Halaman

Wednesday, September 28, 2005

Menyeimbangkan Keinginan

Saya baru saja menyadari betapa saya banyak merugikan diri saya sendiri, setelah saya membaca sebuah buku. Judulnya “Don’t Sweat the Small Stuff with Your Family”, karya Richard Carlson. Sebuah buku yang, menurut saya, sederhana. Isinya sebenarnya adalah kisah-kisah keseharian si penulis, yang sangat baik dan cerdas dalam mengambil hikmah dalam setiap kejadian kecil dalam kehidupannya. Ditulis dengan bahasa ringan, mudah dimengerti, dan ‘akrab’. Mengapa saya katakan akrab? Sebab sepertinya ketika membacanya, kita akan tertegur keras, bahwa setiap kejadian tersebut pernah kita alami sendiri.

Contohnya adalah salah satu chapter dalam buku itu yang kira-kira berjudul “Let Go Off Your Expectations”. Satu chapter yang hanya terdiri dari dua sampai tiga halaman itu menceritakan tentang bagaimana si penulis seringkali memiliki pengharapan-pengharapan tertentu terhadap masing-masing anggota keluarganya. Seperti ketika suatu pagi yang cerah, ia dengan sangat antusias mengajak istri dan anak-anaknya untuk berlibur dengan pergi ke kolam renang. Tentu saja, ia mengharapkan reaksi atau respon yng sama antusiasnya dengan apa yang ia tunjukkan. Namun pagi itu, ia tidak mendapatkannya. Komentar yang dilontarkan oleh istrinya lebih kepada, “Ya, terserah, deh.” Dan itu sama sekali bukan sebuah kalimat yang menunjukkan sikap antusias. Tentu saja si penulis merasa ‘terganggu’ dengan sikap keluarganya, dan ia pun ‘terjebak’. Ia berkata, “Ada apa sih dengan keluarga ini?” dengan nada tinggi. Mendengar kalimat tersebut, istrinya pun tersenyum lebar dan berdiri di hadapannya sambil mengatakan, “Nah? Bagaimana dengan perkataanmu tentang pengharapan terhadap orang lain?”

Kejadian tersebut memang sepertinya sangat sepele. Namun, bagi orang yang tidak dapat mengontrol emosi akibat terjebak oleh situasi seperti di atas, tentu akan berakibat buruk bagi hubungan antar anggota keluarga. Padahal, reaksi seperti itu tak perlu dilakukan, kalau saja kita bisa sedikit bersikap tenang dan santai. Berusaha untuk menerima bahwa tidak setiap orang, termasuk anggota keluarga kita sendiri, dapat memiliki sifat yang sama seperti diri kita. Tidak setiap orang memiliki antusiasme yang sama ketika menghadapi berbagai situasi. Yang jelas, setiap orang adalah bukan diri kita. Jadi, memiliki pengharapan yang berlebihan terhadap orang lain tentu hanya akan membuat kita stres.

Dalam keluarga terutama, dimana kita menemui orang-orang yang sangat kita cintai itu nyaris setiap waktu dalam hidup kita, kita harus berusaha banyak bertoleransi bila ingin mencapai hubungan keluarga yang baik dan menyenangkan. Menerima kondisi perbedaan tersebut bukanlah berarti kita ‘menurunkan standar’, melainkan mengurangi tuntutan bahwa ‘setiap orang harus memiliki sikap, reaksi, dan respon yang sama’ dengan diri kita. Dengan kata lain, diri kita tetaplah diri kita, yang memiliki berbagai keinginan, baik untuk diri sendiri maupun terhadap orang lain. Bagaimana menyeimbangkannya dengan kemampuan dan karakteristik orang-orang tercinta yang hidup bersama kita, itu satu hal yang perlu terus diupayakan.

Saya tersenyum dan mulai mencerna ulang segala apa yang saya serap dari chapter itu. Saya mungkin memiliki sifat yang tak jauh beda dari si penulis buku tersebut, yaitu hampir selalu bersikap dan mengatakan sesuatu dengan antusias kepada orang lain. Ya, saya adalah seseorang yang ‘ber-emosi’, begitu apa yang teman-teman saya katakan. Hampir tak pernah saya tak melibatkan perasaan dalam setiap perkataan ataupun tindakan saya. Maka, bila ada orang lain yang tidak menanggapinya seantusias diri saya, saya akan berpikir bahwa orang tersebut sangat tidak pengertian dan tidak peduli dengan orang lain. Setidaknya, orang tersebut tidak mengerti bahwa sesuatu itu sangat penting bagi diri saya.

Hal itu cukup sering terjadi dalam kehidupan keseharian saya. Dan akhir-akhir ini, saya menjadi kurang bisa bertoleransi terhadap hal itu. Saya menginginkan apapun cerita yang keluar dari mulut saya ditanggapi sama antusiasnya dengan bagaimana saya menceritakannya. Setiap perilaku sedih, marah, kecewa, dan bahagia saya, saya pun ingin mendapatkan respon serupa dari keluarga saya, dalam arti mereka memiliki perasaan yang sama dengan saya.

Di chapter lain pada buku tersebut, ada sebuah yang juga membuat saya tertarik. Judulnya kira-kira “Let Him/Her Know”. Isinya tentang bagaimana kita seharusnya menyampaikan isi hati dan keinginan kita kepada orang-orang tercinta di rumah. Mungkin saja, banyak hal yang terjadi di luar dari apa yang kita harapkan, adalah karena kita sendiri tidak pernah menyampaikannya kepada mereka. Kemudian, saya pun merenungkan kembali, apakah kondisi tersebut pernah saya alami?

Hasilnya? Sama seperti si penulis, rupanya saya telah berkali-kali terjebak dalam emosi saya sendiri. Memiliki prasangka dan dugaan buruk yang hanya akan membuat hati saya gundah, dan merasa bahwa tidak seorang pun dapat memahami keinginan saya. Sungguh malang. Saya benar-benar merasa rugi kini, setelah menyadari bahwa bersikap demikian tidaklah membawa manfaat apapun terhadap diri saya. Bahkan, mungkin saja perasaan gundah tersebut membuat sikap saya menjadi berbeda kepada orang-orang tercinta di rumah. Bisa jadi, kekecewaan saya tersebut membuahkan perilaku saya yang berbeda kepada mereka, dan mungkin saja telah menyakiti perasaan keluarga saya. Dan kesudahannya, setelah emosi yang berlebihan tersebut lewat, saya selalu menyesali sikap saya itu. Bayangkan saja, betapa saya mungkin telah menyakiti dan membuat keluarga saya sedih!

Kejadian seperti itu, bukan tak mungkin telah kita alami berkali-kali. Dan selama berkali-kali itu, entah ke mana perginya akal sehat dan kejernihan pikiran saya, sehingga saya amat sulit menggali hikmah dan tindakan tepat apa yang harus saya lakukan untuk mengatasi situasi macam itu. Dan selama ini, saya selalu tenggelam dalam perasaan dan pikiran saya sendiri, yang mungkin cenderung negatif, hingga menyebabkan kegundahan dalam hati saya berlangsung lama.

Suatu malam, beberapa hari setelah saya membaca buku itu, saya melakukannya. Saya menahan emosi ini kuat-kuat, melebarkan senyum hingga dapat menekan nada suara saya serendah mungkin, menatap lekat-lekat mata orang yang saya sayangi di rumah, dan mulai menyampaikan satu per satu keinginan dan harapan saya terhadapnya. Dan ternyata berhasil! Ia mendengarkan dengan serius, tampak memikirkan bahwa yang saya sampaikan itu memang benar-benar penting bagi diri saya, dan sesudah itu ia mengatakan bahwa ia pun sebenarnya telah memikirkan hal yang sama.

Hati saya terasa lapang sekali setelahnya. Dalam hati, saya mulai mendaftar ulang ‘keinginan-keinginan’ yang selama ini belum terkomunikasikan dengan baik, untuk saya pikirkan kembali, dan mungkin saja akan saya sampaikan di suatu kesempatan lain. Dan malam itu, saya tertidur dengan sangat nyenyak.

Alhamdulillah ... saya telah menemukan tulisan sederhana dalam buku tersebut. Yang akhirnya memberikan pukulan keras bagi saya, bahwa tidak semua hal yang terjadi perlu dimasukkan dalam ‘daftar tuntutan besar yang harus dipenuhi’. Mungkin ketika kita menanggapinya dengan ringan, hal tersebut tidak akan menjadi sesuatu yang dipendam lama hingga menjadi ‘bom waktu’ yang akan meledak kapan saja. Ketika kita berusaha keras untuk menyingkirkan ego, membuka hati dan pikiran untuk mengkomunikasikannya dengan cara yang baik apapun itu keinginan dan harapan yang kita miliki, tentu akan membawa hasil yang lebih baik, dibandingkan hanya memendamnya atau langsung bereaksi keras. Dan jangan lupa, bagaimanapun, jangan pernah berharap bahwa apa yang kita inginkan akan seratus persen diterima dan ditanggapi seperti yang kita harapkan. Dan bila itu terjadi, bukan berarti mereka tidak mengerti atau tidak menyayangi diri kita.

No comments: