Halaman

Tuesday, October 18, 2005

Panggilan Sayang

Memiliki pasangan hidup yang berbeda sifat dan karakter mungkin akan menjadi satu hal yang menyenangkan. Sebab satu sama lain akan saling melengkapi. Apa yang tidak ada pada diri kita, mungkin akan didapatkan dari pasangan, dan sebaliknya. Bila ditanggapi secara positif, perbedaan yang ada akan menjadi sebuah tantangan yang menyenangkan untuk ditaklukkan.
Saya sendiri memiliki prinsip demikian. Sejak dulu, saya telah memiliki keinginan untuk menikah dengan seseorang yang bukan dari lingkungan pertemanan yang saya miliki. Saya ingin mendampingi seseorang yang belum mengenal saya, dan saya pun belum mengenalnya, dibandingkan menikah dengan seseorang yang sudah menjadi teman sekolah atau pernah bekerja sama dengan saya dalam suatu aktivitas atau pekerjaan. Bagi saya, memiliki suami yang belum saya kenal kepribadiannya, adalah merupakan tantangan yang pasti sangat menyenangkan. Saya membayangkan, hari demi hari saya menjalani pernikahan itu, akan menjadi sebuah petualangan yang seru yang tak habis-habisnya. Saya pastinya akan menikmati setiap detik dimana saya secara perlahan akan mengenal dan memahami diri suami tercinta. Tapi tentu saja, hal ini tidak bisa diberlakukan kepada setiap orang. Bisa saja hal ini berhasil untuk diri saya, tapi tidak demikian dengan orang lain. Tentu saja. Saya hanya ingin berbagi sebuah pengalaman lucu dan mengharukan dari apa yang saya alami sendiri.

Pada bulan November tahun 2004, tepat pada saat saya menjalani I’tikaf Ramadhan, saya membuat keputusan besar. Saya memutuskan untuk menerima lamaran dari seorang pria. Saat itu, tentu saja menjadi momen yang begitu menggembirakan sekaligus membuat jantung saya tak henti berdetak kencang. Saya akan menikah. Dan begitu tahu bahwa calon suami saya itu adalah seseorang yang memiliki sifat-sifat yang cukup berbeda dengan diri saya, saya menjadi lebih bersemangat lagi.
Suami saya adalah seseorang yang bisa dikatakan cukup pendiam, tak banyak berkata-kata, dan sangat tenang. Sedangkan saya sendiri adalah kebalikannya. Saya hampir selalu memiliki komentar terhadap apapun, suka sekali mengobrol, dan gemar sekali melontarkan istilah atau ungkapan tertentu yang ‘tidak biasa’. Tentu saja ini tidak ada hubungannya dengan kegemaran saya menulis. Teman-teman saya bilang, saya selalu punya seribu istilah yang aneh dan menarik, yang akhirnya bisa menjadi istilah-istilah yang sering kami gunakan dalam percakapan.

Bulan Januari 2005, saya menikah. Di benak saya sudah terbayang berbagai hal yang ingin saya lakukan bersama. Saya pun sudah mempersiapkan diri untuk lebih mengenal pria yang telah menjadi suami saya itu, dan juga berbagai cara untuk membuatnya ‘tidak pendiam’. Ha. Ini satu hal yang pastinya akan menarik, begitu pikir saya. Saya memiliki beberapa orang adik-adik kelas yang menjadi murid-murid saya dalam sebuah kelompok mentoring agama. Di antara mereka tadinya ada yang memiliki sifat begitu pendiam. Tetapi, tak lama setelah mereka menjadi ‘adik-mentoring’ saya, si pendiam itu berubah. Saya telah berhasil membuatnya sedikit lebih terbuka. Saya pikir, saya pun bisa melakukannya lagi.
Untuk membuat seseorang terbuka pada diri kita, kita tak perlu memaksakan diri untuk mengorek informasi apapun darinya, atau memaksanya untuk membuka mulut untuk mengobrol sepanjang hari. Memulainya dari diri sendiri, itu jauh lebih efektif. Seseorang akan merasa nyaman dan percaya untuk membuka dirinya pada kita, apabila kita sendiri mau membuka diri padanya. Begitu teori yang saya dapatkan ketika saya kuliah dulu. Dan saya pun memulainya.
Suatu kali, saya menulis surat untuk suami saya. Di dalamnya saya selipkan sebuah puisi, sebab surat itu akan saya berikan di pagi hari, saat ia akan berangkat ke kantor. Hari itu adalah hari lahir suami saya tercinta. Maka, begitulah. Pagi itu ketika ia hendak berangkat, saya mencium tangannya dan menyelipkan lipatan surat itu ke dalam saku kemejanya. Ia terbengong. Saya hanya nyengir dan berpesan supaya surat itu dibaca ketika ia tiba di kantor. Sebuah kejutan kecil. Tapi itu begitu menyenangkan hati saya sendiri. Dan surat-surat kecil selanjutnya pun cukup sering saya selipkan untuknya. Sebuah surat, adalah salah satu sarana berkomunikasi yang cukup efektif menurut saya.
Di suatu pagi, saat saya baru sampai di kantor, saya tiba-tiba teringat suami dan ingin memberikan kejutan kecil lain untuknya. Kemudian saya membuatkannya puisi singkat, dan saya kirim lewat sms. Selanjutnya, saya mulai sering mengirimkan email dari kantor, berisi puisi atau hanya sekedar menanyakan kabar dan menceritakan aktivitas saya hari itu. Kami pun jadi memiliki kebiasaan baru, yaitu berkirim email dan sms. Sebenarnya lucu juga, sebab toh setiap malam kami bertemu kembali di rumah. Tapi saya merasa perlu untuk melakukannya.
Saya merasa belum cukup dengan tindakan-tindakan kecil yang saya lakukan itu. Suami istri yang keduanya bekerja, tentu memiliki pikiran dan kesibukan masing-masing yang bisa jadi akan menjauhkan keduanya. Belum lagi keletihan sepulang kerja, entah bila ditambah dengan permasalahan yang dihadapi di kantor, dan sebagainya. Saya tidak mau itu terjadi, dan saya ingin menjadikan kemesraan dan keharmonisan di antara kami berdua tetap terjaga. Dan, saya pun memulainya lagi. Bila biasanya saya memanggil suami saya dengan sebutan ‘Mas’, maka saya merasa perlu melakukan lebih dari itu. Saya mengatakan padanya,
“Mas, kayaknya seru deh kalau kita punya panggilan lain.”
Dan saya mulai mengirimkan sms padanya dengan menyebutnya ‘Hunn’. “Apa kabar hari ini, Hunn?” begitu biasanya saya menyapanya di sms. Sekali, dua kali, saya selalu yang memiliki panggilan itu untuknya. Saya tak memikirkan kapan ia akan memanggil saya dengan panggilan khusus, sebab saya sudah cukup excited dengan apa yang saya lakukan itu. Dan saya tak berhenti mengirimkannya puisi atau email di sela-sela kesibukan di kantor.
Suatu hari, saya menerima sms darinya dan saya sedikit terkejut. Sebelumnya saya yang lebih dulu mengirimkan sms untuk menanyakan sesuatu. Dan ia pun membalas dengan isi yang sangat singkat tapi cukup membuat kedua alis saya terangkat.
“Iya, Sayang…” begitu balasnya.
Saya tersenyum lebar. Dan tambah bersemangat lagi ketika ia mengirimkan sms lain yang isinya,
“Rasanya memang seru juga ya punya panggilan khusus.”

Kini, ia selalu memanggil saya dengan panggilan khusus itu, entah ketika ber-sms atau ketika sedang berbicara. Dan saya makin bersemangat untuk mencari-cari panggilan khusus apalagi yang bisa saya temukan. Sedikit seperti sedang bereksperimen memang. Tapi, saya akan melakukan apapun untuk membuat hari-hari saya bersamanya senantiasa bersemangat dan penuh cinta.
Memulai lebih dulu untuk melakukan sesuatu tidak selalu jelek dan membosankan. Sebab kita akan merasakan manfaatnya di kemudian hari, entah cepat atau lambat. Dan saya menjadi sangat bersyukur atas apa yang sudah saya nikmati sekarang. Memiliki perbedaan memang kadang bisa terasa berat. Tetapi ketika diri kita bisa bersabar, dan menggunakan kecerdasan serta kreativitas dalam diri untuk menghadapinya, semua akan terasa lebih menyenangkan dan menentramkan.

No comments: