Halaman

Wednesday, August 10, 2005

Aku dan Diriku

Setiap diri kita punya keunikan masing-masing. Dan rasanya tidak ada seorang pun yang ingin dirinya dibanding-bandingkan dengan orang lain. Menjadi diri sendiri, dengan menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada, mungkin akan lebih sulit dibandingkan melihat apa yang ada pada orang lain kemudian memujinya, atau bahkan melecehkannya.

Menjadi diri sendiri yang berbeda dari orang-orang di sekitar, entah kenapa menjadi suatu hal yang membutuhkan perjuangan keras untuk mencapainya. Sebab kini sudah begitu banyak orang yang merasa “senang” menjadi orang lain. Menjadi seseorang yang bukan dirinya yang asli. Supaya juga dipandang hebat oleh orang lain yang melihat, supaya mendapatkan sebuah penghormatan yang sama, tidak bisa menerima perbedaan yang ada.

Saya sendiri pernah mengalaminya. Ketika itu, waktu saya masih duduk di bangku sekolah dasar, saya merasakan betul betapa saya berambisi untuk selalu berada pada lima besar setiap kali pembagian rapor. Dan memang itu yang terjadi, setiap kali nilai ulangan dibagikan, setiap kali pembagian rapor, saya selalu memasang telinga baik-baik, siapakah nama yang disebutkan sebagai peraih nilai terbaik. Dan seringkali saya melonjak kegirangan ketika nama saya sendiri yang disebutkan.

Saya ingat, suatu kali sepulang sekolah, saya disuruh untuk menelpon seorang teman seangkatan untuk menanyakan nilai-nilai yang diperolehnya. Waktu itu, dengan sangat bersemangat, saya membandingkan nilai yang tertera di setiap lembar buku ulangan tersebut. Ketika saya memperoleh nilai lebih tinggi, maka saya akan bersorak keras dan meledeknya, dan ketika teman saya itu yang memiliki nilai lebih tinggi, maka ia pun berlaku serupa. Sekilas, pemandangan itu mungkin akan terlihat lucu. Namun bila diperhatikan baik-baik, sebaiknya kita bertanya pada diri sendiri, apakah peristiwa tersebut menggambarkan pola hubungan yang sehat di antara kedua anak kecil berusia tak lebih dari delapan tahun?


…bagaimanapun keadaan diri kita, kelebihan yang ada harus disyukuri…




Dulu, saya pernah mengalami ‘krisis identitas’, sebut saja begitu. Ketika melihat seorang teman atau seseorang yang menurut saya ‘menarik’, baik dari perangai maupun apa tingkah lakunya, maka saya akan mencoba untuk ‘meniru’ sebisa mungkin. Bahkan dalam hal yang kecil sekalipun, misalnya tulisan tangan. Mulai dari duduk di bangku SMP hingga SMU, saya sendiri menyadari bahwa entah berapa puluh kali saya sudah mengganti ‘tulisan tangan’, sebab menurut saya waktu itu tulisan tangan si anu lebih cantik, atau tulisan si itu lebih menarik. Termasuk urusan cara berbicara, topik pembicaraan, bacaan, dan sebagainya. Khas anak baru gede, mungkin. Tapi hal-hal itu cukup membuat pusing kepala. Mengurusi hal-hal yang sepertinya kurang penting. Mencoba untuk menjadi seperti orang lain, dan terus-menerus menganggap diri mempunyai segudang kekurangan. Yang ada, pada beberapa lama, saya sempat sering merasakan inferior atau rendah diri dalam beberapa hal, terutama dalam pergaulan.

Sungguh tidak enak rasanya ketika diri kita dibanding-bandingkan dengan orang lain, dan seringkali hal itu membuat kita merasa harus selalu bersaing dengan orang lain. Dalam hal ini, tentu saja bukan ‘cara bersaing’ yang sehat, apalagi bila pola seperti itu diterapkan kepada anak usia sekolah yang masih memerlukan banyak ‘pengaruh sehat’ bagi perkembangan otak dan mentalnya. Walau ia tak sepintar teman-teman yang lain, tapi pasti ada sebuah titik kecerdasan yang bisa diunggulkan. Walau ia tak mendapat ranking sepuluh besar, bukan berarti ia bodoh lantas patut ditempelkan label itu sepanjang umurnya.

Saya rasa, baik anak kecil maupun orang dewasa, menginginkan dirinya dihargai sepantasnya. Tak harus memaksakan diri untuk menjadi seperti si anu, secantik si ini, atau seluwes si itu. Kadang, lingkungan memang sangat mempengaruhi sikap ‘tidak percaya diri’ tersebut tumbuh subur dalam diri seseorang. Akibatnya, ia jadi kehilangan jati diri dan tak henti berusaha untuk menjadi orang lain. Bila upaya keras itu dilakukan semata-mata hanyalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri (dalam hal keimanan dan kecerdasan, misalnya), maka hal tersebut pastilah membuahkan hasil yang positif. Tapi, bila jerih payah itu ditujukan supaya kita menjadi orang lain yang kita kagumi, bisa jadi kekecewaan yang didapat. Karena diri kita tidak akan pernah bisa menjadi diri orang lain, dan sebaliknya.

Tetapi tidaklah bisa selamanya ‘menyalahkan’ lingkungan, apalagi bila diri kita sudah beranjak dewasa dan cukup umur untuk dapat memisahkan mana hal yang baik dan buruk. Banyak merenung, introspeksi diri, memperkuat keimanan, dan berusaha untuk selalu memperbaiki diri setiap hari, adalah cara-cara untuk mempertebal ketahanan mental. Sehingga apapun pengaruh yang datang dari luar, tak kan berkembang menjadi hasrat untuk melakukan yang tak benar.

Bagaimanapun keadaan diri kita, kelebihan yang ada harus disyukuri, dan kekurangan yang ada pastilah bisa diperbaiki, bila kita mau berusaha.





3 comments:

Anonymous said...

hmm....sungguh mengandung ibroh yg besar, apapun itu hari ini saya merasa bahwa Allah memberikan kelebihan pada diri saya, hari ini saya merasa Allah pun yg merencakan apa kekurangan diri saya, hari ini saya bersyukur membaca tulisan yg mba vita buat, dan hari ini saya bersyukur dibalik kekurangan yg saya punya ternyata Allah memberi banyak kelebihan yg mesti saya syukuri...jazakillah artikelnya mba vita:-)

Ryu Tri said...

jazakillah mba vita smoga Allah merahmati mba :-) sungguh kembali saya tersadar akan apa yg ditulis oleh mba vita, sekali lagi saya harus bersyukur atas apa yg telah Allah berikan kpd saya :-)

DH Devita said...

to anonymous n friendship

Alhamdulillah...semoga hikmah ini menjadi manfaat yang akan segera kita praktekkan, sebagai wujud rasa syukur itu...

Makasih banyak ya, tanggapannya 'ngaruh' banget sebagai introspeksi dan support buat diri saya sendiri...