Halaman

Wednesday, September 28, 2005

Menjadi Teman Baik

Saya memiliki seorang teman dekat, kami telah saling mengenal selama lebih dari sepuluh tahun. Ketika kami duduk di bangku SMA, bisa dikatakan kami memiliki lingkungan pertemanan yang hampir sama. Ia mengenal teman-teman saya, dan sebaliknya. Walaupun kami tak satu sekolah, namun saya tahu bagaimana pergaulannya dan juga aktivitasnya. Demikian juga sebaliknya. Saya mengenalnya sebagai seseorang yang cukup supel, memiliki banyak teman, dan juga cukup menyenangkan. Pada waktu itu, saya pikir saya telah mengenalnya begitu dekat hingga saya memahami seluruh apa yang ada pada dirinya.

Ketika kami kuliah, ternyata saya pun masih diberikan kesempatan bertemu dengannya cukup sering. Karena kami kuliah di universitas yang sama. Sama seperti di SMA dulu, kami saling mengetahui kegiatan masing-masing. Walaupun ada sedikit perbedaan kondisi dibandingkan saat di bangku SMA dulu, yaitu lingkup pergaulan kami masing-masing menjadi lebih luas. Cukup banyak teman-temannya yang tak saya kenal, dan mungkin juga sebaliknya. Luas dan beragamnya lingkungan pergaulan di kampus memungkinkan teman saya itu untuk bergaul ke sana ke mari. Teman-temannya pun tersebar di berbagai fakultas. Tetapi ternyata saya lagi-lagi diberikan kesempatan untuk juga mengenal, walau tidak dekat, beberapa orang dari ‘lingkaran pertemanan’ teman dekat saya itu. Saya akui, kebiaaan dan pola pertemanan yang ada pada mereka memang tidak seperti yang saya punya. Namun, saya cukup bisa bertoleransi bahwa mereka adalah orang-orang yang baik. Tetapi, teman dekat saya itu mengalami cukup banyak perubahan. Sesaat, saya seperti tak lagi mengenalnya.

Suatu ketika, saya mendapati teman saya ini begitu menyukai seseorang. Seseorang itu adalah teman saya juga, katakanlah si A. Hubungan saya dan si A bisa dibilang juga cukup dekat, bahkan sebenarnya saya yang lebih dulu mengenal dan dekat dengan si A. Si A ini, juga seorang perempuan, adalah seseorang dengan kepribadian yang memang sangat menyenangkan. Dan saya sangat mengerti mengapa teman dekat saya itu begitu ‘memuja’ si A. Ia sepertinya berusaha memasuki setiap lingkaran teman yang si A punya. Ia akan marah dan minimal ‘ngambek’ kalau mendapati si A sedang bepergian atau berkumpul dengan teman-temannya tanpa mengajaknya. Kadang, saya menilainya terlalu kekanak-kanakan.

Pernah si A menceritakan pada saya, bahwa teman dekat saya itu berusaha untuk ikut dalam setiap momen dimana si A dan teman-temannya berkumpul. Awalnya, saya tidak heran dengan hal itu. Memang saya tahu bahwa teman dekat saya itu cukup supel dan sepertinya dapat diterima oleh berbagai kalangan pergaulan. Saya sendiri cukup sering berhubungan dengan si A, dan kami berdua memiliki pembicaraan sendiri ketika sedang berbincang. Tapi saya sadar, si A memiliki lingkungan pertemanan yang telah ia jalani lebih dulu sebelum ia mengenal saya. Seperti teman dekat saya itu, saya sendiri sangat menyukai si A. Tapi saya tak pernah mengharapkannya untuk selalu berada bersama-sama saya setiap saat. Saya menghargai privasinya untuk berada bersama teman-temannya yang lain kapanpun ia suka, tanpa saya ganggu. Sebab saya sadar bahwa saya kurang nyaman dan mungkin juga kurang cocok untuk bergaul akrab dengan teman-teman si A, walau kami saling kenal. Saya bisa memiliki lingkungan pertemanan saya sendiri, dengan tetap berteman dekat dengan si A.

Saat itu, saya cukup sering memikirkan teman dekat saya, tentang bagaimana hubungannya dengan si A dan teman-temannya. Mereka sering bepergian bersama. Setiap kali kuliah usai, mereka masih asyik nongkrong di kampus atau tempat lainnya. Si A kuliah pada jam-jam yang berbeda dari saya dan teman dekat saya itu. Tapi teman dekat saya itu dengan rela menunggui si A hingga ia seringkali pulang malam. Hal itu terjadi cukup sering, dan itu cukup mengkhawatirkan bagi saya. Saya semakin menyadari, bahwa teman dekat saya itu benar-benar berusaha keras untuk berada pada lingkungan pergaulan si A.

Suatu saat, saya berkesempatan untuk berbincang cukup lama dengan si A. Kami sering bertemu di dunia maya, alias chatting. Hampir setiap hari. Sekali, dua kali, saya mendapat cerita dari si A bahwa ada beberapa temannya yang merasa kurang nyaman dengan keberadaan teman dekat saya itu di antara mereka. Memang, sepertinya ia seringkali sedikit ‘memaksa’ untuk selalu hadir pada setiap acara kumpul-kumpul yang mereka lakukan. Di kesempatan lain, saya mendapat kabar bahwa beberapa teman si A merasa jengah dengan sikap dan tingkah laku teman dekat saya itu. Mereka menilainya terlalu over acting dalam suatu hal. Ketidaknyamanan ini akan dengan mudah berubah menjadi ketidaksukaan. Saya menyadarinya, dan begitu pula si A. Maka dalam beberapa kesempatan, bila ada pernyataan ketidaksukaan itu terlontar, si A sedapat mungkin membuat suasana melunak dengan sedikit membela teman dekat saya itu.

Entah mengapa, tiba-tiba saja saya jadi merasa kasihan pada teman saya yang sudah lama sekali saya pahami perangainya itu. Ia yang selalu berusaha masuk ke sebuah lingkungan pergaulan, merasa bahwa dirinya diterima di sana dan selalu ingin mendapat tempat bersama mereka. Padahal kenyataannya tak seperti yang ia pikir. Mungkinkah ia menyadari kondisi ini? Saya harap begitu. Sehingga ia seharusnya dapat membatasi diri dan mengerti bagaimana harus menempatkan diri.

Perihal teman dekat saya itu, adalah sebuah teguran bagi diri saya sendiri. Pernahkah saya dengan begitu menyebalkannya memaksakan diri untuk masuk ke dalam sebuah lingkungan, dan kemudian ternyata membuat orang-orang di dalamnya tidak nyaman? Saya semakin rajin untuk mengintrospeksi diri. Dan setiap kali si A ‘mengadukan’ apa yang telah diperbuat atau dikatakan teman dekat saya itu, dan itu sepertinya membuat mereka tak nyaman, maka seketika saya ingin sekali berbuat sesuatu. Misalnya, menegurnya atau memperingatkannya tentang apa yang telah ia lakukan atau katakan. Kalau dipikir-pikir, memang bukan tanggung jawab saya sepenuhnya. Toh, yang melakukannya adalah bukan diri saya. Tetapi, saya telah berteman dekat dengannya selama lebih dari sepuluh tahun. Dirinya adalah cerminan diri saya, begitu seharusnya. Entah mengapa saya merasa begitu bertanggung jawab dan tidak bisa membiarkannya begitu saja. Apalagi bila ia telah membuat tak sedikit orang merasa tidak nyaman. Entah mengapa. Mungkin karena rasa sayang saya sudah begitu besar untuknya.

Saya ingat, ada seseorang yang pernah berkata kepada saya, bahwa menjadi ‘teman yang baik’ adalah tidak sama dengan menjadi ‘teman baik’. Menjadi ‘teman baik’ adalah menjadi seseorang yang senantiasa bisa melindungi, membantu mengingatkan dirinya kapanpun ia telah melakukan kesalahan. Tanpa harus berbaik-baik, dan tidak membiarkan dirinya berbuat hal yang tidak benar. Teman baik adalah teman yang bisa membuat diri kita menjadi seseorang yang lebih baik.

No comments: