Halaman

Tuesday, December 27, 2005

Seorang Calon Bunda ...

Ada apa dengan dunia?

Sepertinya akhir-akhir ada 'sepi' yang merayapi, perlahan. Walau nggak terlalu mengganggu sebenernya. Saya punya cukup banyak 'jendela' yang bisa dimanfaatkan untuk mengusir 'sepi' yang bisa menggerogoti hati.

Lebih sering nonton berita (dan akhir-akhir ini tak banyak berita gembira yang tersiar), mulai membaca satu per satu tumpukan buku yang selama ini tidak tersentuh, menghubungi teman-teman melalui telepon, sms, maupun mengunjungi warnet seminggu sekali. Kegiatan rutin, tapi harus dilakukan, bila saya tidak ingin 'mengubur' diri dalam 'sepi'. Sambil perlahan-lahan, merencanakan kembali apa-apa yang ingin dilakukan ke depan. Satu yang sudah pasti: Saya harus tetap menulis!

Setiap perubahan yang terjadi dalam hidup ini pastilah memerlukan ekstra tenaga dan pikiran untuk menjadikannya menyenangkan dan tidak memberatkan. Ada satu perubahan membahagiakan yang hadir dalam hidup saya sekarang: Saya akan menjadi seorang bunda! Banyak doa dan harap yang sekarang lebih sering hadir dalam sujud dan hari-hari saya. Cemas, gelisah, bahkan tangis yang diam-diam menjadi 'penggoda', adalah kewajaran bagi hormon-hormon yang 'mengubah' tubuh seorang calon bunda. Menjadi lemah dan nelangsa sendiri? Tentu tidak! Saya sekuat tenaga mencoba untuk selalu berpikir positif. Hamil kan nggak harus mual, muntah atau bahkan pingsan segala. Dan, alhamdulillah, Allah memudahkan saya dalam hal ini. Walau cobaan-cobaan itu pasti ada. Seperti hari ini, si calon bunda ini mendapat 'serangan kaget' ketika membaca hasil USG. Lantas? Tersenyum saja, banyak-banyak berdoa, berusaha menjaga dan membesarkan calon janin dengan gizi yang baik, dan cukup istirahat. Pikiran yang sehat akan membantu calon bunda dan si janin untuk tetap sehat secara fisik dan emosi.

Benarkah 'sepi' itu menghalangi? Tentu tidak. Kalau saja kemalasan tidak menghalangi mata dan hati untuk melihat lebih dekat apa yang ada di sekitar, kenyamanan itu pasti akan menggantikannya.

Jangan buang waktu, bergiatlah! Niat yang baik dan ikhlas menjadi awal dari setiap tindak laku yang menjadikan perubahan kehidupan suatu keindahan, bukannya hal yang menakutkan.

*menyemangati diri sendiri*
"Salam cinta untuk semua"

Wednesday, December 07, 2005

Masihkah Rindumu?

Aku bertanya tentang waktu,
saat kita pertama kali bertemu
dan kisah cinta kita tertuang dalam lagu,
yang sering kita nyanyikan begitu merdu.
Ingatkah engkau tentang saat itu?
Suatu ketika, di koridor itu,
mataku menatap penuh harap pada sosok-sosokmu,
yang bahkan lebih dariku
menyalakan suara bagai semangat yang menyatu.
Koridor itu, mungkin adalah tempat pertama kali kita bertemu.
Aku ingat, di lapangan terik itu,
seketika bayang-bayang tak lagi semu.
Jabat tanganmu menghangatkanku,
ketika kusadari langkah-langkah ini akan berpadu
denganmu.
Di bangku panjang, di taman itu,
entah berapa waktu bersaksi bisu
ketika kau menangis karena susahmu,
ketika aku mengadukan lelahku,
ketika kau dan aku menapaki letih, duka, dan gembira itu,
ketika semua penat itu jadi rindu,
mungkinkah kini kau ragu?
Bimbangku kini tentangmu.
Suatu ketika di koridor itu,
kau dan aku,
kita menggandeng lengan-lengan baru,
dengan bara yang satu,
semangat itu.
Mereka telah menjadi nafasku yang memburu,
mereka tak pernah enyah, walau aku sempat ragu,
mereka menguatkan separuh jiwaku,
saat jatuhku begitu menderu.
Mereka adalah lagu,
yang selalu berdegup menghidupkanku.
Dulu,
saat pertama kali kita bertemu,
dan berulang sepanjang waktu.
Masihkah itu menjadi rindumu?
Atau kini kau beranjak pergi,
meninggalkanku?


Dedicated to 9868sisterhood&brotherhood
"Sebuah kerinduan panjang untuk kalian"

Thursday, November 17, 2005

Sebuah Kehangatan

Menjadi seorang anak tunggal selalu tidak mudah. Saya sendiri nyaris mengalaminya. Sewaktu kecil dulu, saya hampir tidak memiliki saudara kandung sampai saya berumur delapan tahun. Tiba-tiba saja ibu saya melahirkan seorang adik perempuan untuk saya. Mungkin karena sebelumnya saya sudah merengek-rengek dan memainkan segala macam peran khayalan menjadi seorang kakak selama beberapa lama. Mungkin juga karena memang orang tua saya belum merencanakannya, dan Allah mengaruniakan seorang adik untuk saya ketika saya sudah berusia delapan tahun.

Saya memiliki seorang saudara sepupu laki-laki. Saat ini ia berusia sekitar sepuluh tahun. Ia seorang anak tunggal, dan memiliki orang tua yang keduanya bekerja. Bisa dibayangkan bagaimana ia kesepian. Setiap hari sepulang sekolah, mungkin hanya pembantu di rumah, dan mainan serta play station favoritnya yang menjadi teman. Saya tidak begitu memerhatikan, seberapa besar pengaruh ‘rasa kesepian’ itu padanya, hingga pada suatu waktu ia menjadi murid privat seorang teman saya.
Sepupu saya itu cukup pintar, bahkan menurut saya cukup cerdas untuk anak seusianya. Dan ia memiliki tipe kinestetik dalam menyerap pelajaran, dalam arti tak bisa duduk diam dan menunggu guru selesai menerangkan. Istilah lain yang biasa orang gunakan, padahal mungkin dalam pemahaman yang salah, adalah hiperaktif. Bahkan tante saya sempat membawanya ke seorang psikolog. Pasalnya, seorang guru privatnya tak sanggup untuk menghadapi sepupu saya itu. Entah berapa kali telah ‘dikerjainya’, dan mungkin si guru privat sudah tidak sanggup lagi. Kemudian, saya menawarkan seorang teman kampus saya untuk menjadi guru privat pengganti. Seorang guru yang jauh lebih muda dari yang sebelumnya. Dalam hati, saya sempat khawatir, akankah teman saya itu menjadi ‘sasaran empuk’ berikutnya? Rupanya, tante saya ‘betah’ mempekerjakannya, dan demikian juga sepupu saya. Menurut tante saya, ia seperti mendapatkan seorang ‘kakak laki-laki’ sekaligus teman bermain disamping menjadi guru privatnya.

Selama ini, saya sendiri seringkali menganggap bahwa seorang anak tunggal adalah anak yang egois, manja, dan sulit untuk bergaul dengan orang lain. Sebuah kesimpulan yang memang saya tarik sendiri berdasarkan apa yang saya perhatikan dari sekeliling saya. Tapi rupanya hal itu tidak bisa diberlakukan bagi semua orang. Bagi sepupu saya, menjadi anak tunggal berarti ia harus mengusir kesepian dengan caranya sendiri. Yang belakangan saya ketahui adalah bahwa ada sebuah kehangatan yang ia ajarkan pada orang lain.
Ibu saya selalu mengajarkan pada saya dan adik saya untuk selalu memuliakan tamu. Mulai dari membiasakan kami untuk membuatkan dan menyajikan sendiri minuman atau suguhan lain bila ada tamu yang datang, atau membantunya untuk bersiap-siap menghias rumah dan menyajikan kue-kue menjelang hari raya Idul Fitri, walaupun sebenarnya tamu yang akan datang berkunjung ketika hari raya tidaklah banyak. Tetapi kami benar-benar mengubah suasana rumah menjadi nyaman dan cantik sekali, lain dari hari-hari biasanya. Ada atau tidak ada tamu yang datang, kami selalu dalam kondisi siap untuk menerima dan menjamu. Hal ini merupakan pengajaran yang sangat baik. Keramahan dan keterbukaan seperti ini bisa jadi tak dimiliki oleh keluarga yang lain. Atau mungkin anak-anak yang lain tidak turut andil dalam ‘menjamu’ tamu kecuali bila teman-teman kecil mereka datang. Keterlibatan seorang anak dalam menerima dan menjamu tamu adalah satu hal yang susah-susah gampang untuk dibiasakan.

Sepupu saya yang berusia sepuluh tahun itu beberapa kali memberikan kejutan pada saya. Setelah mereka pindah menempati tempat tinggal baru, yang jauhnya paling hanya beberapa blok saja dari tempat tinggal yang lama, saya berkesempatan untuk menginap di sana. Sebelumnya saya memang sudah pernah berkunjung dan sesekali menginap di rumahnya, namun cukup jarang sebab rumahnya memang jauh dari tempat tinggal saya. Dari saat itulah saya memerhatikan satu hal yang menarik dari diri lelaki kecil itu.
Ketika itu saya membuat janji untuk bertemu tante dan sepupu saya itu di sebuah pertokoan di dekat kantor tempat tante saya bekerja. Rupanya sepupu saya memerlukan beberapa bahan untuk mengerjakan tugas sekolahnya. Untuk menghemat ongkos dan efektivitas waktu, saya pun bertemu mereka di pertokoan itu untuk kemudian pulang bersama ke rumah mereka. Saat itu sekitar pukul enam sore, sepulang dari kantor saya segera menuju ke sana. Saya menemui mereka di toko buku yang terdapat di dalam pertokoan itu. Sepupu saya berteriak memanggil saya yang sedang celingukan mencari-cari mereka.

“Kak Vita nginep berapa hari?” ia bertanya, dan saya sedikit tergagap mau menjawabnya. Saya melirik tante saya yang berada di dekat kami sambil tersenyum-senyum.
“Iya, katanya kak Vita nggak boleh cuma satu hari nginepnya.” Sambung tante saya.
“Emangnya musti berapa hari nginepnya?” saya balik bertanya. Ia tersenyum-senyum.
“Tiga hari!” katanya bersemangat. Saya tersenyum kecil, dalam hati sedikit terharu. Sepertinya ia begitu senang bila ada orang yang menginap di rumahnya, pikir saya waktu itu.

Di lain kesempatan, saya kembali diajak untuk menginap di rumahnya. Kali itu saya menginap bersama adik perempuan saya dan seorang tante saya yang lain. Seperti biasa, ketika saya datang bersama adik saya, sepupu saya itu menyambut kami dengan gembira. Ia bahkan betah untuk menunggui kami hingga waktu tidur, mengobrol berlama-lama, atau menemani kami sambil ia sendiri bermain.
Pagi harinya, saya melihat adik saya duduk di depan televisi sambil meminum susu kotak. Saya sempat kaget dan menegurnya. Saya tahu pasti itu milik Imam, sepupu kecil saya itu. Biasanya seorang anak kecil akan ngambek atau mengamuk bila tahu kepunyaannya diambil orang lain tanpa sepengetahuannya. Saat itu saya menunggu Imam keluar dari kamarnya, dan mungkin akan marah besar melihat adik saya seenaknya mengambil susu kotak kesukaannya dari kulkas.
Lalu Imam pun bangun dan menghampiri kami,
“Kak Dede, itu susu siapa?” tanyanya pada adik saya. Saya dan adik saya saling lirik sambil tersenyum-senyum.
“Susunya Imam. Kak Dede ambil dari kulkas.” Jawab adik saya jujur. Saya menanti reaksi apa yang akan Imam lakukan.
“Oh, iya. Ada banyak kan di kulkas. Kalau mau lagi ambil aja. Imam mau juga ah…” katanya singkat. Dan ia pun beranjak ke kulkas untuk mengambil sekotak susu yang sama. Saya sedikit terbengong. Dan kemudian menghela napas lega. Reaksinya tak seperti apa yang saya bayangkan.
Sejak hari itu, saya dan adik saya sering membicarakan bagaimana Imam memperlakukan kami selama di rumahnya, dan mungkin juga orang-orang lain yang datang dan atau menginap di sana. Ia tak pernah bosan menyambut kami datang, dan menanyakan apa-apa yang kami perlukan, sampai dengan bersemangatnya menceritakan rencananya untuk mengajak kami berjalan-jalan ke tempat ini dan itu. Sungguh sebuah sikap yang cukup jarang dimiliki oleh seorang anak kecil. Ia sangat mengerti cara membuat tamu merasa nyaman di rumahnya.

Saya memiliki seorang sepupu kecil lagi, namanya Andra. Ia berusia tak jauh berbeda dari Imam. Andra seorang anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakaknya berusia sepuluh tahun lebih tua daripadanya, dan keduanya telah sibuk dengan dunia remaja masing-masing. Tak jauh berbeda dengan Imam, pastinya Andra merasakan kesepian yang sama.
Saya berkesempatan untuk mengunjungi Andra dan keluarganya ketika saya dan suami bermaksud untuk menghadiri pernikahan seorang teman di Bandung. Kami pun dengan senang hati menginap di rumah Andra.
Kami sampai di Bandung sekitar pukul dua pagi, dan beristirahat di rumah Andra tanpa membangunkan siapapun kecuali tante saya yang memang belum tidur. Keesokan paginya, ketika yang lain sudah menghabiskan sarapan, saya dan suami masih tertidur setelah menunaikan salat subuh. Andra mengetuk pintu kamar dan membangunkan saya.

“Kak Vita, kak Hendy, tehnya udah siap tuh. Ayo bangun, sarapan.” Panggilnya. Kami pun beranjak ke ruang makan, dan memang di atas meja sudah terhidang dua cangkir teh dan makanan. Andra menemani kami sarapan sambil sesekali bertanya, “Enak nggak tehnya?” atau “Enak kan makanannya?” Dan begitulah seterusnya. Setiap kali waktu makan tiba, Andra selalu memanggil kami berdua, dan mengajak serta menemani kami makan bersama. Di saat sepupu saya yang lain sibuk dengan kegiatannya masing-masing, si kecil ini sibuk memerhatikan kenyamanan kami berdua di rumahnya. Dibandingkan dengan Imam, Andra sangat beruntung memiliki dua orang kakak laki-laki dan perempuan serta seorang ibu yang tidak bekerja office hours seperti ibunya Imam. Tetapi rupanya ia mengalami kesepian yang sama, dan memberikan kehangatan yang sama dengan apa yang Imam lakukan terhadap para tamu yang berkunjung ke rumahnya.

Sederhana memang. Saya rasa semua anak pun bisa melakukannya. Tetapi di balik kelebihan itu, pastinya ditumbuhkan oleh pola didik tertentu yang sangat baik yang diterapkan oleh kedua orang tua mereka. Bagaimana kita memperlakukan tamu dan memberikan yang terbaik untuk kenyamanan mereka, itu pula yang akan ditiru oleh anak-anak kita kelak. Sebuah kehangatan. Rasanya tidak salah sebuah pepatah yang mengatakan bahwa ambillah hikmah dan pelajaran dari siapa saja, bahkan dari seorang anak kecil sekalipun.



From Bintaro with Love ...

Assalamu'alaikum wr wb

Fiuh! Lega rasanya, akhirnya 'menyentuh' dunia maya kembali. Hehehe ... rupanya saya sudah addicted to internet. Kalo nggak cek email barang seminggu aja, pasti jadi bete. Soalnya email-email yang datang pasti akan menumpuk, dan malas sekali rasanya untuk menghapus-hapusnya (ups...berarti banyak email yang nggak kebaca dong? emang. hihi...)

Finally ... tinggal di Bintaro, di Graha Bintaro tepatnya. Akhirnya, rumah sendiri, dengan menyicil untuk bertahun-tahun ke depan. Kecil, sederhana, tapi membawa kesejukan baru. Pertama kali menginap di sana, rasanya berbunga-bunga, deh! Pencarian selama ini bersama my dear husband terbayar sudah. Rumah idaman kah? Yang jelas kami berdua (semoga cepet-cepet jadi bertiga) akan berusaha keras merajut keindahan-keindahan di sana. Ceilee....jadi romantis gini??? hihihi...

Seminggu di rumah baru, masih berkeringat dan bercapek-capek beresin rumah, benerin ini, tambahin itu, pelan-pelan semuanya akan selesai, insyaallah. Alhamdulillah ... bersyukur yang teramat sangat. Belum setahun nikah, tapi sudah diberi rizki menempati rumah sendiri. Mudah-mudahan membawa keberkahan bagi kami yang berada di dalamnya. Menimbulkan berjuta-juta inspirasi sehingga tetap terus bisa berkarya...amiiin! Ayo dong, Vit! Katanya mau jadi penulis! hehehe....

Mohon doa dari semua, semoga kami bisa 'menciptakan' surga di dalamnya ...

Wassalamu'alaikum wr wb

ps. Vita kembali beredar! hehehe

Tuesday, October 18, 2005

Panggilan Sayang

Memiliki pasangan hidup yang berbeda sifat dan karakter mungkin akan menjadi satu hal yang menyenangkan. Sebab satu sama lain akan saling melengkapi. Apa yang tidak ada pada diri kita, mungkin akan didapatkan dari pasangan, dan sebaliknya. Bila ditanggapi secara positif, perbedaan yang ada akan menjadi sebuah tantangan yang menyenangkan untuk ditaklukkan.
Saya sendiri memiliki prinsip demikian. Sejak dulu, saya telah memiliki keinginan untuk menikah dengan seseorang yang bukan dari lingkungan pertemanan yang saya miliki. Saya ingin mendampingi seseorang yang belum mengenal saya, dan saya pun belum mengenalnya, dibandingkan menikah dengan seseorang yang sudah menjadi teman sekolah atau pernah bekerja sama dengan saya dalam suatu aktivitas atau pekerjaan. Bagi saya, memiliki suami yang belum saya kenal kepribadiannya, adalah merupakan tantangan yang pasti sangat menyenangkan. Saya membayangkan, hari demi hari saya menjalani pernikahan itu, akan menjadi sebuah petualangan yang seru yang tak habis-habisnya. Saya pastinya akan menikmati setiap detik dimana saya secara perlahan akan mengenal dan memahami diri suami tercinta. Tapi tentu saja, hal ini tidak bisa diberlakukan kepada setiap orang. Bisa saja hal ini berhasil untuk diri saya, tapi tidak demikian dengan orang lain. Tentu saja. Saya hanya ingin berbagi sebuah pengalaman lucu dan mengharukan dari apa yang saya alami sendiri.

Pada bulan November tahun 2004, tepat pada saat saya menjalani I’tikaf Ramadhan, saya membuat keputusan besar. Saya memutuskan untuk menerima lamaran dari seorang pria. Saat itu, tentu saja menjadi momen yang begitu menggembirakan sekaligus membuat jantung saya tak henti berdetak kencang. Saya akan menikah. Dan begitu tahu bahwa calon suami saya itu adalah seseorang yang memiliki sifat-sifat yang cukup berbeda dengan diri saya, saya menjadi lebih bersemangat lagi.
Suami saya adalah seseorang yang bisa dikatakan cukup pendiam, tak banyak berkata-kata, dan sangat tenang. Sedangkan saya sendiri adalah kebalikannya. Saya hampir selalu memiliki komentar terhadap apapun, suka sekali mengobrol, dan gemar sekali melontarkan istilah atau ungkapan tertentu yang ‘tidak biasa’. Tentu saja ini tidak ada hubungannya dengan kegemaran saya menulis. Teman-teman saya bilang, saya selalu punya seribu istilah yang aneh dan menarik, yang akhirnya bisa menjadi istilah-istilah yang sering kami gunakan dalam percakapan.

Bulan Januari 2005, saya menikah. Di benak saya sudah terbayang berbagai hal yang ingin saya lakukan bersama. Saya pun sudah mempersiapkan diri untuk lebih mengenal pria yang telah menjadi suami saya itu, dan juga berbagai cara untuk membuatnya ‘tidak pendiam’. Ha. Ini satu hal yang pastinya akan menarik, begitu pikir saya. Saya memiliki beberapa orang adik-adik kelas yang menjadi murid-murid saya dalam sebuah kelompok mentoring agama. Di antara mereka tadinya ada yang memiliki sifat begitu pendiam. Tetapi, tak lama setelah mereka menjadi ‘adik-mentoring’ saya, si pendiam itu berubah. Saya telah berhasil membuatnya sedikit lebih terbuka. Saya pikir, saya pun bisa melakukannya lagi.
Untuk membuat seseorang terbuka pada diri kita, kita tak perlu memaksakan diri untuk mengorek informasi apapun darinya, atau memaksanya untuk membuka mulut untuk mengobrol sepanjang hari. Memulainya dari diri sendiri, itu jauh lebih efektif. Seseorang akan merasa nyaman dan percaya untuk membuka dirinya pada kita, apabila kita sendiri mau membuka diri padanya. Begitu teori yang saya dapatkan ketika saya kuliah dulu. Dan saya pun memulainya.
Suatu kali, saya menulis surat untuk suami saya. Di dalamnya saya selipkan sebuah puisi, sebab surat itu akan saya berikan di pagi hari, saat ia akan berangkat ke kantor. Hari itu adalah hari lahir suami saya tercinta. Maka, begitulah. Pagi itu ketika ia hendak berangkat, saya mencium tangannya dan menyelipkan lipatan surat itu ke dalam saku kemejanya. Ia terbengong. Saya hanya nyengir dan berpesan supaya surat itu dibaca ketika ia tiba di kantor. Sebuah kejutan kecil. Tapi itu begitu menyenangkan hati saya sendiri. Dan surat-surat kecil selanjutnya pun cukup sering saya selipkan untuknya. Sebuah surat, adalah salah satu sarana berkomunikasi yang cukup efektif menurut saya.
Di suatu pagi, saat saya baru sampai di kantor, saya tiba-tiba teringat suami dan ingin memberikan kejutan kecil lain untuknya. Kemudian saya membuatkannya puisi singkat, dan saya kirim lewat sms. Selanjutnya, saya mulai sering mengirimkan email dari kantor, berisi puisi atau hanya sekedar menanyakan kabar dan menceritakan aktivitas saya hari itu. Kami pun jadi memiliki kebiasaan baru, yaitu berkirim email dan sms. Sebenarnya lucu juga, sebab toh setiap malam kami bertemu kembali di rumah. Tapi saya merasa perlu untuk melakukannya.
Saya merasa belum cukup dengan tindakan-tindakan kecil yang saya lakukan itu. Suami istri yang keduanya bekerja, tentu memiliki pikiran dan kesibukan masing-masing yang bisa jadi akan menjauhkan keduanya. Belum lagi keletihan sepulang kerja, entah bila ditambah dengan permasalahan yang dihadapi di kantor, dan sebagainya. Saya tidak mau itu terjadi, dan saya ingin menjadikan kemesraan dan keharmonisan di antara kami berdua tetap terjaga. Dan, saya pun memulainya lagi. Bila biasanya saya memanggil suami saya dengan sebutan ‘Mas’, maka saya merasa perlu melakukan lebih dari itu. Saya mengatakan padanya,
“Mas, kayaknya seru deh kalau kita punya panggilan lain.”
Dan saya mulai mengirimkan sms padanya dengan menyebutnya ‘Hunn’. “Apa kabar hari ini, Hunn?” begitu biasanya saya menyapanya di sms. Sekali, dua kali, saya selalu yang memiliki panggilan itu untuknya. Saya tak memikirkan kapan ia akan memanggil saya dengan panggilan khusus, sebab saya sudah cukup excited dengan apa yang saya lakukan itu. Dan saya tak berhenti mengirimkannya puisi atau email di sela-sela kesibukan di kantor.
Suatu hari, saya menerima sms darinya dan saya sedikit terkejut. Sebelumnya saya yang lebih dulu mengirimkan sms untuk menanyakan sesuatu. Dan ia pun membalas dengan isi yang sangat singkat tapi cukup membuat kedua alis saya terangkat.
“Iya, Sayang…” begitu balasnya.
Saya tersenyum lebar. Dan tambah bersemangat lagi ketika ia mengirimkan sms lain yang isinya,
“Rasanya memang seru juga ya punya panggilan khusus.”

Kini, ia selalu memanggil saya dengan panggilan khusus itu, entah ketika ber-sms atau ketika sedang berbicara. Dan saya makin bersemangat untuk mencari-cari panggilan khusus apalagi yang bisa saya temukan. Sedikit seperti sedang bereksperimen memang. Tapi, saya akan melakukan apapun untuk membuat hari-hari saya bersamanya senantiasa bersemangat dan penuh cinta.
Memulai lebih dulu untuk melakukan sesuatu tidak selalu jelek dan membosankan. Sebab kita akan merasakan manfaatnya di kemudian hari, entah cepat atau lambat. Dan saya menjadi sangat bersyukur atas apa yang sudah saya nikmati sekarang. Memiliki perbedaan memang kadang bisa terasa berat. Tetapi ketika diri kita bisa bersabar, dan menggunakan kecerdasan serta kreativitas dalam diri untuk menghadapinya, semua akan terasa lebih menyenangkan dan menentramkan.

Mewarnai Kertas Putih

Memiliki anak yang bisa dibanggakan, berakhlak dan berprestasi baik, menyelamatkan di dunia maupun akhirat, adalah pastinya dambaan semua orang tua. Tetapi proses menuju ke arah sana tidaklah mudah, dan membutuhkan dukungan peran kedua orang tua. Melahirkan seorang anak ke dunia adalah bagaikan memiliki selembar kertas putih. Bersih. Entah dengan gambar dan warna apa kertas itu nantinya terisi, tinta pertama yang menyentuhnya adalah orang tua. Demikian kiranya sebuah ilustrasi sederhana mengenai betapa pentingnya mendidik anak sejak dini.

Setiap kali saya menulis artikel mengenai anak, keluarga, dan tema lainnya, adalah selalu berdasarkan apa yang saya alami maupun amati dari lingkungan terdekat saya. Walau tak semuanya merupakan kejadian yang menyenangkan dan menggembirakan hati, tapi selalu saya simpan dan renungkan baik-baik. Sebab semua itu adalah pelajaran tak ternilai yang dikaruniakan oleh Allah untuk ‘mampir’ dalam kehidupan saya.
Suatu malam, saya berkumpul bersama sepupu-sepupu saya. Ada seorang yang masih berusia empat tahun, laki-laki. Hubungan saya dengannya bisa dibilang sangat dekat. Sebab sejak ia masih bayi saya hampir selalu ada bersamanya. Rumah kami pun berdekatan. Sejak dulu saya selalu memerhatikan perkembangannya. Namun setelah saya menikah dan berpisah rumah dari orang tua, saya jarang sekali bertemu dengan sepupu saya itu. Pada malam itu, saya menemukan sebuah perkembangan lain dari dirinya.
Kami sedang duduk bersama menonton televisi, dan si kecil itu bersendawa cukup keras. Saya tertawa kecil dan berucap, “Alhamdulillah.” Seperti yang biasa saya lakukan sendiri. Kemudian, tanpa disangka si kecil itu menyahut,
“Nggak usah bilang gitu.” Katanya.
“Loh? Kenapa?” saya sedikit bingung menanggapi.
“Iya, nggak usah bilang gitu.” Katanya lagi. Saya mengerenyitkan kening. Heran. Kemudian sedikit memutar otak, mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan.
“Karena aku orang Islam, makanya baca alhamdulillah,” lanjut saya. Tanpa menunggu lama, si kecil itu terus menyahuti saya.
“Iya, walaupun orang Islam, tapi nggak perlu bilang begitu.” Ia mengucapkan kalimat itu tanpa menoleh pada saya. Saya ternganga. Astaghfirullahal’azhiim ….

Saya sempat menceritakan pada ibu mengenai kejadian tersebut. Dan ibu saya kembali mengingatkan saya pada pentingnya mendidik anak sedari kecil. Tak terlihat ada rasa heran pada raut wajah ibu. Sebenarnya, saya pun begitu. Saya mengenal orang tua si kecil itu tidak seperti ibu saya dulu. Seharusnya saya tidak usah merasa heran, dan langsung saja memanfaatkan momen itu untuk mengajarkan padanya yang benar. Membetulkan kalimat yang ia ucapkan pada saya. Walaupun ia tak mendapatkan pelajaran itu di rumahnya, bukan berarti ia tak mendapatkannya ketika ia berada di rumah saya. Itu satu prinsip yang saya dan ibu saya pegang sejak dulu. Kami memang benar-benar menyayangi si kecil itu.
Beberapa hari setelahnya, di benak saya selalu terngiang-ngiang, bagaimana dulu ibu dengan keras dan sedikit memaksa saya untuk mengaji, melakukan salat lima waktu, berpuasa, salat tarawih di masjid. Saya ingat sekali, betapa malasnya saya dulu. Seringkali saya pura-pura tertidur ketika guru mengaji saya sudah datang ke rumah. Ketika tiba waktu salat, saya sering berlama-lama main di luar rumah sampai ibu memanggil-manggil. Waktu salat tarawih saya seringkali mengobrol dan bermain-main di dalam masjid, walau saya dengan senang hati keluar rumah setiap malam. Tetapi ternyata itu semua begitu membekas hingga sekarang. Sedikit banyak, omelan dan semangat ibu dulu mengajarkan saya patuh pada perintah agama sangat berperan dalam membentuk diri saya yang sekarang ini. Saya menyadari hal ini ketika saya sudah dewasa. Bagaimanapun, bila nilai-nilai itu tak ditanamkan sejak kecil, bila tidak segera membiasakannya dekat dengan agama, akan cukup sulit mengajarkannya ketika anak sudah beranjak besar.

Si kecil itu, saya tak tahu apakah kesempatan yang saya miliki untuk mengajarkannya masih cukup banyak. Mungkin tidak sebanyak dulu, sebab intensitas pertemuan saya dengannya yang juga berkurang. Saya berjanji dalam hati, dimana ada kesempatan yang sama, saya tidak akan melewatkannya begitu saja. Walau sedikit, walau tak banyak, saya masih bisa berperan untuk membagi pengajaran yang baik untuknya. Dan yang pasti, saya makin mawas diri, untuk tidak lengah dan lalai dalam mengajarkan agama pada anak saya kelak. Anak saya, adalah ‘kertas putih’ yang dititipkan Allah pada kita. Kita, orang tua, adalah si pemegang ‘pensil warna’.

Belajar Disiplin dari Anya


Suatu kali saya mengunjungi salah satu keluarga favorit saya. Mereka adalah kedua sepupu kecil saya: Rey dan Anya, dan kedua orang tua mereka. Atas tawaran dari mereka, saya pun menghabiskan satu malam menginap di kediaman yang baru mereka tempati di daerah Cilandak. Ketika saya sampai di kediaman mereka, hari sudah beranjak malam. Saya mengetuk pagar, dan tak lama Rey dan Anya berlari keluar menyambut saya dan membukakan pintu pagar.
Setelah sejenak melepas lelah, Anya dan Rey menarik tangan saya untuk masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri.
“Kak Vita pakai kamar mandi di dalam kamar aja. Handuknya ada kan di situ? Keran shower-nya bisa buka sendiri kan? Ayo, Dek, jangan gangguin, kak Vita mau mandi.” Kata Rey. Saya mengangguk-angguk menanggapi. Anak usia sepuluh tahun ini seperti ibu-ibu saja, pikir saya. Tapi rupanya Anya tidak menurut. Ia malah sibuk mengacungkan sebuah botol kecil kepada saya dan mengoceh panjang lebar.
“Kak Vita, kemarin kan si mbak bilang ada yang kena demam berdarah. Jadi mama beliin Lavenda, aku setiap hari musti pakai Lavenda supaya nggak kena demam berdarah. Ini Lavendanya, aku taruh di sini, ya. Nanti kak Vita pakai habis mandi, ya.” Katanya.
Wah, mau mandi saja repot sekali, pikir saya waktu itu. Pakai lotion anti nyamuk? Malas ah. Saya hanya meletakkannya di atas meja, dan kemudian tak menyentuhnya lagi sehabis mandi.

Sejam kemudian, kami bertiga makan malam sambil menonton televisi. Di sela-sela kegiatan itu, Anya mengingatkan saya,
“Eh, kak Vita! Udah pakai Lavendanya belum?”
“Eh … belum. Nanti aja deh, ya.” Kilah saya.
“Ya udah, tapi nanti jangan lupa, ya. Kan bisa kena demam berdarah.” Anya menasehati. Saya sedikit merasa geli mendengarnya. Kalimatnya barusan, dan mimik wajahnya yang bersungguh-sungguh mengingatkan saya pada ibu saya bila sedang memarahi atau mengingatkan saya untuk melakukan sesuatu. Anak sekecil itu ….


Malam itu saya dan Rey menghabiskan waktu dengan menonton film Star Wars. Ketika ayah dan ibu mereka pulang, kami makin seru menonton sambil mengomentari adegan ini dan itu. Malam kian larut, saya dan Rey belum tidur, demikian pula Anya. Tetapi wajahnya yang sudah setengah mengantuk tidak bisa bertahan lama di depan televisi di ruang tamu. Ia pun masuk ke kamar, dan tidak lupa kembali berkata pada saya dengan gaya yang sangat lucu,
“Ya ampun, kak Vita! Lavendanya belum dipakai juga?”

Persoalan memakai lotion anti nyamuk rupanya bukan hal yang sepele bagi sebagian orang, termasuk keluarga Rey dan Anya. Bagi saya, cukup semprotkan saja obat nyamuk, beres. Mudah-mudahan tidak tergigit. Tapi memang mencegah sangat jauh lebih baik daripada mengobati. Saya sendiri menyadari kalimat itu, tapi rupanya belum sepenuhnya memahami bahwa peringatan itu tidak boleh hanya berlaku sebagai slogan belaka. Perlu kekuatan untuk mengusir kemalasan untuk mempraktekkannya. Bila sudah terlanjur jatuh sakit, kita sendiri yang rugi. Begitulah, menanamkan kedisiplinan memang perlu kesadaran dan kemauan.
Omong-omong soal mengagumi, saya memang mengagumi keluarga favorit saya ini. Salah satunya adalah bagaimana si ayah dan ibu berusaha menanamkan kedisiplinan pada diri anak-anaknya. Bagi saya, menyaksikan seorang anak sekecil Anya yang begitu repot-repot menasehati saya untuk memakai lotion itu, adalah bukan sekadar menyadari bahwa ia menyayangi saya sehingga tak mau saya terkena penyakit demam berdarah. Melainkan juga menyaksikan buah kecil dari sebuah tekad kedisiplinan yang telah ditanamkan si ibu sejak dini. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Tentu saja.

Wednesday, September 28, 2005

Menyeimbangkan Keinginan

Saya baru saja menyadari betapa saya banyak merugikan diri saya sendiri, setelah saya membaca sebuah buku. Judulnya “Don’t Sweat the Small Stuff with Your Family”, karya Richard Carlson. Sebuah buku yang, menurut saya, sederhana. Isinya sebenarnya adalah kisah-kisah keseharian si penulis, yang sangat baik dan cerdas dalam mengambil hikmah dalam setiap kejadian kecil dalam kehidupannya. Ditulis dengan bahasa ringan, mudah dimengerti, dan ‘akrab’. Mengapa saya katakan akrab? Sebab sepertinya ketika membacanya, kita akan tertegur keras, bahwa setiap kejadian tersebut pernah kita alami sendiri.

Contohnya adalah salah satu chapter dalam buku itu yang kira-kira berjudul “Let Go Off Your Expectations”. Satu chapter yang hanya terdiri dari dua sampai tiga halaman itu menceritakan tentang bagaimana si penulis seringkali memiliki pengharapan-pengharapan tertentu terhadap masing-masing anggota keluarganya. Seperti ketika suatu pagi yang cerah, ia dengan sangat antusias mengajak istri dan anak-anaknya untuk berlibur dengan pergi ke kolam renang. Tentu saja, ia mengharapkan reaksi atau respon yng sama antusiasnya dengan apa yang ia tunjukkan. Namun pagi itu, ia tidak mendapatkannya. Komentar yang dilontarkan oleh istrinya lebih kepada, “Ya, terserah, deh.” Dan itu sama sekali bukan sebuah kalimat yang menunjukkan sikap antusias. Tentu saja si penulis merasa ‘terganggu’ dengan sikap keluarganya, dan ia pun ‘terjebak’. Ia berkata, “Ada apa sih dengan keluarga ini?” dengan nada tinggi. Mendengar kalimat tersebut, istrinya pun tersenyum lebar dan berdiri di hadapannya sambil mengatakan, “Nah? Bagaimana dengan perkataanmu tentang pengharapan terhadap orang lain?”

Kejadian tersebut memang sepertinya sangat sepele. Namun, bagi orang yang tidak dapat mengontrol emosi akibat terjebak oleh situasi seperti di atas, tentu akan berakibat buruk bagi hubungan antar anggota keluarga. Padahal, reaksi seperti itu tak perlu dilakukan, kalau saja kita bisa sedikit bersikap tenang dan santai. Berusaha untuk menerima bahwa tidak setiap orang, termasuk anggota keluarga kita sendiri, dapat memiliki sifat yang sama seperti diri kita. Tidak setiap orang memiliki antusiasme yang sama ketika menghadapi berbagai situasi. Yang jelas, setiap orang adalah bukan diri kita. Jadi, memiliki pengharapan yang berlebihan terhadap orang lain tentu hanya akan membuat kita stres.

Dalam keluarga terutama, dimana kita menemui orang-orang yang sangat kita cintai itu nyaris setiap waktu dalam hidup kita, kita harus berusaha banyak bertoleransi bila ingin mencapai hubungan keluarga yang baik dan menyenangkan. Menerima kondisi perbedaan tersebut bukanlah berarti kita ‘menurunkan standar’, melainkan mengurangi tuntutan bahwa ‘setiap orang harus memiliki sikap, reaksi, dan respon yang sama’ dengan diri kita. Dengan kata lain, diri kita tetaplah diri kita, yang memiliki berbagai keinginan, baik untuk diri sendiri maupun terhadap orang lain. Bagaimana menyeimbangkannya dengan kemampuan dan karakteristik orang-orang tercinta yang hidup bersama kita, itu satu hal yang perlu terus diupayakan.

Saya tersenyum dan mulai mencerna ulang segala apa yang saya serap dari chapter itu. Saya mungkin memiliki sifat yang tak jauh beda dari si penulis buku tersebut, yaitu hampir selalu bersikap dan mengatakan sesuatu dengan antusias kepada orang lain. Ya, saya adalah seseorang yang ‘ber-emosi’, begitu apa yang teman-teman saya katakan. Hampir tak pernah saya tak melibatkan perasaan dalam setiap perkataan ataupun tindakan saya. Maka, bila ada orang lain yang tidak menanggapinya seantusias diri saya, saya akan berpikir bahwa orang tersebut sangat tidak pengertian dan tidak peduli dengan orang lain. Setidaknya, orang tersebut tidak mengerti bahwa sesuatu itu sangat penting bagi diri saya.

Hal itu cukup sering terjadi dalam kehidupan keseharian saya. Dan akhir-akhir ini, saya menjadi kurang bisa bertoleransi terhadap hal itu. Saya menginginkan apapun cerita yang keluar dari mulut saya ditanggapi sama antusiasnya dengan bagaimana saya menceritakannya. Setiap perilaku sedih, marah, kecewa, dan bahagia saya, saya pun ingin mendapatkan respon serupa dari keluarga saya, dalam arti mereka memiliki perasaan yang sama dengan saya.

Di chapter lain pada buku tersebut, ada sebuah yang juga membuat saya tertarik. Judulnya kira-kira “Let Him/Her Know”. Isinya tentang bagaimana kita seharusnya menyampaikan isi hati dan keinginan kita kepada orang-orang tercinta di rumah. Mungkin saja, banyak hal yang terjadi di luar dari apa yang kita harapkan, adalah karena kita sendiri tidak pernah menyampaikannya kepada mereka. Kemudian, saya pun merenungkan kembali, apakah kondisi tersebut pernah saya alami?

Hasilnya? Sama seperti si penulis, rupanya saya telah berkali-kali terjebak dalam emosi saya sendiri. Memiliki prasangka dan dugaan buruk yang hanya akan membuat hati saya gundah, dan merasa bahwa tidak seorang pun dapat memahami keinginan saya. Sungguh malang. Saya benar-benar merasa rugi kini, setelah menyadari bahwa bersikap demikian tidaklah membawa manfaat apapun terhadap diri saya. Bahkan, mungkin saja perasaan gundah tersebut membuat sikap saya menjadi berbeda kepada orang-orang tercinta di rumah. Bisa jadi, kekecewaan saya tersebut membuahkan perilaku saya yang berbeda kepada mereka, dan mungkin saja telah menyakiti perasaan keluarga saya. Dan kesudahannya, setelah emosi yang berlebihan tersebut lewat, saya selalu menyesali sikap saya itu. Bayangkan saja, betapa saya mungkin telah menyakiti dan membuat keluarga saya sedih!

Kejadian seperti itu, bukan tak mungkin telah kita alami berkali-kali. Dan selama berkali-kali itu, entah ke mana perginya akal sehat dan kejernihan pikiran saya, sehingga saya amat sulit menggali hikmah dan tindakan tepat apa yang harus saya lakukan untuk mengatasi situasi macam itu. Dan selama ini, saya selalu tenggelam dalam perasaan dan pikiran saya sendiri, yang mungkin cenderung negatif, hingga menyebabkan kegundahan dalam hati saya berlangsung lama.

Suatu malam, beberapa hari setelah saya membaca buku itu, saya melakukannya. Saya menahan emosi ini kuat-kuat, melebarkan senyum hingga dapat menekan nada suara saya serendah mungkin, menatap lekat-lekat mata orang yang saya sayangi di rumah, dan mulai menyampaikan satu per satu keinginan dan harapan saya terhadapnya. Dan ternyata berhasil! Ia mendengarkan dengan serius, tampak memikirkan bahwa yang saya sampaikan itu memang benar-benar penting bagi diri saya, dan sesudah itu ia mengatakan bahwa ia pun sebenarnya telah memikirkan hal yang sama.

Hati saya terasa lapang sekali setelahnya. Dalam hati, saya mulai mendaftar ulang ‘keinginan-keinginan’ yang selama ini belum terkomunikasikan dengan baik, untuk saya pikirkan kembali, dan mungkin saja akan saya sampaikan di suatu kesempatan lain. Dan malam itu, saya tertidur dengan sangat nyenyak.

Alhamdulillah ... saya telah menemukan tulisan sederhana dalam buku tersebut. Yang akhirnya memberikan pukulan keras bagi saya, bahwa tidak semua hal yang terjadi perlu dimasukkan dalam ‘daftar tuntutan besar yang harus dipenuhi’. Mungkin ketika kita menanggapinya dengan ringan, hal tersebut tidak akan menjadi sesuatu yang dipendam lama hingga menjadi ‘bom waktu’ yang akan meledak kapan saja. Ketika kita berusaha keras untuk menyingkirkan ego, membuka hati dan pikiran untuk mengkomunikasikannya dengan cara yang baik apapun itu keinginan dan harapan yang kita miliki, tentu akan membawa hasil yang lebih baik, dibandingkan hanya memendamnya atau langsung bereaksi keras. Dan jangan lupa, bagaimanapun, jangan pernah berharap bahwa apa yang kita inginkan akan seratus persen diterima dan ditanggapi seperti yang kita harapkan. Dan bila itu terjadi, bukan berarti mereka tidak mengerti atau tidak menyayangi diri kita.

Menjadi Teman Baik

Saya memiliki seorang teman dekat, kami telah saling mengenal selama lebih dari sepuluh tahun. Ketika kami duduk di bangku SMA, bisa dikatakan kami memiliki lingkungan pertemanan yang hampir sama. Ia mengenal teman-teman saya, dan sebaliknya. Walaupun kami tak satu sekolah, namun saya tahu bagaimana pergaulannya dan juga aktivitasnya. Demikian juga sebaliknya. Saya mengenalnya sebagai seseorang yang cukup supel, memiliki banyak teman, dan juga cukup menyenangkan. Pada waktu itu, saya pikir saya telah mengenalnya begitu dekat hingga saya memahami seluruh apa yang ada pada dirinya.

Ketika kami kuliah, ternyata saya pun masih diberikan kesempatan bertemu dengannya cukup sering. Karena kami kuliah di universitas yang sama. Sama seperti di SMA dulu, kami saling mengetahui kegiatan masing-masing. Walaupun ada sedikit perbedaan kondisi dibandingkan saat di bangku SMA dulu, yaitu lingkup pergaulan kami masing-masing menjadi lebih luas. Cukup banyak teman-temannya yang tak saya kenal, dan mungkin juga sebaliknya. Luas dan beragamnya lingkungan pergaulan di kampus memungkinkan teman saya itu untuk bergaul ke sana ke mari. Teman-temannya pun tersebar di berbagai fakultas. Tetapi ternyata saya lagi-lagi diberikan kesempatan untuk juga mengenal, walau tidak dekat, beberapa orang dari ‘lingkaran pertemanan’ teman dekat saya itu. Saya akui, kebiaaan dan pola pertemanan yang ada pada mereka memang tidak seperti yang saya punya. Namun, saya cukup bisa bertoleransi bahwa mereka adalah orang-orang yang baik. Tetapi, teman dekat saya itu mengalami cukup banyak perubahan. Sesaat, saya seperti tak lagi mengenalnya.

Suatu ketika, saya mendapati teman saya ini begitu menyukai seseorang. Seseorang itu adalah teman saya juga, katakanlah si A. Hubungan saya dan si A bisa dibilang juga cukup dekat, bahkan sebenarnya saya yang lebih dulu mengenal dan dekat dengan si A. Si A ini, juga seorang perempuan, adalah seseorang dengan kepribadian yang memang sangat menyenangkan. Dan saya sangat mengerti mengapa teman dekat saya itu begitu ‘memuja’ si A. Ia sepertinya berusaha memasuki setiap lingkaran teman yang si A punya. Ia akan marah dan minimal ‘ngambek’ kalau mendapati si A sedang bepergian atau berkumpul dengan teman-temannya tanpa mengajaknya. Kadang, saya menilainya terlalu kekanak-kanakan.

Pernah si A menceritakan pada saya, bahwa teman dekat saya itu berusaha untuk ikut dalam setiap momen dimana si A dan teman-temannya berkumpul. Awalnya, saya tidak heran dengan hal itu. Memang saya tahu bahwa teman dekat saya itu cukup supel dan sepertinya dapat diterima oleh berbagai kalangan pergaulan. Saya sendiri cukup sering berhubungan dengan si A, dan kami berdua memiliki pembicaraan sendiri ketika sedang berbincang. Tapi saya sadar, si A memiliki lingkungan pertemanan yang telah ia jalani lebih dulu sebelum ia mengenal saya. Seperti teman dekat saya itu, saya sendiri sangat menyukai si A. Tapi saya tak pernah mengharapkannya untuk selalu berada bersama-sama saya setiap saat. Saya menghargai privasinya untuk berada bersama teman-temannya yang lain kapanpun ia suka, tanpa saya ganggu. Sebab saya sadar bahwa saya kurang nyaman dan mungkin juga kurang cocok untuk bergaul akrab dengan teman-teman si A, walau kami saling kenal. Saya bisa memiliki lingkungan pertemanan saya sendiri, dengan tetap berteman dekat dengan si A.

Saat itu, saya cukup sering memikirkan teman dekat saya, tentang bagaimana hubungannya dengan si A dan teman-temannya. Mereka sering bepergian bersama. Setiap kali kuliah usai, mereka masih asyik nongkrong di kampus atau tempat lainnya. Si A kuliah pada jam-jam yang berbeda dari saya dan teman dekat saya itu. Tapi teman dekat saya itu dengan rela menunggui si A hingga ia seringkali pulang malam. Hal itu terjadi cukup sering, dan itu cukup mengkhawatirkan bagi saya. Saya semakin menyadari, bahwa teman dekat saya itu benar-benar berusaha keras untuk berada pada lingkungan pergaulan si A.

Suatu saat, saya berkesempatan untuk berbincang cukup lama dengan si A. Kami sering bertemu di dunia maya, alias chatting. Hampir setiap hari. Sekali, dua kali, saya mendapat cerita dari si A bahwa ada beberapa temannya yang merasa kurang nyaman dengan keberadaan teman dekat saya itu di antara mereka. Memang, sepertinya ia seringkali sedikit ‘memaksa’ untuk selalu hadir pada setiap acara kumpul-kumpul yang mereka lakukan. Di kesempatan lain, saya mendapat kabar bahwa beberapa teman si A merasa jengah dengan sikap dan tingkah laku teman dekat saya itu. Mereka menilainya terlalu over acting dalam suatu hal. Ketidaknyamanan ini akan dengan mudah berubah menjadi ketidaksukaan. Saya menyadarinya, dan begitu pula si A. Maka dalam beberapa kesempatan, bila ada pernyataan ketidaksukaan itu terlontar, si A sedapat mungkin membuat suasana melunak dengan sedikit membela teman dekat saya itu.

Entah mengapa, tiba-tiba saja saya jadi merasa kasihan pada teman saya yang sudah lama sekali saya pahami perangainya itu. Ia yang selalu berusaha masuk ke sebuah lingkungan pergaulan, merasa bahwa dirinya diterima di sana dan selalu ingin mendapat tempat bersama mereka. Padahal kenyataannya tak seperti yang ia pikir. Mungkinkah ia menyadari kondisi ini? Saya harap begitu. Sehingga ia seharusnya dapat membatasi diri dan mengerti bagaimana harus menempatkan diri.

Perihal teman dekat saya itu, adalah sebuah teguran bagi diri saya sendiri. Pernahkah saya dengan begitu menyebalkannya memaksakan diri untuk masuk ke dalam sebuah lingkungan, dan kemudian ternyata membuat orang-orang di dalamnya tidak nyaman? Saya semakin rajin untuk mengintrospeksi diri. Dan setiap kali si A ‘mengadukan’ apa yang telah diperbuat atau dikatakan teman dekat saya itu, dan itu sepertinya membuat mereka tak nyaman, maka seketika saya ingin sekali berbuat sesuatu. Misalnya, menegurnya atau memperingatkannya tentang apa yang telah ia lakukan atau katakan. Kalau dipikir-pikir, memang bukan tanggung jawab saya sepenuhnya. Toh, yang melakukannya adalah bukan diri saya. Tetapi, saya telah berteman dekat dengannya selama lebih dari sepuluh tahun. Dirinya adalah cerminan diri saya, begitu seharusnya. Entah mengapa saya merasa begitu bertanggung jawab dan tidak bisa membiarkannya begitu saja. Apalagi bila ia telah membuat tak sedikit orang merasa tidak nyaman. Entah mengapa. Mungkin karena rasa sayang saya sudah begitu besar untuknya.

Saya ingat, ada seseorang yang pernah berkata kepada saya, bahwa menjadi ‘teman yang baik’ adalah tidak sama dengan menjadi ‘teman baik’. Menjadi ‘teman baik’ adalah menjadi seseorang yang senantiasa bisa melindungi, membantu mengingatkan dirinya kapanpun ia telah melakukan kesalahan. Tanpa harus berbaik-baik, dan tidak membiarkan dirinya berbuat hal yang tidak benar. Teman baik adalah teman yang bisa membuat diri kita menjadi seseorang yang lebih baik.

Berteriaklah, dan Anakmu akan Menirumu

Seringkali, kita sebagai orang dewasa, tidak menyadari bahwa setiap apa yang kita perbuat dan katakan, diserap dengan sangat cepat oleh anak-anak. Memang ketika mereka berada dalam tahap perkembangan otak optimal, setiap apapun yang berada di sekitar mereka akan menjadi ‘sasaran empuk’ bagi mereka untuk diingat, kemudian ditiru. Ya, anak-anak adalah peniru yang hebat.

Ketika saya duduk di bangku SMA, saya pernah mengajar di sebuah TPA yang berada di lingkungan yang sedikit kumuh. Awalnya, saya sangat bersemangat untuk menjalani peran baru itu, sebagai guru TPA. Tapi kemudian, saya menyadari bahwa hal itu tidak semudah yang saya bayangkan. Berhadapan dengan anak-anak kecil yang kesehariannya bergaul dengan preman pasar, orang-orang yang terbiasa berbicara dengan suara keras, kata-kata yang tidak bisa dibilang sopan, dan perilaku yang sulit diatur. Cukup mengagetkan, sekaligus sedikit membuat ngeri. Saya hampir tak sanggup menghadapi mereka, anak-anak kecil itu, yang jauh dari perilaku manis dan menggemaskan. Kata-kata yang mereka ucapkan, tingkah laku yang sudah hampir seperti orang dewasa, dan sekian banyak lagi yang selalu mengejutkan saya.

Saya cukup banyak membaca buku mengenai perkembangan anak. Dan mendapati sebuah pelajaran, bahwa anak-anak dapat meniru dengan tepat dan cepat apa yang orang dewasa lakukan atau katakan. Hal itu tidak perlu diragukan lagi. Sudah cukup banyak contoh yang saya lihat sehari-hari.

Seorang anak akan mempelajari dengan cepat apa yang ia lihat, rekam, dan kemudian langsung menjadi kata atau kalimat berikutnya yang ia ucapkan, atau lakukan. Tak jarang seorang anak dimarahi oleh kedua orang tua mereka akibat apa yang mereka katakan atau lakukan itu. Padahal, bisa jadi anak tersebut mempelajarinya dari orang tuanya sendiri.

Seperti seorang tetangga saya, seorang ibu dengan tiga orang anak laki-laki. Bisa dibayangkan, betapa serunya aktivitas mereka sehari-hari. Saya seorang pengamat lingkungan yang tidak bisa bersikap acuh dan mengabaikan begitu saja apa yang terjadi di sekitar saya. Saya hampir selalu memberi komentar terhadap apa yang terjadi, dan kemudian berusaha membicarakannya dengan suami, sebagai bahan pelajaran bagi kami berdua.

Si ibu dengan tiga orang anak laki-lakinya benar-benar mengajarkan kepada saya banyak hal, walaupun secara tidak langsung. Setiap hari, pada hampir setiap waktu, saya dapat mendengar dengan jelas setiap teriakan dan omelan yang ia lontarkan kepada masing-masing anaknya. Yang paling besar berumur sekitar dua belas tahun, kemudian yang tengah berusia lima tahun, dan yang paling kecil mungkin sekitar tiga tahun. Setiap hari, tak pernah saya dengar rumah di sebelah saya itu tenang dan bebas dari teriakan si ibu. Entah mengapa, saya berusaha untuk memahaminya. Memiliki tiga orang anak laki-laki pasti tidak mudah. Tetapi mengapa harus teriakan itu yang terdengar, itu sedikit saya sesalkan.

Ada kejadian menarik yang telah cukup lama saya perhatikan. Suatu malam, saya mendengar si ibu sangat marah dan kemudian mengeluarkan makian kepada salah seorang anaknya. Entah apa yang telah anaknya perbuat, tapi menurut saya tetap saja tak pantas memaki anak dengan kata-kata seperti itu. Saya kira si anak akan menangis dan kemudian selesai. Tapi ternyata, saya mendengar kelanjutan dari kejadian itu yang mengejutkan. Si anak berteriak kencang sekali, dan ibunya membentaknya,

“Kenapa teriak-teriak begitu!”
“Habis mama bilang Randa bodoh! Randa nggak mau dibilang bodoh!”

Saya cukup terkejut dengan perkataan Randa, si anak sulung. Dan kemudian lebih terkejut lagi mendapati ternyata adegan itu tak berlanjut. Si ibu melunakkan bicaranya dan kemudian terdiam lama. Adegan selesai. Rupanya si anak berhasil ‘menegur’ ibunya dengan cara yang tak terduga. Mungkin si ibu merasa malu, atau menyesal, apapun itu saya mensyukuri bahwa adegan kekerasan yang tengah berlangsung itu tak berlanjut. Randa rupanya telah melakukan tindakan yang mengejutkan ibunya.

Di lain kesempatan, pada suatu sore, saya mendengar anak kedua si ibu tengah berteriak dan menangis meraung-raung. Saya sudah sangat familiar dengan suara-suara itu, dan berniat untuk tak menghiraukannya. Tapi rupanya sekali lagi ada kejadian menarik yang berlangsung. Tangisan Andi makin keras, dan terdengar seperti ada pukulan-pukulan.

“Aduh! Kenapa pukulin mama!” si ibu berteriak.
“Mama pukul Andi! Andi nggak mau dipukul! Biar Andi pukul mama juga!” si anak berteriak tak kalah keras.

Kejadian tersebut tak urung membuat saya tersenyum-senyum. Saya sedikit mengagumi anak-anak dari si ibu tersebut. Seharusnya kejadian itu dapat memberikan pelajaran berharga bagi si ibu. Bahwa apapun yang kita lakukan terhadap anak, akan dengan mudah mereka tiru. Jadi, jangan heran bila teriakan kita akan berbuah teriakan anak.

Monday, September 26, 2005

Ultah ke-1 FLP Bekasi

Alhamdulillah, dengan sesekali terseok-seok dan berjalan sedikit tertatih-tatih, FLP Bekasi berhasil juga melewati satu tahun pertamanya, yang jatuh tepat pada hari ini: 26 September 2005. Banyak sekali kekurangan dan keterbatasan, tapi dengan bekal semangat, pasti setiap kendala bisa dilalui, insyaallah. Saya sendiri nggak bisa melupakan saat-saat pertama FLP Bekasi 'dilahirkan' kembali setahun lalu, tepatnya di Islamic Center Bekasi, oleh mbak Helvy, bang Zainal Abidin, bang Fahri Asiza, bang Komarudin Ibnu Mikam, dan seluruh peserta yang hadir (yang beberapa orang di antaranya akhirnya dirayu untuk jadi pengurus hingga sekarang...hehe). Waktu itu, acara Workshop Kepenulisan itu dihadiri sekitar 60 orang dari berbagai jenjang usia dan profesi. Panitia acara pun hanya terdiri dari 2 orang, yaitu saya dan bang Komar. Modal kami waktu itu cuma 2: semangat dan nekat. Tapi ternyata membuahkan hasil yang cukup menggembirakan, dan disambut cukup baik.

Hari ini, seminggu menjelang tanggal 2 Oktober, seluruh 'penghuni' FLP Bekasi tengah deg-degan. Sudah sejak beberapa bulan lalu kami merencanakan sebuah kegiatan yang akan menjadi pemompa semangat, pengusir jenuh, sekaligus perkenalan kembali akan eksistensi FLP Bekasi di tengah masyarakat Bekasi, khususnya remaja.

Acara FLP Bekasi Goes to School akan dilaksanakan pada tanggal 2 Oktober 2005 di SMU Muhammadiyah Bekasi, Jl. Ki Mangunsarkoro, pkl. 09.00 s.d. 13.00 WIB. Acara yang juga didukung oleh Ikatan Remaja Muhammadiyah Bekasi dan KANSAS (ekskul menulis) SMU 1 Bekasi ini bekerja sama dengan LPPH, dan akan menghadirkan mbak Asma Nadia, Boim Lebon, dan Syamsa Hawa untuk mengisi talk show tentang Penulisan Fiksi Remaja dan Launching buku dari LPPH.

Menjelang Ramadhan, dan menjelang tahun kedua perjalanan FLP Bekasi, saya dan juga teman-teman pengurus FLP Bekasi mohon maaf bila banyak sekali kekurangan dan keterbatasan kami dalam meneruskan perjuangan FLP'ers untuk meramaikan kota Bekasi dengan kegiatan kepenulisan. Semoga tahun berikutnya akan menjadi lebih baik, dan hadirnya anggota-anggota baru (yang hingga kini masih dipending keikutsertaannya, maaf banget ya...) akan mencerahkan dan memberi semangat baru.

Doakan kami, ya...!!!

Tuesday, August 23, 2005

[puisi toek cintaku (lagi)]

Cinta, rupanya lapangku tak bertahan lama.
Awal lega itu berganti lelahku kini,
menahan segenggam rinduku menjumpaimu.
Cinta, bila dapat kuberlari,
menggapaimu
detik ini.

perhatian: harap jangan pada sirik! hehehehe...

alhamdulillah, cintaku akan pulang esok malam...can't wait to see you, hunn...!

Friday, August 19, 2005

Menanti Bintang Kecil

Apa yang dirasakan bila kehilangan sesuatu? Sedih, marah, kecewa, dan berbagai perasaan lain yang pastinya berkecamuk di hati. Apalagi bila sesuatu tersebut hilang karena diambil oleh orang lain yang tidak berhak memilikinya. Namun bila 'kehilangan' itu memang jalan yang terbaik untuk kita, harusnya kita malah bersyukur. Mungkin memang sesuatu tersebut belum waktunya kita miliki, atau mungkin diri kita yang belum siap untuk memilikinya. Apapun, yang jelas pasti di balik setiap kejadian pasti ada hikmah.

Betapapun mencoba untuk mengikhlaskan, namun ternyata tak selalu mudah. Itulah, upaya keras untuk senantiasa menjaga kebersihan dan kelapangan hati memang butuh perjuangan. Kelelahan itu memang harus dirasakan, itulah tandanya orang-orang yang selalu berikhtiar setiap kali menginginkan sesuatu. Pengorbanan, tentu bukan lagi hal yang asing untuk 'disandingkan' dengan keinginan tersebut.

Keinginan untuk memiliki buah hati, adalah satu hal yang bisa saya sebutkan sebagai satu hal yang paling diinginkan wanita yang telah menjadi seorang istri.

Saya memiliki beberapa orang teman, yang kesemuanya memiliki keinginan tersebut. Setiap kali 'periode' masing-masing tiba, semua berdebar. Ketika yang satu 'gagal', yang lain turut sedih. Kemudian saling menyabarkan dan mendoakan. Suatu kali, saya begitu ingat, teman saya yang baru saja menikah satu bulan langsung membuat heboh saya dan teman-teman lain. Ia yang paling dulu 'berhasil' melewati periode tersebut tanpa gagal. Semua bersyukur sambil terkaget-kaget, namun ada yang sangat bersedih. Merasa didahului, mungkin. Sekitar tiga bulan berselang, ternyata si mbak yang bersedih itu dikabulkan doanya. Saya tahu, betapa ia merasakan kesedihan saat harus menunggu hingga beberapa bulan setelah menikah baru diberikan rezeki tersebut. Apalagi harus didahului oleh seorang juniornya. Maka, ketika ia membawa berita gembira tersebut, kami semua memberinya selamat, doa yang tak habis-habis, dan saya pun menangis terharu. Entah mengapa, pagi itu saya begitu gembira untuknya.

Hal itu telah cukup lama berlalu, hingga hampir setahun saya mengenal teman-teman saya itu. Kini tinggal tiga orang dari lima yang dulu sama-sama menanti. Tiga orang tersebut, hingga kini, masih melantunkan doa sekuat tenaga dalam hati. Berharap, dan terus berharap, juga saling mendoakan dan menantikan saat-saat penting itu tiap bulannya. Berhasilkah ia? Gagalkah? Ternyata sedemikian kuat keinginan kami. Agak sedikit menggelikan bila menyaksikan langsung raut wajah masing-masing bila periode tersebut datang. Sepertinya kalender di meja masing-masing dihitung berulang kali setiap hari. Namanya aja usaha, begitu kilah kami. Tapi saya begitu menghargai perasaan kami bertiga, sebab ia sangat indah menurut saya. Perasaan berdebar menantikan fase 'naik tingkat' bagi seorang istri, yaitu menjadi ibu. Bagaimana yang perasaan seorang wanita yang merelakan bayinya dibuang sebab ia dilahirkan tanpa diinginkan? Jangan tanyakan itu pada kami bertiga.

Di sinilah Allah menguji kesabaran dan kekuatan hamba-hamba-Nya dalam berikhtiar. Memang tak pernah mudah ujian itu dilewati. Kalaulah kesabaran yang menang, maka bersyukurlah. Sebab ia akan digantikan dengan ganjaran yang pasti membahagiakan.

Saya yakin, keinginan itu masih terpancang kuat dalam hati-hati kami. Pun doa itu masih terus diukir dan dilantunkan tak henti-hentinya. Menjaga ketenangan hati dan pikiran, itu sangat penting untuk selalu dilakukan. Jangan sampai ketidaksabaran menjerumuskan ikhtiar tersebut kepada hal yang tak halal dilakukan. Na'udzubillahi min dzaalik. Semoga Allah menghindari kami dan mereka yang juga mengalami hal yang sama, dari hal tersebut.

Maka, bersabarlah. Mungkin Allah sedang menyiapkan skenario terindah yang nanti akan kita nikmati, bila kita telah melewati ujian ini dengan penuh keikhlasan....


*dedicated to Mbak Travel n Eci tersayang...
(judul di atas diambil dari 'calon artikel' yang ditulis oleh Mbak Travel)

Monday, August 15, 2005

Nostalgia !


Image hosted by Photobucket.com

Star Trek The Next Generation - THE CREW

Sabtu kemarin benar-benar waktunya NOSTALGIA. Saya mengunjungi seorang teman lama, teman saya sewaktu SD, namanya Gita. Kami berdua, entah kenapa, punya satu kesamaan yang sampai sekarang masih saja menjadi bahan omongan seru ketika bertemu: Star Trek The Next Generation.

Teman saya ini, punya kebiasaan yang cukup menyenangkan bagi saya. Sejak lulus SD, kami tidak lagi satu sekolah. Tapi kami hampir tidak pernah berhenti saling 'mengunjungi' dalam surat, email, dan sesekali telepon atau sms. Yang selalu membuat saya senang adalah, setiap kali ia membalas atau menulis surat kepada saya, tak pernah kurang dari satu halaman penuh, bahkan seringkali berlembar-lembar. Demikian juga ketika ia menulis email. Satu hal yang menggembirakan, sebab saya tidak pernah bisa melepaskan rasa kangen pada teman-teman lama. Mereka menempati satu ruang khusus dalam hati saya, yang pintunya tak pernah terkunci.

Image hosted by Photobucket.com

Star Trek The Next Generation-THE SHIP

Beberapa bulan lalu, kami berdua hadir pada reuni SD. Kurang lebih lima belas orang bertemu kembali, dan sudah pasti heboh. Semenjak itu, kami berdua jarang berkirim kabar, sampai sekitar dua pekan lalu saya menerima sebuah email panjang darinya. Sekali lagi, membahas topik kegemaran kami: Star Trek The Next Generation. Selepas itu, timbul ide menarik untuk mengadakan pertemuan istimewa. Saya berjanji untuk mengunjungi rumahnya, dan kami berdua akan menghabiskan waktu dengan bernostalgia, khusus untuk favorit kami berdua itu. Beberapa hari setelahnya, kami berdua jadi rajin berkirim email serta sempat chatting pula. Saya mendapatinya tak sabar menunggu waktu pertemuan kami, dan rupanya demikian juga saya. Kalau email bisa bersuara, maka mungkin akan terdengar cekakak-cekikik, sibuk membahas kekonyolan yang pernah kami lakukan semasa SD dulu.

Image hosted by Photobucket.com


Sabtu siang, saya sudah duduk rapi di ruang tamu teman saya itu. Kami berdua bercengkrama sambil menghabiskan cemilan yang seperti tak habis-habis di atas meja tamu. Beberapa buah VCD diputar, dan obrolan kami makin asyik. Seputar film kesayangan kami itu, dan seluruh tingkah polah para pemainnya. Lembar demi lembar memori waktu SD pun terbayang kembali.

Waktu itu kami duduk di kelas 5 SD. Saya dan Gita bisa dibilang cukup dekat, dan bila berkaitan dengan hobi yang satu ini, kami bisa jadi sangat dekat. Suatu hari, Gita menceritakan perihal film yang baru saja ia tonton dan rupanya telah memikat hatinya sedemikian rupa. Saya, yang selalu antusias untuk urusan mengobrol, mendengarkan dengan sangat tertarik. Saya sendiri cukup menggemari hal-hal yang berbau 'luar angkasa' dan planet-planet. Jadilah kami berdua 'keranjingan' film tersebut, dan mulai mengajak beberapa teman yang dekat untuk ikut 'berperan' menjadi masing-masing tokoh dalam film tersebut. Bahkan kami berdua, yang memang hobi menulis apa saja, mulai membuat kesepakatan bahwa kami akan menciptakan cerita sendiri, berdasarkan tokoh-tokoh kesayangan kami itu. Jadilah satu buku penuh dengan tulisan berantakan kami berdua. Dan ternyata itu tak berhenti sampai bangku SD saja.

Sabtu kemarin, saya pulang dengan membawa satu buah buku yang sudah dekil dan 'tak layak simpan' dengan kertas-kertas yang sudah hampir menguning. Buku kumpulan cerpen kami. Isinya adalah beberapa cerpen hasil 'khayalan' kami berdua, hampir seperti 'sambungan dari episode film Star Trek The Next Generation versi Vita dan Gita'. Saya sungguh tidak bisa menahan tawa geli, dan akhirnya kami berdua kembali 'cekikikan' di ruang tamu rumah Gita. Yang paling lucu adalah, salah seorang teman kami pernah kami juluki 'si Worf' (salah satu tokoh film tersebut) sebagai bahan ledekan. Worf adalah salah seorang bangsa Klingon dengan ciri fisik memiliki tubuh besar serta jidat berkerut-kerut aneh. Tetapi akhirnya, teman kami itu malah menggilai Star Trek, kelima-lima versinya!

Hari itu saya pulang dengan perasaan ringan dan riang gembira. Sepertinya separuh beban yang menggelayut di pikiran ini lepas sudah. Rupanya sedikit bernostalgia dengan teman lama, membicarakan hal yang sama-sama digemari, adalah pelepas lelah yang sangat manjur.






"Miss Chatting"

“Kamu mau chatting lagi, Ra?”

Eh…dia malah senyum-senyum sendirian. Tangannya masih sibuk membereskan buku-buku dan memasukkannya semua ke dalam tas.

“Memangnya kamu ada janji chatting jam berapa sih? Sekarang? Emangnya penting banget ya, Ra?”

Rara menoleh padaku sebentar, lalu mengedipkan matanya, dan kembali sibuk dengan tasnya.

“Huuh..! Dasar centil!” Kataku kesal. Memangnya enak dicuekin ?!


Ketagihan chatting?? Owh, No!!! Begitulah Lindi, seorang cewek manis yang masih duduk di bangku SMA. Awalnya, ia bisa dibilang gaptek dan tidak mengenal internet sama sekali. Ternyata hobi chatting itu 'ditularkan' secara tidak sengaja dari sahabatnya, Rara, dan segera menjadi kegiatan favorit Lindi hampir setiap pulang sekolah. Sampai ketika Lindi 'terjebak' pada rayuan gombal para teman chatting yang sebenarnya tidak ia kenal. Gimana perjuangan Lindi belajar chatting? Apa yang akhirnya dapat 'menyembuhkan' Lindi dari 'demam chatting'?

Baca aja sendiri!!! Jangan sampe ketinggalan, ya!!!

"Miss Chatting"

(karya DH Devita)

dalam buku

"I Love U SoMad"

Antologi Milad LPPH 2005

Penerbit: Lingkar Pena Publishing House



Image hosted by Photobucket.com


ps. segera satronin toko buku terdekat!



Wednesday, August 10, 2005

Aku dan Diriku

Setiap diri kita punya keunikan masing-masing. Dan rasanya tidak ada seorang pun yang ingin dirinya dibanding-bandingkan dengan orang lain. Menjadi diri sendiri, dengan menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada, mungkin akan lebih sulit dibandingkan melihat apa yang ada pada orang lain kemudian memujinya, atau bahkan melecehkannya.

Menjadi diri sendiri yang berbeda dari orang-orang di sekitar, entah kenapa menjadi suatu hal yang membutuhkan perjuangan keras untuk mencapainya. Sebab kini sudah begitu banyak orang yang merasa “senang” menjadi orang lain. Menjadi seseorang yang bukan dirinya yang asli. Supaya juga dipandang hebat oleh orang lain yang melihat, supaya mendapatkan sebuah penghormatan yang sama, tidak bisa menerima perbedaan yang ada.

Saya sendiri pernah mengalaminya. Ketika itu, waktu saya masih duduk di bangku sekolah dasar, saya merasakan betul betapa saya berambisi untuk selalu berada pada lima besar setiap kali pembagian rapor. Dan memang itu yang terjadi, setiap kali nilai ulangan dibagikan, setiap kali pembagian rapor, saya selalu memasang telinga baik-baik, siapakah nama yang disebutkan sebagai peraih nilai terbaik. Dan seringkali saya melonjak kegirangan ketika nama saya sendiri yang disebutkan.

Saya ingat, suatu kali sepulang sekolah, saya disuruh untuk menelpon seorang teman seangkatan untuk menanyakan nilai-nilai yang diperolehnya. Waktu itu, dengan sangat bersemangat, saya membandingkan nilai yang tertera di setiap lembar buku ulangan tersebut. Ketika saya memperoleh nilai lebih tinggi, maka saya akan bersorak keras dan meledeknya, dan ketika teman saya itu yang memiliki nilai lebih tinggi, maka ia pun berlaku serupa. Sekilas, pemandangan itu mungkin akan terlihat lucu. Namun bila diperhatikan baik-baik, sebaiknya kita bertanya pada diri sendiri, apakah peristiwa tersebut menggambarkan pola hubungan yang sehat di antara kedua anak kecil berusia tak lebih dari delapan tahun?


…bagaimanapun keadaan diri kita, kelebihan yang ada harus disyukuri…




Dulu, saya pernah mengalami ‘krisis identitas’, sebut saja begitu. Ketika melihat seorang teman atau seseorang yang menurut saya ‘menarik’, baik dari perangai maupun apa tingkah lakunya, maka saya akan mencoba untuk ‘meniru’ sebisa mungkin. Bahkan dalam hal yang kecil sekalipun, misalnya tulisan tangan. Mulai dari duduk di bangku SMP hingga SMU, saya sendiri menyadari bahwa entah berapa puluh kali saya sudah mengganti ‘tulisan tangan’, sebab menurut saya waktu itu tulisan tangan si anu lebih cantik, atau tulisan si itu lebih menarik. Termasuk urusan cara berbicara, topik pembicaraan, bacaan, dan sebagainya. Khas anak baru gede, mungkin. Tapi hal-hal itu cukup membuat pusing kepala. Mengurusi hal-hal yang sepertinya kurang penting. Mencoba untuk menjadi seperti orang lain, dan terus-menerus menganggap diri mempunyai segudang kekurangan. Yang ada, pada beberapa lama, saya sempat sering merasakan inferior atau rendah diri dalam beberapa hal, terutama dalam pergaulan.

Sungguh tidak enak rasanya ketika diri kita dibanding-bandingkan dengan orang lain, dan seringkali hal itu membuat kita merasa harus selalu bersaing dengan orang lain. Dalam hal ini, tentu saja bukan ‘cara bersaing’ yang sehat, apalagi bila pola seperti itu diterapkan kepada anak usia sekolah yang masih memerlukan banyak ‘pengaruh sehat’ bagi perkembangan otak dan mentalnya. Walau ia tak sepintar teman-teman yang lain, tapi pasti ada sebuah titik kecerdasan yang bisa diunggulkan. Walau ia tak mendapat ranking sepuluh besar, bukan berarti ia bodoh lantas patut ditempelkan label itu sepanjang umurnya.

Saya rasa, baik anak kecil maupun orang dewasa, menginginkan dirinya dihargai sepantasnya. Tak harus memaksakan diri untuk menjadi seperti si anu, secantik si ini, atau seluwes si itu. Kadang, lingkungan memang sangat mempengaruhi sikap ‘tidak percaya diri’ tersebut tumbuh subur dalam diri seseorang. Akibatnya, ia jadi kehilangan jati diri dan tak henti berusaha untuk menjadi orang lain. Bila upaya keras itu dilakukan semata-mata hanyalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri (dalam hal keimanan dan kecerdasan, misalnya), maka hal tersebut pastilah membuahkan hasil yang positif. Tapi, bila jerih payah itu ditujukan supaya kita menjadi orang lain yang kita kagumi, bisa jadi kekecewaan yang didapat. Karena diri kita tidak akan pernah bisa menjadi diri orang lain, dan sebaliknya.

Tetapi tidaklah bisa selamanya ‘menyalahkan’ lingkungan, apalagi bila diri kita sudah beranjak dewasa dan cukup umur untuk dapat memisahkan mana hal yang baik dan buruk. Banyak merenung, introspeksi diri, memperkuat keimanan, dan berusaha untuk selalu memperbaiki diri setiap hari, adalah cara-cara untuk mempertebal ketahanan mental. Sehingga apapun pengaruh yang datang dari luar, tak kan berkembang menjadi hasrat untuk melakukan yang tak benar.

Bagaimanapun keadaan diri kita, kelebihan yang ada harus disyukuri, dan kekurangan yang ada pastilah bisa diperbaiki, bila kita mau berusaha.





Monday, August 08, 2005

Bagaimanapun, Syukurilah...

Pagi ini saya lewati dengan aktivitas seperti biasa. Hm...sebenarnya ada yang spesial, karena (lagi-lagi) saya harus berpisah dengan suami yang akan tugas audit ke luar kota, sampai tiga minggu dari sekarang. Fiuhh....

Bangun, sholat subuh berjamaah, dan meregangkan otot sebentar sambil tidur-tiduran, sebelum bersiap-siap untuk bikin sarapan. Hm...masak apa ya? Sebenarnya sudah ada rencana sejak semalam, pokoknya harus sarapan di rumah. Dan harus spesial, karena ia akan pergi jauh. Ada sisa nasi di rice cooker, sosis di freezer, bumbu dapur, telur tinggal sebutir... ha! Bikin nasi goreng sosis! Dengan bumbu favorit saya: cabe merah dan cabe hijau besar...hmm...pedas! Walau tak pakai bumbu instan untuk nasi goreng, tapi ramu-ramu sendiri juga bisa. Saya tersenyum-senyum...rupanya kompor dan penggorengan sudah jadi teman baik saya selama sebulan ini.

Suami salah seorang teman baik saya pernah berkomentar,"Kok si Vita bisa ya tinggal di situ?"

Komentar itu ia lontarkan pada istrinya tepat setelah mereka berkunjung ke kontrakan saya.




Tanggal 22 Agustus nanti, sudah 7 bulan saya menikah. Ups...sudah? Atau 'baru' mungkin tepatnya, ya? Saya jadi teringat, awal menikah dulu, kami langsung tinggal di kontrakan dekat kantor saya. Jl. Bangka, Gang F. Sempit, tapi cukup untuk berdua. Lembab, tapi tak terlalu mengganggu. Ramai (lebih tepatnya: berisik), tapi saya jadi merasa 'aman' kalau ditinggal sendiri. Semua peralatan yang dihadiahkan kepada kami tidak ada yang dibuka, kecuali rice cooker. Masak nasi, panaskan lauk yang dibeli di warung. Setiap hari selama sekitar 4 bulan. Mencuci baju dengan tangan sendiri, dijemur di jemuran seadanya ala kontrakan. Menyapu dan mengepel lantai setiap hari, terutama sore hari sepulang kerja, supaya ketika ia pulang, rumah sudah harum dan bersih.



Image hosted by Photobucket.com



Suami salah seorang teman baik saya pernah berkomentar, "Kok si Vita bisa ya tinggal di situ?" Komentar itu ia lontarkan pada istrinya tepat setelah mereka berkunjung ke kontrakan saya. Dihidangkan dua gelas air putih dan snack seadanya, beralas tikar yang tak cukup memuat kami bertiga. Saat itu, suami sedang lembur di kantor. Saya menyambut mereka dengan tergopoh-gopoh, sebab sedang menjemur pakaian. Mereka datang tanpa memberitahu sebelumnya. Dengan cengar-cengir santai, saya pun menyambut hangat mereka. Pasangan yang juga baru menikah itu, tepat dua bulan setelah saya, celingak-celinguk memperhatikan seluruh isi 'rumah'.

"Kamu nyuci sendiri, Vit?"

"Iya lah...kan kasian suami, capek dia kerja sampe malem, Sabtu gini juga lembur kadang-kadang. Tapi kadang dia juga bantuin kok,"
jawab saya santai.

Ada gurat malu di wajah teman saya itu, dan sang suami pun melirik sambil tertawa. Saya tak perlu jelaskan artinya. Cukup saya pahami saja, dalam hati, sambil sesekali menyempatkan untuk memberi nasihat kecil padanya.



Image hosted by Photobucket.com



Kok bisa tinggal di situ? Sekarang ini, setelah hampir tiga bulan pindah ke kontrakan baru, saya beberapa kali sempat berpikir juga. Membanding-bandingkan apa yang ada dan tidak ada di kontrakan lama. Bagaimanapun, dulu saya pernah tinggal di sana, dan saya bisa melewati semua kesulitan dan keterbatasan itu. Bahkan dengan perasaan senang hati, bahwa saya bisa melakukan semua pekerjaan rumah tangga sendiri. Perasaan bangga dan haru itu benar-benar menyeruak. Saya lantas berpikir, bahwa kita pasti bisa untuk melewati setiap keadaan sulit yang hadir di kehidupan ini, bila ada niat dan kemauan keras untuk membuatnya terlewati. Alhamdulillah…

Sekarang, berkali-kali saya mengucap syukur dalam hati. Rencana kredit rumah, pindah ke tempat yang lebih baik lagi, beli lemari baju supaya tak lagi digantung-gantung di jemuran begitu selesai disetrika, menata komputer pemberian paman di mejanya, memiliki dapur yang lebih luas supaya tak tersandung-sandung saat memasak…ah, itu semua nanti saja. Mimpi yang akan diwujudkan perlahan, bila ada rezeki. Seorang sahabat saya di kantor berkali-kali mengomentari kontrakan saya yang sekarang, katanya tempatnya enak dan dekat dari kantor. Dengan kamar mandi yang jauh lebih bagus dari yang sebelumnya, dengan kamar kecil yang kini tertutup rapat dengan pintu, dengan ruang belakangan yang lebih lega sehingga bisa menyimpan barang-barang….


Image hosted by Photobucket.com



Ah, bagaimanapun, saya benar-benar bersyukur. Baru (akan) tujuh bulan perjalanan ini. Pasti masih akan banyak sekali kejutan-kejutan menanti di depan sana. Alhamdulillah….



Friday, August 05, 2005

September...coming soon...


Sedih,
Sebentar lagi nggak ada lagi ketawa-ketiwi di ruangan sempit di pojokan Rumah Ini.

Eci,
Padahal udah asik banget, dan kayaknya bakal kangen berat. Coz sama-sama akan ‘melanglang buana’ ke tujuan masing-masing. Good luck ya, Ci! Nggak bakalan lupa deh, sama setiap momen ‘gila’ yang pernah kita lewatin: ‘dugem’ bareng di restoran depan Santa Swalayan, kabur ke Food Court Pasaraya Blok M, bareng-bareng naek bus way, nonton tipi sambil ngemil siang-siang di kontrakanku, atau ‘nge-jogrok’ di karpet karena kursi di ruanganku cuman satu. Hehehe…! Semuanya berkesan banget. Nggak bakalan dilupain.

Mbak Lena,
Selalu kagum deh sama mbak ini. Cool, calm, dan smart abis. Tenang, tapi nyaris terlalu tenang, sampe-sampe nggak keliatan emosinya. Dewasa, pokoknya figur ‘kakak’ banget. Yang paling seru, adalah antusiasme-nya waktu diajakin ‘dugem’. Wah! Hobinya sama nih! Salah satu ‘kunci’ yang aku temuin supaya bisa ‘nyambung’ dengan mbak Lena adalah: “Ayat-ayat Cinta”-nya Habiburrahman El Shirazy. Dan juga minat yang sama di bidang penulisan. Mbak, I’ll miss you a lot too.

Mbak Fitra,
Lucu, polos, baik hati, sabar, kadang kayak anak-anak, dan sekarang perutnya udah ndut banget…hehehe…bentar lagi punya dedek ya, mbak?! Temen pulang bareng nih, sejak aku masiy di Jatibening, sampe udah di Mampang. Kesabaran dan sikap easy goingnya bener-bener patut dicontoh. Di balik sikap lugu dan cueknya itu, ada kedewasaan.

Mbak Travel,
Super heboh, super semangat, walau kadang-kadang ngantuknya nular juga. Cerewet abis, dan selalu bikin ngakak. Waduh, selamet deh, mbak…titip semua tugas-tugasku, yah. Haha…met pusing-pusing.

Iis,
Newcomer, dan awalnya kerasa agak susah deket. Mejanya jauh sih. Tapi ternyata, cerewet juga, sama kayak tantenya (dia ini keponakannya mbak Travel). Sedih, di saat-saat ngerasa udah mulai deket ke Iis, aku malah pergi. Haha…ketumpuan tugasku juga ya, Is? Yah…you can do it lah…!

Bu Luwi,
Murobbiyah-nya akhwat-akhwat di kantor. Seru, lucu, Betawi abis, dan business woman lah. Pasti ada aja dagangannya! Hehehe. Titip temen-temen ya, Bu. Kalo lagi ngaji pada tidur, siramin aja. Hehe.

Pria-pria di ruangan dalem,
Hmm…saying goodbye-nya gimana ya? Jordy dan Mr. Romley, makasiy ya, nice knowing you both. Asik, gila, suka iseng yang sering ngeselin, dan lain-lain. Keep fighting, dah! Jangan lupa terus kontak2an ya…apalagi kalo soal bisnis. Hahahaha.


Ada Adit, the newcomer juga, wah…tabah2 aje deh ye…mereka semua emang pada gitu. Hehe. Mudah-mudahan Adit bisa jadi penengah di dalem ya.

Pak Ihsan, Pak Ilyas, Pak Sarwat, Pak Udin,
Makasih, dan maaf kalo ada salah.

Hmm….we all deserve better. Panggung Pelangi ini seharusnya berisikan warna-warni keindahan. Tapi entah kenapa, silau warna itu pudar pelan-pelan, belakangan ini.

Aku selalu bilang, di hadapan kalian juga, bahwa kalian itu seperti 'magnet' buatku. Walau kadang mungkin pernah lah ada momen yang nggak enak, tapi truthly, kondisi pertemanan di sini bener-bener nggak ada gantinya. Specially, buat few people...ha...nggak usah disebutin satu-satu deh ya...nanti ada kecemburuan sosial lagi...hehehehe.

To Dear Husnul, Suhu Gaw, mas Yudhi, n Mr. Omar...haha....i'll follow y'all!

Thursday, August 04, 2005

Dari Seorang Sahabat...

[ini tulisan yang saya copy dari blog seorang sahabat, yang ternyata beliau meng-copy paste email yang saya kirim kepadanya baru-baru ini]

dari sebuah cinta ...

Ini email dari seorang teman. somehow, begitu email ini kebuka, terdengar lagu "Doa Perpisahan"-nya Brothers. Hik, Allah tuh ... tahu aja theme song yang pas buat tiap penggal episode kehidupan saya. Beliau ini salah satu teman terbaik yang saya punya, makan bareng, jalan-jalan malam (ingat episode muter-muter di Blok M?), teman tertawa, merenung, berbagi tausiyah, menyegarkan iman dan memulihkan kesadaran, bahwa kita tak pernah punya kendali riil atas kehidupan yang kita jalani. seperti bermain ular tangga, yang dapat dilakukan hanyalah melempar dadu. apakah itu tangga yang membawa kita naik ke level keimanan, kedewasaan, kebijaksanaan berikutnya, ataukah ular yang juga sama-sama membawa ke level yang sama, semuanya ada dalam rencana-Nya (dan pasti itu yang terbaik, definetely!). Hanya impact-nya yang berbeda. Yang pertama bisa membuat kita ge-er karena merasa jadi pusat perhatian Tuhan, yang kedua bisa membuat kita patah hati dan bertanya dalam diam "Apakah Engkau bersamaku saat ini, Tuhan ?" (see Al Fajr)

Seberapa besar keputusan yang saya buat ini mempengaruhi kehidupan dunia dan akhirat saya nanti, saya tidak pernah tahu. Namun ketidaktahuan, adalah kunci dari kesadaran bahwa kita hanya manusia yang bergerak dalam rancangan besar Tuhan. Dan saya percaya, jika saya meminta-Nya untuk sebuah bimbingan dan penjagaan, Dia akan berikan. dan hanya itu yang dapat menguatkan saya. sesulit, seperih apapun situasinya.

----------------------------------
[ini isi email saya]

Assalamu'alaikum, tin...

Tadinya email yahoo yang udah kebuka ini mau aku kirim untuk temen yang laen. Tadinya mau disambi sama nulis comment di blog-mu. Tapi ternyata blog-mu kututup (setelah aku baca isinya), dan body email ini akhirnya ditulisin untuk attin.

Ternyata waktu itu berlari seperti penjahat. Tega. Aku nyaris nangis sesaat tadi, waktu baca postingan di blogger-mu. Rupanya kita nggak hanya ngelewatin setahun dua tahun saling kenal ya, Tin. Rupanya udah bertahun-tahun sejak masih culun-culun dulu. Sejak aku ketemu Attin waktu masa PPMB, waktu kita dikumpulin mbak Ayoe dan mbak Rina di Masjid UI. Waktu aku cuma kenal Attin kalo lagi bareng ama Inggit (duh! How I miss her so much!). Waktu awal-awal ketika aku kurang ngerasa deket, tapi akhirnya penasaran, dan melakukan segala cara untuk deket dengan Attin. N it worked! Aku ngerasa berhasil deket dengan Attin, dan rupanya kita banyak kesamaan. Sama-sama 'gila'? Of course!!!! Hahahaha...

Dan hari ini aku baru 'ngeh', bahwa Attin akan PERGI JAUH dan LAMA. Tiba-tiba aku inget lagi, kira-kira bulan Agustus tahun 2004, hampir tiap pagi aku selalu buka YM, dan nyapa Attin dengan "hogwarts?" dan Attin bakal bales dengan "hidung babi!" (waaaahahahahahahahah.....salah ya? )-moncong babi, actually hun- Yang jelas, saat-saat aku banyak kena masalah di kantor, saat aku butuh temen ngobrol untuk 'memutuskan' sesuatu yang penting itu, Attin selalu ada. Dan aku paling sebel kalo yang ngejawab YM adalah partnernya Attin yang baik hati itu, "maaf, ini bukan attin..." aaarggghhh! hehehehe...

Dan barusan aja, aku baru nyadar, bahwa Attin udah memutuskan sesuatu yang besar untuk hidupnya ke depan, seperti juga aku akhir tahun lalu. Ketika Attin sebentar lagi bakal pergi jauh, saat yang bersamaan, aku memutuskan untuk keluar dari tempat kerjaku. Tin, ironis banget ya? Hehehe...tapi aku yakin, kita berdua melakukan yang terbaik.

Aku punya banyak temen yang aku sayangi. Setiap dari mereka nggak bisa aku kasih peringkat, karena aku yakin aku punya banyak cinta untuk semua. Cintaku nggak akan habis dibagi-bagi. Aku mencintai setiap jenak yang dilewati bersama Attin.

Dear Attin,
Semoga Allah senantiasa meridhoi setiap langkah Attin. Seorang Attin punya banyak arti buatku. Dan semoga Allah menerima dan mengabulkan setiap doaku untuk keselamatan, keistiqomahan, kebaikan, dan kesuksesan Attin. Amiiin...

ps. sering-sering kirim kabar ya!!!!! next week, kita musti ketemuan!

DH Devita
http://www.ayyasykecil.blogspot.com

[tadinya isi email saya itu ingin langsung saya copy-paste ke dalam blog ini, tapi saya memutuskan untuk menunggu sampai ia memuat email saya di blog-nya, entah kenapa saya begitu yakin. dan ternyata memang benar.]

Mari Benahi Diri


...tetapi kita tidak bisa mengharapkan
segala sesuatunya berjalan sama
terus-menerus.
Perubahan dalam hidup adalah sebuah keniscayaan...


Setiap orang perlu waktu untuk berbenah diri. Dan tidak semua bisa melakukannya dalam tempo yang singkat. Sebab seringkali proses pembenahan diri tersebut dilakukan tidak dengan cara-cara yang sederhana.

Ada yang melakukannya dengan ber-muhasabah menjelang tidur setiap malam, dengan menghitung-hitung, apakah hari ini lebih banyak kebaikan yang diperbuat, ataukah lagi-lagi menumpuk kemaksiatan. Ada yang melakukannya dengan berbincang panjang lebar dengan keluarga atau teman-teman dekat, mengenai satu dua hal yang dianggap perlu diperbaiki oleh diri. Ada yang harus mengosongkan waktu untuk merenung panjang, memberi jeda untuk pikiran dan hati agar berkoordinasi.

Saya sering mendengar tentang bagaimana seseorang yang melampiaskan kejenuhan atau ketidaknyamanan yang sedang dirasakan kepada sesuatu hal yang menjadi hobi. Memilih rehat sambil mengerjakan sesuatu yang digemari memang menyenangkan. Bagi seseorang yang ‘gila buku’, mengisi waktu rehat dengan membaca buku sambil bersantai di rumah, bisa menjadi ‘surga’ pada saat jenuh. Sangat baik bila ‘pelampiasan’ itu berupa kegiatan positif yang bahkan bisa menambah poin lebih bagi diri. Tetapi ternyata tak sedikit yang melakukan sebaliknya. Menghabiskan waktu untuk memanjakan diri berhura-hura, untuk hal yang sia-sia sampai yang haram sekalipun.

Seringkali saya mendapati diri saya merasa kehabisan energi untuk melakukan sesuatu. Rasanya, pada saat itu, semua hal yang sedang dikerjakan seperti tak berkesan sama sekali. Datar. Bahkan semangat yang biasanya mendasari setiap aktivitas, hilang tak berbekas. Saya menjadi demikian bosan akan rutinitas yang biasanya masih terasa menyenangkan. Jenuh. Titik kelam itu sepertinya menelan habis setiap energi positif yang masih menyangkut di tiang-tiang hati.

Biasanya, pada saat-saat seperti itu, saya akan melepaskan semua aktivitas untuk mengambil waktu barang sejenak di depan komputer. Baik itu di kantor maupun di rumah. Mengeluarkan isi hati sambil menyelami apa makna di baliknya, adalah salah satu cara untuk membuat dada ini terasa lapang kembali. Biasanya, pipi saya akan serasa ditampar keras-keras. Sebab isi artikel yang saya tulis adalah teguran keras untuk diri saya sendiri. Membangun kembali semangat melalui artikel yang ditulis sendiri.

Ketika saya masih duduk di bangku SMU dan pun ketika kuliah, saya tak pernah berkeberatan untuk menempuh jarak yang cukup jauh antara rumah dan sekolah. Saya bersekolah di daerah Jakarta Pusat, dan kemudian kuliah di universitas negeri di Depok. Rumah saya terletak di pinggiran Jakarta, sudah masuk wilayah Bekasi. Jauh. Dan setiap kali pulang-pergi selalu menyisakan kelelahan. Tapi saya menyukai perjalanan panjang itu. Kalau tak dilewati dengan melahap buku bacaan, pastilah saya memandang keluar jendela sambil menyatukan hati dan isi kepala. Memikirkan segala peristiwa yang membuat saya senang, sedih, khawatir, dan setiap emosi yang saya rasakan dari peristiwa-peristiwa itu. Perjalanan panjang itu merupakan waktu rehat yang sungguh berguna bagi saya.

Ketika kini saya sudah melewati tahap sekolah dan kuliah, saya merasakan betul betapa berharganya momen-momen itu. Kehilangan. Dan saya mencoba menemukan kembali momen itu dalam sisa tenaga dan waktu sehabis pulang kerja. Masihkah bisa? Sangat sulit. Kini, saya benar-benar merasa rindu akan saat istimewa tersebut. Dimana saya bisa berdialog dengan diri saya sendiri, dan seringkali juga melantunkan doa dalam hati bila saya menemui sesak akibat tumpukan masalah yang belum terselesaikan. Ternyata, proses pembenahan diri saya seringkali berawal dari perenungan sepanjang perjalanan pulang-pergi itu.

Tetapi kita tidak bisa mengharapkan segala sesuatunya berjalan sama terus-menerus. Perubahan dalam hidup adalah sebuah keniscayaan. Bisa jadi hal-hal yang berubah, yang akan menimbulkan kesenangan maupun kesulitan, adalah ujian yang diturunkan untuk menjadi penguat diri kita. Saat-saat jenuh itu, dan bila kita bisa melewatinya dengan baik, adalah seumpama batu-batu kecil yang menghiasi jalan kehidupan kita. Bila langkah ini berjalan hati-hati dan tak tersandung olehnya, maka itulah keberhasilan atas penjagaan niat ikhlas. Pun ketika kesulitan dan sekian permasalahan menghadang kelancaran aktivitas keseharian, maka kesabaran dan keteguhan niat untuk tetap melangkah, adalah hal sulit yang harus diteguhkan. Berhasil atau tidaknya, itu semua kita sendiri yang menentukan.

Demikian juga dengan proses dan cara berbenah diri. Saya tak lagi bisa mengandalkan perjalanan jauh pulang-pergi ke tempat aktivitas sebagai satu-satunya sarana untuk ber-muhasabah. Toh, masih ada malam-malam panjang yang sangat sayang untuk dilewatkan hanya dengan tertidur lelap, bagaimanapun letihnya tubuh ini. Juga masih bisa lisan ini melantunkan zikir sepanjang gerak tubuh melakukan kegiatan sehari-hari. Atau kedua tangan yang tetap bisa terus menuliskan buah dari perenungan atas segala kejadian. Masih banyak kesempatan yang mungkin selama ini belum dimanfaatkan untuk membenahi diri. Kalau dilakukan dengan sungguh-sungguh, setiap detik hari-hari yang kita lewati tak mungkin lewat sia-sia.

Ya. Sebelum terlambat, sebelum kesempatan itu pergi, mari benahi diri.