Suatu hari, saya berkesempatan hadir pada sebuah acara diskusi buku. Acara ini hanya menghadirkan sekitar 20 orang saja, dan hampir semuanya adalah ibu-ibu, hanya beberapa orang saja yang masih 'single'. Buku yang dibahas berjudul "Quantum Tarbiyah", karangan Solikhin Abu Izzuddin. Sebuah buku yang menarik, dengan pembahasan spesifik pada hal-hal positif yang bisa kita dapatkan dalam proses tarbiyah atau memperdalam keislaman secara intensif.
Pembahasan buku tersebut pada hari itu masuk ke sesi kedua, setelah pekan sebelumnya telah rampung dipresentasikan beberapa bagiannya. Ada satu bagian yang begitu menarik, hingga saya terpikir untuk langsung menuliskannya, tapi tertunda hingga sekarang ini.
Seorang peserta mengajukan sebuah pertanyaan ketika sesi pertama untuk tanya jawab dibuka.
"Saya pernah mengalami hal ini. Suatu ketika, saya begitu lelah dengan pekerjaan rutin di rumah yang tidak ada habisnya, dan menghendaki suami saya untuk sedikitnya membantu. Bukankah tiap kali seorang ibu pergi ke luar rumah dan meninggalkan anak-anak pastilah pikirannya selalu kembali tertuju ke rumah? Sedangkan seorang ayah/suami yang pergi ke luar beraktivitas pastinya tidak memiliki beban pikiran yang seperti itu. Saat itu saya mencetus pada suami supaya ia membantu saya, tapi dengan kalimat yang mungkin bernada marah atau jengkel. Kemudian suami saya berkomentar: "
Berarti kamu kurang ikhlas". Saat itu saya langsung menjawabnya: "
Ikhlas itu bisa dicapai jika ada faktor pendukungnya.""
Selepas si ibu melontarkan pertanyaan tersebut, seorang ibu yang tadi bertugas mempresentasikan sebuah bagian dalam buku itu menanggapinya dengan cukup sentimentil. Pastilah. Lontaran pertanyaan tersebut saya rasa adalah bagian yang pasti dialami oleh setiap istri dan ibu. Betul saja, beberapa orang berikutnya yang menanggapi pun mengutarakan pendapat masing-masing dengan nada curhat yang mengharu-biru. Tetapi, subhanallah, banyak sekali nasihat dan kalimat-kalimat saling menguatkan yang saya dapatkan. Pernyataan yang terkesan 'keluhan klise' tersebut malah membawa suasana pada perenungan akan arti ikhlas dan pengorbanan yang mendalam. Tentu hal ini tidak bisa dimaknai tanpa rasa cinta dan keimanan yang juga mendalam kepada Allah Swt. Yang akan mendasari sebuah pemahaman bahwa apa yang dilakukan oleh seorang perempuan di rumahnya, asalkan ia mematri kuat sebuah keikhlasan dalam hatinya dan niat untuk beribadah kepada Sang Pencipta, insyaallah Ia juga menyediakan ganjaran kebaikan yang begitu besarnya.
Selanjutnya, diskusi buku kali itu berlangsung seru. Masing-masing memaknai bab yang dibaca dengan pengalaman sehari-hari, dan menguatkan diri bahwa bagaimanapun kita semua memerlukan bekal yang tak habis-habis untuk menjalani semua aktivitas.
Saya banyak sekali merenung selepas pertemuan pagi itu. Saya melihat binar semangat, dan juga lelah, dalam mata para mujahidah itu. Subhanallah ... saya menyebut mereka sebagai 'mujahidah' bukan tanpa alasan. Mereka adalah para istri dan ibu yang masih bisa meluangkan waktu untuk berdakwah ke sana ke mari, sambil menjalankan tugas mereka di rumah masing-masing. Pergi mengisi pengajian sambil membawa satu atau dua orang anak, adalah hal biasa di Sengata. Bahkan sampai mengunjungi mereka yang tinggal di pinggiran, dengan jalur darat yang lumayan tak nyaman dan sulit ditempuh ketika cuaca buruk, atau banyak lagi hal yang sampai sekarang selalu menjadi penyemangat bagi diri saya sendiri. Saya banyak sekali belajar dari mereka semua. Dan pagi itu, menambah keistimewaan mereka di mata saya.
Bagi saya, pernyataan yang kemudian menjadi perbincangan serius pagi itu bukanlah sekadar keluh kesah belaka. Hal itu adalah gundah yang mungkin seringkali menggelayuti benak tiap perempuan yang memikul tanggung jawab berlipat-lipat. Menjadi seorang istri yang harus melayani kebutuhan suami dan anak-anak setiap hari, menjadi seorang ibu yang harus menggandakan kesabaran bagi tingkah laku anak-anak tercintanya, menjadi seorang karyawati atau wirausaha demi sebuah kemandirian ekonomi sekaligus peran ganda membantu suami mencari nafkah, menjadi seorang da'iyah karena itulah kewajiban asasi setiap diri kita: menyampaikan kebaikan pada siapapun juga sesuai kemampuan diri, menjadi anggota dan pengurus sebuah (atau dua buah) organisasi untuk membantu dakwah sekaligus menjadi sarana aplikasi kemampuan diri. Subhanallah. Tidak ada manusia super yang bisa mengerjakan itu semua dengan sempurna. Tidak ada. Jadi, gundah itu bukanlah sesuatu yang harus enyah dari diri mereka (dan kita semua), melainkan memerlukan sebuah pelipur yang dengan sangat mudah dan sederhana bisa dilakukan oleh seseorang yang bernama 'suami'.
Seseorang yang lain berkomentar dengan nada geli:
"Memang sih, abinya juga ngebantuin. Tapi ya gitu-gitu doang. Udah cuman sebentar, belum selesai dikerjakan dan anak rewel pastinya udah bilang: 'Mi, udahan belom sholatnya? Udah rewel nih.'"Dan semua peserta terbahak mendengarnya. Ada yang benar-benar terbahak, ada yang sambil menghapus air mata, ada yang hanya senyum-senyum simpul. Pastilah. Semua mengalaminya.
Saya pikir, ketika membahas persoalan ini hanya dari sisi perempuan, tidak adil juga. Karena ternyata sudut pandang yang seringkali berbeda antara seorang perempuan dan laki-laki malah akan membawa pertengkaran tak berujung. Padahal intinya sama saja. Ketika si istri sedang gundah, dan mengharapkan suami hadir untuk menghiburnya, yang dimaksud dengan
'menghibur' di sini bisa jadi adalah sebuah sikap manis yang ditunjukkan suami, disertai dengan kata-kata:
"Subhanallah, Ummi/Bunda/Sayang (apapun sebutannya), hari ini pasti capek sekali, ya? Gimana tadi anak-anak? Sabar ya, Sayang ... semoga Allah memberimu ganjaran kebaikan yang banyak, ya. Sekarang, Abi/Ayah/Mas (apapun sebutannya) bisa bantu apalagi?"Coba saja, pasti habis itu si istri langsung tersenyum, dan merasakan beban di hatinya hilang separuh. Karena ia merasakan 'kehadiran' sang suami untuknya, dan dukungan akan tugasnya yang berat sebagai ibu rumah tangga. Kadang, kelemahan memerlukan penyangga yang unik.
Tetapi, jika hal ini tidak dikomunikasikan (sayang sekali, komunikasi memang benar-benar penting dan diperlukan sampai kapanpun), maka yang terjadi bisa jadi adalah hal ini:
Si suami pulang kerja, melihat si istri sedang gundah, wajahnya ditekuk walau kedua tangannya tetap sibuk. Saat itu, suami langsung menyadari bahwa istrinya sedang lelah dan ada yang sedang dipikirkan. Yang terlihat di matanya adalah kesibukan kedua tangan si istri, dan menurutnya cara untuk membuat istrinya tersenyum kembali adalah membantu pekerjaan rumahnya yang belum selesai. Maka ia pun langsung turun tangan: mencuci piring, menjaga anak-anak, membersihkan yang perlu dibersihkan, dan kesibukan itu berlanjut hingga waktunya keduanya telah lelah dan bersiap tidur. Si suami berpikir bahwa ia
telah banyak membantu dan menghibur istri tercinta (dan memang banyak yang sudah ia lakukan, atau bisa juga tidak), sedangkan si istri malah berang dan berpikir:
suamiku ini tidak perhatian sekali.
Apakah kedua hal di atas ada yang salah? Saya rasa tidak. Tetapi kedua hal tersebut sangat berbeda. Berbeda sudut pandang, padahal tujuannya sama: ingin dibahagiakan, dan ingin membahagiakan. Tetapi, ujungnya bukanlah sebuah kebahagiaan. Karena apa? Tidak adanya komunikasi yang baik.
Saya tidak bermaksud menggeneralisasi semua peristiwa. Karena pastilah cerita yang dialami setiap pasangan berbeda-beda. Dan tentunya kebutuhan dari tiap istri dan suami tidak sama. Tapi, saya ingin mengatakan bahwa seringkali ketidakbahagiaan itu berawal dari persepsi yang tidak sama akan suatu hal. Dan hal ini bukannya tidak memiliki solusi, malah sebenarnya mudah sekali penyelesaiannya. Satu saja:
luangkan waktu untuk bicara.
Sedikit mengulas tentang keikhlasan yang disebutkan di atas
, mari kita luruskan suatu hal yang dinamakan
'pemahaman'. Karena yang mendasari segala perilaku adalah pemahaman kita akan hal-hal yang kita lakukan. Jika motivasi untuk melakukannya adalah niat beribadah dan ditujukan kepada Allah Swt semata, maka insyaallah hal itu akan menggiring kita untuk senantiasa memperbarui niat ikhlas kita setiap saat. Mengapa memperbarui? Karena manusia pastilah bisa saja khilaf dan tergoda hingga niat tersebut terkotori. Memahami bahwa segala amal perbuatan tergantung pada niatnya, akan memperoleh ridho dari Allah Swt atau tidaknya, maka pemahaman itu akan membawa serta
keikhlasan dalam hati ini untuk senantiasa terjaga. Jika melenceng, kembali luruskan. Begitu seterusnya. Sesudah itu, maka apapun perbuatan kita, sepenuhnya akan menjadi deretan
amal ibadah yang ditujukan untuk meraih keridhoan Allah Swt. Dan tentu saja, amal yang berlandaskan niat ikhlas adalah tabungan berharga untuk kita di akhirat kelak.
Dan, bukankah berumah tangga adalah ibadah kepada-Nya juga? Rumah tangga yang dilandasi oleh motivasi beribadah kepada-Nya, insyaallah akan dinaungi keberakahan, ketenangan, dan penuh rasa cinta.
Ah, lagi-lagi cinta. Memang betul, sungguh beruntung mereka yang memiliki cinta. Melakukan sesuatu dengan cinta, pasti akan terasa indah dan bermakna. Bukan begitu?