dan kenyataannya, keterampilannya tersebut memberinya kemampuan untuk menghidupi dirinya sendiri, menyekolahkan saya dan adik saya, dan ia mampu bertahan dalam situasi sesulit apapun. Mengagumkan, bukan?

Ketika akhirnya saya menikah, saya sedang berada dalam keasyikan menekuni pekerjaan yang sangat saya sukai di sebuah perusahaan. Waktu berlalu, dan pikiran untuk memiliki anak mulai sering menghampiri saya dan suami tentunya. Kebetulan saya termasuk seseorang yang selalu memikirkan segala sesuatu dengan detail, merencanakannya, baru memutuskannya. Dan saya waktu itu mulai berpikir serius, apakah ketika saya nantinya memiliki anak akan terus bekerja atau tidak? Apakah saya akan membayar seorang babysitter untuk mengurus anak-anak saya di rumah dan saya tetap bekerja? Bagaimana dengan rencana saya untuk mengurus anak-anak saya sendiri? Dan, memiliki seorang pembantu rumah tangga, benarkah itu yang saya inginkan?

Akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan saya, dan mengejar mimpi saya untuk menjadi seorang penulis. Bercermin pada beberapa orang teman penulis yang menjadikan ‘menulis’ sebagai profesi, kemudian bahkan bisa menghidupi diri sendiri serta keluarga dari profesi tersebut, saya mulai merajut mimpi itu dan menjadikannya kenyataan. Tentu keputusan ini bukan tanpa pemikiran terlebih dulu. Tentu saya pun mengukur kemampuan diri dan suami untuk memutuskan hal ini. Suami sangat mendukung, dan ternyata Allah SWT memang memberikan jalan ini sebagai salah satu pintu rezeki bagi saya.

Dan inilah saya, dengan profesi baru saya sebagai ibu rumah tangga yang bisa menulis.
Dua tahun ini, saya banyak merenungkan hal ini, dan kemudian berkembanglah pikiran-pikiran positif tentang profesi sebagai ibu rumah tangga. Toh, memutuskan untuk berada di rumah dan sepenuhnya mengurus rumah tangga bukan berarti menjadi halangan bagi kreativitas diri untuk berkembang. Apalagi jika kita bisa mensiasati waktu untuk bisa menggali potensi diri, mengembangkannya, dan bahkan akhirnya mencari penghasilan sendiri dari rumah. Seorang ibu rumah tangga yang pandai berdagang, seorang ibu rumah tangga yang punya bisnis sendiri di rumah, seorang ibu rumah tangga yang pandai menulis, seorang ibu rumah tangga yang pandai berkebun dan akhirnya melakukan sesuatu dengan keterampilan itu, dan seterusnya. Bukankah banyak sekali hal yang bisa kita lakukan dari rumah?

Pikiran-pikiran tersebut akhirnya menjadikan saya lebih bersemangat menjalani hari-hari bersama keluarga kecil saya. Kepercayaan diri saya meningkat, dan bahkan saya makin produktif menulis. Kegembiraan ini sedapat mungkin saya tularkan pada mereka yang sering mengeluhkan hal serupa pada saya. Yang merasa tak bisa berbuat apa-apa atau kadang jenuh beraktivitas rutin di rumah. Pengalaman saya berumah tangga memang baru seumur jagung, tetapi semangat yang saya punya, boleh lah ditularkan kepada yang lain.

Ketika saya kemudian menghadapi beberapa anggota pengajian yang saya tangani yang berprofesi sebagai karyawati perusahaan, saya menjadikannya bahan tambahan bagi perenungan saya.

Beberapa orang menginspirasi saya, dan beberapa yang lain membuat saya merenung lebih dalam. Seseorang di antara mereka memiliki tiga orang anak, dua di antaranya sudah bersekolah. Ia kadang mengantar jemput sendiri anak-anaknya, memasak sendiri makanan di rumah, dan teratur menelpon ke rumah untuk mengontrol kondisi anak-anak dengan pembantu rumah tangga yang menjaganya, ketika pulang ia tekun mendampingi anak-anaknya belajar.

Bagi saya, seseorang seperti yang saya contohkan di atas adalah seorang perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan kebetulan bekerja pada sebuah perusahaan. Ia tidak mengkonsentrasikan diri untuk bekerja saja, tetapi bisa dikatakan melakukan keduanya dengan sama baiknya. Memang ada lebih kurangnya, tetapi tetaplah ia melakukan kebaikan dengan menjalaninya dengan ikhlas dan penuh senang hati.

Rumit sekali jika harus mendebat ini-itu tentang hal ini. Saya hanya tak ingin kita terjebak pada profesi A atau B yang lebih mulia dan ‘bergengsi’, lalu akhirnya mengecilkan yang lainnya. Sepertinya melakukan hal-hal tersebut malah akan mengurangi keikhlasan dari yang sedang mengamalkannya.

Menjadi seorang ibu rumah tangga saja, atau yang didampingi dengan profesi lainnya, tetaplah ia sebuah pekerjaan yang mulia. Dan bagi yang mengerjakannya dengan ikhlas sepenuh hati, baginya ganjaran kebaikan yang telah dijanjikan Allah SWT. Subhanallah …

Dakwah dan Sebuah Proses Belajar

Semenjak saya berkecimpung dalam dakwah, saya telah diajarkan bahwa siapapun yang melakukan dan apapun caranya (asalkan tidak melanggar perintah Allah Swt dan Sunnah Rasulullah SAW) maka tujuan yang sama yaitu berdakwah kepada Islam tidaklah boleh menjadi awal pertentangan. Toh, tujuan kita sama: berdakwah kepada Islam dengan tujuan lillahi ta'ala. Dan apapun sarananya, akan tetap menjadi sebuah sarana saja, tidak boleh berubah menjadi tujuan utama. Sebab jika berubah, maka itu akan mengubah niat lurus tulus ikhlas menjadi melenceng. Bukankah sebuah amal yang tidak didasari niat yang ikhlas maka amal itu tidak diterima?

Dan kemudian saya merenungkan perjalanan dakwah yang telah semenjak tahun 1994 saya tekuni. Saya telah bersama-sama dengan orang-orang yang sabar, yang rajin mengkaji Islam serta memacu saya untuk meningkatkan ibadah harian, yang mengajarkan saya cara menyampaikan kebaikan pada orang lain dengan simpatik, dan juga memahamkan pada saya bahwa walaupun sekian banyak orang menentang dakwah namun langkah tak boleh berhenti. Sebab proses perjalanan dakwah itu sendiri lah yang terpenting; bagaimana kita berinteraksi, bagaimana perlahan pemahaman mulai terbentuk, bagaimana belajar berkorban untuk kepentingan orang lain, dan bagaimana menang dan kalah harus dihadapi. Jawabannya tetap sama: jika konsisten, maka apapun hasilnya akan selalu terasa membanggakan. Bukankah kita semua adalah para pembelajar? Dan orang-orang yang belajar harus terbiasa dengan kegagalan serta keberhasilan.

Bagaimana dengan hasil maksimal yang selalu menjadi target sebuah tindakan, dan harapan tinggi dari sebuah upaya? Tentu saja hal tersebut patut diperhitungkan. Sebab dari mencanangkan sebuah target, semangat dan kerja keras akan termunculkan. Seseorang yang memiliki impian tinggi dan kemauan untuk mewujudkannya, suatu saat akan mengubah mimpinya menjadi sebuah kenyataan. Dan saat itu ia akan menikmati sebuah hasil membanggakan dari upayanya selama ini. Tetapi memang waktu dimana impian itu terwujud tidak pernah bisa diatur oleh si pelaku. Sebab manusia memang hanya bisa berusaha, dan selebihnya akan berlaku ketentuan Sang Maha Kuasa. Bila memang terwujudnya sebuah mimpi merupakan kebaikan baginya, maka Allah SWT akan mengabulkan, namun bila ternyata itu bukanlah sebuah kebaikan, bisa jadi Allah SWT tidak memberikannya atau menundanya hingga saat yang tepat. Wallahu A’lam. Hidup memang misteri, sebab itulah kita semua hanya bisa berusaha dan terus berusaha. Siapa tahu, impian tersebut akan terwujud ketika kelak anak dan cucu kita yang menjadi pelakunya. Hingga kita sendiri tak bisa menikmati, namun bukankah dengan tetap berusaha dengan ikhlas berarti kita sedang merajut investasi untuk generasi mendatang? Berarti tidak ada satu pun usaha manusia di dunia yang sia-sia.

Ketika saya berpindah-pindah tempat tinggal, tentunya lebih beragam lagi orang yang saya temui. Berbagai karakter pribadi, berbagai pemahaman. Pengetahuan seseorang memang sepertinya tidak bisa diukur dengan umur. Artinya, seseorang yang berusia 40 tahun misalnya, bukan berarti lebih paham dan lebih banyak pengetahuannya daripada seseorang yang berusia 20 tahun. Dan sebaliknya, seseorang yang berusia 20 tahun memang belum tentu lebih berpengalaman daripada seseorang yang berusia 40 tahun. Bagaimanapun, setiap orang telah menjalani kehidupannya masing-masing, dan itu akan menjadi penentu bagi lebih dan kurangnya pemahaman seseorang akan sesuatu.

Demikian juga dengan sikap berbeda yang ditunjukkan masing-masing orang terhadap kemenangan maupun kekalahan. Seperti yang dipaparkan di atas. Karakter pribadi, kekuatan iman, dan pemahaman akan hidup akan menjadikan reaksi itu berbeda-beda. Kadang, ketidaksiapan menghadapi sebuah kemenangan akan membuat sikap seseorang menjadi konyol di hadapan orang lain. Dan juga sebaliknya, ketidaksiapan seseorang dalam menghadapi kekalahan akan membuat orang tersebut terlihat betul sebagai seorang pecundang. Padahal tidak perlu seperti itu, sebab kita semua adalah pembelajar. Dan pembelajar sejati tak pernah berlebihan dalam menanggapi kemenangan dan kekalahan yang mesti ada dalam kehidupan. Tapi, ya memang, manusia tetaplah seorang manusia. Ia selamanya tidak pernah menjadi malaikat. Jadi, tak perlu risau dengan ketidaksempurnaan itu.

Di balik keberhasilan dan kegagalan selalu ada pelajaran besar bagi kelanjutan hidup ini. Bukankah dakwah tidak akan pernah berhenti selama masih ada orang-orang yang perlu didakwahi? Dan bukankah inti darinya adalah proses belajar? Dan proses belajar yang selama ini dijalani tidak boleh berkurang atau bahkan berhenti hanya karena kita semua sedang sibuk bertarung. Seperti juga Rasulullah dan para sahabat dulu, yang tidak pernah melupakan aktivitas peningkatan ruhiyah ketika pun sedang perang. Jadi, ketika Allah belum menakdirkan kemenangan itu hadir, berarti ada satu dua pelajaran yang perlu kita pahami. Mungkin kesibukan bekerja menjadikan kita lupa akan esensi dari dakwah yang dilakukan? Yaitu belajar dan mengajarkan.

Mari, kembali kepada orisinalitas dakwah ini. Mari beningkan hati kembali.

Wallahu A’lam.

Sebab Cinta Selalu Ada

Tak mengapa bila rindu tak berlabuh,
Sebab cinta selalu ada.
Di antara kepingan duka dan luka yang menganga
Harap yang tersisa hanyalah untuk-Nya.

Di antara sekian perjuangan hidup manusia, salah satunya adalah perjuangan dalam mendapatkan cinta. Entah mengapa, persoalan yang satu ini hampir selalu dihubungkan dengan jiwa melankolis tak tertahankan dari diri manusia. Padahal tak semestinya selalu begitu. Bagi mereka yang bergelimang bahagia, mungkin persoalan ini tak berarti apa-apa. Tapi bagaimana dengan mereka yang tak bisa mencicipi kehidupan yang lega? Apakah tak patut mereka mempertanyakan cinta?

Cobalah diingat, adakah satu dua peristiwa yang masih terekam dalam memori kita yang menyiratkan pendaman rindu akan sebuah cinta? Misalnya sebuah kenangan indah saat dulu remaja, atau kerinduan akan keluarga yang kini terpisah jarak, sebuah mimpi yang hingga hari ini tak kunjung tiba di dunia nyata, atau mungkin kedamaian hati yang dulu pernah dirasa tetapi kini menghilang entah ke mana. Memang, kedengarannya begitu menyedihkan. Tetapi sepertinya kita harus sepenuhnya sadar, bahwa tidak setiap orang hidup bahagia. Apabila kita menjadi salah satunya, mungkin kita baru mengakui. Tapi manusia memang selalu menjadi manusia dengan segala kelalaiannya. Saat bahagia ia selalu terlupa akan segala derita yang dulu dilewati, namun ketika masa susah tiba ia tak bisa membendung penyesalan dan terus menyesali. Bukankah seharusnya kita tetap bersyukur, dengan kondisi apapun yang sedang kita alami? Karena sepertinya, masih terlalu banyak orang di luar sana yang sanggup menelan segala penderitaannya.

Kadang-kadang, ketidakbahagiaan memang bisa menghanyutkan. Entah itu dalam keputusasaan, atau kemarahan, mungkin juga dalam kesedihan mendalam yang tidak ada akhirnya, atau apalagi? Ketidakbahagiaan memang selalu menjadi hal yang tidak diinginkan oleh setiap orang. Sayangnya, hal itu telah menjadi teman akrab dari yang namanya kehidupan. Tak mungkin hidup ini berjalan lurus dan mulus terus menerus. Tak mungkin seorang manusia tak mengalami musibah dan ujian dalam detik-detik hidupnya. Tak mungkin bila kita berharap untuk tak pernah sekalipun merasakan derita. Sebab ketidakbahagiaan membuat diri kita bangkit untuk mencarinya. Sebab musibah dan ujian adalah rahmat apabila kita mau mensyukuri dan mengambil hikmahnya. Sebab derita adalah awal dari bahagia. Sebab di setiap kesulitan tersimpan kemudahan untuk melewatinya.

Saya hanya ingin kita semua memunculkan harap walau hanya secercah. Sebab selama roda kehidupan masih berputar, pencarian akan sekeping cinta selalu akan menumbuhkan gairah yang indah dalam hati kita. Walaupun begitu berat cobaan yang sedang menimpa. Walaupun kita berpikir tak ada lagi yang menjadi tumpuan. Tetapi percayalah, pikiran itu salah. Sebab cinta selalu ada.

Pendar Kasih Ibu

Ketika senyummu pudar,
Sewaktu kedua matamu tak lagi berbinar,
Saat gundah menghilangkan tempat bersandar,
Maka seorang ibu akan merengkuhmu,
Dengan sejuta kasihnya yang kian berpendar.

Menjadi seorang ibu adalah sejuta harap yang terpenuhi bagi diri seorang perempuan. Menjadi seorang istri dari lelaki yang dicintai bagaikan memenuhi keinginan hati untuk menjadi seorang kekasih sekaligus permaisuri. Tak lengkap, apabila keduanya tak diraih. Tak sempurna, apabila waktu yang tersisa menghadiahkan kesendirian.

Dari sekian juta perempuan yang ada, tak pernah ada cerita yang sama yang dijalani. Kadang, ketika derita sedang ditanggung, kita sering merasa menjadi seseorang yang nasibnya paling malang sedunia. Tanpa mau menoleh bahwa masih banyak orang lain yang mungkin sedang menanggung beban yang lebih berat. Kadang tak berpikir bahwa mensyukuri yang sedang dijalani adalah pilihan sikap yang senantiasa melegakan.

Seorang ibu, bagaimanapun, adalah kedamaian bagi keluarganya. Banyak hal indah yang diucapkan, dituliskan, didendangkan, mengenai seorang ibu. Namun yang terjadi di dunia nyata seringkali berkebalikan. Satu kata yang kerap kali membuat bulu kuduk berdiri dan hal terburuk yang mungkin terjadi pada seorang perempuan yang dizalimi: kekerasan. Satu hal yang sepertinya kian hari kian menjadi teman akrab telinga dan mata kita semua.

Sedikit saja pengaruh buruk dari kejadian-kejadian menyedihkan yang menimpa seorang perempuan dengan berbagai statusnya (istri, ibu, calon istri, calon ibu, dan sebagainya) adalah ketakutan dan keputusasaan akan ‘profesi mulia’ diri sebagai seorang pendamping hidup laki-laki sekaligus ibu bagi anak-anaknya.

Disamping itu, banyak pula perempuan yang menjalani proses menuju kebahagiaan dengan jalan yang tak semulus yang dialami perempuan lainnya. Sebagian mungkin terasa lucu bila diingat kembali, sebagian lagi menyisakan derita yang menyayat memori, atau meninggalkan luka yang menggores tak terperi. Yang kadang akan menumbuhkan satu ketakutan menjadi ketakutan lainnya. Dan bila kebahagiaan itu akhirnya datang, seperti goresan gambar di atas pasir yang luruh akibat sapuan ombak. Yang teringat adalah bahagia.

Saya mungkin tak pandai menganalisa setiap peristiwa. Pun tak banyak hal yang telah saya ketahui untuk dibagikan pada semua. Yang saya tahu, hidup memang tak hanya berisikan kebahagiaan saja. Namun tetap saja, setiap orang pantas untuk bahagia. Dan kebahagiaan yang akan menjadi pelengkap pada diri seorang perempuan adalah menjadi seorang ibu.

Saya pikir, ketika saya telah dewasa dan mencari penghasilan sendiri, saya telah puas menjadi seorang anak. Ingin ‘pergi’ jauh dari orang tua. Tetapi rasanya pikiran itu salah. Dan ketika saya telah menikah, pikiran itu muncul lagi. Demikian pula ketika Allah telah mengaruniakan seorang anak. Saya pikir saya akan ‘berhenti bersikap sebagai seorang anak’. Tidak lagi manja, tidak lagi membutuhkan rengkuhan ibu, dan sebagainya. Tapi nyatanya saya makin yakin bahwa pikiran itu salah.

Justru ketika saya telah menjadi seorang ibu, saya makin membutuhkan sosok ibu saya. Dan saya makin menghargai dan lebih lagi mencintai ibu saya. Bagaimanapun saya mulai merasakan hal-hal yang pastinya dulu pernah ia rasakan. Letihnya, gundahnya, cemasnya, bahagianya ... semua hal yang dirasakan oleh semua ibu untuk keluarganya tercinta. Dan kini hari-hari saya banyak terisi oleh renungan, betapa ibu begitu berharga bagi diri saya. Terlebih untuk semua pengorbanan yang rasanya tak pernah sanggup saya balas.

Dan perjalanan kehidupan setiap perempuan memang tak sama. Saya benar-benar bersyukur telah diberi kesempatan untuk merasakan semuanya kini. Menjadi seorang anak, seorang istri, dan seorang ibu. Kebahagiaan apalagi yang saya cari?

Biarkan jadi Berbeda

Setiap diri kita punya keunikan masing-masing. Dan rasanya tidak ada seorang pun yang ingin dirinya dibanding-bandingkan dengan orang lain. Menjadi diri sendiri, dengan menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada, mungkin akan lebih sulit dibandingkan melihat apa yang ada pada orang lain kemudian memujinya, atau bahkan melecehkannya.

Menjadi diri sendiri dan memiliki rasa percaya diri untuk itu, entah kenapa menjadi suatu hal yang membutuhkan perjuangan keras untuk mencapainya. Sebab kini sudah begitu banyak orangyang merasa “senang” menjadi orang lain. Menjadi seseorang yang bukan dirinya yang asli. Supaya juga dipandang hebat oleh orang lain yang melihat, supaya mendapatkan sebuah penghormatan yang sama, tidak bisa menerima perbedaan yang ada. Berusaha terlihat bagus di hadapan orang lain, sama saja menipu. Tidak percaya dengan diri sendiri, dan tidak menghargai keunikan yang diri kita punya. Bukankah akhlak yang baik itu muncul tanpa direkayasa?

Saya teringat sebuah percakapan ringan antara saya dan teman baik saya. Waktu itu ia mengeluhkan beberapa hal yang sepertinya sama dengan apa yang ada di pikiran saya. Kemudian saya berkomentar: “Entah kenapa, akhir-akhir ini orang-orang yang saya kenal berubah jadi aneh.” Dan ia menanggapi dengan sebuah tulisan yang isinya mengatakan bahwa berbeda itu unik, dan unik itu seni.
Saya tersenyum membacanya. Menarik sekali kesimpulan yang diberikan teman saya itu. Kalau setiap orang berbeda, maka setiap orang itu unik, dan setiap orang berarti memiliki nilai seni tersendiri. Sepertinya saya setuju dengan kalimat tersebut. Dengan begitu, kita akan belajar menghargai setiap perilaku yang berbeda yang ditampakkan oleh orang lain. Tidak malah menghujatnya dengan penilaian macam-macam, walaupun apa yang mereka lakukan itu tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Memang, untuk apa berharap macam-macam pada seorang manusia yang tidak kuasa memberikan apapun untuk kita? Bukankah Yang Maha Pemberi itu adalah Allah?

Seperti halnya ketika kita sedang terlibat dalam sebuah forum musyawarah. Dari sekian kepala yang hadir, sangat mungkin masing-masing membawa pikiran yang berlainan. Karena memang setiap individu berasal dari lingkungan dan pemahaman yang berbeda satu sama lain. Jadi, tak mungkin dipaksakan sama. Jikalau ada yang memaksakan untuk sama, rasanya sungguh egois dan otoriter sekali. Yang bisa dilakukan adalah saling berargumentasi, mengutarakan alasan-alasan yang logis, kemudian mencari jalan keluar atau solusi yang terbaik dari semua pendapat yang ada. Merangkul yang bawah dulu, baru kemudian memutuskan. Itu kan lebih baik.

Memang setiap manusia pasti berbeda. Siapapun dia, bagaimanapun kedudukannya, berapapun banyak hartanya, ia akan menjadi berarti di hadapan Allah jika perbedaan itu membawanya kepada keimanan yang tinggi. Bukankah Allah hanya menilai ketakwaan seseorang?

Maka sebaiknya kita tak repot-repot mencari-cari kesalahan orang lain karena merasa ia berbeda dengan diri kita. Cukuplah di akhirat kelak Allah Yang Maha Kuasa yang menilainya.

Perubahan itu Pasti

Saya mengenal seseorang yang menurut saya sedang mengalami trauma terhadap beberapa hal dalam hidupnya. Ia kemudian jadi takut untuk memutuskan sesuatu, selalu gundah berkepanjangan, dan sulit untuk melangkahkan kakinya untuk beralih ke fase yang lebih maju dalam karirnya maupun kehidupan pribadinya. Dan saya mengamati bahwa sekian orang yang sudah menyemangatinya tak digubris atau bahkan ditanggapi dengan hanya tertawa saja.

Rasanya hampir setiap orang pernah mengalami semacam trauma, baik kecil maupun besar. Sebab perjalanan hidup manusia tidak selalu berjalan di jalanan yang mulus tanpa hambatan. Sungguh penting merasakan ujian-ujian yang Allah berikan, sebab itu adalah sarana untuk belajar dan memperbaiki diri. Jika lulus, maka bersyukurlah. Jika gagal, maka selalu ada kesempatan untuk mencobanya lagi, jika diri kita bersedia. Masalahnya, tidak setiap orang siap untuk mengalami kegagalan.

Contohnya adalah tentang pernikahan. Seseorang yang berasal dari keluarga yang kurang harmonis akan cenderung merasa takut untuk menjalani sebuah pernikahan. Takut gagal, seperti orang tua atau saudaranya yang lain yang mengalami kegagalan dalam pernikahan. Takut untuk merasakan sakit sebab sakit tidak pernah terasa enak. Untuk apa menambah rasa tak enak dalam hidup, mungkin begitu pikirnya.

Tetapi bukankah takdir setiap manusia itu berbeda-beda? Dan usaha keras serta panjatan doa akan menentukan arahnya? Dan Allah sungguh yang Maha Tahu yang paling tepat bagi hamba-hamba-Nya? Merasakan sakit berkali-kali atau gagal berkali-kali belum tentu akan membawa ujung yang tak enak pula? Selalu ada harapan untuk bisa mendapatkan yang baik, yang lebih baik, yang terbaik. Tetapi memang, tidak setiap orang pula siap untuk bersusah-payah menjalani aral melintang dalam kehidupannya.

Kadang saya sulit untuk menerima sebuah perubahan dalam hidup saya sendiri. Dulu, saya termasuk yang paling takut untuk menghadapi sesuatu tanpa persiapan matang terlebih dulu. Saya sebenarnya tidak terlalu suka kejutan, sebab kejutan itu bisa membahagiakan atau menyedihkan. Dan saya terbiasa mengenang masa lalu dengan penuh penghayatan, bahkan mengharapkan masa lalu itu terus hadir hingga sekarang. Sehingga tidak ada yang berubah, semua tetap menyenangkan.

Tentu saja hal tersebut tidak akan terjadi. Perubahan selalu akan ada, dan masa depan adalah misteri. Jika kita bisa berpikir positif, bukankah ‘misteri’ tersebut akan membantu kita untuk bersikap lebih kreatif dalam berusaha sehingga hasil yang diterima lebih optimal, dan akan menjadikan diri kita ‘siap tempur’ kapan saja. Sebab rintangan yang ringan ataupun berat sudah pasti ada dalam jalan hidup manusia. Menyadari bahwa ‘perubahan’ adalah sebuah ‘kewajaran’ tentunya akan menjadikan diri kita lebih dewasa dalam menyikapi sesuatu, tidak melulu menanggapinya dengan emosi semata.

Teman saya yang sangat saya sayangi itu hingga kini tampaknya masih terkukung dalam ketakutannya. Saya turut prihatin, namun selalu mendoakannya supaya bisa membuka mata lebih lebar dan meniupkan keberanian pada dirinya supaya mengambil kesempatan yang ada di hadapan mata. Sebab kesempatan tidak selalu mampir setiap hari. Dan dalam kesempatan yang mampir, tidak harus berakhir suka, bisa saja duka tetapi itulah hidup.

Jika saat ini kita sedang mengalami masa-masa sulit dan membekaskan trauma baru dalam diri, maka yakinlah bahwa suatu saat nanti keadaan itu akan berbalik, berubah menjadi lebih baik. Keyakinan adalah sesuatu yang tidak boleh hilang. Keyakinan bahwa Yang Maha Kuasa akan memberikan hamba-hamba-Nya perubahan untuk yang lebih baik jika kita sendiri tekun berusaha dan berdoa. Yakin saja. Sebab perubahan itu sebuah kepastian.

Tutup Mulut, Buka Telinga

Bagian penting dalam sebuah masyarakat adalah adanya keteraturan. Dan untuk mencapai sebuah keteraturan pastinya perlu kesepakatan yang dicapai dengan jalan terbaik yaitu: musyawarah. Saya meyakini benar hal itu, dan memang seperti itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dalam lingkup masyarakat terkecil saja kita diajarkan untuk bermusyawarah. Misalkan dalam hal merencanakan pendidikan bagi anak, orang tua pastinya bermusyawarah terlebih dulu untuk memutuskan akan menjalankan pola pendidikan seperti apa di rumah, akan menyekolahkan anak di mana, dan sebagainya. Dalam lingkungan kerja, sudah pasti sekian pertemuan penting dilakukan untuk menentukan langkah bisnis. Atau bila kita sedang berbelanja di pasar, tentunya proses tawar-menawar merupakan bagian dari musyawarah antara kita dengan pedagang untuk mencapai harga yang disepakati.

Jadi, sepertinya tidak ada satu bagianpun dalam kehidupan manusia yang luput dari hal ini. Menjalankannya memang merupakan sebuah keharusan, jika kita ingin mendapatkan solusi menang-menang atas segala permasalahan yang dihadapi.
Saya sendiri merasakan betul pentingnya musyawarah ketika saya menjalankan amanah di beberapa organisasi yang pernah saya ikuti. Membuka telinga lebar-lebar untuk mendengarkan. Dan menutup mulut rapat-rapat untuk kritik atau perintah yang mungkin belum tepat waktunya untuk dikeluarkan. Sulit. Sulit sekali. Tetapi teori tidak boleh berhenti sampai di dalam kepala dan mulut saja, menjalankannya adalah tantangan sekaligus juga keharusan.

Saya kemudian membayangkan, apabila sebuah forum harus memutuskan sebuah perkara penting kemudian mengeluarkan keputusan tanpa adanya musyawarah alias hanya omong-omong sambil lalu dan menetapkan begitu saja hasil akhirnya. Apa yang akan terjadi? Demikian pula dengan seorang pemimpin yang tak peduli dengan saran serta kritikan dari anak buahnya, sehingga misalnya dalam forum tersebut ia dengan kerasnya menekankan bahwa apa yang ia rencanakan maka itulah yang terbaik dan harus dilaksanakan. Berusaha tampak tegas, tetapi yang terjadi malah sikap keras. Seperti membangun tembok tinggi antara dirinya dan bawahannya. Bukankah sikap tersebut tak akan menimbulkan rasa cinta dan dukungan dari yang dipimpin? Bisalah kemudian dihitung waktu kehancuran dari organisasi tersebut. Sebab sikap diam dan penurut dari bawahan bisa jadi tercipta karena rasa tertekan dan ketidakrelaan yang tak tersampaikan. Menyedihkan.

Bermusyawarah berarti meminta kesediaan dari setiap anggota musyawarah untuk memberikan sumbangsih pikirannya, mendiskusikan mana yang baik dan mana yang beresiko, mencoba mencari jalan tengah dari sekian pendapat, dan yang terutama adalah bermusyawarah berarti menyediakan tempat serta kelapangan hati untuk mendengarkan pikiran orang lain. Sebab manusia selalu membutuhkan tempat untuk mencurahkan pikirannya. Sebab manusia selalu butuh untuk didengarkan pendapatnya.

Bukankah indah apabila setiap orang merasakan haknya terpenuhi dengan diberi kesempatan untuk berbicara lalu dihargai pendapatnya? Dan sungguh indah bila setiap orang mau menutup mulutnya rapat-rapat dahulu untuk membuka lebar kedua telinganya mendengarkan yang lain. Yang akan terjadi adalah kita semua akan lebih saling mengerti, dan kemudian mendapatkan berbagai sudut pandang yang akan memperkaya.
Ini sebuah hal yang sulit, namun bukan berarti tak mungkin dilakukan. Karena Allah dan Rasul-Nya telah memberikan ajaran bagi manusia terhadap hal yang memang dibutuhkannya.

Batu dan Air

Suatu malam, saya terlibat percakapan dengan seseorang. Ia punya jabatan lumayan di kantornya, pun juga sedang mengemban amanah di sebuah lembaga sebagai seorang ketua. Saat itu saya belum terlalu lama mengenalnya, dan mencoba menggali pola pikir dan pendapatnya tentang berbagai hal, yang memang telah menjadi kebiasaan saya. Kami sedang membicarakan tentang permasalahan organisasi, dan kemudian saya berkata,

“Menurut saya, Pak, untuk meningkatkan kinerja anggota perlu sekali diadakan pelatihan atau pembekalan. Karena banyak orang yang bergerak tanpa pemahaman, dan itu butuh waktu untuk melatih mereka dengan memberikan pelatihan atau semacamnya. Sepertinya agak jarang diadakan, ya?”
Tanpa saya duga, ia menjawab dengan ketus, padahal sebelumnya pembicaraan itu berlangsung santai dan hangat.

“Ah, itu nggak perlu! Buang-buang waktu dan tenaga saja. Yang penting itu prakteknya. Kalau teori mereka semua sudah hafal. Praktek itu bisa langsung memberikan hasil.”

Saya terdiam. Dan mulai sedikit mencerna bagaimana sifat orang yang sedang saya ajak bicara. Saat itu saya belum menyimpulkan apa-apa, tetapi di dalam hati saya tetap tak setuju. Praktek untuk hasil maksimal akan terjadi bila seseorang memiliki pemahaman utuh tentang apa yang akan ia lakukan. Manusia kan bukan kambing yang bisa diikat pakai tali lalu diseret ke mana pun majikannya mau.

Di kesempatan lain, saya terlibat dalam sebuah diskusi untuk memutuskan sebuah perkara penting. Saya sudah siap dengan segala argumentasi dan usulan, begitu juga dengan beberapa teman lain yang hadir, dan kami bersemangat untuk mempelajari banyak hal dari kesempatan yang jarang itu. Acara dimulai, pemimpin diskusi menjelaskan, bahwa kami akan memilih beberapa orang untuk menjadi perwakilan organisasi dalam sebuah acara besar yang akan diikuti. Di benak saya terbayang berbagai mekanisme yang pernah saya lakukan di kampus dulu. Bermusyawarah untuk menentukan nama-nama, menentukan kriteria calon yang akan dipilih, atau yang lebih bagus lagi yaitu melakukan fit and proper test supaya perwakilan yang akan kami pilih tersebut benar-benar mumpuni dan bisa menjadi delegasi yang baik nantinya.

Ketika usulan itu diajukan, saya cukup senang karena ada dua atau tiga orang selain saya yang juga mengusulkan dan melengkapi usulan tersebut. Saya mulai merasakan semangat yang sama ketika dulu beraktivitas di kampus, dan hal ini memang saya rindukan sejak lama. Tetapi, seketika perasaan itu berubah drastis ketika saya mendapati sebagian dari peserta diskusi (termasuk pemimpin forum) tertawa lepas. Seolah menertawakan usulan yang baru kami sampaikan. Saya kebingungan, menoleh ke sana ke mari. Apa ada yang salah? Saya melewatkan sesuatu yang lucu? Ada apa ini?

Kemudian pemimpin forum dan satu orang lagi menjelaskan bahwa sudah terpilih nama-nama yang akan mewakili, dan malam itu kami hanya perlu memutuskan yang mana yang disetujui dengan cara voting supaya cepat. Atau jika ada usulan tambahan langsung saja dimasukkan, sebab hasilnya sedang ditunggu malam itu juga. Saya langsung lemas. Dan malas melirik ke kanan dan kiri lagi. Jadi, apa maksudnya ini? Tetapi saya tetap berusaha mengikuti diskusi dengan konsentrasi. Mungkin karena saya baru saja datang, saya jadi kurang memahami sesungguhnya apa yang sudah mereka diskusikan sebelumnya.

Lantas, ketika tiba waktu pemungutan suara, peserta diskusi laki-laki sibuk sendiri melontarkan nama ini dan itu, lalu tertawa sesekali, dan langsung menulis-nulis hasil usulan di papan tulis. Saya mendesak teman saya untuk mengacungkan jari dan meminta penjelasan kenapa peserta perempuan tidak diikutsertakan. Bukankah di antara delegasi tersebut diharuskan ada perwakilan perempuan? Saya bertambah bingung dengan arah forum tersebut. Si pemimpin diskusi yang ditanya hanya tersenyum sedikit tertawa menanggapi, dan salah satu peserta laki-laki berujar nyaring, “Ibu-ibu nggak usah ikut, biar bapak-bapak aja.”

Saya tidak kuat. Lalu memandangi teman di sebelah saya, meminta penjelasan. Ia tersenyum getir, dan mengusap-usap punggung saya. Saya mengerti, bahwa kondisi seperti ini rupanya telah terjadi sejak dulu dan sulit sekali diubah. Saya mengerti, sepertinya teman saya itu tak sanggup menjadi pengubahnya karena entah apa. Saya permisi keluar ruangan, dan menangis di depan kran air. Saya tak peduli ketika kedua mata saya terlihat jelas merah habis menangis oleh seluruh peserta diskusi. Malam itu emosi saya tidak terkontrol. Titik lemah saya tercapai.

Semakin lama saya berinteraksi dengan si bapak yang malam itu saya ajak diskusi (yang juga memimpin forum diskusi), saya makin mengenali sifatnya yang keras seperti batu. Begitulah saya menyebutnya. Ia sulit sekali menerima pendapat orang lain, dan selalu memajukan pikirannya sendiri. Sebagian orang terbawa oleh gaya kepemimpinannya itu. Dan sudah berlangsung sekian tahun kondisi memprihatinkan ini. Saya lantas terpikir berbagai strategi dan cara untuk mengubah keadaan, menjadi pendobrak, dan segala macam yang sifatnya heroik. Tampaknya beberapa teman pun mengharapkan sikap itu muncul dari saya dan beberapa orang yang sependapat. Tapi, sekali lagi, perubahan tak akan terjadi apabila si manusia tak mau berubah. Dan hanya Allah lah yang kuasa untuk membolak-balikkan hati manusia.

Semoga semangat untuk memperbaiki keadaan tak surut dari diri saya, dan semoga niatnya tetap lurus hanyalah untuk beramal soleh memperbaiki umat. Jikalau memang kelemahan diri ini tak sanggup melakukan hal-hal heroik itu, maka saya tak akan berhenti menjadi ‘air’. Yang dengan perlahan tetapi pasti menetesi sebongkah batu untuk memecahkannya. Jika tak sekarang perubahan itu terjadi, maka kelak, dengan izin-Nya, akan tercapai. Jika bukan saya yang menikmati perubahan kondisi ke arah yang lebih baik, maka generasi selanjutnya akan mendapatkan buahnya.

Dengarkan Hatimu

Saya seringkali ditanya oleh ibu-ibu peserta pengajian yang saya asuh, mengenai bagaimana cara bersikap konsisten dalam ibadah dan menjaga keimanan agar tidak cepat naik-turun. Pertanyaan yang sepertinya sangat populer dan kerap kali kita pertanyaan pula pada diri sendiri. Dan hampir selalu pertanyaan itu saya jawab dengan: “Berada pada lingkungan yang kondusif untuk menjaga keimanan, berkumpul dengan orang-orang saleh, mendisiplinkan diri untuk senantiasa rutin mengerjakan amal ibadah harian, dan berdoa supaya Allah menetapkan keimanan dalam hati.” Teoritis. Tapi begitulah adanya.

Mengajarkan diri kita ataupun orang lain untuk disiplin mungkin memang awalnya harus dengan keras dan kesannya seperti sebuah pemaksaan. Tetapi tujuannya hanyalah untuk membiasakan diri ini melakukan kebaikan tersebut. Dan biarpun seribu orang memaksa kita untuk berubah menjadi lebih baik, apabila hati kita menolak dan tak siap untuk mengubah diri, maka hasilnya nihil. Seseorang bisa konsisten atau tidak, keimanannya terjaga atau tidak, semua tergantung daripada kemauan dan tekad kuat untuk melakukannya. Orang lain yang menceramahi dan mengajak hanyalah sebuah dorongan luar yang bisa saja diindahkan atau tidak oleh diri kita sendiri. Perubahan berawal dari diri kita sendiri. Dan niat untuk berbuat baik dan menjadi lebih baik munculnya dari hati.

Pernahkah Anda suatu saat merasakan diri sedang berada dalam kondisi ‘terjatuh’? Rasa malas betah sekali bercokol dalam diri, seperti tak ada motivasi untuk meraih kebaikan setiap hari, dan kedua telinga serasa tuli dari ajakan kebaikan yang mendatangi. Saya sungguh takut jika itu terjadi pada diri saya. Sebab sepertinya hal-hal itu bisa membawa saya pada kondisi ‘tak lagi mau mendengar, dan tak lagi mau peduli’ dengan kondisi keimanan diri ini. Jika didiamkan lebih lama, maka waktu akan melenakan kita, dan tak terasa kedua kaki akan melangkah lebih jauh lagi berbelok ke arah yang salah.

Tetapi masalahnya adalah tak setiap orang bisa merasakan dan menyadari kondisi khilaf dan lalai yang sedang terjadi pada dirinya sendiri. Malah mungkin orang lain yang lebih sering mengingatkannya. Padahal setiap hari kita disodori oleh berbagai pilihan kebaikan dan keburukan. Jika saja kita membiasakan diri untuk melakukan muhasabah atau introspeksi diri setiap hari, maka mungkin saja hati kita akan semakin terasah untuk cermat mengenali mana yang benar dan mana yang salah. Sebab sebuah hati yang dibiarkan mati tak dipergunakan untuk berperan sebagai penentu arah tubuh ini melangkah, ibaratnya sebilah pisau yang dibiarkan tergeletak di lemari dapur. Ia akan tumpul. Jika hati telah mati, maka apalagi yang bisa menuntun kita untuk berjalan ke arah yang benar?

Sebagian orang mungkin berpendapat, melakukan aktivitas muhasabah atau merenung bukanlah pekerjaan yang prestisius dan tak ada hasilnya, hanya akan membuat diri kita jadi cengeng dan membuang-buang waktu. Tetapi gerak kehidupan memang bukan hanya berputar pada hal-hal yang tampak di depan mata saja, tidak hanya melulu soal materi dan apa yang bisa digenggam oleh tangan. Apalah artinya sebuah amalan tanpa adanya niat ikhlas dalam mengerjakannya? Dan niat itu terdapat dalam hati. Maka, memperbarui selalu niat kita dalam beraktivitas, menjadikan setiap kegiatan sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT, serta menobatkan hati ini sebagai ‘panglima’, niscaya akan menggerakkan diri kita ke arah perbaikan dan perbaikan terus setiap waktu. Sebab, bukankah seseorang yang ingin ibadahnya diterima selalu berusaha untuk meluruskan hatinya? Apabila ia tergelincir, maka ia akan lurus kembali, apabila sedikit berbelok maka hati akan mengingatkannya, lalu setiap ada pilihan-pilihan datang di kehidupannya, ia akan senantiasa mengembalikannya pada hatinya. Apakah sesuai atau tidak, ragu-ragu atau yakin, terasa benar atau menjurus salah? Hatilah yang akan menjawabnya. Tentu, hati yang bersih, bening, dan mampu untuk membedakan yang haq dan bathil.

Semoga kita selalu berada dalam kondisi bersemangat untuk membersihkan hati, sehingga ia akan berperan optimal dalam mengarahkan diri kita untuk terus melakukan kebaikan. Dan ketika ada suatu hal mengganggu atau meragukan dalam sesuatu yang harus kita putuskan, dengarkanlah hatimu. Ia akan menjawabnya dengan terang atau buram, sesuai apa yang kau lakukan terhadapnya.

Desau Angin Maastricht


Category:Books
Genre: Romance
Author: DH Devita
Judul: Desau Angin Maastricht
Penulis: DH Devita
Penerbit: Lingkar Pena Publishing House
Tebal: 250 Hal.
Terbit: Februari 2009


DH Devita adalah seorang penulis yang kini berdomisili di Sengata, Kutai Timur. Ia tergabung dalam kepengurusan Forum Lingkar Pena (FLP) sejak tahun 2004, dan kepindahannya ke Sengata membawanya untuk menjadi bagian dari FLP cabang Sengata sejak tahun 2006. Buku pertamanya diterbitkan tahun 2007 (Bercermin pada Hatimu, Pro U Media) dan pada tahun yang sama menyusul buku kedua (Sebab Cinta Tak Kenal Waktu, AFRA Publishing) yang ditulis duet dengan Rien Hanafiah, penulis asal Sengata juga.

Buku Desau Angin Maastricht adalah novel pertamanya. Sebuah cerita roman khas anak muda tetapi sarat dengan hikmah yang terkandung di dalamnya. Latar cerita bertempat di Maastricht, Belanda, adalah salah satu hal yang menjadikan novel ini menarik untuk dibaca. Sebab mungkin tak banyak penulis yang menampilkan kota kecil di negeri kincir angin itu dalam tulisan mereka. Mengambil latar di luar dari jangkauan penulis adalah satu tantangan yang bisa dikatakan cukup berat, sebab membutuhkan penelitian kecil untuk menjadikannya tampak nyata di mata pembaca. Dan hal ini pula yang menjadi daya tarik yang kuat atas novel ini, mengingat tren penulisan sekarang mengarah pada literatur berbau ‘jalan-jalan’.

Arin, tokoh utama dalam buku ini, adalah seorang mahasiswi pasca sarjana yang melanjutkan studi di Universiteit Maastricht, Belanda. Ia memutuskan untuk mencoba peruntungan dengan mengirimkan aplikasi beasiswa pasca sarjana ke NEC (Netherlands Education Center), dan ternyata diterima. Dina, sahabat Arin di kampus, banyak membantu Arin dalam mempersiapkan kepergiannya ke Maastricht, termasuk meminjamkan sejumlah dana yang diperlukan. Dina memahami betul keinginan Arin untuk meneruskan kuliah sekaligus mencari pengalaman baru di luar negeri. Namun yang paling terbaca dari niat tiba-tiba Arin itu adalah kejadian yang Arin alami beberapa saat sebelum ia memutuskan untuk mengirimkan aplikasi ke NEC. Yaitu peristiwa dimana Arin mengetahui yang sebenarnya perasaan Dodi, sosok lelaki yang tadinya sangat ia harapkan.

Berada di Maastricht sama dengan menyepi dan menghindarkan diri dari seorang Dodi, sekaligus menjadi momen panjang kontemplasi diri bagi Arin. Masalah yang selama ini dipendam dalam, menguak perlahan. Perjumpaannya dengan berbagai tipikal orang di Unimaas justru menjadi pembelajaran berarti bagi keterbukaan diri Arin, dan membangkitkan kesadaran akan adanya permasalahan lain yang lebih besar yang ada di sekitarnya. Maria, gadis Spanyol teman sekamar Arin, menyadarkannya untuk mensyukuri keluarga yang ia miliki selama ini. Mengenal Niema, gadis asal Maroko, membawa gairah baru yang menyadarkan Arin akan pentingnya sebuah kepedulian akan Islam. Arin menyadari bahwa persoalan apapun yang selama ini mengganggunya tak berhak membuatnya menjadi seorang yang paling menderita. Dan bersikap menghindari masalah tidak akan menyelesaikan apapun dari masalah tersebut.


Konflik percintaan dalam buku ini memang tak berakhir happy ending, seperti yang mungkin diharapkan banyak pembaca. Karena memang inti utama cerita bukanlah pada urusan cinta antara Arin dengan Dodi. Hal lain yang ingin ditonjolkan penulis adalah tentang bagaimana kita memaknai cinta, yang memang sangat tergantung pada apa yang menurut diri kita penting dalam kehidupan yang dijalani. Memantapkan hati dalam menjalani sebuah keputusan pun menjadi hal yang menyulitkan jika kita tidak menyadari betapa besar arti hidup kita bagi orang lain, atau sebaliknya.

Penulis tampaknya ingin memberi pesan bahwa ketika kita melihat dunia luar dengan lebih luas, akan tampak banyak hal yang lebih penting daripada hanya sekadar urusan cinta yang belum pasti ujung pangkalnya. Dan hal-hal tersebut di antaranya adalah persahabatan dan kepedulian akan lingkungan sekitar.

Untuk sebuah novel percintaan, sepertinya Desau Angin Maastricht tidak mampir di dunia penerbitan hanya untuk menambah deretan bacaan cengeng dan membuai perasaan saja. Walaupun ada beberapa kekurangan, seperti sinopsis cerita di sampul belakang buku yang kurang mewakili isi buku yang sebenarnya, dan beberapa hal teknis lain, secara keseluruhan buku ini sangat menarik untuk dibaca.