Halaman

Thursday, December 30, 2004

Duka itu, Rasakanlah….

Duka itu lagi, dan sekian banyak orang mencari sejumlah alasannya terjadi. Apa yang kita lakukan sekarang? Setiap saat memantau perkembangan berita dari tempat bersumbernya duka, tak henti menonton televisi dan membuka telinga lebar-lebar, kalau-kalau ada info terbaru? Tiba-tiba saja gegap kepedulian itu menjadi barang laris. Koran-koran habis, dan mungkin ada saja pasang-pasang mata yang menangis. Padahal jarak itu tak bisa ditempuh sebab ia jauh. Namun bila duka, maka semuanya akan merasakan nestapa yang sama.

Angka-angka jumlah korban yang tertera di tiap lembar media cetak yang tiap hari kita baca, tak lagi terhitung dengan jari-jari. Pernahkah terpikir, apa yang sedang mereka lakukan saat gulungan air itu melibas tubuh-tubuh mereka? Apa yang sedang mengisi kepala-kepala mereka? Apa yang berada di genggaman mereka? Kalimat apa yang terakhir kali mereka ucapkan? Sedang melangkah ke manakah kaki-kaki mereka? Sesungguhnya kita semua tak kan pernah tahu, kondisi macam apakah yang akan kita alami saat ajal menjemput, dengan berbagai caranya. Rahasia-Nya.

Duka itu lagi, dan lukanya kian menganga untuk tiap detik kini. Yang selamat dari amukan lautan air, namun tak lagi bisa menemukan belahan jiwa mereka. Yang berhasil meloloskan diri dari kejaran gelombang besar itu, namun tak berdaya kala menyaksikan keluarga mereka tertimpa puing-puing bangunan dan terseret arus. Yang baru saja bersyukur atas keselamatan yang masih mereka rasakan, namun tak kuasa menahan pedih saat mengetahui bahwa mereka menjadi yang ditinggalkan oleh orang-orang terkasih.

Saat ini kengerian itu menyelimuti setiap jiwa yang mengetahuinya. Entah sampai kapan ia tetap merasa ngeri. Mungkin lama, mungkin hanya sebentar. Tergantung situasi. Terkadang, memang mudah merasakan haru dan pedih yang sama, kala momen itu masih menjadi bahan pembicaraan anyar di sepanjang hari. Momen besar yang mau tak mau melibatkan setiap raga yang telah memiliki kesadaran untuk dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. Keterlibatan itu, rasa perih itu, tatap dan tangis terluka, entah sampai kapan. Sebab seringkali rasa berubah mengikuti waktu, tren yang berlaku. Tak perlu tangis dan tatap haru ketika tak lagi banyak pembicaraan dan perhatian yang mengitarinya. Masa lalu yang harus dikubur bersama sekian penderitaan dari mereka yang merasakannya langsung. Sesuatu yang akan ditutup bersama pergantian waktu, dengan harapan petaka itu akan pergi jauh-jauh dan tak pernah akan kembali lagi. Keterlibatan itu, kepedulian itu, rasa ngeri, takut, khawatir, kasihan, pedih, dan perih itu, hanya sampai situ. Benarkah begitu?

Betapapun, bila diri kita menjadi bagian dari mereka yang telah menyisihkan sebagian kecil harta, kiriman doa, dan bahkan walau hanya sebuah tangis yang mampu mewakili perasaan hati menyaksikan apa yang mereka alami,…bersyukurlah. Sebab diri ini masih dikaruniai hasrat untuk ikut terlibat, walau hanya sesaat.

Untuk Mairita, dan semua yang merasakan perih dan luka di Banda Aceh dan sekitarnya.

Monday, December 27, 2004

Rahasia

Innalillaahi wa inna ilaihi raaji'uun...

Tidak pernah kita tahu kapan Ia akan mencabut nyawa dan menyudahi kehidupan di dunia. Tapi setidaknya, saat diri kita menyaksikan orang lain mengalami saat akhir kehidupannya, pastilah kita menyadari bahwa hanya Ia yang punya kuasa mengawali dan mengakhiri kehidupan kita. Pun melihat langsung tanda-tanda mendekatnya Hari Akhir, segera kita akan sadari betapa tak ada artinya congkak diri ini.

Last Friday, sekitar pukul 17.10 WIB, saat sedang rapat redaksi, saya menerima kabar bahwa salah satu paman saya yang tadinya dirawat di RS PGI Cikini, telah meninggal dunia. Sedih. Sebab saya tidak bisa memenuhi permintaan yang terakhir beliau sampaikan.

Tadi malam, baru 'ngeh' dengan berita gempa. Ribuan orang telah sampai di akhir hidup mereka. Bagaimana dengan saya?....

Teringat pesan seorang ulama besar, yang disampaikan kembali oleh The Boss saat diskusi dengan seluruh karyawan kantor,

"Rekayasa Kematianmu."





Friday, December 24, 2004

Kita Hanya Manusia

Tiba-tiba saja saya merasa kesal dan hati saya tidak tenang. Sebab percakapan yang baru saya lakukan dengan seorang teman. Apa yang kami bicarakan ternyata membangkitkan memori saya mengenai sebuah kejadian yang benar-benar ingin saya lupakan. Sebuah fitnah, ghibah, atau mungkin juga fakta yang telah terjadi menimpa diri saya dan mungkin juga teman-teman saya yang lain. Kesal. Memori itu seketika mengganggu perasaan dan mood saya untuk melakukan sesuatu jadi hilang.

Saya ingat, dulu saya pernah merasakan kekaguman yang luar biasa terhadap diri seorang teman. Dia salah seorang "pemimpin" saya. Katakanlah, seorang ketua sebuah organisasi. Saat itu saya berpikir bahwa saya tidak lagi akan pernah memiliki seorang pemimpin sebaik dirinya. Kepribadiannya, caranya berkomunikasi, kecerdasannya, dan apa yang para anggotanya rasakan dari dirinya. Saat itu, nyaris saja saya menelan bulat-bulat setiap omongan dan mencoba mengikuti apa yang ia lakukan. Kekaguman itu tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Dan ketika tiba saatnya ia melakukan sebuah kesalahan, saya benar-benar terkejut. Selama beberapa saat, diri saya sempat merasa 'oleng', kaget oleh sebuah kewajaran yang seharusnya saya pahami. Peristiwa itu perlahan membuka pikiran saya.

Tak lama kemudian, saya diberi kesempatan untuk bertemu dengan seorang yang baru saya kenal, yang akhirnya menjadi pemimpin dari sebuah kelompok kerja yang saya ikuti. Saya tercengang, sebab saya seperti kembali menemukan sosok pemimpin ideal pada dirinya. Dan saat itu saya berpikir bahwa sosok yang baru saya temui ini sungguh lebih baik dari seorang yang sebelumnya pernah membuat saya kecewa. Saya pikir, inilah dia sosok pemimpin idaman. Saya pun bertekad untuk menggali dan mempelajari sebanyak mungkin hal yang ada pada dirinya.

Dan ternyata, sekali lagi saya dibuat tercengang, sebab ia melakukan suatu hal yang akhirnya merugikan seluruh anggota yang dipimpinnya, termasuk diri saya. Kekecewaan yang saya rasakan saat itu pastilah sangat besar, hingga saya tak bisa melupakan perbuatannya tersebut dan merasa trauma serta enggan untuk berhubungan dengannya dalam bentuk apapun.

Demikian terjadi yang ketiga kalinya. Dan saya mencoba menarik napas sebentar, berpikir, dan kemudian mencoba sekuat tenaga untuk "berdamai" dengan semua itu. Tak lagi berguna segala umpatan dan kekesalan yang bersarang lama di hati saya. Toh hanya akan membuahkan penyakit tak berkesudahan. Seperti halnya penciptaan kelebihan yang ada dalam diri setiap sosok unik manusia, sebuah kesalahan yang hadir adalah sebuah kewajaran. Sebab ia selalu bisa memperbaikinya, bila ia mau. Sebab ia selalu bisa memilih untuk menjadi lebih baik atau menjadi yang paling buruk sekalipun, sebab Allah menjadikan akal dan hati sebagai pelengkap pada diri manusia.

Keikhlasan untuk memaafkan, adalah mungkin salah satu hal tersulit untuk dilakukan. Memaafkan diri sendiri dan orang lain, dalam setiap ketidaksempurnaan yang selalu tampak. Coba saja kita hitung satu per satu setiap detil kekurangan yang orang lain lakukan. Atau tulislah setiap rinci kekhilafan yang sudah kita sendiri lakukan. Bukan hanya yang kita sadari, melainkan kesalahan-kesalahan kecil yang tak terlihat. Sanggupkah kita? Rasanya tidak.

Saya malu. Sebab masih saja saya mempermasalahkan perbuatan orang-orang lain yang mengganggu ketenangan hati saya. Walaupun kejadian apapun yang mereka lakukan telah demikian menggores hati saya hingga sulit dilupakan. Saya malu. Sebab demikian besar waktu yang telah saya luangkan untuk menghitung dan mengingat-ingat kesalahan orang lain.

Padahal Allah Maha Memaafkan.

Seorang sahabat telah dijaminkan surga, sebab ia terbiasa untuk melapangkan hatinya setiap malam atas setiap kesalahan yang diperbuat oleh orang-orang terhadap dirinya.

Rasanya saya harus belajar lebih banyak untuk melihat diri sendiri dan orang lain sebagai "manusia". Mensyukuri segala kelebihan yang ada, menyadari bahwa suatu saat ia pun dapat berbuat salah, dan hal yang cukup sulit dilakukan, memaafkannya.

Belajar memberi kesempatan pada diri saya dan orang lain untuk menjadi "manusia", dengan mengerti bahwa setiap saat terbentang kesempatan untuk memperbaiki diri, seberat apapun kesalahan tersebut.

dedicated to Dhyny, Attin, Delia, and all my special friends...

Thursday, December 23, 2004

Tanda Cinta

Benarkah cinta dapat diwakili dengan simbol-simbol tertentu? Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa cinta disimbolkan melalui pemberian apa yang akhirnya diberikan kepada seseorang yang dicintai. Misalnya apa? Perhiasan. "Berikanlah ia segenggam berlian sebagai tanda cintamu padanya," Benarkah cinta dapat diwakili oleh seberapa besar karat berlian atau seberapa berat gram emas yang dipersembahkan kepada yang dicintai? Benarkah itu tanda cinta?

Seringkali pemahaman mengenai cinta tergelincir oleh tampilan fisik yang mencoba untuk menterjemahkan arti cinta itu sendiri. Memang bebas lah setiap orang yang ingin menterjemahkan arti cinta itu berbeda dari orang lain. Mungkinkah tampilan fisik dari cinta itu pun disajikan berbeda sesuai selera? Mungkin saja.

[belom selesai...ntar lagi yah...]

Wednesday, December 22, 2004

Untuk Ibu, Hanya Cinta

Sudah sejak lama saya merindukan saat itu. Saat saya bisa memberikan sesuatu untuk ibu. Saat sesuatu itu bisa menjadikan ibu tersenyum dan sekali lagi merasakan cinta untuknya. Walau ternyata kasih itu tak terukur.

Saya selalu merasa iri, setiap kali membaca tulisan dari orang-orang mengenai ibu mereka. Demikian indahnya barisan kalimat cinta yang saya baca. Saya yakin, di antara mereka yang menulis itu pastilah ada yang sampai tak tahan hingga menangis, oleh sebab perasaan yang tak lagi bisa dibendung. Mungkin mengingat betapa sering tersakiti hati ibu oleh perilaku yang walau tak disengaja. Mungkin mengingat betapa payah balasan yang diberikan kepada ibu, walau tak pernah terhitung banyaknya. Mungkin menyadari ketidaksanggupan diri untuk mengobati luka yang ibu rasakan di tengah pengabdiannya pada keluarga, juga kekhawatiran bila tak sanggup menceriakan hati ibu sepenuhnya-sebab tak pernah mengerti kesedihannya. Sebab ibu selalu menyuguhkan senyumnya yang termanis untuk kami semua. Sebab ibu selalu hadir setiap saat ada senang dan derita.

Ibu yang selalu cemas ketika ia melihat gundah tergambar di wajah saya, ibu yang selalu mengetahui susah hati yang saya rasakan walau semua itu tidak terucapkan, ibu yang terlihat binar di wajahnya ketika riang yang saya bawa pulang.

Hari ini ibu pasti tersenyum,
padaku,
akhirnya.

Karena kubawa berita suka,
tidak lagi derita,
seperti kemarin dulu.

Senyum ibu berarti dunia,
bagiku,
selamanya.

Sebab kali ini senyum itu berarti
tak lagi kutambah susah hati,
untuk ibu dan aku sendiri.

Tiada aku menangis lagi.

(9 Agustus 2004, alhamdulillahirrobbil'aalamiiin)


Saat saya akhirnya bekerja dan mendapatkan penghasilan sendiri, saat saya telah memilih dan memutuskan untuk melengkapi rencana masa depan saya dengan menikah, saat saya mengalami keberhasilan-keberhasilan kecil dalam aktivitas saya,…saat itu saya pikir saya telah memuaskan dan memenuhi harapan dan keinginan ibu. Namun sesungguhnya, harapan dan keinginan ibu hanya satu, yaitu melihat anaknya bahagia. Itu semua bukan untuk ibu, melainkan untuk diri saya sendiri. Mungkin saya memang tak pernah bisa memberikan balasan apapun untuknya.

Ibu, saya hanya punya cinta. Yang mungkin juga tak cukup untuk menggantikan setiap peluh dan air mata.

Ibu, saya menjanjikanmu doa. Menghadirkanmu dalam bayang hati saat lantunan pinta itu perlahan menelusup dalam ucapku.

Ibu, rindu ini untukmu.

Dipersembahkan untuk semua IBU, dan setiap mereka yang akan menjadi IBU, dan juga mereka yang sedang mempersiapkan diri untuk menjadi IBU.

Wednesday, December 15, 2004

Ganti Tahun=Pusing?

Fiuh!

Pusing banget nih 'pala...tauk ya kenapa. Mungkin karena bentar lagi deadline nyerahin Laporan Keuangan Tahunan ya?? Aaaahh...tidaaaakkk!

Bulan Desember, berarti bikin laporan, ngetik-ngetik, ngitung-ngitung, n rapat-rapat. Dan tiba-tiba aja gairah menulis jadi turun. Ah, emang dasar lagi males aja deh! Padahal peluang-peluang itu terbuka lebaaar bangeet...hiks.

Bulan Januari, berarti Raker. Waks! Pembaharuan, dan mudah-mudahan pencerahan. Resolusi apa ya buat taun depan...? mmmm....*mikir*

Tuesday, December 14, 2004

Kekuatan Itu

Selalu ada kekuatan yang terlihat dari pancaran raut wajah, yang senantiasa mengalirkan kekuatan, serta berlandaskan iman dan menghembuskan semangat, dimana tanpanya tidak sempurna iman seseorang. Kekuatan itu bersumber dari perasaan mencintai saudara selayaknya cinta itu kita curahkan kepada diri kita sendiri.

Teringat perkataan seorang sahabat, yang kerap membuat hati ini menjadi haru saat mengingatnya. Bahwa ia merasakan kekuatan yang bertambah ketika tiba di tempat di mana saudara-saudaranya berada. Walau dalam diam. Walau tanpa sapa. Rasanya seperti bertambah kuat beberapa kali lipat, katanya. Saat hati ini kering, mungkin penat sudah menjadi tak berasa lagi, memandang wajah atau mendapati sosok-sosok tersebut adalah sebuah aliran energi yang bisa mengguyur kekeringan itu. Subhanallah…indah. Kalau memang hal itu bisa dirasakan oleh setiap diri kita, begitu pikir saya waktu itu. Mungkin beberapa di antara kita akan berkomentar “yah..begitulah keindahan ukhuwah islamiyah..” atau “itulah kelebihan persaudaraan dalam Islam”. Dan komentar lain yang serupa yang menyiratkan kepiawaian dalam mengenal kata ukhuwah tersebut. Sebuah topik yang menjadi awalan pembicaraan ketika seseorang mulai mengenal Islam lebih jauh, sebuah topik yang akan terlontar dengan ringan untuk selanjutnya sebagai keyakinan akan sebuah kekuatan.

Baru-baru ini seorang sahabat merasakan kehilangan seorang yang sangat ia cintai. Ibunda tercinta. Diringi dengan tekad ingin menunaikan haknya, saya pun datang ke rumahnya untuk bertakziyah. Mulanya saya tidak merasakan apapun kecuali empati akan apa yang mungkin ia rasakan, dan juga keinginan unuk menambah kekuatan padanya dengan kehadiran di sisinya.

Ketika berada di rumah duka, saya baru menyadari begitu banyaknya jumlah teman-teman yang datang. Sebagian besar saya kenal, mereka adalah teman-teman dari kampus. Saya jadi saya teringat kejadian malam sebelumnya. Ketika telepon di rumah tidak berhenti berdering hingga tengah malam. Mengabarkan berita duka, menyebarkan berita tersebut, membuat janji untuk takziyah. Keesokan paginya, mulai habis subuh hingga sekitar satu setengah jam berikutnya terjadi hal yang sama. Saya menelpon, atau ditelpon untuk saling memberi kabar dan membuat janji. Pada saat itu, saya tidak berpikir apa-apa. Toh hal itu sudah biasa terjadi. Hingga kedua orang tua saya bertanya dan saling berkomentar dengan nada keheranan, untuk apa semua kesibukan ini. Seketika saya tersadar, bahwa itu semua tak kan terjadi melainkan karena cinta.

Kekuatan itu memang tampil sederhana. Kebiasaannya menyelip di sela-sela kata yang kita ucapkan, atau kalimat-kalimat yang senantiasa kita lontarkan, yang sedemikian rupa menjadi sebentuk keyakinan bahwa ia menggetarkan. Ia adalah rahmat, maka bersyukurlah ketika kita dapat merasakan keindahannya yang hanya dapat dinikmati dengan kebeningan hati.

”Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan kecintaan kepada-Mu, bertemu untuk taat kepada-Mu, bersatu dalam dakwah-Mu, dan berjanji setia untuk membela syariat-Mu, maka kuatkanlah ikatannya, abadikanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalannya, dan penuhilah ia dengan cahaya-Mu yang tidak pernah pudar…”

Januari 17th 2002
Untuk semua sahabat, semoga hati-hati kita selalu tergenang dalam cinta….

Tentang Pengorbanan

Pengorbanan adalah sebuah keharusan. Berat memang. Tetapi ketika sedikit demi sedikit kata itu mulai dimengerti, lalu dipahami, akhirnya akan menjadi suatu hal yang secara otomatis mencuat ketika muncul kondisi-kondisi tertentu. Sebuah hal yang monoton-kadang terasa dipaksa atau terjadi begitu saja tanpa rasa? Tidak juga. Hanya sebuah pemahaman yang berjiwa yang kemudian dapat meresapnya dalam-dalam hingga ia keluar dari lubuk hati menjadi sebuah perbuatan, yang berdasar sebuah kecintaan. Sulit dipahami? Tentu saja.

Pengorbanan adalah keterbelengguan-atas semua sikap yang tidak ingin dilakukan namun terlakukan demi hal lain? Bukan. Pengorbanan adalah sebuah kemerdekaan. Bagi mereka yang melakukannya untuk cinta. Sebuah ekspresi. Ya, unjuk rasa bebas ijin yang boleh dilakukan kapan saja tanpa perlu takut dicemooh. Tetapi kadang, ia menjadi begitu menggelikan. Bagi hati yang memuja dunia.
Kerap kali saya bertanya pada diri sendiri, “Kenapa harus aku yang selalu berkorban?” Ini terjadi saat diri saya merasakan ganjalan sebesar batu bata yang menindih perut. Tiap kali saya berhadapan dengan sebuah keadaan, yang bernama tekanan.

Tekanan, bagi saya pada saat ini adalah bukan lagi keasyikan dalam menghadapinya. Melainkan sebuah beban yang ingin segera dienyahkan. Dan tidak juga sebuah tantangan yang menguji kecerdasan emosi diri yang kerap membuktikan peningkatan atau penurunan dalam hasilnya. Dan kali ini bukan tingkat kecerdasan emosi yang ingin saya raih. Melainkan sebuah keyakinan bahwa untuk hal apapun, saya tak ingin jadi satu-satunya orang yang berkorban.

Oh, pada saat pikiran tersebut terlintas, saya lantas bertanya kepada diri sendiri, “Memangnya sudah sejauh apa kamu berkorban?”
Ya memang tidak seperti Rasulullah. Yang rela ditimpuki batu dan kotoran, juga cacian dan makian, dan segenap penghinaan lain seumur dakwah yang beliau lakukan.

Juga belum seperti Abu Bakar, yang menghabiskan seluruh harta yang ia miliki dalam satu waktu untuk keperluan perjuangan kaum muslimin menghadapi perang melawan kaum kafir. Hingga ia menyisakan hanya Allah dan Rasul-Nya untuk keluarganya tercinta. Hingga Umar bin Khattab pun akhirnya rela undur diri dari perlombaan itu dan mengakui ketinggian iman Abu Bakar. Dan Rasulullah mendeklarasikan bahwa apabila keimanan dari seluruh umat manusia yang hidup di dunia ini ditimbang maka tak sedikit pun menyamai keimanan Abu Bakar.

Dan saya pun menyadari bahwa tiada lah sama diri ini dengan Sayyid Qutb, yang dengan ketajaman penanya ia mengakhiri hidupnya di tiang gantungan. Demi sebuah keberanian menuliskan kebenaran. Pun tidak layak disandingkan bak Zainab Al Ghazali, yang sanggup menaklukkan kekejaman aktivitas penjara dengan semangat yang tak padam. Tiada pula seperti Mushab bin Umair, yang telah melepaskan seluruh kenikmatan dunia yang ia punya untuk sebuah ikrar janji berjuang di jalan Allah. Sampai akhirnya Rasulullah tercinta menangis tersedu melihat jenazahnya yang tak tertutupi kain yang ia kenakan saat itu.

Sepanjang kehidupan ini, sejauh yang bisa kita cari, sudah ada terlalu banyak orang-orang mulia yang melakukan pengorbanan melebihi dari apa yang mungkin sudah kita lakukan selama ini. Sakit, kepayahan, lelah, penderitaan, dan segala istilah yang menjelaskan tentang pengorbanan. Tapi saya masih saja sibuk menghitung-hitung berapa banyak kebaikan dan pengorbanan yang telah saya lakukan? Dan saya masih saja bisa merasakan bahwa selama ini saya terlalu banyak berkorban dan menerima balasan yang tidak setimpal?

Sungguh, saya malu.

[19 Maret 2004]

Wednesday, November 24, 2004

Sebutir Debu Saja...

Abis baca blog-nya Attin. Terbengong sebentar, dan langsung kepikiran buat nulis di blog juga. Inget kemaren, Suhu Bayu Gaw nanya, "Vit, blog-nya belom di up date yah?" Iya. Belom. Banyak sih yang numpuk di kepala, nyempil2 sampe nyaris jebol, nggak muat, pengen tumpah. Mulai dari mana ya?

Refleksi Ramadhan.
Gagal kah? Berhasil kah? Tulisan Attin di blog-nya menggelitik saya untuk menulis sesuatu juga. Evaluasi yang terlambat? Nggak juga. Timing 'nulis'nya aja yang telat. Defense nih ye...hehehehe.

Ramadhan tahun ini, seperti biasa, kegairahan di masa-masa awal bulan suci menyentil saya berkali-kali untuk mengingat-ingat lagi apa yang telah terjadi pada Ramadhan tahun kemarin. Pokoknya, tahun ini musti lebih baik!!! *ngotot*

Dan di perjalanan hari-hari selanjutnya,...ujian-ujian kecil itu datang dan pergi. Ramadhan kali ini, saya harus terpaku di meja kerja di kantor, pulang selalu lepas maghrib dengan badan pegal dan nyaris kehilangan semangat untuk mengisi malam. Bagaimana dengan tilawah? Sholat sunnah? Dzikir? Berinfak?.....Sebuah perenungan panjang untuk kembali bertekad supaya tak membiarkan Ramadhan selanjutnya terlewati tanpa perbaikan dan peningkatan. Tidak perlu ada penyesalan berkepanjangan. Rasanya, mulai dari sekarang saya harus belajar lagi menghitung secara matematis berapa jumlah kerugian yang saya alami tahun ini, melewati detik-detik penuh ganjaran kebaikan yang harusnya bisa saya raih, sekaligus penataan hati menyangkut soal keikhlasan dalam beramal. Sedikit berkualitas? Atau banyak berkualitas? Nggak perlu berdalih. Saya memang harus berusaha lebih keras.

Sepuluh hari terakhir, full of excitement!
Selalu banyak yang saya alami selama waktu emas tersebut. Tahun lalu, kegembiraan itu saya lewati selama 5 hari di Masjid Baitul Ihsan (BI), Budi Kemuliaan. Tahun ini, 8 hari. Subhanallah walhamdulillah...Dan beberapa malam di antaranya saya lewati sendirian, tanpa teman ngobrol. Sendirian. Enak. Sebab mendekati akhir, saya benar-benar butuh waktu berduaan dengan Sang Kekasih. Rasanya, kalau bisa, saya mau orang-orang di sekeliling saya, yang juga berlomba merebut perhatian dari-Nya, tak menyaingi saya. Saya mau benar-benar berduaan saja!

Ada sesuatu yang hilang di Ramadhan kali ini, ada sesuatu yang kurang di Ramadhan kali ini, namun ada juga sesuatu yang membuat saya berdecak kagum sekaligus heran dan bersyukur bahwa Ia telah memberikan saya sesuatu yang terbaik yang membuat saya sekali lagi bertambah yakin bahwa Allah sungguh Maha Tahu apa yang paling dibutuhkan oleh hamba-Nya, Maha Pengabul Doa, Maha Pemberi Nikmat, Maha Mendengar sekecil apapun lintasan hati, pikiran, dan ucapan hamba-hamba-Nya.

Keajaiban. Adalah kenikmatan tersendiri yang memantapkan dan membersihkan hati yang seringkali tergelincir karena khilaf dan dosa. Bukan karena telah mendapatkan kesenangan lantas saya berkata begitu. Bukan. Namun saya sekali lagi bertambah yakin, bahwa diri saya benar-benar tak punya kuasa apapun untuk meragukan (walau sedikit saja) kekuasaan Allah atas makhluk-Nya.

*minjem teks SNADA* Saya benar-benar hanya sebutir debu di hamparan pantai-Nya.

Thursday, November 04, 2004

Sensitif, Melankolis, dan Romantis

Karena di tubuhku ada jiwa, maka ia bisa merasa. Sebab aku memiliki hati, maka ia tak pernah henti bercakap pada diri.

Seorang teman saya bilang, bahwa saya ini orang paling sensitif dari yang pernah ia temui. Mungkin itulah kesan mendalam yang ia rasakan pada diri saya. Sebab apa? Sebab saya selalu memikirkan segala sesuatunya secara berlebihan, katanya. Sebab saya selalu memasukkan segala peristiwa ke dalam perasaan, katanya. Saya pun mengakuinya. Sebab sensitif itu membawa saya ke dalam diri orang lain. Karena saya ingin menjadi bagian dari orang-orang yang saya sayangi, apapun yang mereka alami dan rasakan saat itu. Saya memang sensitif.

Persoalan sensitif ini kemudian menuju pada satu kalimat khas yang sering saya dengar. Wah, dasar cewek! Nggak heran deh ya kalau kamu sensitif begitu.

Tuduhan macam apa itu? Belum pernah saya menemui seorang manusia pun yang tidak memiliki perasaan. Sebab itulah yang membedakannya dari binatang. Perasaan. Merasakan. Memberikan rasa. Wajar saja toh? Begitu pikir saya. Tak peduli apakah itu perempuan atau laki-laki. Menurut saya, merasakan sesuatu kemudian menangis, atau tertawa, atau tersenyum, atau merasa kesal, atau apa saja, itu fitrah adanya bagi kita semua.

Suatu kali, entah sengaja entah tidak, saya menghasilkan beberapa tulisan ringan yang bertemakan sama. Tentang cinta. Saya tidak mengerti apa alasan di baliknya, sebab tangan ini terus saja mengetik hingga tulisan-tulisan itu selesai, sambil mengingat-ingat segala ide yang berloncatan nyaris hilang dari kepala ini. Saya menulis karena saya merasakan sesuatu yang menarik untuk ditulis. Itu saja. Dan dua kata yang menempel pada diri saya kemudian; melankolis dan romantis. Ada yang merasa geli mendengarnya. Bagi saya, itu pujian. Dan saya tersenyum saja.

Tersenyum, sebab rasanya melankolis itu membawa sesuatu. Romantis itu menghasilkan sesuatu. Beberapa teman rasanya terpancing, dan mereka pun bersemangat untuk menulis. Saya tidak mengatakan bahwa mereka terinspirasi oleh diri saya. Tapi saya akan sangat senang sekali bila memang demikian adanya. Sebab, itu artinya, sensitif, melankolis, dan romantis yang saya punya menyemangati semua.

Pagi itu, saya terharu membaca tulisan-tulisan dari mereka, teman-teman saya. Tersenyum-senyum sendiri, dan saya pun memberikan komentar untuk tulisan mereka. Ada yang bilang, bahwa ia menyelesaikan tulisannya pun sambil menangis. Yang lain, ikut terharu biru dan mengatakan bahwa ia menuliskannya dengan sepenuh hati.

Ah, saya tak tahu apa itu definisi sensitif, melankolis, dan romantis. Pentingkah? Bila saya bisa menghasilkan buah pikiran saya dan memberikan manfaatnya kepada orang lain.

Ah, baru saja perasaan saya tertumpahkan di tulisan ini. Saya tahu, disamping tiga label di atas, ada seorang lagi yang akan berkata pada saya seusai ia membaca judul tulisan ini,

“Dasar penulis!”

Instrumentalia Hati

Tadi pagi di AC28, bisa duduk sampai kantor! Senangnya!

Dua orang pengamen yang sudah stand by, mulai beraksi setelah bus bergerak keluar dari pintu tol Jatibening. Bukan lagu pop, dangdut, atau ciptaan Ebiet G. Ade yang sering dinyanyikan, bukan. Bukan juga lagu khas para pengamen, dari Iwan Fals, bukan juga lagu-lagu "nggak jelas" yang biasa mampir lewat sekedar minta recehan. Pagi ini, saya mendengar musik instrumentalia dari dua orang pemuda yang mahir memainkan gitar dan biola. Wah, rasanya seperti diiringi Tohpati dan violis dari grup Arwana. Merdu.

Saya pun melirik ke kiri dan kanan, hanya satu orang yang tidak kebagian tempat duduk, berdiri. Yang lain, nyaman dengan posisinya masing-masing, dengan mata terpejam. Tidur. Baru kali ini saya merasakan nyamannya pergi ke kantor. Lantas kedua kaki ini pun diselonjorkan.

Seandainya yang saya dengar itu adalah alunan ayat-ayat Alquran, pasti akan kedengaran lebih merdu. Bukan saja merdu, melainkan begitu menyejukkan hati. Ah, saya penasaran. Akankah hati ini tergetar bila kali itu saya mendengar ayat suci-Nya? Seberapakah kenikmatan yang kedua telinga saya rasakan bila saat itu bukanlah lagu instrumentalia yang saya dengar, melainkan ayat-ayat-Nya? Ataukah saya lebih suka mendengar yang lainnya sebab hati ini kian kesat? Padahal Ramadhan ini sebentar lagi pergi.

Terkadang, sesuatu yang menjadi kesukaan manusia bukanlah merupakan hal terbaik yang ia butuhkan. Bahkan hal yang terbaik itu seringkali harus dicapai dengan susah payah dan penuh perjuangan. Tidak semudah meraih hal-hal yang telah menjadi kesenangan semata. Tidak semudah mendapatkan kegemaran-kegemaran yang bergelimang maksiat ataupun kesia-siaan. Memang benar, bahwa surga dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disukai manusia, sedangkan neraka berpagarkan syahwat.

Saya pun bertanya dalam hati, apakah saat itu saya membiarkan kedua telinga saya menjadi saksi bahwa saya lebih memilih untuk mencari kunci dan membuka pintu pagar neraka. Padahal detik itu, saya sedang berada pada bulan yang tiada waktu yang tersisa kecuali di dalamnya ada keberkahan dan ampunan-Nya.

Godaan itu hanya sebentar rupanya. Tak sampai setengah perjalanan, mereka pun berhenti.

Sepertinya nikmat dunia memang hanya diciptakan untuk sesaat. Sesaat dinikmati, kemudian hilang. Bila mereguknya berlebihan, tentu akan hilang rasa nikmatnya. Seperti orang yang terlalu banyak makan, perutnya penuh, bukan nikmat melainkan kekenyangan sampai kehabisan napas. Seperti orang yang berambisi mencari harta, setelah dapat, bukannya senang melainkan khawatir berlebihan akan hartanya tersebut. Menggenggam erat-erat apa yang dimiliki sekarang, akhirnya toh akan usai juga akhirnya. Dan kita semua akan kembali tanpa membawa apa-apa. Hanya sedikit, dan hanya sebentar. Sebab sisa kenikmatan itu akan Ia berikan nanti, di akhirat, bagi mereka yang mendapat ganjaran atas imannya.

Perjalanan masih setengah lagi jauhnya, suasana bus hening. Posisi duduk saya semakin nyaman. Kali itu, tidak dengan diiringi apa-apa. Tetapi saya berdzikir sendiri. Tak peduli kiri dan kanan mungkin akan memandang heran melihat mulut saya berkomat-kamit sendirian. Biar saja. Saya sedang melantunkan lagu saya sendiri. Instrumentalia hati.


Buat 9868sisterhood,...i'tikaf yuk!!!

Monday, October 25, 2004

Tak Seberat yang Kaukira

Terkadang kita berpikir bahwa apa yang sedang kita alami, ujian yang sedang kita lewati, adalah yang terberat dari yang ada. Adalah yang terberat dari semua. Diri kita, adalah yang paling menderita, hingga tak lagi sanggup kita memikirkan orang lain selain bagaimana berlepas diri dari ujian ini. Lalu, tenggelamlah kita dalam lumpur derita. Hingga berat rasanya untuk meraih pegangan di atas sana, untuk mengangkat diri ini supaya tak berlama-lama terjerat di dalamnya. Tenggelamlah kita.

Hari itu, saya datang ke kantor dengan kedua mata nyaris bengkak. Setelah hampir semalaman menumpahkan air mata sejadi-jadinya, sendirian. Rasanya tidak ada satu pun gairah yang menempel menyertai saat kedua kaki ini melangkah pergi. Dan sesampainya di kantor, saya menahan lidah kuat-kuat. Tak boleh sebersit pun terucap segala keluh kesah tadi malam. Kerja ya kerja. Saya tak ingin mencampurinya dengan permasalahan pribadi. Pasang muka cerah, memaksakan diri untuk selalu tersenyum. Dan hari itu, tak ada satu pun yang menyadari kedua mata ini yang nyaris copot dan kepala kian berdenyut sebab tangis itu terbawa sampai tidur. Tadi malam.

Hari itu, saya menemui seorang teman sedang menahan kesal di hatinya. Baru saja berselisih dengan seorang teman yang lain. Sampai luapan emosi itu tak tertahankan lagi, padahal tak pernah sekali pun saya melihatnya demikian. Saya ingin memaksanya untuk bercerita, ia pun menceritakan. Dengan nada datar, terlalu datar. Malah ditambahi dengan senyum dan cengiran khasnya. Siang hari, sampai menjelang sore, celotehnya tetap berkisar tentang target-target bulanan. Tapi entahlah, saya merasakan dirinya begitu berbeda hari itu.

Pembicaraan ketika presentasi, saya melihat kedua matanya berkaca-kaca, dengan suara nyaris gemetar. Seolah saat itu saya melihat beban berkilo-kilo tergantung di kedua pundaknya, dan entah apa yang kian menyesakkan dadanya. Seolah bila ada tombol ‘on’ yang tertempel di tubuhnya dinyalakan, ia akan segera meledak. Percakapan setelah pertemuan, ia mengatakan bahwa yang ia rasakan sekarang adalah ketidaksanggupan yang amat sangat. Dengan wajah yang dipaksakan tersenyum.

Sungguh, saat itu, saya ingin langsung memeluknya. Dan berkata padanya, “Menangislah! Agar beban itu tertumpah sebagian, supaya hatimu lega, supaya bisa berbagi berat itu kepadaku sebagian.”

Sore hari, setelah menunaikan perjumpaan dengan-Nya. Seorang teman lagi bercerita dengan lancar peristiwa penting yang dialaminya hari itu. Ia harus melepaskan ‘calon’ buah hatinya. Ia harus merelakannya pergi, sebab ditemukan kejanggalan pada perkembangan janin di rahimnya. Ia yang telah menantinya sekian lama.

Tak hanya itu, sederet kisahnya pun tumpah seketika. Yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Sebab tak demikian yang saya dapati dari wajah dan penampilannya sehari-hari. Ia, yang begitu ceria, ternyata menyimpan begitu banyak luka. Ia yang tampak begitu tegar, sore itu, air matanya tumpah juga.

Saya tertegun. Dan saya hanya bisa berkata, “Sabar ya mbak…ini cobaan dari Allah.”

Sesaat setelahnya, saya kembali ingat pada kedua belah mata saya yang masih bengkak. Tak sempat lagi saya rasakan pening di kepala, seorang teman lagi bercerita. Tentang kesulitan-kesulitan yang dialaminya dalam prosesnya mempersiapkan pernikahannya. Yang rasanya bila hal itu menimpa diri saya, tak tahu apalagi yang bisa saya lakukan untuk mengatasinya sendirian. Saya tak tahu harus berbuat apa, kecuali melantunkan doa dalam hati, “Semoga Allah memberinya kemudahan dalam ikhtiarnya ini…”

Mendekati pukul lima, sebentar lagi pulang. Saya nyaris melupakan apa yang telah saya alami semalam. Pun bengkak di kedua mata seperti tak ada artinya. Hari itu, saya mulai dengan berpikir bahwa saya adalah orang yang paling malang plus satu-satunya karyawan kantor yang datang pagi-pagi dengan mata bengkak. Dan saya rasa tak kan sanggup saya berkonsentrasi dengan pekerjaan, apalagi ‘mood’ untuk mendengarkan lagi lebih banyak masalah-masalah yang ada.

Tetapi kenyataannya tak demikian. Tanpa diminta, saya telah menyaksikan ‘penderitaan’ yang juga dialami oleh teman-teman saya. Tanpa diminta, satu per satu mereka bercerita. Dan sampai akhir hari, saya menemukan bahwa diri saya tak lagi merasa menderita.

Seringkali, saya merasakan bahwa setiap kali menghadapi masalah, maka tak seorang pun akan merasakan apa yang sedang saya rasakan. Sepertinya, saya lah satu-satunya orang yang paling menderita di dunia. Tetapi, kemudian saya akan kembali menemukan bahwa saya tidak sendirian. Masih banyak lagi mereka yang merasakan perih yang sama, bahkan lebih.

Seringkali, setiap saya menyadari adanya kesulitan yang dialami orang lain, energi saya yang tadinya nyaris pupus, malah semakin bertambah. Saya tak boleh lemah, sebab ada orang-orang yang lebih menderita. Saya tak boleh lemah, sebab mereka pun membutuhkan saya. Penderitaan mereka, sahabat-sahabat saya, adalah penderitaan saya juga. Penderitaan saya, rupanya tak seberat yang saya kira….


Buat tiga orang yang disebutin di atas,…”Aku sayang kalian!!!”

Thursday, October 21, 2004

Sebab Cinta Tak Kenal Waktu

eramuslim-Publikasi: 21/10/2004 07:34 WIB

Apa kabar, Yang?
Semoga makin berpeluh cinta-Nya.
Apa kabar hati?
Semoga selalu bersih dari noda.
Apa kabar iman?
Semoga kian menapak menapak maju.
Keep Allah in your heart,
And may He always loves you.
Kangen ...


Bait di atas adalah isi sebuah SMS yang saya terima dari seorang sahabat. Malam-malam, menjelang tidur. Saya kontan tersenyum. Mengingat perjumpaan hari itu dengannya. Tidak ada yang istimewa, sebab esok hari pun kami pasti akan berjumpa lagi. Ia, sahabat itu, adalah teman sekantor saya.

Senyum saya malam itu, juga sebab mengingat sebuah hal kecil yang seringkali saya alami. Dengan teman-teman dan sahabat saya. Hal sepele, namun berarti besar. Sering dilupakan dan bahkan tak lagi menjadi sesuatu hal yang penting, namun setiap kali merasakannya, pengaruhnya begitu besar. Sebuah perhatian.

Dulu, saya sering menganggap penting sebuah momen hari ulang tahun. Mengapa? Sebab pada hari itu, sekian banyak teman dan sahabat yang menghampiri, menyalami, memeluk, dan untaian doa mereka sampaikan lewat lisan, telepon, atau hanya mengirimkan SMS. Kalau ada satu dua orang yang lupa atau tidak 'berpartisipasi', apalagi bila ia adalah teman dekat, rasanya ada yang kurang. Mungkin juga terbersit perasaan kecewa. Walaupun hanya satu hari, tapi begitu membahagiakan rasanya. Sepertinya, hari itu bertabur cinta.

Bila memar yang bertalu/
Bila gebyar sendu yang menderu/
Dan jika pilu yang menyergapmu/
Maka temukan penawar dalam khusyu-mu/
Maka lerai gundahmu dalam pintamu/
Di penghujung malam.


Seorang sahabat, ia selalu hadir kapan saja dibutuhkan. Walau tak ada sosoknya, walau hanya untaian doa yang ia kirimkan. Seorang sahabat, memberikan banyak dan lagi tak meminta apa-apa. Bait di atas, adalah satu lagi SMS yang saya terima darinya.

Dulu, saya pikir, seorang sahabat yang baik adalah yang selalu mengikuti apa yang saya mau. Yang selalu mendukung segala yang saya perbuat dan lakukan. Yang memberikan dan mengajak saya untuk mendapatkan kesenangan dan lagi kesenangan.

Suatu hari, seorang sahabat saya di kampus berkata,

"Seneng banget deh kalau datang ke kampus. Aku bisa melihat kalian, walau kita nggak ngobrol, tapi lihat kalian ada di sana, itu udah bikin aku bersemangat!"

Ya, bukankah seorang muslim yang baik adalah apabila saudaranya melihat wajahnya, maka akan mengingatkan saudaranya itu kepada Allah? Yang tak sekadar memberikan kita kesenangan dalam keseharian? Tapi juga dengan tegas mengingatkan kala kita melakukan kesalahan. Yang tak sekadar menjadikan kita teman main dan menghabiskan waktu? Tapi juga menjadi penyejuk hati dan penegur diri saat hati ini beku.

... dan rinduku untukmu
selalu berderu
dalam gairahku
menuju cinta Rabb-ku,
lewat lisanku,
sampaikan doaku-
dalam malamku-
untukmu


Bait di atas, adalah isi SMS yang saya kirim kepadanya, malam itu. Perhatian-perhatian itu, cinta itu, sekarang, rasanya saya bisa mendapatkannya setiap hari. Sebab cinta tak mengenal waktu.

Wednesday, October 20, 2004

Inilah Jihad Kami !

Ramadhan belum genap satu minggu. Ada harapan besar untuk dapat melewatinya dengan tenang dan konsentrasi penuh meraih segala keberkahannya. Jiwa-jiwa yang bergembira menyambut hadirnya tersebar di mana-mana. Mereka yang berharap mendapat keberkahan ampunan serta ganjaran yang berlipat banyaknya. Mereka yang saling berlomba menjadikan momen langka ini sebagai waktu-waktu terbaik yang akan mereka lewati. Mereka yang mengharapkan sedikitnya pencerahan dan perbaikan kehidupan, sebab saat Ramadhan tiba, setiap orang tak mau melewatinya sia-sia.

Ramadhan memang selalu dinanti. Kekuatan magnetnya mendorong setiap jiwa untuk melacak ke setiap sudut dan celah perhatian-Nya. Menarik-narik setiap raga untuk bersimpuh dan meluruhkan hati demi ampunan dan taubat kepada-Nya. Setiap Ramadhan, mesti jadi ajang perlombaan tiap diri untuk menjadi hamba-Nya terkasih.

Ramadhan kali ini, tetap saja hangat. Walau kian banyak darah kaum muslimin tertumpah di luar sana. Walau bau mesiu, amis darah, dan bangkai manusia, kian semerbak menambah wewangian jiwa-jiwa yang melayang menuju-Nya dengan kesyahidan. Bukankah tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati? Dan kematian yang disambut sebab memperjuangkan keimanan, pula pada Ramadhan, adalah momen terbaik. Ramadhan, semakin hangat.

Tahun ini, Ramadhan saya lewati dengan tetap beraktivitas seperti biasa. Tak ada libur awal puasa, seperti kegembiraan anak-anak sekolah yang menyambut libur awal Ramadhan. Tak ada keringanan waktu, seperti para pelajar yang bubar sekolah lebih cepat supaya segera sampai di rumah. Berbuka bersama keluarga, sholat maghrib berjamaah, pergi ke masjid, tarawih, dan melewati malam panjang sampai sahur dengan ber-munajat sepuas hati. Tidak ada.

Bagaimanapun, masih ada mereka yang melewati Ramadhan dengan cobaan-cobaan yang lebih berat dari yang saya rasakan. Tetap beraktivitas? Tentu. Bahkan kian sibuk sampai lembur dan baru bisa pulang ke rumah setelah isya’ bahkan menjelang pukul sepuluh malam baru sampai di rumah. Pagi, siang, dan sore hari di kantor tak lepas dari rapat, diskusi, pekerjaan rutin, bahkan sejumlah urusan tender tetap lancar menghiasi jam kantor tanpa kompromi. Letih. Penat. Cemburu.

Cemburu kepada mereka yang tetap dapat melewati Ramadhan dengan malam-malam panjang berkhalwat dengan-Nya, tanpa tertidur kelelahan. Cemburu kepada mereka yang sebelum fajar tiba sudah bersimpuh dengan khusyu berdoa sampai waktu menahan segala dimulai, tanpa terlambat pergi ke masjid untuk berjamaah sholat subuh. Cemburu. Sebab ternyata waktu yang tersisa dari seluruh rutinitas keseharian, hanya sedikit sekali dibandingkan sekian detik berharga yang seringkali terlewati tanpa disadari.

“Inilah jihad kami !” Begitu kata mereka.

Ya. Jihad. Inilah dia ujian dari-Nya yang kembali menimpa orang-orang yang senantiasa berikhtiar untuk meraih kebahagiaannya di dunia dan untuk akhirat nanti. Inilah dia ujian dari-Nya, bagi kita semua, supaya lebih cermat menjaga kelancaran aktivitas tanpa lengah menguatkan ibadah. Inilah dia jihad, dan Ramadhan tak akan pernah menunggu. Maka, bersemangatlah!


Bukankah Rasulullah dan para sahabat pun melewatkan Ramadhan dengan berperang? Bukankah kemenangan adanya bagi mereka yang berteguh dalam keimanan serta memantapkan diri ketika ujian-ujian itu datang? Bukankah ganjaran nantinya tak lagi sanggup kita bayangkan pula kita hitung, sebab begitu besar kenikmatan bagi mereka yang menegakkan keikhlasan dalam berjuang?

Maka, berjuanglah dalam Ramadhanmu. Walau tak berhadapan dengan musuh, peluru, atau mesiu. Walau tak berada di jalan, memanggul senjata, dan berperang. Walau kewajiban dalam mencari nafkah memaksamu untuk duduk dan bekerja sepanjang hari dan tak terluang waktu untuk menikmati sepenuhnya bersama orang-orang terkasih. Walau letih dan lelah merayapimu hingga keesokan hari.

Sebab, inilah jihadmu.

Wednesday, October 13, 2004

Biarkan Bila Jatuh ke Jurang

Sebab jurang tak selalu berarti kekalahan,
sebab jurang tak melulu masalah ketakberdayaan,
sebab jurang tak selamanya tempat kejatuhan.

Karena jurang juga diciptakan untuk mereka yang ingin mendaki,
karena jurang ada bagi mereka yang berani,
untuk menyeberangi,
untuk menaikinya kembali, bila ia terjatuh nanti.

Jadi, biarkan bila jatuh ke jurang, bila memang harus jatuh.
Sebab selalu ada yang membantumu untuk
naik kembali.


Inspired from The Big Boss, Monday-Okt 11,2004

Wednesday, October 06, 2004

Saat Hati Telah Mati

eramuslim-Publikasi: 06/10/2004 09:16 WIB

Suatu kali, saya mendengar seorang teman baik saya menceritakan pengalamannya. Mengenai obrolannya dengan seorang supir taksi. Si supir rupanya baru pertama kali menjalani pekerjaan sebagai seorang supir taksi. Sebelumnya ia pernah bekerja di sebuah perusahaan negara, dan memiliki penghasilan yang lebih dari cukup. Maka, teman saya pun merasa heran. Mengapa kini ia memilih berprofesi sebagai supir taksi.

"Habis, saya dipecat dari perusahaan itu, neng"

"Wah, kenapa tuh, bang? Kok bisa dipecat? Apa karena efisiensi karyawan ya?"

"Oh, bukan, neng! Saya dipecat gara-gara ketahuan korupsi."

Kontan teman saya terbelalak. Kaget. Supir taksi tersebut mengatakannya sambil terkekeh-kekeh. Tak terlihat ada rasa malu atau penyesalan dari raut wajahnya. Begitu cerita teman saya.

"Terus, keluarga di rumah gimana, bang?" Teman saya pun bertanya kembali, masih dengan perasaan bingung.

"Oh, ... ya nggak apa-apa, neng. Biar dipecat juga, kan saya udah punya rumah. Ya, hasil korupsi itu tadi. Ya, udah puas lah saya. He he he ..."

Saya yang mendengar cerita itu, ikut bingung ingin berekspresi seperti apa. Ingin tertawa, sebab kok ya ada orang yang sudah berbuat salah tetapi malah bangga dengan kesalahannya. Merasa kesal, kalau saja saya yang mendengar langsung cerita itu, mungkin si supir sudah saya ceramahi habis-habisan. Pun kasihan, dengan seseorang yang tak lagi bisa membedakan perbuatan baik dan buruk. Atau sebenarnya ia bisa membedakan dan tahu jelas sanksi yang menjadi konsekuensinya, tetapi ia telah demikian tergiur hingga tak lagi peduli sebab harta sudah di tangan.

Sejenak kemudian saya membayangkan, apa jadinya bila hal itu menimpa diri saya. Bila nikmat harta itu terpampang di depan diri saya ini, apakah sanggup saya mempertahankan keimanan untuk tidak sedikit pun menjamahnya? Sebab saya tak pernah tahu dan seringkali tak menyadari saat hati ini perlahan mulai melemah. Ketika secara tak sadar, diri saya mulai memaklumi kesalahan-kesalahan kecil yang saya perbuat. Ketika pelan-pelan kemalasan mulai menarik diri ini dari kedekatan pada-Nya. Sampai benar-benar jauh, sampai tak lagi bisa merasakan apa-apa.

Saat hati kita telah mati, maka bisa jadi, seberapa pun usaha kita untuk melongok, melihat ke dalamnya-ia tak berisi. Untuk setiap kesalahan kecil yang kita perbuat, untuk tiap detil kemaksiatan yang terlakukan baik sadar maupun tidak, untuk pemakluman terhadap menumpuknya sudah segala bentuk kebiasaan-kebiasaan buruk kita, untuk dosa besar sekalipun, bila hati ini telah mati, maka ia tak lagi bisa memberontak, bahkan untuk sedikit saja tergerak.

Mungkin dalam alam bawah sadar, kita akan bertanya,

Wahai hati, mengapa tak lagi kudapat rasakan kelezatan itu.
Getaran saat diucapkan nama-Nya.
Rasa yang merayap melebihi biasa, ketika kudengar ayat-ayat-Nya.
Atau pedih kala kuingat kembali, betapa penuh dosa diri ini.
Pula sergap rasa takut yang menjelang, sewaktu kusadari kobar neraka tak kan henti menyala.


Duhai hati, kian kesatkan dirimu kini?
Apakah ini saatnya engkau mati?


Duhai rindu, datanglah kembali ...

Saat itu, setelah teman saya selesai bercerita, saya langsung bergidik. Ngeri, membayangkan bila itu terjadi pada diri saya. Saat itu, saya bilang padanya,

"Nanti, kalau gue udah mulai 'bandel', elo harus jadi orang pertama yang ngingetin gue, ya !!!"

Spesial buat adek-adek "Musholla Al Huda"

Wednesday, September 29, 2004

Orkestra dan Nyanyian dari Hati

eramuslim-Publikasi: 29/09/2004 07:54 WIB

Seperti biasa, selepas kerja saya dengan setia menanti bus AC yang biasa saya tumpangi setiap hari. Sengaja tak berlama-lama di kantor, berharap naik bus yang tak terlalu penuh bila belum jam setengah enam sore. Tak berapa lama menunggu, dari kejauhan saya melihat bus AC tersebut. Tanpa pikir panjang lagi, saya mengejarnya.

Beruntung sekali, ternyata bus itu masih setengah kosong dari penumpang. Saya pun segera duduk dan bersiap untuk tidur. Perjalanan masih jauh.

Beberapa menit, sebelum saya benar-benar tertidur, saya mendengar sayup-sayup suara pengamen di dalam bus. Dalam hati saya bergumam, biarkan saja. Siapa tahu pengamen ini sama seperti pengamen yang beberapa hari lalu menyegarkan telinga-telinga penumpang yang kelelahan di bus, sebab suaranya lumayan enak didengar. Saya pun semakin erat memegang tas di pangkuan dan membetulkan posisi duduk supaya nyaman.

Sebentar kemudian, beberapa orang yang berdiri di dekat bangku saya mulai berbisik-bisik. Rupanya mereka terganggu dengan pengamen itu. Saya tak jadi tertidur dan mulai memasang telinga baik-baik, mencoba mendengarkan. Memang aneh. Entah lagu apa yang dinyanyikannya. Tak ada yang salah dengan alunan gitar yang ia mainkan. Suaranya pun tidak sumbang.

Yang aneh adalah lagu yang ia nyanyikan. Entah bahasa apa. Kadang bahasa Inggris, kadang bahasa Indonesia, sedikit campuran bahasa Arab, entah apa artinya. Pengucapannya pun tidak jelas. Malah, awalnya saya mengira ia menyanyikan lagu dengan bahasa Jepang. Hebat sekali, begitu pikir saya.

Beberapa menit berlalu, dan setiap orang benar-benar terusik oleh nyanyiannya. Kondektur bus yang menagih ongkos kepada saya pun bergumam, "Nyanyi apa sih!" Juga beberapa penumpang yang saling berbisik dan bertanya-tanya, sebab si pengamen kerap mengulang sebuah kata -yang entah berasal dari bahasa apa- dalam lagunya.

Lain lagi dengan pengamen bus patas ac yang saya tumpangi kemarin. Kali ini seorang perempuan, dengan dandanan lumayan nyentrik. Ia memegangi gitar lengkap dengan sarungnya. Wah, penyanyi profesional nih. Begitu pikir saya. Ketika ia mulai menyanyi, saya merasa senang. Sebab ia menyanyikan bait nasyid yang dipopulerkan oleh Raihan, grup nasyid dari Malaysia. Begitu pula dengan lagu berikutnya, ia menyanyikan salawat.

Tetapi lama-lama saya dengar, suara gitar yang dipetiknya amat sumbang, dan telinga saya sampai sakit dibuatnya. Makin lama ia menyanyi, suara gitarnya makin kencang, dan rasanya suaranya sampai mendengung dan membuat kepala saya sakit. Namun tampaknya si pengamen tak menyadari bahwa nyanyiannya -terutama suara petikan gitarnya- begitu mengganggu para penumpang. Ibu-ibu yang duduk di seberang saya berkali-kali menoleh ke arah pengamen itu sambil bersungut-sungut. Tapi si pengamen tetap bernyanyi dengan tenang, mengulang tiap lagu yang dinyanyikan sampai dua kali, hingga setengah perjalanan. Ketika ia selesai, rasanya saya bisa mendengar hampir semua penumpang menarik napas lega.

Setelah sampai di rumah, saya berpikir bahwa ketika saya atau penumpang lain yang berada di dalam bus merasa terganggu dengan keberadaan mereka, para pengamen itu, mungkin pada saat yang bersamaan, sedang berupaya menghapus rasa malu dan menumbuhkan kepercayaan diri mereka untuk berhadapan dengan kami semua, demi receh-receh yang sekuat tenaga mereka kumpulkan. Walau tak memiliki suara merdu, pun tak punya modal kemahiran bermain gitar, itu semua tak jadi soal. Perih yang terasa di perut mereka, seolah memainkan musik sumbang yang terpaksa mereka dengar setiap waktu. Tapi bagi kami, para penumpang bus, mungkin nyaris tak ada yang peduli dengan nyanyian yang keluar dari mulut mereka, apalagi untuk ikut merasakan perih dan mendengarkan "orkestra" dari perut mereka.

Saya ingat, bahwa saya seringkali merasa terganggu apabila kebetulan pengamen yang berada di dalam bus yang saya tumpangi menyanyi dengan suara yang tak enak didengar. Saya merasa terganggu, hingga "membalasnya" dengan tidak mengeluarkan serupiah pun. Atau terkadang mengangkat tangan sambil tak sengaja bermuka masam. Dan bahkan banyak juga penumpang lain yang berpura-pura tidur ketika si pengamen menghampiri, atau bahkan memalingkan muka. Dalam satu hari, wajah-wajah masam, kadang mungkin omelan kecil, atau sikap kasar dari penumpang bus yang mereka dapatkan, tak sebanding dengan lembar-lembar atau kepingan rupiah yang berhasil mereka kumpulkan. Dan isi dalam perut mereka masih juga bermain "orkestra".

Dengan mengingat bagian kecil dari kehidupan kota itu, saya ingin belajar untuk lebih menghargai. Bahwa tetes keringat dan jerih payah yang mereka lakukan demi mendapatkan uang, berarti banyak dibanding mereka yang meraup harta tanpa cara yang halal, menikmatinya dengan merampas hak dan milik orang lain.

Saya ingin belajar untuk lebih memahami, bahwa lagu-lagu yang para pengamen itu nyanyikan, entah merdu atau sumbang terdengar, adalah bukti usaha keras mereka untuk tidak menadahkan tangan atau meminta-minta. Walau rupiah yang terkumpul tak cukup untuk mengurangi musik orkestra dari perut yang kelaparan.

Pengamen-pengamen itu mengajari saya, untuk selalu bisa mengerti bahwa kerja keras adalah proses yang indah bila kita menikmati dan menjalaninya dengan hati. Bahwa rupiah yang didapat dari hasil keringat sendiri, adalah kebahagiaan dan kepuasan dalam menjalani kesabaran mencari secuil rezeki. Terkadang, bila kita kekurangan, apa yang di tangan akan terasa lebih dihargai dan berarti. Seringkali, walau kita memiliki lebih, apa yang ada di tangan orang lain akan terlihat menggiurkan dan kita pun ingin memiliki.

Menanggapi pengamen-pengamen bus kota dengan seulas senyum, uluran tangan menyampaikan receh-receh rezeki untuk mereka, atau anggukan sopan bila tak berkenan, mungkin akan dapat meringankan hari yang akan mereka lewati. Setidaknya kita bisa memulai untuk lebih mengerti, dan tergerak untuk berbagi.

Saturday, September 18, 2004

Yang Tak Kan Kembali

Dan apabila bumi diguncangkan,
maka tak lagi ada tersisa daya untuk menahannya.
Entah apakah kan sanggup kita bertahan,
Bila ternyata tak lagi ada kesempatan,
Sedang maut sudah waktunya menjemput,
Atau kiamat telah tiba merenggut,
Semua kehidupan yang ada.


Hari ini, sebuah bom telah kembali mengguncang sebelah bagian kota Jakarta. Seakan tak bosan merusaki dan kembali meruntuhkan semangat orang-orang memulai hari. Bangunan-bangunan rusak, bagian-bagian reruntuhan, korban yang berjatuhan-tewas dan terluka parah, getaran yang terasa hingga ke mana.

Hari ini, kembali seluruh orang di kota menatapi televisi. Menanti perkembangan selanjutnya dari apa yang telah terjadi. Entah benak masing-masing berbisik apa. Rasa syukur sebab diri ini terselamatkan, gemetar dan takut kalau-kalau suatu saat akan mengalami nasib yang sama, sedih dan simpati terhadap mereka yang menghadapi, ataukah tak peduli sebab telah sibuk dengan urusan pribadi.

Entahlah, apakah kita akan sempat menyesali, bila suatu saat hal itu terjadi. Bilamana itu terjadi, tak mungkin lagi ada waktu untuk mengundurkan diri. Sebuah musibah yang menimpa orang-orang yang sedang diuji keimanan mereka. Sebuah peristiwa yang menggentarkan hati setiap orang yang tiada mau merasakannya. Bilamana itu terjadi, tak mungkin masing-masing kita tak peduli.

Hari ini, sebagian orang kehilangan orang yang dicintai. Ayah, ibu, anak, suami, atau istri. Mungkin mereka masih ingat salam pamit tadi pagi. Mereka yang melangkah mencari rezeki, mereka yang pergi dan tak lagi kembali. Hari ini, sebagian orang telah mendapati betapa kematian tak pernah mengalah. Tak peduli betapa hadirnya begitu tak disukai. Sebab ia menyebabkan kehilangan, dan rasa sesal pada hati. Sebab sesuatu bisa menjadi begitu berharga bila ia telah tak di sisi.

Kehilangan. Dan penyebab apakah ledakan itu terjadi tak lagi penting. Siapakah pelaku dan apakah motif di baliknya, untuk sementara, tak lagi dihiraukan. Berapa jumlah kerugian, siapa yang akan mengganti, … dan semua akan berpikir hanya untuk diri sendiri.

Sadarilah kini, apa yang telah terjadi tak mungkin terhapus lagi. Musibah itu terlanjur menyakiti. Namun ia adalah sebuah ujian kecil bagi kita yang selalu lupa mensyukuri. Apa yang dimiliki kini, suatu saat akan diambil dan tak kembali. Demikian pula dengan diri ini, pasti akan menemui mati. Entah sampai kiamat nanti, entah beberapa tahun lagi, entah esok, atau hari ini.

Dan semua yang telah mati, tak kan kembali.

9 September 2004

Friday, September 17, 2004

I Didn't Mean to...

eramuslim-Publikasi: 17/09/2004 08:35 WIB

Pernahkah suatu kali kita menemui bahwa ternyata secara tak sengaja telah tersakiti hati orang-orang lain di sekitar kita. Kita melangkah memulai hari tanpa mengerti bahwa kemarin, dua hari lalu, atau hari-hari sebelumnya lagi, entah berapa banyak orang yang tak berkenan dengan apa yang telah kita lakukan. Walau tanpa sadar, walau tak bermaksud demikian, namun hati yang terlanjur tersakiti, sulit tuk dipulihkan lagi.

Suatu kali, saat menjalani tingkat pertama perkuliahan, seseorang pernah berkata pada saya, "Kamu galak banget ya?" Ups! Saat itu saya benar-benar kaget. Galak? Ya, mungkin juga sih. Rasanya saya memang tidak pernah seperti si A, teman saya, yang bisa dengan ramainya berkicau menyapa setiap orang yang ia lewati di lorong kampus. Kemudian saya pun bertanya lebih lanjut, mencoba memahami "complain" yang saya terima hari itu.

Teringat waktu kelas dua SMU dulu. Saat saya dan teman-teman lain menjadi pengurus Rohis SMU. Berkutat dengan pelajaran, sekaligus aktivitas kepengurusan, setiap hari rasanya ada saja bahan rapat sepulang sekolah. Capek? Sudah pasti. Tapi entah kenapa saya menyukai semua aktifitas itu. Sepertinya bila hari belum gelap, belum waktunya untuk pulang ke rumah. Tanpa sadar, aktifitas ini itu di sekolah serta tuntutan harus mencapai nilai-nilai yang baik, plus beberapa permasalahan yang juga saya hadapi di rumah, membuat sedikit tekanan yang akhirnya terbawa pada perilaku. Saya mungkin tak menyadari, tapi tidak dengan yang lain.

Hari itu, saya dan teman-teman sedang duduk-duduk di depan mushola sekolah. Tiba-tiba teman saya memanggil, "Kamu dicariin tuh, sama anak kelas 1-5." Saya menoleh ke belakang, rupanya sedari tadi sudah berdiri dua orang anak kelas satu. Dua-duanya saya kenal, mereka anak-anak kelas satu yang rajin menghadiri acara Keputrian tiap Jumat. "Kenapa, dek?" tegur saya. Mereka mendekat, salah satunya menyodorkan sebuah buku, "Ng... ini kak, mau kembaliin bukunya. Maaf kelamaan minjemnya," katanya dengan suara sangat pelan. Saya mengangguk sambil tersenyum kecil, dan mengambil buku tersebut. Mereka lantas lekas pergi setelah mengucapkan salam. Kemudian seorang teman saya yang lain berkata, "Eh, kemarin mereka nanya ke aku, tentang kamu." Saya menatapnya heran, "Tanya apa?" "mereka tanya, "Kakak yang itu, maksudnya kamu, galak nggak sih?" Saya terhenyak. Pantas, tadi tampaknya mereka menghampiri dengan raut takut-takut dan suara nyaris tak terdengar. Saya berusaha keras mengingat-ingat, apa sih yang sudah saya lakukan sampai-sampai adik kelas takut kepada saya. Lalu saya hanya bisa nyengir pahit, karena saya tak berhasil mengingat apapun.

Pernahkah kita menyadari bahwa bisa jadi hari ini kita telah mengecewakan banyak orang? Kita mengira bahwa hari ini telah dilewati dengan lancar tanpa gangguan dan kita akhiri hari dengan tidur nyenyak. Namun ternyata tadi pagi, saat kita lupa mencium tangan orang tua untuk pamit, terbersit sedikit kecewa di hati mereka. Tadi pagi, saat membayar ongkos bis, kita memberikannya dengan sodoran yang kasar hingga pak kondektur bis bertambah lelah dan penatnya bahkan merasa terhina. Tadi pagi, saat masuk ruangan kantor, kita lupa menyapa dan memberi salam dan senyum pada pak satpam dan beberapa teman yang sudah datang, hingga yang kita suguhkan hanyalah wajah lelah sehabis turun naik bis dan kerut kening pertanda banyak kerjaan kantor yang harus diselesaikan hari itu.

Pernahkah terpikir oleh kita, bahwa sedikit kesan tak enak yang orang lain tangkap dari tingkah laku kita, dapat membekas begitu dalam tanpa kita menyadarinya. Membuat mereka merasa sedih, kecewa, kesal, atau bahkan marah pada kita. Tanpa kita menyadari, bahwa hari itu telah kita lewati dengan menyakiti hati begitu banyak orang. Dan saat hati-hati mereka telah luka, rasanya tak lagi berarti permohonan maaf kita saat kita ucapkan, "I didn't mean to..."

Seorang sahabat pada jaman Rasulullah SAW pernah dijamin masuk surga sebab ia memiliki kebiasaan selalu memaafkan dan melapangkan hati bagi setiap orang yang mungkin telah menyakiti hatinya hari itu. Namun kita tak pernah bisa memastikan, apakah memang kesalahan-kesalahan kita -yang tak disadari itu- telah dimaafkan oleh orang-orang yang telah sedih, kecewa, kesal, dan marah pada kita. Kita tak pernah bisa memastikan, sampai kita harus memohon pada mereka untuk memberi maaf. Hingga tak lagi kesalahan-kesalahan itu memberatkan diri kita di akhirat kelak. Walau kita pikir itu kecil, walau sepertinya itu tak berarti banyak buat diri kita.

Kesalahan yang tak disengaja, terkadang membuat kita sendiri heran. Kapan ya saya melakukan hal itu? Benar tidak ya, saya telah bersikap kasar padanya? Ah, saya kan tidak bermaksud begitu. I didn't mean to. Dan sekian banyak pemaafan yang kita ukir untuk diri kita sendiri, tanpa peduli apakah orang tersebut masih merasakan sakitnya hingga kini.

Tak usahlah lagi alasan itu dicari. Mari mulai memperbaiki, mulai saat ini. Sebab kita tak pernah tahu kapan diri kita pernah menyakiti.

Tuesday, September 07, 2004

Mengambil Jatah

eramuslim-Publikasi: 07/09/2004 09:08 WIB

Urusan mengambil jatah memang bukan hanya milik para binatang yang berebut makan siang dan saling bunuh untuk kelangsungan hidup. Sejak dulu, makhluk yang bernama manusia pun meramaikan arena balap-membalap, salip-menyalip, dan tikung-menikung tersebut. Mengambil jatah di sini maksudnya adalah menarik paksa apa yang sudah menjadi milik orang lain atau sesuatu yang sebenarnya bukan diperuntukkan untuk diri kita.

Demi kepuasan, demi kesenangan pribadi, tak peduli apakah orang lain itu rela atau menderita. Tak jelas mengapa, padahal Ia telah "menjatah" rizqi tiap makhluk-Nya tanpa terlewati.

Seperti kepayahan para pengungsi di berbagai tempat pengungsian yang tak mendapatkan jatah bantuan makanan atau apapun yang telah diberikan oleh berbagai pihak, akibat serakahnya oknum-oknum tertentu yang juga menginginkan bagian.

Seperti mirisnya nasib ibu-ibu rumah tangga, yang setiap hari tak habis mengomel, mengeluh, mungkin juga merutuki naiknya harga-harga barang. Hingga tak tersisa uang bulanan untuk menabung, sedikit bersenang-senang, apalagi merasakan mewahnya masakan rumah. Mereka tak tahu, tak peduli, atau bahkan tak lagi sempat memikirkan, bahwa jatah mereka diambil oleh tamaknya orang-orang yang ingin merasakan nikmatnya berada di pucuk kekuasaan. Orang bilang, itu korupsi. Ibu-ibu itu bilang, ini penderitaan.

Seperti protes ratusan mahasiswa dan calon mahasiswa yang mungkin terancam tak bisa melanjutkan kuliah atau gagal masuk universitas idaman. Sebab uang masuk kian melambung sampai jumlahnya bisa dipakai untuk biaya kuliah hingga lulus para mahasiswa sebelum mereka. Sebab penguasa kampus kini makin kreatif mendulang uang demi kenikmatan mereka sendiri.

Seperti preman jalanan yang mengaku sebagai bos bagi para anak-anak jalanan, mengambil jatah uang hasil keringat mereka yang telah lelah seharian bermodalkan suara sumbang sedikit serak dan botol air minum yang diisi pasir atau beras. Tak peduli ia, apakah anak-anak di bawah umur itu sempat makan dari kerja payah mereka. Bagaimana mereka dicaci-maki sejumlah penumpang bus dan mikrolet yang merasa terganggu. Bahkan ada yang mati tergeletak di jalanan, terjatuh dari pintu bus.

Mengambil jatah memang bukan urusan sepele. Caranya bisa mudah, bisa pula sukar perlu strategi. Kadang kala, untuk melakukannya tak perlu otak dengan IQ tinggi. Tinggal main rebut, ambil, dan nikmati. Seperti yang dilakukan para hewan di dunia binatang. Tapi manusia pun bisa jadi binatang, bila ia berlaku sesuka hati. Tak perlu pejabat, penguasa, atau petinggi. Tukang copet, tukang jambret, dan tukang todong selalu mengambil rizqi orang lain tanpa permisi.

Mengambil jatah tak pernah menjadi urusan sepele. Bahkan kini sebagian besar manusia telah paham dan maklum dengannya. Awalnya coba-coba, ketagihan karena enak, hingga terbiasa jadi aktivitas sehari-hari. Mulai dari urusan rumah tangga, kerjaan di kantor, sampai urusan negara. Mulai dari listrik curian, korupsi karyawan, sampai mengambil jatah kawan. Tak usah heran, bila yang enak makin enak, yang susah tambah payah.

Saya tidak tahu, apakah perlu dibuat pemberitahuan dan pengumuman lekas-lekas. Supaya kita semua awas, pada si pengambil jatah. Sebab kalau tidak, bisa-bisa kita tertular penyakitnya.

Atau kita perlu vaksinasi, supaya imun dari virus yang sudah menyebar ini. Karena kita tidak pernah tahu kapan ia menghampiri. Hati-hati.

Coba tanyakan pada diri sendiri, jatah siapa yang sudah kita ambil hari ini?

Tuesday, August 31, 2004

Cintai Aku Hari Ini...

eramuslim-Publikasi: 31/08/2004 08:40 WIB

Hari ini mungkin akan ada tangis lagi.
Walau sampai habis air mata, tapi tak mengapa.
Karena aku mengiba cinta.


Pernah merasakan kerinduan yang teramat sangat? Kerinduan untuk mendapatkan cinta. Saat itu seolah hati merana tak berjiwa. Seperti hampa. Tak berdaya. Namun kehidupan ini memaksanya untuk tetap ada.

Kemarin, saya melihat seorang anak menangis di hadapan ibunya. Ia sepupu saya sendiri. Beberapa menit sebelum tangisannya, si ibu memarahinya. Dan hampir juga memukuli. Baru kutahu bahwa si ibu telah meninggalkannya seharian penuh. Entah ke mana. Ia ditinggal di rumah hanya berdua dengan pembantu. Seperti biasa setiap kali ibunya pergi. Ibunya berkata, ia makin hari makin nakal. Baginya, bila ia telah sanggup menyampaikan rasa, hari itu ia rindu ibu.

Setiap diri kita pasti butuh cinta. Dan kebutuhan itu terlihat nyata dari perilaku kita, ataupun tersembunyi lewat kata. Entah dinyatakan secara jelas, entah sekedar tersirat hadirnya. Mungkin pula hanya berupa rasa rindu yang menggelora tanpa kuasa meminta. Cinta itu fitrah adanya.

Beberapa waktu lalu, saya pernah berselisih dengan seorang sahabat yang telah saya kenal semenjak sepuluh tahun lamanya. Menurut saya, ia telah melakukan kesalahan, dan saya menegurnya. Menurutnya, ia hanya mengikuti kata hatinya, dan tak rela atas teguran saya.

Saat itu saya berpikir, kalau hari itu tak saya tegur ia, maka saya telah berdosa karena telah membiarkannya larut dalam perasaannya sedang ia tak memperhatikan lagi batas perilakunya. Saya tak lagi sempat berpikir bahwa mungkin saja ia telah salah menangkap maksud saya. Padahal saya hanya ingin memberitahunya sesuatu, bahwa saya cinta. Semua perkataan saya, adalah cinta saya kepadanya.

Seringkali tak sanggup diri kita untuk memperhatikan lagi rambu-rambu dalam bercinta. Oleh sebab perasaan itu telah kuat adanya. Otak ini serasa beku tak kuasa, sedang hati telah terguratkan olehnya.

Ada seorang istri yang marah pada suaminya. Setiap kalimat yang keluar darinya, tak lain hanyalah cercaan belaka. Ia berkata, tak lagi ada rasa percaya. Kita yang mendengarnya, mungkin akan berpikir bahwa ia tak lagi cinta. Tetapi nyatanya tak seperti itu. Sebab waktu akan membuktikan bahwa rasa itu tetap ada. Saat suaminya jatuh sakit, terlihat dari kecemasannya. Saat suaminya terlelap lelah dalam tidurnya, ia memperhatikan dan setia di sampingnya.

Kadangkala, kalimat yang kita ucapkan tak melulu mewakili perasaan yang sebenarnya. Seringkali hati lah yang bisa berbicara, namun mulut ini tak sanggup mengutarakannya. Keinginan untuk dicintai itu telah terpendam jauh di pelosok kalbu.

Kepada manusia, kita telah melakukan apa saja untuk mendapatkan cinta. Dari ayah dan ibu kita, teman dan sahabat, suami, anak, istri, dan siapa saja yang dekat dengan diri kita.

Kepada Sang Pencipta, apakah kita berlaku hal yang sama? Andaikan begitu lemah kita menyampaikan rasa, bagaimana kita meminta kepada-Nya? Bukankah segala pinta tersampaikan lewat doa?

Walau hanya sebatas satu kalimat yang terlantunkan dari hati,
Ya Allah, cintai aku hari ini...

Thursday, August 19, 2004

Secepat Angin

Publikasi: 18/08/2004 09:19 WIB
eramuslim -

duh,
memang manusia seolah tak pernah bisa bersyukur atas apa yang ia miliki dan apa yang sedang ia alami. Yang kaya akan merasa masih miskin, yang miskin tak pernah merasa kaya. Yang senang selalu berkeluh seolah menunggu susah, yang menderita tak pernah membuka mata.


duh,
waktu seperti berjalan lambat-lambat kala hal yang tak diinginkan sedang bersama, dan ia seolah berlari secepat angin bila senang hati mengalami hari.


Mari berbicara mengenai rasa syukur. Hari ini, saya menyadari bahwa tak pernah ada sesuatu yang benar-benar bisa memuaskan hati seorang manusia. Entah karena memang hal yang diperolehnya tak sempurna, entah karena memang serakah adalah sifatnya. Tak memiliki harta, ia tak puas. Setelah diberi, tak pernah tercukupi. Dan hari ini saya menyadari, saya pernah dan mungkin masih menjadi bagian dari golongan serakah itu, hingga kini.

Mari lihat seberapa besar seorang manusia bisa mensyukuri. Kala ia senang, berteriak, melonjak, berseru gembira, berhura-hura, lalai, lupa, semua seakan tak ada habisnya. Namun bila hadirlah duka, maka tak lupa ia mengumpat, memaki, mencaci, menyesali, meratapi, seolah ia lah manusia yang paling menderita dan nyaris mati.

Pernahkah kita semua, sekejap saja, sekedar mengucapkan syukur untuk keberkahan yang telah hadir hari ini? Apabila kita lupa untuk melakukannya kemarin, andaikan kita takut untuk menjadi manusia yang lupa diri. Lakukanlah hari ini, saat ini, sekarang juga. Sebab kita tak pernah tahu, kapankah terbersit keserakahan itu lagi. Kapankah syetan akan menyelip di sela hati, hingga mengikis habis amal yang telah dengan lelah dilakukan selama ini.

Beberapa hari lalu, tak sabar rasanya ingin menikmati komputer di tempat kerja idaman hati ini.
Kedua belah tangan serasa gatal tak henti,
dan otak ini menyuruh-nyuruh saya untuk segera mengetik setiap ide yang terlintas di kepala. Takut ia lekas pergi.


Kini, benda itu sudah di hadapan, namun mengapa otak terasa kosong, sepi, senyap, empty, tak ada inspirasi.

Maka, keluarkan selalu rasa syukur dari hati. Bahwa setiap jengkal kenikmatan yang telah kita peroleh, ataupun ia yang masih mengawang sebagai mimpi, kelak akan sampai juga bila Ia menghendaki. Maka tetaplah menjadi seseorang yang selalu mensyukuri, sebab kita tak pernah tahu sampai kapan kenikmatan itu akan dilalui. Bisa jadi ia cepat pergi, seperti angin yang berhembus dan berhenti tanpa permisi.

DH Devita

Wednesday, August 18, 2004

Bekas Keindahan

Malam itu, saya merasa benar-benar beruntung. Beruntung telah berhasil menarik-narik diri ini untuk menyempatkan diri mengikuti acara MABIT di masjid Al Azhar. Seingat saya, siang harinya saya begitu malas pergi, sebab tidak ada satu pun teman yang bisa meluangkan waktu untuk bersama ke sana. Tengah hari bolong, panas pula, saya harus sendirian menuju tempat acara, tak ada teman, malasnya! Tetapi ternyata saya berhasil mengalahkan kemalasan itu, dan hadir juga di sana. Walau sendiri. Mulai adzan ashar berkumandang, hingga maghrib tiba, saya masih sendiri, tak ada satu pun orang yang dikenal. Ah, peduli apa. Pikir saya waktu itu. Toh sejak kemarin, saya memang sudah bertekad untuk mengikuti acara yang satu ini. Yang rasanya cukup jarang saya ikuti. Tapi ruhiyah ini sedang butuh, ia merintih pula, maka saya harus pergi. Itu tekad saya sehari sebelumnya.

Malam itu saya seolah mendapati kesejukan baru, yang rasanya telah berhari-hari tidak saya rasakan. Jenuh, bosan, letih, lelah, dan seribu stagnasi perasaan yang mendera, padahal tak banyak yang telah saya perbuat dalam kurun beberapa bulan belakangan. Entahlah, satu malam di sana, seolah mengguyur segenap kotoran-kotoran yang telah bersarang dalam hati saya. Dan saya merasa benar-benar beruntung telah menjadi salah satu bagian dari jamaah yang hadir di sana.

Selepas isya, kajian dari ustadz Rahmat Abdullah memberikan saya pencerahan dan kerinduan akan masa lalu. Sejenak di sana, saya mengingat-ingat lagi kesibukan di rohis SMU dulu, lalu seru dan semangatnya menghidupkan nuansa Islam di kampus, kemudian saya bandingkan dengan kondisi saat ini. Ah, gersang. Itu sebuah kata yang mungkin paling tepat bisa menggambarkan lubuk hati saya terdalam. Belum lagi acara muhasabah serta qiyamullail yang lagi-lagi bisa membuat saya menangis. Walau mungkin hanya untuk melepas sebongkah ganjalan dalam hati ini, walau mungkin saya tidak mengerti.

Pagi hari, belum mandi, selepas subuh saya berencana untuk segera beranjak dari sana menuju tempat aktivitas lain. Tetapi perut yang lapar dan badan yang mulai terasa lengket memaksa saya untuk memutar otak mencari tempat persinggahan lain yang bisa ditumpangi mandi dan sarapan pagi. Akhirnya saya memutuskan untuk mendatangi RS Cipto Mangunkusumo, instalasi gawat darurat, lantai dua. Kantor kecil, sebuah LSM perempuan, yang pernah menjadi rumah kedua saya setahun lalu.

Ruang kecil itu, masih dengan kesederhanaannya. Saya tersenyum sambil mandi, ketika mengingat kembali betapa banyak memori yang terekam selama sebagian besar waktu saya habiskan di tempat itu. Setidaknya, setahun lalu saat beraktivitas membantu pelayanan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan di tempat itu, saya merasa dibutuhkan dan menjadi berarti bagi orang lain. Bagi mereka, klien-klien saya. Dan tadi malam, saat nyaris sendirian di tengah ratusan jamaah Masjid Al Azhar dan berdiri tegak waktu qiyamullail, tangisan saya seperti membuktikan bahwa saya tidak berarti apa-apa. Setidaknya, di hadapan-Nya. Ah, saya makin bersemangat untuk menjalani hari itu. Sebab bekas keindahan tadi malam tak mau hilang. Sebentar saya berandai-andai. Andai teman-teman saya yang lain juga ikut menghadiri acara semalam. Andai acara seperti itu sering-sering diadakan. Andai hawa sejuk ini tak hanya saya rasakan ketika di dalam masjid saja. Ah, sebentar lagi Ramadhan….

Setengah jam kemudian, secangkir sarapan pagi hampir saya habiskan. Sudah pukul setengah delapan, dan kami hanya berdua. Saya dan mbak Feri, dokter jaga. Seharusnya ada seorang lagi pekerja sosial yang jaga shift pagi. Yah, sudahlah. Toh saya tak lagi berwenang apapun di sana. Begitu pikir saya. Dan segera saya akan bersiap untuk berangkat. Masih dengan senyum dan perasaan senang hati. Rasanya pagi itu akan sangat cerah, dan seharian saya akan menerima kesejukan dan kesejukan lain di acara rutin hari Minggu. Senangnya.

Sesaat kemudian, tangan ini sudah siap menyandang tas untuk lekas pergi. Tiba-tiba, tok…tok…tok! Duh, ketukan itu lagi! Benar saja. Klien baru, datang bersama temannya, dengan wajah pucat setengah mengantuk. Mbak Feri menatap saya dan bertanya “Kamu bisa kan?”

Setengah delapan pagi, hampir gemetar saya duduk di ruang anamnesa. Berusaha mendengarkan dan mencatat semua yang klien katakan. Padahal saya begitu gugupnya karena sudah setahun lebih tak lagi biasa mendengar langsung “cerita-cerita seram” yang selalu ada saat anamnesa. Padahal hati saya waktu itu masih begitu sejuknya menikmati bekas keindahan tadi malam.

“Saya di diskotek hotel, mbak. Dari jam sepuluh, tadi malam.” Duh, waktu itu, tadi malam, saya asyik mendengarkan ustadz Rahmat Abdullah menyegarkan ruhani saya dengan ceramahnya.

“Baru pulang tadi pagi. Naik taksi. Langsung ke rumah teman.” Huh, memang dasar anak jaman sekarang. Sudah keluyuran semalaman, pulang pagi, menghamburkan uang pula dengan naik taksi.

“Kejadiannya apa? Pukul berapa? Dan di mana?” saya bertanya nyaris tak sabar. Lupa, padahal saya bisa mengetahui informasi itu dengan melihat surat pengantar dari kepolisian.

“Saya…saya diperkosa, mbak. Tadi subuh. Sekitar jam lima. Di pinggir jalan by pass.”

Pena saya nyaris terjatuh. Saya terpelongo, seakan belum pernah mendengarnya sebelumnya. Telinga saya mungkin tak siap dikotori pagi ini. Batin saya ingin menggenggam erat bekas keindahan tadi malam. Pikiran saya seperti masih ingin melambung bersama kesejukan-kesejukan itu. Duh, subuh tadi, saya masih berada di masjid, masih dengan isak tangis usai berdoa panjang bersama jamaah lain. Rasanya saat itu jiwa dan raga saya diangkat tinggi-tinggi, kemudian dibanting kuat-kuat ke tanah. Sakit.


Untuk mbak Anna Sakreti, untuk Rs dan Rt--adik-adik saya di PKT RSCM

18.08.2004

Thursday, August 12, 2004

Mengemas Rindu

Publikasi: 24/08/2004 08:39 WIB
eramuslim -

Biasanya, para pencinta selalu mengemas rindu mereka. Pencinta untuk apa dan siapa saja, rindu yang bagaimana saja. Kerinduan, adalah sebuah harta milik kita yang sederhana, namun artinya tak lebih sempit dari luas samudera. Kerap membawa keinginan tak sekadar beredar di khayalan. Namun kekuatan tekad untuk menjadikannya nyata. Mengemas rindu, menjaga cinta.

Kerinduanku, adalah akan hadirnya cinta. Seperti milik nabi Ibrahim, saat akan menyembelih anaknya. Seperti milik Ismail, yang mempersembahkannya hanya untuk Tuhannya. Seperti milik Yusuf, yang tak tergoyahkan oleh Zulaikha. Seperti milik mereka, dan mereka yang lain yang juga pencinta.

Kerinduanku, adalah akan kekalnya cinta. Tak seperti mereka yang menjualnya lantas mengatakan bahwa itu adalah pengorbanan. Tak seperti mereka yang menjadikannya harta namun diam-diam merusaknya. Tak seperti mereka yang menginginkannya hadir namun tak peduli lantas meninggalkannya.

Biasanya, para pencinta tak pernah lupa mengemas rindu mereka. Sebab pintu hati selalu terbuka kapan saja tanpa bisa dipegang kuncinya. Karena kita tak kuasa. Sebab bila tidak, ia akan mudah tergantikan begitu saja. Tanpa tahu alasannya.

***

Sebagai manusia, seringkali kita korbankan waktu dan tenaga sia-sia, untuk mengemas rindu yang tak ketahuan adanya, yang bukan rindu sebenarnya. Kerinduan itu disimpan baik-baik dalam hati, tak ingin ia lekas pergi. Sebab bila kerinduan itu hilang, maka cinta yang selalu diharap itu tak pula datang.

Kerinduan akan tahta, mengantarkan kita untuk menghamba pada dunia. Tak pernah puas, walau sudah melibas semua yang tertindas.

Kerinduan akan harta, menyebabkan kita buta. Tak peduli mengambil punya siapa, yang penting diri tak menderita.

Kerinduan akan cinta manusia, membawakan sengsara. Sebab yang ada hanya kecewa, kalau cinta tak dibalas cinta.

Bagaimana dengan milik kita?

Kalau setiap harinya selalu kita memuja yang fana. Tanpa menyadari bahwa Ia ada, melihat apa yang tak kita lihat, mengetahui apa yang tersembunyi, menguasai seluruh isi hati.

Kalau setiap saat kita tak pernah lalai mempersembahkan cinta, bukan untuk-Nya, melainkan untuk sesuatu yang tak bisa memberikan apa-apa. Juga tak punya kuasa.

Kalau hidup ini kita persembahkan untuk melayani mereka yang tak bisa memberi. Kalau rindu itu kita persembahkan untuk sesuatu yang hanya bisa menyakiti.

Lalu, untuk siapa kita mengemas rindu? Pernahkah kita mengemas rindu ini untuk-Nya? Apakah kita selalu menjaga cinta ini agar selalu berlabuh pada-Nya? Sedangkan hati ini selalu penuh akan sesuatu, entah apa itu.

Lantas, rindu itu untuk siapa?

by DH Devita

Thursday, August 05, 2004

Berbagi Ion Positif

Hari yang indah, sayang kalo dilewatin hanya dengan menggerutu ato berbagi kesialan dengan orang lain.

Untuk hari yang tak terlalu indah, pun hari yang tidak indah, berbagi kemarahan serta berbagai perasaan yang tidak enak pada orang lain, mungkin adalah hal yang sangat disayangkan.

Ini pengalaman pribadi aja,
waktu saya memiliki masalah yang bisa dibilang cukup berat, seharian rasanya pengen banget teriak-teriak atau banting-banting sesuatu.
Tapi tiba-tiba saya ingat, ups...nggak boleh marah...nggak boleh marah...nanti skor 'emotional quotient'nya turun...nggak boleh marah...tenang...tenang. karena saya merasa pada tahun ini, kecerdasan emosi saya mengalami perbaikan. Jadi rasanya, prestasi itu harus dihargai dengan cara menjaga dan meningkatkannya supaya jadi lebih baik lagi.

Kemudian, saat 'down' begitu, saya diberi kesempatan bertemu secara 'maya' dengan beberapa teman, yang ternyata memiliki permasalahan yang tak kurang beratnya dibandingkan dengan yang saya miliki. Saat itu, ternyata saya dimintai nasihat serta saran terhadap berbagai masalah yang sedang mereka alami. Secara otomatis saja, saya memberi saran, berkomentar, menenangkan mereka, dan sampai akhirnya saya lupa bahwa hari itu adalah hari yang berat untuk saya sendiri, oleh karena masalah yang juga sedang saya alami.

Hal ini terjadi beberapa kali. Tiap saya pikir saya akan mengalami hari yang buruk, ternyata saya diberi kesempatan untuk menemui atau berbincang dengan orang lain yang juga memiliki hari yang buruk, disebabkan oleh masalah yang sedang mereka hadapi.

Dan kemudian saya mulai berpikir,
alangkah senangnya, karena ternyata saya bisa mendatangkan manfaat pada orang lain, kala saya sendiri pun sedang kesusahan. Alhamdulillahirobbil'aalamiin....segala puji bagi-Nya yang telah memberikan saya kekuatan itu.

Satu hal lagi,
ternyata membagi diri saya untuk orang-orang lain yang saya sayangi malah menambah kekuatan dan semangat baru dalam diri saya, walaupun saat itu saya nyaris 'terjatuh' cukup dalam.

Jadi, rasanya saya harus banyak-banyak berterima kasih pada teman-teman saya itu, yang telah memberikan 'pencerahan' pada diri saya.

Ya, saya akui. I need to be needed.

Senang sekali rasanya bila punya banyak teman! Karena dengan mereka, saya akan selalu bisa belajar untuk senantiasa berbagi 'ion-ion positif' bahkan di saat diri saya sedang penuh oleh 'ion negatif' sekalipun.(ups...perumpamaan yang ngebingungin ya? biarin aja!)

Friday, July 02, 2004

Imam Syahid

Merinding, kala aku membaca
dan bukan salah bulu kuduk ini berdiri
ngeri,
jangan, jangan salahkan ia.
Pula angin dingin
yang diam-diam merayapinya,
bukan, bukan ia.
Merinding kumerasakannya,
sejenak pula tergoda 'tuk membayangkan
apakah kelak aku
kan sehebat ia yang tak pernah mati dalam syahidnya,
Hasan al Banna,
hanya ia.

(2 Juli 2004, Pasar Senen)

Sunday, March 14, 2004

Kejujuran

Meraih sebuah impian dengan kerja keras, semua orang pasti sudah tahu. Mengejar cita-cita dengan keringat dan kepayahan, pasti sudah dimaklumi. Tetapi, mendapatkan sesuatu melalui kejujuran, entah kenapa hal ini sesuatu yang sulit dilakukan. Dan tiap kali ada yang berupaya mempraktekkannya, banyak kepala akan berkata,”Persetan dengan idealisme.”

Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk selalu berkata jujur. Dalam beberapa kisahnya dengan para sahabat. Beliau menerangkan soal iman dan Islam yang dikaitkan dengan kejujuran. Pentingnya hal ini menekankan bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk tidak hanya memakai otak dan segenap panca indera dalam berusaha. Melainkan juga dengan hati. Keberadaan hati yang bersih dari segala kotoran, akan membentuk mental yang kuat bagi diri orang tersebut dalam menghadapi berbagai persoalan.

Saya ingin mengkaitkannya dengan peraturan. Ada semacam slogan, entah guyon, atau memang prinsip yang sengaja dibuat mengenai peraturan. Bunyinya adalah “Peraturan dibuat untuk dilanggar”. Bukan hanya pelajar sekolah saja yang bersenang-senang dengan kalimat tersebut. Banyak manusia dewasa pula tak malu-malu turut mengusung slogan tersebut tinggi-tinggi. Sudah menjadi rahasia umum, kejujuran apalagi kedisiplinan menjadi barang langka yang bisa ditemukan saat ini.

Rajin mengikuti berita beberapa hari ini? Jangan dulu bosan. Karena masa kampanye baru dimulai. Lihatlah lebih dekat, maka sebelum kampanye dimulai pun, KPU sudah sibuk mencatat dan bersiap repot dengan beragam pelanggaran yang dilakukan oleh berbagai pihak. Hal biasa? Mungkin. Paling tidak, hal ini menambah deret ketidakpedulian oknum-oknum pelanggar aturan tersebut terhadap pentingnya sebuah kejujuran dalam upaya mencapai sesuatu. Terlepas dari apapun kondisi peraturan tersebut dibuat.

Bukankah amal dinilai tergantung dari niatnya? Dan ketidakikhlasan dapat menggugurkan sebuah amalan. Demikian dengan pahala, maka Allah menilai sebuah amal tidak hanya dari hasilnya. Melainkan juga dari prosesnya. Sebuah ketidakjujuran tidak lagi berurusan dengan apakah itu strategi politik atau upaya diplomasi yang harus dimaklumkan. Tidak jujur berarti berkhianat terhadap Allah. Jadi, pilihan tersebut ada pada diri kita.

Maret 2004, Pemilu

Tuesday, March 09, 2004

Warna

Ini semua persoalan warna. Maksud saya, setiap orang pasti memiliki warna pilihan masing-masing. Dalam pengertian harfiah, itu sudah tentu. Entah kecenderungan untuk satu warna, dua warna, atau malah tidak memiliki pilihan warna sama sekali juga sah saja. Tiap warna tersebut punya satu hal yang dinamakan kesan. Entah yang sangat mendalam, entah tidak. Atau mungkin juga ada yang memilih hanya karena alasan suka. Tidak ada embel-embel lain. Ini masalah kesukaan.

Warna dalam hidup membuat rona. Kehadirannya akan membawa arti tersendiri. Bicara soal standar, tiap warna menjadi simbol dari makna-makna yang diciptakan manusia. Merah itu berani, putih itu suci, biru itu cerdas, kuning itu cerah. Tidak hanya itu tentu. Makna lain juga berkembang menyertai keberadaan warna. Merah itu marah, hitam itu gelap, putih itu polos, cokelat itu sederhana, dan sebagainya. Bicara soal warna dan manusia, maka tiap manusia telah memilih untuk memaknai rona mereka masing-masing.

Begitu juga hidup. Warna bagaikan jalan hidup yang dipilih oleh tiap manusia. Seperti juga satu hal yang menjadi kesukaan, ia bisa berganti dan bisa pula tidak. Ada yang menetapkan dengan sangat fanatik bahwa mulai sekarang hingga selamanya ia akan selalu memilih satu warna saja. Atau bahkan ada yang setiap saat bisa menemukan berbagai warna yang berubah sesuai dengan suasana hatinya. Dan mungkin ada pula yang dilanda kebingungan untuk mencenderungkan hati memilih mana warna yang menurutnya paling disukai. Juga ada yang sama sekali tidak mau memilih warna manapun, akibat tak berani menentukan pilihan. Yang jelas, ini semua persoalan hati. Pilihan itu menentukan jati diri. Begitu kira-kira kalau bisa disebut.

Ada yang mengatakan bahwa, memilih partai sama dengan memilih jalan hidup. Tapi banyak pula yang menyatakan bahwa tidak memilih partai tertentu berarti kebebasan. Tentu saja, tiap pilihan berbuahkan konsekuensi. Kenyataan pahit atau manis yang harus dihadapi. Menetapkan pilihan pada partai tertentu, berarti mengetahui segala konsekuensi yang berkenaan dengan pilihannya tersebut. Siap menerima kekalahan, atau punya mental untuk menghadapi kemenangan. Siap untuk dikenal, dikomentari, disorot, jadi pusat perhatian, dikritik, dicemooh, bahkan sampai dihujat. Atau mungkin berlapang hati bila ternyata tak satu pun atau sedikit sekali perhatian yang berhasil diraup walau usaha sudah jor-joran.

Demikianlah kehidupan. Tiap detiknya punya warna. Ia muncul karena diminati. Ia mencuat karena diangkat. Ia tergeser karena disenggol. Dan ia jatuh karena punya musuh. Selayaknya sikap seorang pemilih warna, mungkin hanya dirinya yang dapat melihat keindahan dan keelokan dari warna tersebut. Dan tak perduli cemoohan orang lain yang punya pendapat lain tentang pilihannya. Atau bila ia bukan hanya seseorang yang bisa memilih namun juga memperjuangkan warna pilihannya, maka bukan tak mungkin kemudian ia bisa membalikkan dunia untuk bersama-sama melihat warna tersebut lebih dekat, mengakui keindahannya, dan akhirnya menetapkan warna tersebut menjadi pilihan mereka.

Tidak ada sesuatu yang mustahil. Begitu yang seharusnya menjadi tiupan semangat dalam diri masing-masing kita. Sesuatu yang kecil sekarang, bisa jadi besar di masa datang. Mimpi hari ini adalah kenyataan esok hari, begitu ungkapan seorang ulama besar. Jadi, tak ada salahnya untuk memulai niat memilih satu warna kesukaan. Atau bila sudah memiliki pilihan, maka kuatkan keyakinan bahwa memang itu yang terbaik dari yang ada. Kehidupan adalah warna, apapun pilihan kita.

[Maret 2004, Pemilu]

Monday, March 08, 2004

Tergiur

Ini bukan salah siapa-siapa. Memang sudah aturannya begitu. Yang kuat akan menang, dan yang lemah akan kalah. Ini bukan perkara uang, melainkan juga kecerdasan dalam membuat dan melaksanakan strategi perang. Sudah bukan rahasia lagi, yang cerdas maka dia lah yang akan juara.

Kadang-kadang, orang akan dengan mudah memaklumi sebuah perbuatan. Yang walaupun salah, namun sebuah kalimat yang terlontar entah mengapa akan langsung menjadi kata kunci untuk segera mengiyakan. Kalimat tersebut adalah “Kalau sudah kepepet, mau apalagi.” Atau “Ah, semua orang juga melakukan itu. Itu kan hal yang wajar.” Sepertinya tiap tindakan ada kata kunci untuk memakluminya. Lantas, bila semua tindakan dimaklumi, bagaimana cara kita memisahkan mana yang benar dan mana yang salah?

Tak jarang juga, orang akan tergiur dengan pemakluman tersebut. Apabila ia melihat bahwa, semua orang tak mempermasalahkan sebuah perbuatan yang dilakukan oleh si A. Mungkin karena cara atau perbuatan tersebut sudah si A lakukan selama berpuluh-puluh tahun, dan akhir-akhir ini banyak yang “menyadari” bahwa perbuatannya membawa ketenangan jauh daripada yang mereka rasakan sekarang. Lalu semua orang berpikir bahwa mereka lebih suka dengan apa yang dilakukan oleh si A sejak dulu. Tak lagi peduli, apakah sejak dulu si A sebenarnya sudah melakukan sederet kesalahan yang menimbulkan penderitaan bagi banyak orang. Tak lagi peduli, karena ternyata pemakluman itu jauh lebih dahsyat efeknya sekarang.

Masalahnya bukanlah apakah sebuah tindakan itu dimaklumi atau tidak dimaklumi. Kalau soal pemakluman, konformitas agaknya sudah menjadi tabiat manusia. Namun sebagai seorang muslim, saya tegaskan sekali lagi bahwa sebagai seorang muslim, indera mata dan mata hati kita harusnya terbuka lebar. Tak lagi melihat sesuatu sebagai hal yang dimaklumi orang atau tidak. Melainkan, sebuah tindakan itu benar atau salah. Ya, sesederhana itu.

Setiap manusia punya hati untuk menilai sebuah perbuatan itu benar atau salah. Hal itu lebih gampang dilakukan daripada harus bertanya ke orang-orang, apakah perbuatan tersebut dimaklumi atau tidak. Segampang itu, sebab itu tanyalah kepada hati kita sendiri. Yah, tetapi Allah memang menutup pintu hati bagi yang tidak mau membukanya. Maka jangan heran apabila banyak pula manusia yang tidak bisa menjawab, apakah perbuatan yang dilakukannya itu salah ataukah benar.

Ini bukan salah siapa-siapa. Semua orang punya cara sendiri-sendiri untuk meraih kemenangan. Tetapi, apakah kita harus meniru perbuatan yang jelas-jelas salah menurut apa yang diajarkan Islam, selagi kita bisa berbuat yang benar?

[Maret 2004, Pemilu]