Halaman

Wednesday, August 18, 2004

Bekas Keindahan

Malam itu, saya merasa benar-benar beruntung. Beruntung telah berhasil menarik-narik diri ini untuk menyempatkan diri mengikuti acara MABIT di masjid Al Azhar. Seingat saya, siang harinya saya begitu malas pergi, sebab tidak ada satu pun teman yang bisa meluangkan waktu untuk bersama ke sana. Tengah hari bolong, panas pula, saya harus sendirian menuju tempat acara, tak ada teman, malasnya! Tetapi ternyata saya berhasil mengalahkan kemalasan itu, dan hadir juga di sana. Walau sendiri. Mulai adzan ashar berkumandang, hingga maghrib tiba, saya masih sendiri, tak ada satu pun orang yang dikenal. Ah, peduli apa. Pikir saya waktu itu. Toh sejak kemarin, saya memang sudah bertekad untuk mengikuti acara yang satu ini. Yang rasanya cukup jarang saya ikuti. Tapi ruhiyah ini sedang butuh, ia merintih pula, maka saya harus pergi. Itu tekad saya sehari sebelumnya.

Malam itu saya seolah mendapati kesejukan baru, yang rasanya telah berhari-hari tidak saya rasakan. Jenuh, bosan, letih, lelah, dan seribu stagnasi perasaan yang mendera, padahal tak banyak yang telah saya perbuat dalam kurun beberapa bulan belakangan. Entahlah, satu malam di sana, seolah mengguyur segenap kotoran-kotoran yang telah bersarang dalam hati saya. Dan saya merasa benar-benar beruntung telah menjadi salah satu bagian dari jamaah yang hadir di sana.

Selepas isya, kajian dari ustadz Rahmat Abdullah memberikan saya pencerahan dan kerinduan akan masa lalu. Sejenak di sana, saya mengingat-ingat lagi kesibukan di rohis SMU dulu, lalu seru dan semangatnya menghidupkan nuansa Islam di kampus, kemudian saya bandingkan dengan kondisi saat ini. Ah, gersang. Itu sebuah kata yang mungkin paling tepat bisa menggambarkan lubuk hati saya terdalam. Belum lagi acara muhasabah serta qiyamullail yang lagi-lagi bisa membuat saya menangis. Walau mungkin hanya untuk melepas sebongkah ganjalan dalam hati ini, walau mungkin saya tidak mengerti.

Pagi hari, belum mandi, selepas subuh saya berencana untuk segera beranjak dari sana menuju tempat aktivitas lain. Tetapi perut yang lapar dan badan yang mulai terasa lengket memaksa saya untuk memutar otak mencari tempat persinggahan lain yang bisa ditumpangi mandi dan sarapan pagi. Akhirnya saya memutuskan untuk mendatangi RS Cipto Mangunkusumo, instalasi gawat darurat, lantai dua. Kantor kecil, sebuah LSM perempuan, yang pernah menjadi rumah kedua saya setahun lalu.

Ruang kecil itu, masih dengan kesederhanaannya. Saya tersenyum sambil mandi, ketika mengingat kembali betapa banyak memori yang terekam selama sebagian besar waktu saya habiskan di tempat itu. Setidaknya, setahun lalu saat beraktivitas membantu pelayanan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan di tempat itu, saya merasa dibutuhkan dan menjadi berarti bagi orang lain. Bagi mereka, klien-klien saya. Dan tadi malam, saat nyaris sendirian di tengah ratusan jamaah Masjid Al Azhar dan berdiri tegak waktu qiyamullail, tangisan saya seperti membuktikan bahwa saya tidak berarti apa-apa. Setidaknya, di hadapan-Nya. Ah, saya makin bersemangat untuk menjalani hari itu. Sebab bekas keindahan tadi malam tak mau hilang. Sebentar saya berandai-andai. Andai teman-teman saya yang lain juga ikut menghadiri acara semalam. Andai acara seperti itu sering-sering diadakan. Andai hawa sejuk ini tak hanya saya rasakan ketika di dalam masjid saja. Ah, sebentar lagi Ramadhan….

Setengah jam kemudian, secangkir sarapan pagi hampir saya habiskan. Sudah pukul setengah delapan, dan kami hanya berdua. Saya dan mbak Feri, dokter jaga. Seharusnya ada seorang lagi pekerja sosial yang jaga shift pagi. Yah, sudahlah. Toh saya tak lagi berwenang apapun di sana. Begitu pikir saya. Dan segera saya akan bersiap untuk berangkat. Masih dengan senyum dan perasaan senang hati. Rasanya pagi itu akan sangat cerah, dan seharian saya akan menerima kesejukan dan kesejukan lain di acara rutin hari Minggu. Senangnya.

Sesaat kemudian, tangan ini sudah siap menyandang tas untuk lekas pergi. Tiba-tiba, tok…tok…tok! Duh, ketukan itu lagi! Benar saja. Klien baru, datang bersama temannya, dengan wajah pucat setengah mengantuk. Mbak Feri menatap saya dan bertanya “Kamu bisa kan?”

Setengah delapan pagi, hampir gemetar saya duduk di ruang anamnesa. Berusaha mendengarkan dan mencatat semua yang klien katakan. Padahal saya begitu gugupnya karena sudah setahun lebih tak lagi biasa mendengar langsung “cerita-cerita seram” yang selalu ada saat anamnesa. Padahal hati saya waktu itu masih begitu sejuknya menikmati bekas keindahan tadi malam.

“Saya di diskotek hotel, mbak. Dari jam sepuluh, tadi malam.” Duh, waktu itu, tadi malam, saya asyik mendengarkan ustadz Rahmat Abdullah menyegarkan ruhani saya dengan ceramahnya.

“Baru pulang tadi pagi. Naik taksi. Langsung ke rumah teman.” Huh, memang dasar anak jaman sekarang. Sudah keluyuran semalaman, pulang pagi, menghamburkan uang pula dengan naik taksi.

“Kejadiannya apa? Pukul berapa? Dan di mana?” saya bertanya nyaris tak sabar. Lupa, padahal saya bisa mengetahui informasi itu dengan melihat surat pengantar dari kepolisian.

“Saya…saya diperkosa, mbak. Tadi subuh. Sekitar jam lima. Di pinggir jalan by pass.”

Pena saya nyaris terjatuh. Saya terpelongo, seakan belum pernah mendengarnya sebelumnya. Telinga saya mungkin tak siap dikotori pagi ini. Batin saya ingin menggenggam erat bekas keindahan tadi malam. Pikiran saya seperti masih ingin melambung bersama kesejukan-kesejukan itu. Duh, subuh tadi, saya masih berada di masjid, masih dengan isak tangis usai berdoa panjang bersama jamaah lain. Rasanya saat itu jiwa dan raga saya diangkat tinggi-tinggi, kemudian dibanting kuat-kuat ke tanah. Sakit.


Untuk mbak Anna Sakreti, untuk Rs dan Rt--adik-adik saya di PKT RSCM

18.08.2004

No comments: