Halaman

Saturday, June 27, 2009

Mencari Kesempurnaan

Manusia sampai kapanpun tidak pernah akan menjadi sempurna. Dan seorang manusia lebih tidak mungkin lagi mampu membuat manusia lain menjadi sempurna, sesuai keinginannya. Dua kalimat itu patut saya pancangkan dalam-dalam di hati ini. Sebab seringkali kemauan pribadi mengalahkan realita yang ada. Dan akhirnya ujung yang ditemui adalah kekecewaan semata.

Jika kita menemukan seseorang yang merasa dirinyalah yang paling sempurna, yang selalu bisa berbuat apa saja, dan orang lain selalu berbuat salah di matanya, maka di saat itulah tampak ketidaksempurnaannya. Bahwa ia merasa dirinya lebih penting dibandingkan yang lainnya, merasa lebih bisa, dan segala hal yang akhirnya berujung kepada satu hal yaitu: kesombongan. Karena, sekali lagi, manusia sampai kapanpun tidak pernah bisa menjadi sempurna. Kecuali satu orang saja, seseorang yang mulia dan telah dihapuskan dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang, yang mendapat koreksi langsung dari Allah Swt untuk kekhilafannya. Muhammad Rasulullah SAW.
Suatu ketika, saya mendapatkan cerita dari seorang teman tentang pengalamannya mengikuti sebuah forum diskusi terbatas. Ia mengatakan bahwa saat itu adalah waktunya saling mengoreksi dan menyampaikan masukan. Saat yang pastinya ditunggu-tunggu. Sebagai sesama aktivis dakwah, pastinya sudah saling tahu dan paham etika menyampaikan kritik dan bagaimana mengutarakan isi hati tanpa menyinggung perasaan yang lainnya. Dan begitulah yang terjadi, masing-masing menyampaikan pendapat, pesan kesan, kritikan, usulan dengan cara yang santun dan bahkan mencairkan suasana yang tadinya tegang dan kaku akibat kelelahan dari semua peserta yang hadir. Semua berjalan lancar, sampai seseorang angkat bicara dan memotong perkataan seorang peserta yang tengah menyampaikan pendapatnya. Ia menukas setiap pendapat yang peserta tadi sampaikan dengan cara yang sepertinya membuat setiap yang mendengar merasa kerdil dan malu akan pendapat-pendapat yang telah disampaikan. Sepertinya mereka telah melakukan hal yang memalukan dengan mengutarakan usulan-usulan tersebut.
Dan itu telah terjadi berkali-kali. Di forum yang berbeda-beda, oleh orang yang sama.

Teman saya itu seorang sarjana psikologi, dan saya seorang peminat ilmu psikologi. Kami pun cukup sering membahas panjang lebar alasan kenapa orang tersebut berlaku demikian, bagaimanakah analisa karakternya, apa terapi yang tepat untuknya, sebab perilaku yang tidak menyenangkan seperti itu tidak akan membangun suasana kondusif untuk belajar dan saling berinteraksi. Adakah yang bisa kami lakukan untuknya? Terus terang saja, saya jadi merasa kasihan dengan tipikal orang yang seperti itu. Merasa dirinya paling benar dengan cara menjatuhkan orang lain di setiap kesempatan. Lalu, saya bertanya dalam hati, apakah saya pernah melakukan sikap seperti itu? Astaghfirullahal’azhiim … semoga saja tidak.

Seringkali diri kita melewati hal-hal penting yang berseliweran di sekitar kita. Melewatkannya bisa jadi sama dengan menganggapnya tidak atau kurang penting. Oleh sebab kekurangpentingannya itulah makanya sesuatu hal itu bisa terlewatkan begitu saja. Sebab, mana mungkin sesuatu hal yang dianggap penting bisa dengan mudah terlupakan. Contohnya saja, kalau membaca Alquran setiap hari sudah menjadi sebuah kebutuhan, maka ketika sekali saja terlupa atau tidak dapat membaca disebabkan hal lain, perasaan menyesal bukan kepalang akan terasa. Lain jika ibadah yang satu itu belum menjadi sebuah kebutuhan, maka melewatkannya akan terasa biasa saja.
Bicara soal kebutuhan, tidak semua orang memiliki kebutuhan untuk bisa ‘memperbaiki keburukan yang ada pada orang lain’. Memperbaiki bukanlah dimaksudkan sebagai ‘upaya turut campur’. Berbeda. Yang saya maksudkan adalah kewajiban saya sebagai seorang muslim untuk dapat menasehati saudara saya sesama muslim lainnya bila ia melakukan sebuah kekhilafan. Menasehati di sini bisa jadi tidak dalam artian berbicara empat mata lalu menceramahinya panjang lebar. Sungguh banyak varian yang bisa dilakukan untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Hanya sekadar mengingatkan, selebihnya urusan dirinya sendiri apakah mau memperbaiki diri atau tidak. Ini hanyalah sebuah ikhtiar demi kebaikannya.

Dan memang, kebutuhan setiap orang berbeda. Mungkin saja ketika saya merasa perlu untuk bertindak demikian terhadap orang tersebut, bagi orang lain hal itu tidaklah penting. Bagaimanapun, bertindak atau tidak bertindak, menasehati atau tidak, kita akan menghadapi konsekuensi perilaku setiap orang di sekitar kita. Demikian juga sebaliknya.

Kesempurnaan memang hanya milik Sang Pencipta. Tetapi Ia memberi kita semua begitu banyak potensi untuk diarahkan menuju kebaikan dan kesempurnaan sikap. Tinggal kitalah yang akan memilih, akan memanfaatkan potensi tersebut, atau membuangnya sia-sia. Menyeru kebaikan pada orang lain sama dengan upaya kita membenahi diri sendiri. Semuanya berawal dari hati.

Friday, June 26, 2009

Biarpun Berkali-kali Jatuh

Pernahkah Anda menemukan seseorang yang begitu pesimis menghadapi kehidupannya? Dan ia yang hampir selalu memiliki pandangan negatif terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya?
Saya mengenal seseorang yang seperti itu. Hampir di sepanjang hidupnya, ia mengalami kejadian-kejadian buruk yang begitu menyakitkan hati. Hubungan saya dengannya bisa dikatakan cukup dekat, hingga saya seolah bisa merasakan sendiri pedihnya mengalami peristiwa-peristiwa tersebut. Bagaimanapun, saya tidak akan pernah bisa merasakan langsung perasaannya. Saya hanya bisa mencoba untuk mengerti, bahwa di setiap sikap pesimisnya, tersimpan amarah akan hal-hal buruk yang menimpanya. Sekaligus kesedihan karena ketidaksanggupan untuk mencegah hal-hal buruk itu supaya tidak terjadi, dan juga rasa malu yang kini ditanggung atas bad ending yang ia jalani. Menyedihkan, bukan?
Kehidupan ini seperti roda yang berputar, begitu kata orang. Kadang ia membawa kita ke atas, lalu ia berputar ke bawah. Kadang terhampar kemudahan, namun selanjutnya bisa pula badai menghadang. Dan sebagai seorang manusia yang lemah ini, kita seringkali terjebak akan ‘lubang-lubang’ keangkuhan dan keserakahan apabila kesenangan yang sedang digenggam. Atau kita seringkali terjerembab masuk ke dalam jebakan keingkaran dan kelalaian saat menerima kesedihan. Tak pernah ada puasnya. Hidup memang tempatnya salah dan lupa, tempatnya belajar dan berusaha, tempatnya kegagalan, dan sekaligus tempat manusia berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik atau berpasrah diri menjadi yang terburuk tanpa upaya apapun. Semua tergantung apa yang kita pilih.
Kadang kita sering bertanya, mengapa si anu yang tampaknya biasa-biasa saja ibadahnya bisa selalu merasa senang dalam hidupnya? Bukankah Sang Pemilik Jiwa mencintai orang-orang saleh yang rajin memanjatkan doa serta beribadah dengan segenap jiwa? Bukankah keimanan yang menghujam dalam dada ini sanggup mendobrak penghalang apapun dan menumbuhkan semangat juang berkali-kali lipat dari yang lainnya?
Memang. Tetapi di balik setiap peristiwa pasti terkandung pelajaran dari-Nya. Ada rahasia-rahasia hidup yang tak disingkap, yang akan menguji sejauh mana kesetiaan kita sebagai seorang hamba.
Seseorang yang saya sebutkan di atas, mungkin saja memiliki sikap yang demikian karena mengalami kepahitan hidup yang telah membuatnya jatuh berkali-kali. Orang lain yang melihat dari luar mungkin akan menganggapnya rapuh, tak punya pendirian, pesimistik, tak punya semangat hidup, dan penilaian negatif lainnya. Sedangkan mereka tak benar-benar mengetahui apa saja yang pernah ia alami. Apa yang membuatnya berkali-kali mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan. Dan apa yang ia lakukan setelah berkali-kali jatuh. Tidak banyak yang tahu.
Tetapi biasanya, seseorang yang telah mengalami berbagai kesulitan dalam hidup, akan bisa bersikap lebih dewasa dan bijak dalam menanggapinya. Dan pastinya ia memiliki hati yang lebih tegar, karena terbiasa tertoreh rasa sakit. Biarpun berkali-kali jatuh, dengan iman di dada, ia pasti akan kembali bangkit.
Kesedihan dan kepedihan sebesar apapun, bila kita senantiasa mengingat bahwa hanya Allah Yang Maha Menentukan segala sesuatu, niscaya yang tertinggal dalam hati adalah keikhlasan untuk menerima. Dan prasangka baik bahwa memang apa yang terjadi adalah yang terbaik untuk diri kita saat ini. Bukankah Sang Pencipta tak akan pernah menzalimi hamba-hamba-Nya?
Di setiap kesulitan, pasti ada kemudahan. Insyaallah.

Kangen ...

Sudah lama sekali tak menengok blog yang satu ini, rasanya kangen...

Akhir-akhir ini perasaan saya campur aduk. Jenuh, penat, tapi sekaligus juga bersemangat untuk melakukan hal-hal yang baru. Atau pindah ke tempat baru? Rasanya ide yang bagus juga. Tapi, kapan?

Beberapa 'pekerjaan' menumpuk di file yang tersimpan dalam otak. Ada yang mendesak keluar, ada yang 'mendem' di pojokan, sebagian lagi samar-samar menghilang.

Apa saja yang belum dikerjakan ya?

Menyelesaikan naskah yang tertunda, melanjutkan naskah baru, menulis surat-surat untuk FLP Sengata, merapikan pembukuan bisnis kecil-kecilan ... masih ada lagi yang lainnya.

Sementara ini penat itu reda dengan dua buku yang membawa benak ini melayang sebentar karena keindahannya: Dilatasi Memori dan Diorama Sepasang AlBanna.

Thanks to Ari Nur, (wah, Ry, jangan ge-er yah...istrimu memang pandai menulis :))

Everything's inspiring me now.

Hayo, mulai lagi!