Halaman

Monday, October 25, 2004

Tak Seberat yang Kaukira

Terkadang kita berpikir bahwa apa yang sedang kita alami, ujian yang sedang kita lewati, adalah yang terberat dari yang ada. Adalah yang terberat dari semua. Diri kita, adalah yang paling menderita, hingga tak lagi sanggup kita memikirkan orang lain selain bagaimana berlepas diri dari ujian ini. Lalu, tenggelamlah kita dalam lumpur derita. Hingga berat rasanya untuk meraih pegangan di atas sana, untuk mengangkat diri ini supaya tak berlama-lama terjerat di dalamnya. Tenggelamlah kita.

Hari itu, saya datang ke kantor dengan kedua mata nyaris bengkak. Setelah hampir semalaman menumpahkan air mata sejadi-jadinya, sendirian. Rasanya tidak ada satu pun gairah yang menempel menyertai saat kedua kaki ini melangkah pergi. Dan sesampainya di kantor, saya menahan lidah kuat-kuat. Tak boleh sebersit pun terucap segala keluh kesah tadi malam. Kerja ya kerja. Saya tak ingin mencampurinya dengan permasalahan pribadi. Pasang muka cerah, memaksakan diri untuk selalu tersenyum. Dan hari itu, tak ada satu pun yang menyadari kedua mata ini yang nyaris copot dan kepala kian berdenyut sebab tangis itu terbawa sampai tidur. Tadi malam.

Hari itu, saya menemui seorang teman sedang menahan kesal di hatinya. Baru saja berselisih dengan seorang teman yang lain. Sampai luapan emosi itu tak tertahankan lagi, padahal tak pernah sekali pun saya melihatnya demikian. Saya ingin memaksanya untuk bercerita, ia pun menceritakan. Dengan nada datar, terlalu datar. Malah ditambahi dengan senyum dan cengiran khasnya. Siang hari, sampai menjelang sore, celotehnya tetap berkisar tentang target-target bulanan. Tapi entahlah, saya merasakan dirinya begitu berbeda hari itu.

Pembicaraan ketika presentasi, saya melihat kedua matanya berkaca-kaca, dengan suara nyaris gemetar. Seolah saat itu saya melihat beban berkilo-kilo tergantung di kedua pundaknya, dan entah apa yang kian menyesakkan dadanya. Seolah bila ada tombol ‘on’ yang tertempel di tubuhnya dinyalakan, ia akan segera meledak. Percakapan setelah pertemuan, ia mengatakan bahwa yang ia rasakan sekarang adalah ketidaksanggupan yang amat sangat. Dengan wajah yang dipaksakan tersenyum.

Sungguh, saat itu, saya ingin langsung memeluknya. Dan berkata padanya, “Menangislah! Agar beban itu tertumpah sebagian, supaya hatimu lega, supaya bisa berbagi berat itu kepadaku sebagian.”

Sore hari, setelah menunaikan perjumpaan dengan-Nya. Seorang teman lagi bercerita dengan lancar peristiwa penting yang dialaminya hari itu. Ia harus melepaskan ‘calon’ buah hatinya. Ia harus merelakannya pergi, sebab ditemukan kejanggalan pada perkembangan janin di rahimnya. Ia yang telah menantinya sekian lama.

Tak hanya itu, sederet kisahnya pun tumpah seketika. Yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Sebab tak demikian yang saya dapati dari wajah dan penampilannya sehari-hari. Ia, yang begitu ceria, ternyata menyimpan begitu banyak luka. Ia yang tampak begitu tegar, sore itu, air matanya tumpah juga.

Saya tertegun. Dan saya hanya bisa berkata, “Sabar ya mbak…ini cobaan dari Allah.”

Sesaat setelahnya, saya kembali ingat pada kedua belah mata saya yang masih bengkak. Tak sempat lagi saya rasakan pening di kepala, seorang teman lagi bercerita. Tentang kesulitan-kesulitan yang dialaminya dalam prosesnya mempersiapkan pernikahannya. Yang rasanya bila hal itu menimpa diri saya, tak tahu apalagi yang bisa saya lakukan untuk mengatasinya sendirian. Saya tak tahu harus berbuat apa, kecuali melantunkan doa dalam hati, “Semoga Allah memberinya kemudahan dalam ikhtiarnya ini…”

Mendekati pukul lima, sebentar lagi pulang. Saya nyaris melupakan apa yang telah saya alami semalam. Pun bengkak di kedua mata seperti tak ada artinya. Hari itu, saya mulai dengan berpikir bahwa saya adalah orang yang paling malang plus satu-satunya karyawan kantor yang datang pagi-pagi dengan mata bengkak. Dan saya rasa tak kan sanggup saya berkonsentrasi dengan pekerjaan, apalagi ‘mood’ untuk mendengarkan lagi lebih banyak masalah-masalah yang ada.

Tetapi kenyataannya tak demikian. Tanpa diminta, saya telah menyaksikan ‘penderitaan’ yang juga dialami oleh teman-teman saya. Tanpa diminta, satu per satu mereka bercerita. Dan sampai akhir hari, saya menemukan bahwa diri saya tak lagi merasa menderita.

Seringkali, saya merasakan bahwa setiap kali menghadapi masalah, maka tak seorang pun akan merasakan apa yang sedang saya rasakan. Sepertinya, saya lah satu-satunya orang yang paling menderita di dunia. Tetapi, kemudian saya akan kembali menemukan bahwa saya tidak sendirian. Masih banyak lagi mereka yang merasakan perih yang sama, bahkan lebih.

Seringkali, setiap saya menyadari adanya kesulitan yang dialami orang lain, energi saya yang tadinya nyaris pupus, malah semakin bertambah. Saya tak boleh lemah, sebab ada orang-orang yang lebih menderita. Saya tak boleh lemah, sebab mereka pun membutuhkan saya. Penderitaan mereka, sahabat-sahabat saya, adalah penderitaan saya juga. Penderitaan saya, rupanya tak seberat yang saya kira….


Buat tiga orang yang disebutin di atas,…”Aku sayang kalian!!!”

Thursday, October 21, 2004

Sebab Cinta Tak Kenal Waktu

eramuslim-Publikasi: 21/10/2004 07:34 WIB

Apa kabar, Yang?
Semoga makin berpeluh cinta-Nya.
Apa kabar hati?
Semoga selalu bersih dari noda.
Apa kabar iman?
Semoga kian menapak menapak maju.
Keep Allah in your heart,
And may He always loves you.
Kangen ...


Bait di atas adalah isi sebuah SMS yang saya terima dari seorang sahabat. Malam-malam, menjelang tidur. Saya kontan tersenyum. Mengingat perjumpaan hari itu dengannya. Tidak ada yang istimewa, sebab esok hari pun kami pasti akan berjumpa lagi. Ia, sahabat itu, adalah teman sekantor saya.

Senyum saya malam itu, juga sebab mengingat sebuah hal kecil yang seringkali saya alami. Dengan teman-teman dan sahabat saya. Hal sepele, namun berarti besar. Sering dilupakan dan bahkan tak lagi menjadi sesuatu hal yang penting, namun setiap kali merasakannya, pengaruhnya begitu besar. Sebuah perhatian.

Dulu, saya sering menganggap penting sebuah momen hari ulang tahun. Mengapa? Sebab pada hari itu, sekian banyak teman dan sahabat yang menghampiri, menyalami, memeluk, dan untaian doa mereka sampaikan lewat lisan, telepon, atau hanya mengirimkan SMS. Kalau ada satu dua orang yang lupa atau tidak 'berpartisipasi', apalagi bila ia adalah teman dekat, rasanya ada yang kurang. Mungkin juga terbersit perasaan kecewa. Walaupun hanya satu hari, tapi begitu membahagiakan rasanya. Sepertinya, hari itu bertabur cinta.

Bila memar yang bertalu/
Bila gebyar sendu yang menderu/
Dan jika pilu yang menyergapmu/
Maka temukan penawar dalam khusyu-mu/
Maka lerai gundahmu dalam pintamu/
Di penghujung malam.


Seorang sahabat, ia selalu hadir kapan saja dibutuhkan. Walau tak ada sosoknya, walau hanya untaian doa yang ia kirimkan. Seorang sahabat, memberikan banyak dan lagi tak meminta apa-apa. Bait di atas, adalah satu lagi SMS yang saya terima darinya.

Dulu, saya pikir, seorang sahabat yang baik adalah yang selalu mengikuti apa yang saya mau. Yang selalu mendukung segala yang saya perbuat dan lakukan. Yang memberikan dan mengajak saya untuk mendapatkan kesenangan dan lagi kesenangan.

Suatu hari, seorang sahabat saya di kampus berkata,

"Seneng banget deh kalau datang ke kampus. Aku bisa melihat kalian, walau kita nggak ngobrol, tapi lihat kalian ada di sana, itu udah bikin aku bersemangat!"

Ya, bukankah seorang muslim yang baik adalah apabila saudaranya melihat wajahnya, maka akan mengingatkan saudaranya itu kepada Allah? Yang tak sekadar memberikan kita kesenangan dalam keseharian? Tapi juga dengan tegas mengingatkan kala kita melakukan kesalahan. Yang tak sekadar menjadikan kita teman main dan menghabiskan waktu? Tapi juga menjadi penyejuk hati dan penegur diri saat hati ini beku.

... dan rinduku untukmu
selalu berderu
dalam gairahku
menuju cinta Rabb-ku,
lewat lisanku,
sampaikan doaku-
dalam malamku-
untukmu


Bait di atas, adalah isi SMS yang saya kirim kepadanya, malam itu. Perhatian-perhatian itu, cinta itu, sekarang, rasanya saya bisa mendapatkannya setiap hari. Sebab cinta tak mengenal waktu.

Wednesday, October 20, 2004

Inilah Jihad Kami !

Ramadhan belum genap satu minggu. Ada harapan besar untuk dapat melewatinya dengan tenang dan konsentrasi penuh meraih segala keberkahannya. Jiwa-jiwa yang bergembira menyambut hadirnya tersebar di mana-mana. Mereka yang berharap mendapat keberkahan ampunan serta ganjaran yang berlipat banyaknya. Mereka yang saling berlomba menjadikan momen langka ini sebagai waktu-waktu terbaik yang akan mereka lewati. Mereka yang mengharapkan sedikitnya pencerahan dan perbaikan kehidupan, sebab saat Ramadhan tiba, setiap orang tak mau melewatinya sia-sia.

Ramadhan memang selalu dinanti. Kekuatan magnetnya mendorong setiap jiwa untuk melacak ke setiap sudut dan celah perhatian-Nya. Menarik-narik setiap raga untuk bersimpuh dan meluruhkan hati demi ampunan dan taubat kepada-Nya. Setiap Ramadhan, mesti jadi ajang perlombaan tiap diri untuk menjadi hamba-Nya terkasih.

Ramadhan kali ini, tetap saja hangat. Walau kian banyak darah kaum muslimin tertumpah di luar sana. Walau bau mesiu, amis darah, dan bangkai manusia, kian semerbak menambah wewangian jiwa-jiwa yang melayang menuju-Nya dengan kesyahidan. Bukankah tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati? Dan kematian yang disambut sebab memperjuangkan keimanan, pula pada Ramadhan, adalah momen terbaik. Ramadhan, semakin hangat.

Tahun ini, Ramadhan saya lewati dengan tetap beraktivitas seperti biasa. Tak ada libur awal puasa, seperti kegembiraan anak-anak sekolah yang menyambut libur awal Ramadhan. Tak ada keringanan waktu, seperti para pelajar yang bubar sekolah lebih cepat supaya segera sampai di rumah. Berbuka bersama keluarga, sholat maghrib berjamaah, pergi ke masjid, tarawih, dan melewati malam panjang sampai sahur dengan ber-munajat sepuas hati. Tidak ada.

Bagaimanapun, masih ada mereka yang melewati Ramadhan dengan cobaan-cobaan yang lebih berat dari yang saya rasakan. Tetap beraktivitas? Tentu. Bahkan kian sibuk sampai lembur dan baru bisa pulang ke rumah setelah isya’ bahkan menjelang pukul sepuluh malam baru sampai di rumah. Pagi, siang, dan sore hari di kantor tak lepas dari rapat, diskusi, pekerjaan rutin, bahkan sejumlah urusan tender tetap lancar menghiasi jam kantor tanpa kompromi. Letih. Penat. Cemburu.

Cemburu kepada mereka yang tetap dapat melewati Ramadhan dengan malam-malam panjang berkhalwat dengan-Nya, tanpa tertidur kelelahan. Cemburu kepada mereka yang sebelum fajar tiba sudah bersimpuh dengan khusyu berdoa sampai waktu menahan segala dimulai, tanpa terlambat pergi ke masjid untuk berjamaah sholat subuh. Cemburu. Sebab ternyata waktu yang tersisa dari seluruh rutinitas keseharian, hanya sedikit sekali dibandingkan sekian detik berharga yang seringkali terlewati tanpa disadari.

“Inilah jihad kami !” Begitu kata mereka.

Ya. Jihad. Inilah dia ujian dari-Nya yang kembali menimpa orang-orang yang senantiasa berikhtiar untuk meraih kebahagiaannya di dunia dan untuk akhirat nanti. Inilah dia ujian dari-Nya, bagi kita semua, supaya lebih cermat menjaga kelancaran aktivitas tanpa lengah menguatkan ibadah. Inilah dia jihad, dan Ramadhan tak akan pernah menunggu. Maka, bersemangatlah!


Bukankah Rasulullah dan para sahabat pun melewatkan Ramadhan dengan berperang? Bukankah kemenangan adanya bagi mereka yang berteguh dalam keimanan serta memantapkan diri ketika ujian-ujian itu datang? Bukankah ganjaran nantinya tak lagi sanggup kita bayangkan pula kita hitung, sebab begitu besar kenikmatan bagi mereka yang menegakkan keikhlasan dalam berjuang?

Maka, berjuanglah dalam Ramadhanmu. Walau tak berhadapan dengan musuh, peluru, atau mesiu. Walau tak berada di jalan, memanggul senjata, dan berperang. Walau kewajiban dalam mencari nafkah memaksamu untuk duduk dan bekerja sepanjang hari dan tak terluang waktu untuk menikmati sepenuhnya bersama orang-orang terkasih. Walau letih dan lelah merayapimu hingga keesokan hari.

Sebab, inilah jihadmu.

Wednesday, October 13, 2004

Biarkan Bila Jatuh ke Jurang

Sebab jurang tak selalu berarti kekalahan,
sebab jurang tak melulu masalah ketakberdayaan,
sebab jurang tak selamanya tempat kejatuhan.

Karena jurang juga diciptakan untuk mereka yang ingin mendaki,
karena jurang ada bagi mereka yang berani,
untuk menyeberangi,
untuk menaikinya kembali, bila ia terjatuh nanti.

Jadi, biarkan bila jatuh ke jurang, bila memang harus jatuh.
Sebab selalu ada yang membantumu untuk
naik kembali.


Inspired from The Big Boss, Monday-Okt 11,2004

Wednesday, October 06, 2004

Saat Hati Telah Mati

eramuslim-Publikasi: 06/10/2004 09:16 WIB

Suatu kali, saya mendengar seorang teman baik saya menceritakan pengalamannya. Mengenai obrolannya dengan seorang supir taksi. Si supir rupanya baru pertama kali menjalani pekerjaan sebagai seorang supir taksi. Sebelumnya ia pernah bekerja di sebuah perusahaan negara, dan memiliki penghasilan yang lebih dari cukup. Maka, teman saya pun merasa heran. Mengapa kini ia memilih berprofesi sebagai supir taksi.

"Habis, saya dipecat dari perusahaan itu, neng"

"Wah, kenapa tuh, bang? Kok bisa dipecat? Apa karena efisiensi karyawan ya?"

"Oh, bukan, neng! Saya dipecat gara-gara ketahuan korupsi."

Kontan teman saya terbelalak. Kaget. Supir taksi tersebut mengatakannya sambil terkekeh-kekeh. Tak terlihat ada rasa malu atau penyesalan dari raut wajahnya. Begitu cerita teman saya.

"Terus, keluarga di rumah gimana, bang?" Teman saya pun bertanya kembali, masih dengan perasaan bingung.

"Oh, ... ya nggak apa-apa, neng. Biar dipecat juga, kan saya udah punya rumah. Ya, hasil korupsi itu tadi. Ya, udah puas lah saya. He he he ..."

Saya yang mendengar cerita itu, ikut bingung ingin berekspresi seperti apa. Ingin tertawa, sebab kok ya ada orang yang sudah berbuat salah tetapi malah bangga dengan kesalahannya. Merasa kesal, kalau saja saya yang mendengar langsung cerita itu, mungkin si supir sudah saya ceramahi habis-habisan. Pun kasihan, dengan seseorang yang tak lagi bisa membedakan perbuatan baik dan buruk. Atau sebenarnya ia bisa membedakan dan tahu jelas sanksi yang menjadi konsekuensinya, tetapi ia telah demikian tergiur hingga tak lagi peduli sebab harta sudah di tangan.

Sejenak kemudian saya membayangkan, apa jadinya bila hal itu menimpa diri saya. Bila nikmat harta itu terpampang di depan diri saya ini, apakah sanggup saya mempertahankan keimanan untuk tidak sedikit pun menjamahnya? Sebab saya tak pernah tahu dan seringkali tak menyadari saat hati ini perlahan mulai melemah. Ketika secara tak sadar, diri saya mulai memaklumi kesalahan-kesalahan kecil yang saya perbuat. Ketika pelan-pelan kemalasan mulai menarik diri ini dari kedekatan pada-Nya. Sampai benar-benar jauh, sampai tak lagi bisa merasakan apa-apa.

Saat hati kita telah mati, maka bisa jadi, seberapa pun usaha kita untuk melongok, melihat ke dalamnya-ia tak berisi. Untuk setiap kesalahan kecil yang kita perbuat, untuk tiap detil kemaksiatan yang terlakukan baik sadar maupun tidak, untuk pemakluman terhadap menumpuknya sudah segala bentuk kebiasaan-kebiasaan buruk kita, untuk dosa besar sekalipun, bila hati ini telah mati, maka ia tak lagi bisa memberontak, bahkan untuk sedikit saja tergerak.

Mungkin dalam alam bawah sadar, kita akan bertanya,

Wahai hati, mengapa tak lagi kudapat rasakan kelezatan itu.
Getaran saat diucapkan nama-Nya.
Rasa yang merayap melebihi biasa, ketika kudengar ayat-ayat-Nya.
Atau pedih kala kuingat kembali, betapa penuh dosa diri ini.
Pula sergap rasa takut yang menjelang, sewaktu kusadari kobar neraka tak kan henti menyala.


Duhai hati, kian kesatkan dirimu kini?
Apakah ini saatnya engkau mati?


Duhai rindu, datanglah kembali ...

Saat itu, setelah teman saya selesai bercerita, saya langsung bergidik. Ngeri, membayangkan bila itu terjadi pada diri saya. Saat itu, saya bilang padanya,

"Nanti, kalau gue udah mulai 'bandel', elo harus jadi orang pertama yang ngingetin gue, ya !!!"

Spesial buat adek-adek "Musholla Al Huda"