Halaman

Monday, December 13, 2010

Kumpulan Esai "Sebutir Debu Saja"


Judul Buku: Sebutir Debu Saja

Jenis Buku: Kumpulan Esai
Penulis: DH Devita
Penerbit: Leutika Prio
Jumlah Halaman: 102hlm
Harga Buku: Rp 30.000,-

Dapatkan buku ini dengan memesan pada akun facebook Leutika Prio, ongkos kirim flat untuk Jabodetabek Rp 10.000,- dan untuk luar Jabodetabek Rp 15.000,-

Buku ini cukup istimewa buat saya, karena proses penulisannya mengalami jalan berlika-liku. Sebagian besar artikel di dalamnya saya tulis berdasarkan pengalaman sendiri atas berbagai hal yang cukup membekaskan berbagai perasaan. Sedih, marah, kecewa, sakit hati, namun juga sekaligus memberikan saya pelajaran-pelajaran penting setelahnya.

Dalam hati kecil kita, seringkali terbersit rasa tak enak atau malu ketika menyadari berbagai kesalahan yang selama ini mungkin pernah kita lakukan. Karena rasa tak enak itulah, manusia seringkali tak mampu mengakui kesalahannya sendiri dan kemudian berubah untuk memperbaikinya. Rasa tak enak itu sering menghalangi kejujuran hati untuk mengedepankan kebaikan daripada egoisme pribadi.

Sedikit pengalaman untuk bisa direnungi dan mengantarkan kita pada kejujuran hati dan keinginan untuk memperbaiki. Ini yang saya inginkan untuk terjadi pada diri saya ketika menuliskan macam-macam peristiwa menarik yang saya alami tersebut. Ini pula yang semoga bisa menjadi hikmah yang dibagikan kepada siapa saja yang membacanya. Sederhana saja. Semua yang tertulis dalam buku ini ibarat sebutir debu nasihat bagi kita semua. Manusia.

Thursday, December 09, 2010

Kumpulan Cerpen "Seribu Luka Ayie"



Judul: Seribu Luka Ayie
Jenis Buku: Kumpulan Cerpen
Penulis: DH Devita
Penerbit: Tres-F Publishing
Tebal Buku: 207 hlm
Harga: Rp 50.000 (buku bisa dibeli di http://www.nulisbuku.com)


Buku ini adalah buku kumpulan cerpen pertama saya. Beberapa cerpen di dalam buku ini pernah dimuat di majalah ALIA edisi tahun 2004-2006.

Menerbitkan kumpulan cerpen di masa sekarang ini, saat penerbitan buku kumpulan cerpen tampaknya sedang lesu, memiliki tantangan sekaligus resiko tersendiri. Tentu saja tantangan berat (antusiasme pasar) dan resiko (buku tidak laku) seperti ini sangat dihindari oleh penerbit-penerbit kenamaan di negara kita. Pun mereka yang belum menggapai kelas nasional pastinya lebih memilih untuk menerbitkan buku yang mengikuti arus permintaan pasar. Seperti misalnya novel percintaan untuk remaja atau dewasa, buku panduan ini-itu yang memang selalu digemari, atau buku cerita anak yang sekarang sepertinya sedang booming.

Tetapi seseorang yang gemar menulis, yang sedang belajar menulis dan menerbitkan karya, yang ingin karyanya dibaca sekaligus (semoga) bisa mencerahkan hati banyak orang, tentunya punya harapan besar untuk selalu bisa menerbitkan karyanya. Apalagi ketika buku berhasil 'terbit' dalam bentuk apapun, maka selain kebahagiaan yang dirasakan, penulisnya pun seperti mendapat suntikan semangat baru untuk terus melahirkan karya-karya lainnya.

Demikian pula yang saya rasakan ketika akhirnya memutuskan untuk menerbitkan kumpulan cerpen ini. Memilih penerbitan independen (mencoba, tepatnya) adalah salah satu upaya saya untuk meneguhkan semangat untuk terus menulis dan melahirkan karya baru. Kebetulan saja akhirnya buku Seribu Luka Ayie ini adalah percobaan pertama saya, sekaligus ingin menyuntikkan semangat yang sama pada teman-teman seperjuangan di Forum Lingkar Pena (FLP) wilayah Kalimantan Timur. Bukan hanya itu, ternyata akhirnya saya mendapatkan ide untuk membuat workshop sederhana yang melengkapi peluncurannya di Sangatta, Kutai Timur.

Judul buku ini saya ambil dari salah satu judul cerpen dalam buku tersebut: Seribu Luka Ayie. Cerpen ini terinspirasi dari pengalaman saya ketika pada tahun 2000-2002 menjadi praktikan di Pusat Krisis Terpadu RSCM, sebuah lembaga penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Cerpen-cerpen lainnya bertema sama: perempuan. Lika-liku perjalanan hidup seorang perempuan dengan berbagai latar kehidupan, yang tidak melulu berbicara mengenai kebahagiaan. Perempuan-perempuan yang kisah hidupnya mungkin mewakili dari apa yang kita alami sekarang ini.

Cerpen Ayyasy Kecil adalah favorit saya. Dimana ketika menuliskannya saya belum lagi menikah, apalagi mempunyai seorang anak. Tetapi kekuatan dari si 'ibu' dalam cerpen itu merupakan cita-cita terpendam saya, bahwa seberat apapun kehidupan yang dijalani, tetaplah ibu adalah surga bagi anaknya.

Yang Terlupakan merupakan kisah masa silam yang pernah saya alami, sebagiannya. Ia mewakili kerinduan saya pada beberapa orang yang namanya saya samarkan dalam kisah tersebut. Lalu cerpen Senja di Kuta, adalah sedikit memori yang saya bawa ketika pertemuan keluarga besar di Denpasar sekitar lima tahun lalu berlangsung, diramu menjadi sebuah peringatan kecil tentang kejadian tragis bom Bali.

Tampaknya memang keseluruhan isi buku ini mewakili jiwa saya. Yang selalu ingin memperoleh ketegaran dan semangat baru dari apa saja yang mampir dalam kehidupan saya maupun orang lain.


Klik link berikut untuk mendapatkan bukunya:

http://www.nulisbuku.com/books/view/seribu-luka-ayie

Wednesday, October 21, 2009

Berdamai dengan Hati

Sebagai seorang manusia biasa, setiap kita pasti pernah mengalami berbagai peristiwa yang membekaskan perasaan-perasaan tertentu dalam hati masing-masing. Bahagia, sedih, kecewa, marah, kesal, gundah, bimbang, dan seterusnya. Kadang perasaan-perasaan itu hanya terbersit saja, tapi sering juga bekasnya tak terhapus selamanya. Tergantung dari peristiwa yang kita alami. Tergantung dari bagaimana kita memaknai perasaan tersebut.

Saya sedang berhadapan dengan seorang sahabat, yang kali ini (tak seperti biasanya) ia terlihat begitu rapuh. Saya berusaha melihat jauh ke dalam hatinya, berusaha mencari dan ingin sekali menemukan sebuah gundah yang sedang ia rasakan. Tapi tak berhasil. Saya tak menemukannya. Padahal biasanya penerawangan saya tak meleset, tapi kali itu ia begitu lihai menyembunyikannya. Bagi saya, saat itu ia tengah meracau tak tentu arah, menyembunyikan perasaannya, lalu menampakkannya sedikit, dan kembali memutar-mutar sederet cerita yang tak runut ia lontarkan.

Ia, sahabat saya itu, adalah seorang dari sekian banyak orang yang dideskripsikan sebagai: seorang yang rapuh di balik ketegaran sikapnya. Itu penilaian saya padanya, setelah beberapa tahun berhubungan. Dan kali itu, sesuatu yang membuatnya rapuh adalah sesuatu yang patut menjadi pelajaran bagi orang lain.

Mari berbicara tentang perasaan, walau akan membuatmu bosan nyaris tertidur membahasnya. Tapi kadang diri kita harus disadarkan, bahwa tak selamanya sebuah 'perasaan' bermakna remeh-temeh atau 'menye-menye'. Karena dari sesuatu yang 'menye-menye' inilah seseorang akan dapat menjadi kuat atau malah sebaliknya.

Perasaan yang bahagia dapat membawa seseorang bersemangat menjalani hari-harinya. Bahagia seperti mendatangkan kekuatan untuk terus beraktivitas, dan kemudian bersemangat untuk melakukan banyak hal lain yang dapat mendatangkan seribu kebahagiaan lagi. Tapi terkadang, kebahagiaan yang berlebihan dapat membuat seseorang lupa dan terlena. Ia hanya terbawa ke langit ketujuh dengan perasaannya, namun terlupa untuk tetap berpijak ke bumi, dan terlebih lagi: lupa untuk bersyukur.

Perasaan sedih dan marah biasanya akan mengaburkan akal sehat seseorang untuk sesaat. Terbakar emosi yang berlebihan akan menjadikannya lupa bahwa banyak lagi orang di sekitarnya yang juga merasakan sakit yang sama, atau bahkan melebihi yang ia rasakan. Bukan tak boleh bersedih, tetapi jangan lupa bahwa masih banyak sekali yang bisa dilakukan selain meratapi kesedihan secara berlebihan dan mengasihani diri sendiri.

Merasakan sebuah kebahagiaan, ataupun sebuah kesedihan, adalah hal yang pasti dialami oleh setiap manusia yang memang dikaruniai hati dan perasaan oleh Sang Pencipta. Tetapi kadang, ada pula yang tidak mau atau tidak berani untuk memiliki dan mengakui perasaan tersebut. Bahkan berusaha untuk menghindarkan diri dari merasakannya.

Bagi saya, perasaan sedih dan bahagia itu seperti sebuah peristiwa suka dan duka yang kita alami setiap hari. Bagaimanapun rasanya, satu hal yang selalu harus diupayakan terhadapnya: mensyukuri. Karena apapun itu, selalu ada pelajaran berharga yang Allah Swt karuniakan untuk setiap hamba-Nya. Berusaha untuk menyikapinya dengan positif, insyaallah akan membawa diri kita untuk melihat lebih dekat hikmah yang tersimpan di balik setiap peristiwa. Bukankah segala ciptaan-Nya tidak pernah ada yang sia-sia?

Tetapi, begitulah manusia dengan segala kelemahannya. Kita bisa menjadi begitu rapuh jika berhadapan dengan sesuatu yang tidak kita sukai, atau yang tidak kuasa kita hadapi. Dan dari hatilah semuanya bermula. Bila yang menjadi sandaran kita selama ini adalah Allah Swt, Sang Pemilik Hati, maka insyaallah Ia akan selalu bersama kita dalam setiap sedih, susah, dan senang. Tapi jika kita mulai lupa dengan-Nya, maka hati ini akan dipenuhi oleh yang lain: setan dan hawa nafsu kita sendiri.

Jadi, berdamailah dengan perasaanmu, syukurilah, dan hadapi dengan segenap kekuatan hati. Bukankah kita adalah orang-orang pemberani yang selalu bersemangat menjalani hidup ini? Sesungguhnya di balik setiap kesusahan ada kemudahan.

Saturday, October 10, 2009

Resensi Buku di PRO 2 FM


Alhamdulillah, pada hari Minggu tanggal 27 September 2009 lalu saya jadi juga berkunjung ke Pro 2 FM Jakarta. Buat apa? Promo buku pastinya. Acara Pro Resensi yang dibawakan oleh Lia Achmadi tersebut memang sudah menarik perhatian saya sejak lama, tetapi sekitar dua bulan sebelumnya baru sempat untuk mengajukan buku-buku untuk diresensi di acara tersebut.

Saya menghubungi mereka via email dan multiply, dan kemudian direspon oleh mbak Vira (asistennya mbak Lia), dan saya segera mengirimkan 3 buah buku yang saya ajukan untuk diresensi. Dua di antaranya disetujui: Bercermin pada Hatimu dan Desau Angin Maastricht. Tahap selanjutnya adalah kesepakatan waktu. Saya memohon supaya disesuaikan dengan kunjungan saya ke Jakarta dalam rangka mudik. Alhamdulillah, dimudahkan, dan terlaksana. Dan beberapa waktu sebelum tanggal tersebut saya sibuk mengirimkan sms ke banyak sekali kenalan maupun keluarga saya sendiri supaya mereka mendengarkan program tersebut. Biasa, promosi murah pakai sms. "Jangan lupa nyalain radio ya!" gitu. Tapi lupa nulis salurannya berapa, alhasil banyak juga yang sms balik "Saluran berapa sih itu?" Heheh. Pro 2 105 FM.

Program ini rasanya sayang untuk dilewatkan oleh para pecinta buku. Mbak Lia tampaknya cukup update juga dengan buku-buku baru, dan pastinya acara ini dimanfaatkan juga oleh para penulis untuk mempromosikan bukunya. Simbiosis mutualisme, bukan? Dan nggak kecewa lah, karena saya merasa lebih puas menceritakan novel saya di acara ini daripada saat launching di Sengata tempo hari. Yang menariknya, acara ini dibawakan secara interaktif dengan pendengar atau para facebook-er, atau blogger, atau multiplier. Ada kuisnya juga, berhadiah buku-buku yang sedang diresensi.

Awalnya saya sempat bingung juga, gimana ya siaran sambil bawa krucil? Tapi ternyata Firna diajak jalan-jalan sama nenek-neneknya, dan saya berangkat ke Pro 2 bersama suami tercinta dan Fakhry. Cemas lagi, gimana ya kalau saya di ruang siaran terus Fakhry rewel? Ini kan bukan GWP FM Sangatta yang bisa nitipin anak sama penyiar lainnya ... hehe ... tapi alhamdulillah, ternyata mbak Lia dan mbak Vira dengan senyum lebar menyambut Fakhry yang asyik berkeliaran di dalam ruang siaran. Dimudahkan lagi, Fakhry asyik seliweran sambil mainin apa aja yang ada di ruangan itu. Lancar deh semuanya.

Ketika mbak Lia membuka acara, saya baru tahu kalau paruh waktu pertama (1 jam pertama) adalah waktunya meresensi buku saya, dan paruh waktu kedua (1 jam berikutnya) adalah giliran buku-buku berikutnya, yang salah satunya adalah buku antologi puisi. Pertama dengar judulnya, saya teringat buku antologi puisi FLP. Dan ketika disebut nama "Lia Octavia", saya tambah semangat, wah! Ketemu Lia Octavia! (padahal belum kenal sama sekali, hihihi)

Cerita tentang Lia Octavia lain lagi. Saya tahu kerja kerasnya membantu pelaksanaan Silnas FLP kemarin dari beragam berita yang dipublikasikan di milis maupun dari teman-teman pengurus FLP, kemudian tanggal 19 September 2009 kemarin saya dengar kabar bahwa beliau datang dari Jakarta ke Balikpapan dan ingin silaturahmi dengan teman-teman FLP Balikpapan. Saat itu saya memang sedang di Balikpapan, transit sebelum berangkat mudik ke Denpasar. Ingin sekali ketemuan, tapi ternyata jadwal berangkat dimajukan, dan batal deh.

Acara berlangsung lancar sampai selesai. Menjawab beberapa pertanyaan dari pendengar, terus foto-foto dengan mbak Lia dan buku-buku yang diresensi. Sore yang menyenangkan, dan kami pun bersiap pulang karena Fakhry juga sudah ngantuk.

Di pintu studio, bertemu dua orang perempuan berkerudung, saya langsung membatin, salah satunya pasti Lia Octavia. Benar aja, mbak Lia keluar studio cepat-cepat dan memanggil saya "Mbak Vita, ini lho mbak Lia Octavia!" katanya. Sebelumnya saya memang cerita bahwa saya penasaran ingin ketemu beliau. Dan akhirnya ketawa-ketiwi sedikit dengan mbak Lia Octavia yang ramah sekali dan full senyum. Memang dasar FLP'ers, di mana-mana rasanya rindu aja gitu. Hehe.

Yah, begitulah. Kunjungan ke Jakarta membuahkan banyak hasil. Nggak cuma ke Jakarta sebenarnya, karena mudik kemarin langsung ke 3 tempat: Denpasar, Jakarta, dan Surabaya. Pastinya nggak menghabiskan waktu hanya dengan jalan-jalan atau belanja, dong. Harus ada produktivitasnya! Salah satunya ya yang satu ini. Yang lain? Tenang ... tunggu tulisan berikutnya ya!!!

Friday, September 18, 2009

Berawal dari Cinta

Suatu hari, saya berkesempatan hadir pada sebuah acara diskusi buku. Acara ini hanya menghadirkan sekitar 20 orang saja, dan hampir semuanya adalah ibu-ibu, hanya beberapa orang saja yang masih 'single'. Buku yang dibahas berjudul "Quantum Tarbiyah", karangan Solikhin Abu Izzuddin. Sebuah buku yang menarik, dengan pembahasan spesifik pada hal-hal positif yang bisa kita dapatkan dalam proses tarbiyah atau memperdalam keislaman secara intensif.

Pembahasan buku tersebut pada hari itu masuk ke sesi kedua, setelah pekan sebelumnya telah rampung dipresentasikan beberapa bagiannya. Ada satu bagian yang begitu menarik, hingga saya terpikir untuk langsung menuliskannya, tapi tertunda hingga sekarang ini.

Seorang peserta mengajukan sebuah pertanyaan ketika sesi pertama untuk tanya jawab dibuka.

"Saya pernah mengalami hal ini. Suatu ketika, saya begitu lelah dengan pekerjaan rutin di rumah yang tidak ada habisnya, dan menghendaki suami saya untuk sedikitnya membantu. Bukankah tiap kali seorang ibu pergi ke luar rumah dan meninggalkan anak-anak pastilah pikirannya selalu kembali tertuju ke rumah? Sedangkan seorang ayah/suami yang pergi ke luar beraktivitas pastinya tidak memiliki beban pikiran yang seperti itu. Saat itu saya mencetus pada suami supaya ia membantu saya, tapi dengan kalimat yang mungkin bernada marah atau jengkel. Kemudian suami saya berkomentar: "Berarti kamu kurang ikhlas". Saat itu saya langsung menjawabnya: "Ikhlas itu bisa dicapai jika ada faktor pendukungnya.""

Selepas si ibu melontarkan pertanyaan tersebut, seorang ibu yang tadi bertugas mempresentasikan sebuah bagian dalam buku itu menanggapinya dengan cukup sentimentil. Pastilah. Lontaran pertanyaan tersebut saya rasa adalah bagian yang pasti dialami oleh setiap istri dan ibu. Betul saja, beberapa orang berikutnya yang menanggapi pun mengutarakan pendapat masing-masing dengan nada curhat yang mengharu-biru. Tetapi, subhanallah, banyak sekali nasihat dan kalimat-kalimat saling menguatkan yang saya dapatkan. Pernyataan yang terkesan 'keluhan klise' tersebut malah membawa suasana pada perenungan akan arti ikhlas dan pengorbanan yang mendalam. Tentu hal ini tidak bisa dimaknai tanpa rasa cinta dan keimanan yang juga mendalam kepada Allah Swt. Yang akan mendasari sebuah pemahaman bahwa apa yang dilakukan oleh seorang perempuan di rumahnya, asalkan ia mematri kuat sebuah keikhlasan dalam hatinya dan niat untuk beribadah kepada Sang Pencipta, insyaallah Ia juga menyediakan ganjaran kebaikan yang begitu besarnya.

Selanjutnya, diskusi buku kali itu berlangsung seru. Masing-masing memaknai bab yang dibaca dengan pengalaman sehari-hari, dan menguatkan diri bahwa bagaimanapun kita semua memerlukan bekal yang tak habis-habis untuk menjalani semua aktivitas.

Saya banyak sekali merenung selepas pertemuan pagi itu. Saya melihat binar semangat, dan juga lelah, dalam mata para mujahidah itu. Subhanallah ... saya menyebut mereka sebagai 'mujahidah' bukan tanpa alasan. Mereka adalah para istri dan ibu yang masih bisa meluangkan waktu untuk berdakwah ke sana ke mari, sambil menjalankan tugas mereka di rumah masing-masing. Pergi mengisi pengajian sambil membawa satu atau dua orang anak, adalah hal biasa di Sengata. Bahkan sampai mengunjungi mereka yang tinggal di pinggiran, dengan jalur darat yang lumayan tak nyaman dan sulit ditempuh ketika cuaca buruk, atau banyak lagi hal yang sampai sekarang selalu menjadi penyemangat bagi diri saya sendiri. Saya banyak sekali belajar dari mereka semua. Dan pagi itu, menambah keistimewaan mereka di mata saya.

Bagi saya, pernyataan yang kemudian menjadi perbincangan serius pagi itu bukanlah sekadar keluh kesah belaka. Hal itu adalah gundah yang mungkin seringkali menggelayuti benak tiap perempuan yang memikul tanggung jawab berlipat-lipat. Menjadi seorang istri yang harus melayani kebutuhan suami dan anak-anak setiap hari, menjadi seorang ibu yang harus menggandakan kesabaran bagi tingkah laku anak-anak tercintanya, menjadi seorang karyawati atau wirausaha demi sebuah kemandirian ekonomi sekaligus peran ganda membantu suami mencari nafkah, menjadi seorang da'iyah karena itulah kewajiban asasi setiap diri kita: menyampaikan kebaikan pada siapapun juga sesuai kemampuan diri, menjadi anggota dan pengurus sebuah (atau dua buah) organisasi untuk membantu dakwah sekaligus menjadi sarana aplikasi kemampuan diri. Subhanallah. Tidak ada manusia super yang bisa mengerjakan itu semua dengan sempurna. Tidak ada. Jadi, gundah itu bukanlah sesuatu yang harus enyah dari diri mereka (dan kita semua), melainkan memerlukan sebuah pelipur yang dengan sangat mudah dan sederhana bisa dilakukan oleh seseorang yang bernama 'suami'.

Seseorang yang lain berkomentar dengan nada geli:
"Memang sih, abinya juga ngebantuin. Tapi ya gitu-gitu doang. Udah cuman sebentar, belum selesai dikerjakan dan anak rewel pastinya udah bilang: 'Mi, udahan belom sholatnya? Udah rewel nih.'"

Dan semua peserta terbahak mendengarnya. Ada yang benar-benar terbahak, ada yang sambil menghapus air mata, ada yang hanya senyum-senyum simpul. Pastilah. Semua mengalaminya.

Saya pikir, ketika membahas persoalan ini hanya dari sisi perempuan, tidak adil juga. Karena ternyata sudut pandang yang seringkali berbeda antara seorang perempuan dan laki-laki malah akan membawa pertengkaran tak berujung. Padahal intinya sama saja. Ketika si istri sedang gundah, dan mengharapkan suami hadir untuk menghiburnya, yang dimaksud dengan 'menghibur' di sini bisa jadi adalah sebuah sikap manis yang ditunjukkan suami, disertai dengan kata-kata:

"Subhanallah, Ummi/Bunda/Sayang (apapun sebutannya), hari ini pasti capek sekali, ya? Gimana tadi anak-anak? Sabar ya, Sayang ... semoga Allah memberimu ganjaran kebaikan yang banyak, ya. Sekarang, Abi/Ayah/Mas (apapun sebutannya) bisa bantu apalagi?"

Coba saja, pasti habis itu si istri langsung tersenyum, dan merasakan beban di hatinya hilang separuh. Karena ia merasakan 'kehadiran' sang suami untuknya, dan dukungan akan tugasnya yang berat sebagai ibu rumah tangga. Kadang, kelemahan memerlukan penyangga yang unik.

Tetapi, jika hal ini tidak dikomunikasikan (sayang sekali, komunikasi memang benar-benar penting dan diperlukan sampai kapanpun), maka yang terjadi bisa jadi adalah hal ini:

Si suami pulang kerja, melihat si istri sedang gundah, wajahnya ditekuk walau kedua tangannya tetap sibuk. Saat itu, suami langsung menyadari bahwa istrinya sedang lelah dan ada yang sedang dipikirkan. Yang terlihat di matanya adalah kesibukan kedua tangan si istri, dan menurutnya cara untuk membuat istrinya tersenyum kembali adalah membantu pekerjaan rumahnya yang belum selesai. Maka ia pun langsung turun tangan: mencuci piring, menjaga anak-anak, membersihkan yang perlu dibersihkan, dan kesibukan itu berlanjut hingga waktunya keduanya telah lelah dan bersiap tidur. Si suami berpikir bahwa ia telah banyak membantu dan menghibur istri tercinta (dan memang banyak yang sudah ia lakukan, atau bisa juga tidak), sedangkan si istri malah berang dan berpikir: suamiku ini tidak perhatian sekali.

Apakah kedua hal di atas ada yang salah? Saya rasa tidak. Tetapi kedua hal tersebut sangat berbeda. Berbeda sudut pandang, padahal tujuannya sama: ingin dibahagiakan, dan ingin membahagiakan. Tetapi, ujungnya bukanlah sebuah kebahagiaan. Karena apa? Tidak adanya komunikasi yang baik.

Saya tidak bermaksud menggeneralisasi semua peristiwa. Karena pastilah cerita yang dialami setiap pasangan berbeda-beda. Dan tentunya kebutuhan dari tiap istri dan suami tidak sama. Tapi, saya ingin mengatakan bahwa seringkali ketidakbahagiaan itu berawal dari persepsi yang tidak sama akan suatu hal. Dan hal ini bukannya tidak memiliki solusi, malah sebenarnya mudah sekali penyelesaiannya. Satu saja: luangkan waktu untuk bicara.

Sedikit mengulas tentang keikhlasan yang disebutkan di atas, mari kita luruskan suatu hal yang dinamakan 'pemahaman'. Karena yang mendasari segala perilaku adalah pemahaman kita akan hal-hal yang kita lakukan. Jika motivasi untuk melakukannya adalah niat beribadah dan ditujukan kepada Allah Swt semata, maka insyaallah hal itu akan menggiring kita untuk senantiasa memperbarui niat ikhlas kita setiap saat. Mengapa memperbarui? Karena manusia pastilah bisa saja khilaf dan tergoda hingga niat tersebut terkotori. Memahami bahwa segala amal perbuatan tergantung pada niatnya, akan memperoleh ridho dari Allah Swt atau tidaknya, maka pemahaman itu akan membawa serta keikhlasan dalam hati ini untuk senantiasa terjaga. Jika melenceng, kembali luruskan. Begitu seterusnya. Sesudah itu, maka apapun perbuatan kita, sepenuhnya akan menjadi deretan amal ibadah yang ditujukan untuk meraih keridhoan Allah Swt. Dan tentu saja, amal yang berlandaskan niat ikhlas adalah tabungan berharga untuk kita di akhirat kelak.

Dan, bukankah berumah tangga adalah ibadah kepada-Nya juga? Rumah tangga yang dilandasi oleh motivasi beribadah kepada-Nya, insyaallah akan dinaungi keberakahan, ketenangan, dan penuh rasa cinta.

Ah, lagi-lagi cinta. Memang betul, sungguh beruntung mereka yang memiliki cinta. Melakukan sesuatu dengan cinta, pasti akan terasa indah dan bermakna. Bukan begitu?