Halaman

Thursday, August 27, 2009

Demi Sebuah Cinta

Malam ini melewatkan sebuah momen yang sudah saya nantikan sejak tadi pagi. Momen yang seharusnya bisa membangkitkan kembali kenangan masa SMA dan kuliah dulu. Duduk rapi, pegang pulpen dan buku tulis siap terbentang di hadapan, manggut-manggut sambil terpesona dengan penjelasan demi penjelasan si pemateri. Saya begitu merindukannya. Selepas itu, hati dan pikiran jadi segar, seolah terguyur embun yang menyejukkan. Istilah kerennya: habis nge-charge.

Saya meminta ijin dengan sangat berat hati, hampir menangis bahkan. Semua padahal sudah siap: gembolan isi baju anak-anak, snack, buku-buku yang diperlukan, diapers, lengkap. Keduanya juga sudah siap dengan 'baju perang' masing-masing. Detik demi detik berlalu, pukul sembilan malam. Saya melirik cemas, kurcaci-kurcaci itu mulai kuyu. Dan beberapa menit setelah sedikit rewel mereka tertidur di kamar. Saya agak cemas, akankah batal lagi? Hiks ...

Jarang sekali ada momen seperti ini. Si pemateri pun bukan sembarang orang. Dan yang paling penting adalah: saya butuh charger yang super oke saat ini! Pikiran saya campur aduk, dan mulai menghubungi seorang teman.

Sebuah jiwa yang terus menerus dibiarkan lesu lama kelamaan akan tumpul dan mandul. Tapi ia yang terasah dan terpakai tanpa henti pun perlu waktu sejenak untuk menyegarkan diri kembali. Yang terus terpakai tanpa perawatan akan aus, dan bisa-bisa jadi tak bisa dipakai lagi. Bukankah setiap hal perlu keseimbangan? Memberikan lebih, maka asupannya juga musti lebih. Begitulah kira-kira alam pikiran saya berandai-andai. Andaikan semua tertata dengan rapi, andaikan semua berjalan seiring sejalan, andaikan semua seimbang rata ... tapi di dunia ini tidak ada satu pun yang sempurna. Yang baik pasti terselip kekhilafan juga. Namanya saja sekumpulan manusia, bukan para malaikat.

Dan untungnya kemarin sore saya mendapatkan beberapa menit siraman itu, walaupun tidak sedahsyat yang diadakan malam ini sepertinya. Tapi cukuplah membuat saya kembali kepada kesadaran semula. Bahwa setiap hal yang diperoleh pasti akan lebih berharga jika tertoreh sebuah pengorbanan penuh cinta di sana. Dan semoga inilah yang sedang saya lakukan. Berkorban demi sebuah cinta dan ketaatan.

Ya Allah ... dalam ketidakmampuanku untuk mendekati-Mu lebih saat ini,
Ampunilah setiap khilaf yang mengotori hati dan pikiranku hari ini, hari kemarin, dan hari-hari mendatang ...
Berkahilah kami dengan cinta dan kasih sayang-Mu,
hingga yang tersisa hanyalah ketaatan dan kesadaran penuh untuk berpasrah diri kepada-Mu.
Ya Allah ... dalam ketidakmampuanku untuk melakukan lebih dari yang kulakukan saat ini,
Berikanlah jalan bagiku dan bagi keluargaku untuk senantiasa taat dan patuh pada setiap perintah-Mu, mengikuti sunnah Rasul-Mu, dan berada pada jalan yang lurus bersama orang-orang yang Engkau ridhoi,
hingga Hari Akhir nanti.
Aamiiin ...

~with tears, to my beloved ones, here and everywhere~

Wednesday, August 26, 2009

Biar Anak Belajar Mandiri

Suatu pagi, saya kembali menemani Firna sekolah di salah satu PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di daerah Lembah Hijau, Sengata. Seperti biasa, saya langsung bergabung dengan para bunda yang sedang repot membujuk anaknya untuk masuk kelas, atau yang sedang mengerjakan pernak-pernik persiapan karnaval kemerdekaan, atau yang sambil mengasuh adik kecil si sulung yang berlarian ke sana ke mari. Repot yang menyenangkan.

Saya pastinya sibuk mengamati tingkah polah Firna dan teman-temannya, tapi kali itu yang jadi perhatian saya bukan Firna seorang, melainkan para bunda dan reaksi mereka terhadap tingkah anak-anaknya. Saya banyak sekali belajar dari mereka, bahwa kemandirian anak akan terbangun atau tidak terbangun karena sikap orang tuanya juga. Namanya anak usia 2 sampai 3 tahun, perkara menempel terus pada ibunya pasti hal biasa. Tapi jika berada di lingkungan sekolah yang penuh hal-hal menarik dan teman-teman sebaya ia masih bersikap demikian, maka tindakan si ibu akan menentukan keberaniannya. Dan pastinya sikap satu anak akan menular ke anak yang lain. Jika ada seorang bunda yang bolak-balik masuk ke dalam kelas, terlalu khawatir dengan anaknya yang padahal sedang asyik mengikuti pelajaran, maka bisa dipastikan anak yang lain pun akan merengek meminta bundanya ikut masuk ke dalam. Atau malah para bunda yang berada di luar ikutan masuk karena ikut-ikutan khawatir dengan keadaan anaknya.

Saat itu saya memerhatikan kondisi tersebut, dan penasaran dengan apa yang sedang terjadi di dalam. Saya melirik sebentar dari jendela, Firna menoleh dan melihat saya, lalu ia berteriak kencang, "Bundaaaaaa ...!!!" Saya cepat-cepat pergi dari jendela, dan duduk bersama bunda-bunda lainnya. Teriakan Firna masih terdengar selama beberapa saat, tapi tidak saya hiraukan. Seorang bunda menegur saya sambil tertawa,"Memang begitu, mbak, makanya nggak usah ditengok-tengok. Mereka nggak mandiri nantinya." Saya nyengir lebar dan kami pun asyik mengobrol ini-itu. Perilaku yang satu menjadi pelajaran bagi yang lain.

Ketika memutuskan untuk menyekolahkan Firna di PAUD, saya mempertimbangkan kondisi anak itu sendiri. Firna sudah bisa memakai dan melepas baju sendiri, memakai dan melepas sepatu dan kaos kaki, sudah paham instruksi ini-itu dan selalu ingin terlibat di semua aktivitas saya di rumah. Tapi kemandirian Firna harus dilengkapi dengan kemampuan bersosialisasi dengan lingkungan. Ini yang masih lemah, apalagi Firna memiliki seorang adik yang jarak usianya tak jauh. Firna sempat cenderung egois, kurang bisa berbagi, dan dominan sekali di rumah. Menempatkannya di lingkungan teman sebaya mungkin akan sedikit mengubah hal-hal tersebut. Tapi, sekali lagi, tidak ada yang mudah.

Dengan minimnya pengetahuan saya, saya berusaha membahas setiap kejadian penting di sekolahnya, dan mengembalikan kepada diri Firna.

"Firna, tadi di sekolah lihat ada teman yang nangis, ya?"
"Iya, Bunda, tadi teman nangis, Loh!"
"Kenapa dia nangis?"
"Tadi teman pukul ..." (maksudnya nangis karena dipukul teman yang lain)
"Kalau Firna gimana?"
"Firna nggak boleh pukul teman ya, main sama-sama, kalau pukul teman nanti teman nangis, Loh!" (ini kalimat khas Firna, diulang-ulang setiap kali melihat kejadian yang sama)

Atau ketika waktu pulang sekolah, Firna langsung ngeloyor pergi tanpa salim dan pamit dengan Bunda Guru (sebutan untuk para guru di PAUD-nya). Pasti saya akan mengajak Firna masuk kembali ke dalam kelas, dan menyalami satu per satu gurunya. Tanpa diperlakukan begitu, anak mungkin akan menganggap hal itu bukan sesuatu yang penting. Walaupun harus berlarian dulu mengejar Firna yang sudah sibuk dengan ayunan dan perosotannya, atau harus membujuk-bujuk begitu lama karena ia sudah ingin pulang. Yang lain mungkin melihat, kok ibu ini repot sekali sih, tapi saya tidak peduli.

Saya terus terngiang saat pertemuan orang tua murid dengan kepala PAUD. Pesan-pesan beliau singkat saja namun jelas. Yang membuat anak tidak mandiri dan bersikap negatif di sekolah adalah lingkungan terdekatnya. Tentu maksudnya orang tua.

Tanpa bermaksud untuk terlalu perfeksionis, kita memang harus berusaha keras untuk mendidik anak sebaik mungkin. Gagal dan berhasil itu hal yang sangat wajar. Bagaimanapun hasilnya, semoga yang terbaik, utamakan saja prosesnya supaya optimal. Jangan menganggap anak tidak mengerti apa yang diajarkan walau usia mereka masih sangat muda. Semakin muda kebaikan ditanam, ia akan dengan sendirinya membentuk akhlak si anak nantinya.

Menulis dan Mencerahkan Hati


Baru selesai baca tulisannya mbak Sinta Yudisia di milis FLP. Fiuh ... jadi mau terharu :)

Mengingat kembali motivasi saya dalam menulis, untuk apa sebenarnya? Sebagai pembuktian bakat, atau ajang curhat alias ember perasaan, latihan pencerdasan emosi, cari penghasilan tambahan, atau apa?

Yang jelas, saya masih ingat, betapa saya terkesan dengan sebuah cerita pendek karya Helvy Tiana Rosa (yang menurut saya 'cerpen abadi' hehe) yang bisa membuat pembaca tersadar dan bergiat untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Atau cerpen-cerpen karyanya yang bertahun-tahun tersebar di berbagai media, yang mengetengahkan konflik yang sedang terjadi, ataupun kisah sehari-hari. Helvy Tiana Rosa salah satu penulis favorit saya pastinya.

Lalu keinginan saya beberapa tahun silam (sampai-sampai saya jadikan salah satu resolusi tahunan yang harus dicapai), yang saya buat tahun 2002 dan baru tercapai pada tahun 2004: menjadi anggota Forum Lingkar Pena. Hehehe ... agak konyol, ya? Tapi bagi saya, organisasi yang satu ini begitu memikat hati, sebab memang sejak lama sekali saya ingin menjadi bagian darinya (mungkin sejak akrab dengan majalah ANNIDA sejak tahun 1998), dan berjanji dalam hati bahwa saya harus bisa menulis.

Menjadi bagian dari FLP cabang Bekasi adalah awalnya. Bertemu teman-teman baru yang lucu, sama-sama mendirikan kembali FLP Bekasi, berjuang dengan anggota yang datang dan pergi (dan kini makin berkibar tampaknya...congrats FLP Bekasi :) ) dan akhirnya hijrah ke FLP cabang Sengata tahun 2006. Menjadi bagian dari FLP pastinya berpengaruh besar bagi aktivitas menulis yang saya lakukan. Kala merasa malas, maka pertemuan dengan teman-teman di FLP akan mencambuk kembali diri saya untuk aktif berkarya. Kala merasa puas dengan hasil karya yang diterbitkan, maka bertemu dengan sekumpulan penulis muda dan hebat di FLP akan menjadi teguran keras bagi saya bahwa apa yang sudah saya lakukan belumlah apa-apa. Saya masih harus banyak belajar, dan menjadi penulis yang lebih baik lagi.

Bukan saja untuk mendapatkan penghasilan tambahan, bukan juga menjadi pelampiasan emosi semata, apalagi hanya untuk sebuah popularitas. Menulis untuk dakwah, adalah visi yang harus selalu tertanam.

Terkenang percakapan maya dengan Afifah Afra dua hari lalu (tepatnya menjelang subuh),

afra: lagi nerusin buku kedua dari tetralogi De Winst, sudah hampir setahun belum kelar (kira-kira begitu isinya)

Setahun menulis novel? Wow, hebat sekali. Pikir saya waktu itu. Dan mbak Afra menceritakan tentang begitulah konsekuensi dari mempertahankan idealismenya. Saya tahu, beliau adalah seorang penulis yang rajin sekali riset mendalam untuk sebuah tulisan yang pastinya apik. Setahun yang produktif, dan mungkin seluruhnya efektif. Kalau saya? Ya iya sih, merampungkan novel dalam kurun tahunan juga, tapi bolong karena malas, nggak sempat, nyicil nggak kelar-kelar, dan riset seadanya. Jauuuh...deh!


Tadi pagi, soulmate saya (predikat ini Ganjar Widhiyoga yang memberikan) menelpon dari Yogyakarta, dan bisa ditebak, kami berbincang hampir sejam untuk berbagai hal yang sedang melintas di kepala kami. Mengenai FLP juga, dan yang lain-lain. Ide untuk merintis hubungan harmonis antara FLP Kaltim dengan dunia sastra di Kaltim, mengenai perbaikan kualitas FLP Sengata, dan banyak lagi. Namanya Nurika Nugraheni, dulu saya mengenalnya secara maya juga via Yahoo Messenger, lalu bertemu di Munas ke 1 FLP tahun 2005, dan secara mengejutkan tahun 2007 kalau tidak salah ia menjadi penghuni Sengata mengikuti suami tercintanya.

FLP dan dunia menulis saya sudah memberikan banyak sekali warna dalam kehidupan saya bertahun-tahun ini. Kalau belajar tidak pernah mengenal waktu, maka sama saja dengan menulis. Tidak pernah ada kata terlambat untuk memperbaiki yang sudah dilakukan. Bukankah dengan menulis kita bisa mencerahkan umat? Ya, tentu tergantung apa yang ditulis :) dan jiwa setiap penulis ada dalam tulisannya. Begitulah yang saya yakini. Menulis untuk dakwah, kepada diri sendiri, kepada orang lain, kepada lingkungan, kepada umat ini. Jika saya tak mampu memberikan lebih pada umat ini, setidaknya tulisan saya semoga bisa mencerahkan hati yang membaca. Amin.

Tuesday, August 25, 2009

Something about Firna (part two)


Berkali-kali saya mengingatkan diri saya sendiri, bahwa seorang anak kecil adalah 'penyerap yang luar biasa hebatnya'. Makanya jangan heran jika suatu ketika mereka mengatakan sesuatu yang mengejutkan, padahal mereka baru mendengarnya sekali atau dua kali saja. Hal ini sudah terjadi berkali-kali pada Firna, anak saya, dan setiap kali yang ia sebutkan adalah hal yang tidak baik (yang mungkin ia dengar dari orang lain, dari televisi, maupun ayah dan bundanya) saya harus segera memperbaikinya. Segera. Sebab jika dibiarkan, anak akan menganggap bahwa hal tersebut boleh-boleh saja dikatakan. Atau bahkan, jika kita mendengarnya lalu tertawa geli, ia mungkin akan berpikir bahwa hal itu hal baik sebab reaksi orang dewasa di sekitarnya adalah reaksi yang ia anggap positif.

Suatu malam, saya dan suami sedang menonton berita di salah satu stasiun televisi, dan kebetulan hari itu (secara berulang-ulang hingga membosankan) dikabarkan seorang yang dianggap fenomenal telah meninggal, namanya Mbah Surip. Terus terang saja, akhir-akhir ini saya memang membatasi tontonan televisi apalagi pada waktu pagi hingga malam ketika anak-anak sedang bermain. Jadi, malam itu adalah kali pertama saya mengetahui ada seorang Mbah Surip yang mendadak kaya raya dengan lagunya yang fenomenal (tapi menurut saya sih syairnya "nggak penting banget").

"Oh, ini toh lagunya," gumam saya.

Firna yang kala itu sedang makan malam dengan ayahnya tiba-tiba nyeletuk,

"Pak gendong, ke mana-mana ..." dengan raut tanpa ekspresi dan wajah menunduk menatapi piringnya.

Kontan saja saya melirik suami yang nyaris terbahak, saya pun hampir tertawa mendengar Firna menggumamkan lagu tersebut, lalu ia menatap wajah saya dan suami sambil tersenyum. Saya hafal betul, saat itu Firna menantikan reaksi kami. Bila kami tertawa, ia akan ikut tertawa dan terus akan mengulang-ulang lagu tersebut. Ia seakan meminta 'persetujuan' bahwa kalimat baru yang ia hafal adalah lagu yang boleh ia nyanyikan. Sebelumnya suami saya memang sudah cerita, bahwa ketika mereka menonton berita yang menayangkan meninggalnya penyanyi gaek itu, Firna langsung bisa menghafal lagunya. Mungkin karena liriknya yang ear-catching atau entah apa.

"Firna, tidak usah nyanyi lagu itu ya. Itu lagu nggak bagus." tukas saya dengan tegas. Ayahnya mengatakan hal yang sama.

"Kalo lagu bintang kecil, boleh?" tanya Firna.

"Ya, kalau lagu bintang kecil boleh. Lagu balonku juga boleh." kata saya, lega. Setelah itu Firna mengulang-ulang lagu bintang kecil, balonku, dan lagu-lagu lainnya.

Apakah setelah itu Firna lupa dengan lagu fenomenal itu? Tentu tidak. Hari-hari berikutnya ia sekali dua kali mengatakan bait pertama lagu itu, dan bertanya pada saya,

"Bunda, nggak boleh lagu 'pak gendong' ya? Kalau lagu Kakak Mia, boleh?"

Seperti itulah Firna. Alhamdulillah, ia memang tidak merekam keseluruhan lagu itu karena memang kecelakaan kecil ketika ia mendengarnya pertama kali langsung kami alihkan. Tetapi, bagaimanapun ia bisa sewaktu-waktu mengingatna bila ada stimulusnya. Di sinilah pentingnya kesabaran dan konsistensi kami untuk menjaga Firna dari faktor buruk lingkungan, terutama televisi.

Satu hal yang saya sayangkan adalah, tayangan berita (yang selama ini menurut saya relatif aman untuk ditonton) pun bisa memberi dampak buruk bagi anak-anak. Apabila memang tayangan beritanya seperti itu contohnya. Belum lagi jika yang dipublikasikan adalah soal perselingkuhan anggota dewan, artis yang terjerat narkoba atau sedang stres, dan sebagainya. Ya, peran orang tua memang besar sekali untuk mendampingi dan menjelaskan apapun pada anak-anak kita. Jangan sampai mereka merekam hal yang tidak baik, dan kemudian melakukan hal yang tidak baik pula. Na'udzubillah ...

Untuk hal ini, pandangan setiap orang pasti berbeda-beda. Tapi bagi saya, bersusah payah sejak dini tentu sangat penting jika kita peduli pada perkembangan anak-anak kita. Tidak ada yang sempurna memang, tapi bukan berarti kita akan lelah dan putus asa dalam berusaha, kan?

Tuesday, August 11, 2009

Something about Firna :)




Belakangan ini Firna sangat bisa diandalkan. Nggak pernah lagi 'gangguin' adek Fakhry sampai nangis, selalu semangat bantuin bunda jaga adek (walaupun kalau adeknya tetep aja nangis gara-gara ditinggal bunda jemur baju atau mandi akhirnya Firna bengong aja terus asyik sendiri), bantuin bunda rapikan baju ke dalam lemari, dan sederet hal-hal kecil yang rasanya jadi pelajaran baru setiap harinya.

Mendidik anak sudah pasti butuh kesabaran, setiap orang tua pasti paham. Tapi kesabaran yang saya maksud di sini adalah sabar untuk memperhatikan hasil dari didikan yang kita lakukan pada mereka. Jangan pernah berharap sekali atau dua kali mengajarkan sesuatu pada anak kemudian langsung dipahami dan diikuti. Butuh waktu, butuh berkali-kali mencoba, dan akhirnya ketika si anak melakukannya sudah pasti senang sekali hati ini rasanya.

Suatu kali, Firna memiliki kebiasaan baru yang sangat tidak saya inginkan, yaitu berteriak dan membentak. Menurut berbagai sumber, anak usia dua tahun bisa dikatakan sedang dalam masa 'terrible years'. Wah, saya terus terang tidak menyangka akan sesulit itu menghadapi kondisi tersebut. Kuping juga lama-lama panas mendengar seorang anak kecil yang tiba-tiba hobi berteriak-teriak dan menghardik setiap orang. SETIAP ORANG. Ini nggak bisa dibiarkan. Saya pun mencari cara, putar otak, trials dan errors, dan akhirnya ketemu!

Suatu pagi, ketika akan memandikan Firna, saya mendapatinya melakukan kedua hal itu lagi. Dan saya langsung menghampirinya, menatap lurus padanya dan mengatakan:

"Firna, kalau Firna membentak, teriak-teriak, atau nakal sama adek, Firna duduk di kursi."

Saya mengatakannya tegas-tegas, sambil menunjuk ke arah 'kursi hukuman' yang sudah lama saya berlakukan pada Firna. Reaksinya? Bisa ditebak. Ia teriak-teriak dan membentak saya. Ini dia. Saya langsung mengangkatnya, dan mendudukkannya di kursi itu. Ia berteriak lagi, membentak lagi, saya tinggalkan. Selama sekitar dua menit saja. Ia masih berteriak-teriak ditambah menangis. Tapi tidak turun dari kursi. Karena hukuman 'duduk diam di kursi' sudah ia pahami sejak lama. Cara itu efektif untuk Firna.

"Ingat ya, Firna. Kalau Firna membentak, teriak-teriak, atau nakal sama adek, Firna dihukum di kursi ini." tegas saya lagi setelah waktu 'hukumannya' selesai.

Apakah ia langsung menurut. Tentu saja tidak. Setelah tiga atau empat hari, baru saya mendapatinya berubah. Ketika ia mulai akan berteriak, saya langsung mengingatkannya tentang 'perjanjian' itu, dan ia tidak jadi berulah. Begitu terus selama beberapa waktu, sampai Firna benar-benar paham bahwa saya serius dengan larangan itu. Ini bukan masalah sepele, ini salah satu bagian dari mendidik kesopanan dalam sikap dan perkataannya. Setidaknya ini menurut saya. Membentak dan berteriak pada orang tua bukan suatu hal yang patut ditolerir, juga kepada siapapun sebenarnya.




Itu hanya satu peristiwa dengan putri kecil saya yang ceriwis itu. Kali lain saya mendapat sebuah pelajaran, bahwa otak seorang anak kecil memang benar-benar jernih, hingga saking jernihnya dapat menyerap apapun dengan begitu cepat. Kita sebagai orang tua hanya perlu bersabar dan tidak pernah bosan mengajarkan mereka. Berulang-ulang diucapkan (atau dinyanyikan), sampai mereka menghapalnya sendiri.

Firna anak yang cerdas musik. Apapun yang saya sampaikan dalam bentuk nyanyian akan dilahapnya. Sekarang malah ditambah menari. Geli kadang-kadang melihatnya megal-megol menirukan instruksi di film Sesame Street yang sering ditontonnya. Tapi yang membahagiakan adalah ketika Firna sudah mulai hapal huruf-huruf hijaiyah (ada beberapa huruf yang ia nggak tau menyebutnya gimana), dan dua buah doa pendek. Optimis dan bersabar! Pasti anak-anak kita bisa menyerap kebaikan sebanyak-banyaknya, asalkan kita sebagai orang tua mampu dan yakin bahwa kita bisa mengajarkannya pada mereka.