Halaman

Tuesday, October 18, 2005

Mewarnai Kertas Putih

Memiliki anak yang bisa dibanggakan, berakhlak dan berprestasi baik, menyelamatkan di dunia maupun akhirat, adalah pastinya dambaan semua orang tua. Tetapi proses menuju ke arah sana tidaklah mudah, dan membutuhkan dukungan peran kedua orang tua. Melahirkan seorang anak ke dunia adalah bagaikan memiliki selembar kertas putih. Bersih. Entah dengan gambar dan warna apa kertas itu nantinya terisi, tinta pertama yang menyentuhnya adalah orang tua. Demikian kiranya sebuah ilustrasi sederhana mengenai betapa pentingnya mendidik anak sejak dini.

Setiap kali saya menulis artikel mengenai anak, keluarga, dan tema lainnya, adalah selalu berdasarkan apa yang saya alami maupun amati dari lingkungan terdekat saya. Walau tak semuanya merupakan kejadian yang menyenangkan dan menggembirakan hati, tapi selalu saya simpan dan renungkan baik-baik. Sebab semua itu adalah pelajaran tak ternilai yang dikaruniakan oleh Allah untuk ‘mampir’ dalam kehidupan saya.
Suatu malam, saya berkumpul bersama sepupu-sepupu saya. Ada seorang yang masih berusia empat tahun, laki-laki. Hubungan saya dengannya bisa dibilang sangat dekat. Sebab sejak ia masih bayi saya hampir selalu ada bersamanya. Rumah kami pun berdekatan. Sejak dulu saya selalu memerhatikan perkembangannya. Namun setelah saya menikah dan berpisah rumah dari orang tua, saya jarang sekali bertemu dengan sepupu saya itu. Pada malam itu, saya menemukan sebuah perkembangan lain dari dirinya.
Kami sedang duduk bersama menonton televisi, dan si kecil itu bersendawa cukup keras. Saya tertawa kecil dan berucap, “Alhamdulillah.” Seperti yang biasa saya lakukan sendiri. Kemudian, tanpa disangka si kecil itu menyahut,
“Nggak usah bilang gitu.” Katanya.
“Loh? Kenapa?” saya sedikit bingung menanggapi.
“Iya, nggak usah bilang gitu.” Katanya lagi. Saya mengerenyitkan kening. Heran. Kemudian sedikit memutar otak, mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan.
“Karena aku orang Islam, makanya baca alhamdulillah,” lanjut saya. Tanpa menunggu lama, si kecil itu terus menyahuti saya.
“Iya, walaupun orang Islam, tapi nggak perlu bilang begitu.” Ia mengucapkan kalimat itu tanpa menoleh pada saya. Saya ternganga. Astaghfirullahal’azhiim ….

Saya sempat menceritakan pada ibu mengenai kejadian tersebut. Dan ibu saya kembali mengingatkan saya pada pentingnya mendidik anak sedari kecil. Tak terlihat ada rasa heran pada raut wajah ibu. Sebenarnya, saya pun begitu. Saya mengenal orang tua si kecil itu tidak seperti ibu saya dulu. Seharusnya saya tidak usah merasa heran, dan langsung saja memanfaatkan momen itu untuk mengajarkan padanya yang benar. Membetulkan kalimat yang ia ucapkan pada saya. Walaupun ia tak mendapatkan pelajaran itu di rumahnya, bukan berarti ia tak mendapatkannya ketika ia berada di rumah saya. Itu satu prinsip yang saya dan ibu saya pegang sejak dulu. Kami memang benar-benar menyayangi si kecil itu.
Beberapa hari setelahnya, di benak saya selalu terngiang-ngiang, bagaimana dulu ibu dengan keras dan sedikit memaksa saya untuk mengaji, melakukan salat lima waktu, berpuasa, salat tarawih di masjid. Saya ingat sekali, betapa malasnya saya dulu. Seringkali saya pura-pura tertidur ketika guru mengaji saya sudah datang ke rumah. Ketika tiba waktu salat, saya sering berlama-lama main di luar rumah sampai ibu memanggil-manggil. Waktu salat tarawih saya seringkali mengobrol dan bermain-main di dalam masjid, walau saya dengan senang hati keluar rumah setiap malam. Tetapi ternyata itu semua begitu membekas hingga sekarang. Sedikit banyak, omelan dan semangat ibu dulu mengajarkan saya patuh pada perintah agama sangat berperan dalam membentuk diri saya yang sekarang ini. Saya menyadari hal ini ketika saya sudah dewasa. Bagaimanapun, bila nilai-nilai itu tak ditanamkan sejak kecil, bila tidak segera membiasakannya dekat dengan agama, akan cukup sulit mengajarkannya ketika anak sudah beranjak besar.

Si kecil itu, saya tak tahu apakah kesempatan yang saya miliki untuk mengajarkannya masih cukup banyak. Mungkin tidak sebanyak dulu, sebab intensitas pertemuan saya dengannya yang juga berkurang. Saya berjanji dalam hati, dimana ada kesempatan yang sama, saya tidak akan melewatkannya begitu saja. Walau sedikit, walau tak banyak, saya masih bisa berperan untuk membagi pengajaran yang baik untuknya. Dan yang pasti, saya makin mawas diri, untuk tidak lengah dan lalai dalam mengajarkan agama pada anak saya kelak. Anak saya, adalah ‘kertas putih’ yang dititipkan Allah pada kita. Kita, orang tua, adalah si pemegang ‘pensil warna’.

No comments: