Halaman

Wednesday, September 28, 2005

Berteriaklah, dan Anakmu akan Menirumu

Seringkali, kita sebagai orang dewasa, tidak menyadari bahwa setiap apa yang kita perbuat dan katakan, diserap dengan sangat cepat oleh anak-anak. Memang ketika mereka berada dalam tahap perkembangan otak optimal, setiap apapun yang berada di sekitar mereka akan menjadi ‘sasaran empuk’ bagi mereka untuk diingat, kemudian ditiru. Ya, anak-anak adalah peniru yang hebat.

Ketika saya duduk di bangku SMA, saya pernah mengajar di sebuah TPA yang berada di lingkungan yang sedikit kumuh. Awalnya, saya sangat bersemangat untuk menjalani peran baru itu, sebagai guru TPA. Tapi kemudian, saya menyadari bahwa hal itu tidak semudah yang saya bayangkan. Berhadapan dengan anak-anak kecil yang kesehariannya bergaul dengan preman pasar, orang-orang yang terbiasa berbicara dengan suara keras, kata-kata yang tidak bisa dibilang sopan, dan perilaku yang sulit diatur. Cukup mengagetkan, sekaligus sedikit membuat ngeri. Saya hampir tak sanggup menghadapi mereka, anak-anak kecil itu, yang jauh dari perilaku manis dan menggemaskan. Kata-kata yang mereka ucapkan, tingkah laku yang sudah hampir seperti orang dewasa, dan sekian banyak lagi yang selalu mengejutkan saya.

Saya cukup banyak membaca buku mengenai perkembangan anak. Dan mendapati sebuah pelajaran, bahwa anak-anak dapat meniru dengan tepat dan cepat apa yang orang dewasa lakukan atau katakan. Hal itu tidak perlu diragukan lagi. Sudah cukup banyak contoh yang saya lihat sehari-hari.

Seorang anak akan mempelajari dengan cepat apa yang ia lihat, rekam, dan kemudian langsung menjadi kata atau kalimat berikutnya yang ia ucapkan, atau lakukan. Tak jarang seorang anak dimarahi oleh kedua orang tua mereka akibat apa yang mereka katakan atau lakukan itu. Padahal, bisa jadi anak tersebut mempelajarinya dari orang tuanya sendiri.

Seperti seorang tetangga saya, seorang ibu dengan tiga orang anak laki-laki. Bisa dibayangkan, betapa serunya aktivitas mereka sehari-hari. Saya seorang pengamat lingkungan yang tidak bisa bersikap acuh dan mengabaikan begitu saja apa yang terjadi di sekitar saya. Saya hampir selalu memberi komentar terhadap apa yang terjadi, dan kemudian berusaha membicarakannya dengan suami, sebagai bahan pelajaran bagi kami berdua.

Si ibu dengan tiga orang anak laki-lakinya benar-benar mengajarkan kepada saya banyak hal, walaupun secara tidak langsung. Setiap hari, pada hampir setiap waktu, saya dapat mendengar dengan jelas setiap teriakan dan omelan yang ia lontarkan kepada masing-masing anaknya. Yang paling besar berumur sekitar dua belas tahun, kemudian yang tengah berusia lima tahun, dan yang paling kecil mungkin sekitar tiga tahun. Setiap hari, tak pernah saya dengar rumah di sebelah saya itu tenang dan bebas dari teriakan si ibu. Entah mengapa, saya berusaha untuk memahaminya. Memiliki tiga orang anak laki-laki pasti tidak mudah. Tetapi mengapa harus teriakan itu yang terdengar, itu sedikit saya sesalkan.

Ada kejadian menarik yang telah cukup lama saya perhatikan. Suatu malam, saya mendengar si ibu sangat marah dan kemudian mengeluarkan makian kepada salah seorang anaknya. Entah apa yang telah anaknya perbuat, tapi menurut saya tetap saja tak pantas memaki anak dengan kata-kata seperti itu. Saya kira si anak akan menangis dan kemudian selesai. Tapi ternyata, saya mendengar kelanjutan dari kejadian itu yang mengejutkan. Si anak berteriak kencang sekali, dan ibunya membentaknya,

“Kenapa teriak-teriak begitu!”
“Habis mama bilang Randa bodoh! Randa nggak mau dibilang bodoh!”

Saya cukup terkejut dengan perkataan Randa, si anak sulung. Dan kemudian lebih terkejut lagi mendapati ternyata adegan itu tak berlanjut. Si ibu melunakkan bicaranya dan kemudian terdiam lama. Adegan selesai. Rupanya si anak berhasil ‘menegur’ ibunya dengan cara yang tak terduga. Mungkin si ibu merasa malu, atau menyesal, apapun itu saya mensyukuri bahwa adegan kekerasan yang tengah berlangsung itu tak berlanjut. Randa rupanya telah melakukan tindakan yang mengejutkan ibunya.

Di lain kesempatan, pada suatu sore, saya mendengar anak kedua si ibu tengah berteriak dan menangis meraung-raung. Saya sudah sangat familiar dengan suara-suara itu, dan berniat untuk tak menghiraukannya. Tapi rupanya sekali lagi ada kejadian menarik yang berlangsung. Tangisan Andi makin keras, dan terdengar seperti ada pukulan-pukulan.

“Aduh! Kenapa pukulin mama!” si ibu berteriak.
“Mama pukul Andi! Andi nggak mau dipukul! Biar Andi pukul mama juga!” si anak berteriak tak kalah keras.

Kejadian tersebut tak urung membuat saya tersenyum-senyum. Saya sedikit mengagumi anak-anak dari si ibu tersebut. Seharusnya kejadian itu dapat memberikan pelajaran berharga bagi si ibu. Bahwa apapun yang kita lakukan terhadap anak, akan dengan mudah mereka tiru. Jadi, jangan heran bila teriakan kita akan berbuah teriakan anak.

No comments: