Halaman

Saturday, September 18, 2004

Yang Tak Kan Kembali

Dan apabila bumi diguncangkan,
maka tak lagi ada tersisa daya untuk menahannya.
Entah apakah kan sanggup kita bertahan,
Bila ternyata tak lagi ada kesempatan,
Sedang maut sudah waktunya menjemput,
Atau kiamat telah tiba merenggut,
Semua kehidupan yang ada.


Hari ini, sebuah bom telah kembali mengguncang sebelah bagian kota Jakarta. Seakan tak bosan merusaki dan kembali meruntuhkan semangat orang-orang memulai hari. Bangunan-bangunan rusak, bagian-bagian reruntuhan, korban yang berjatuhan-tewas dan terluka parah, getaran yang terasa hingga ke mana.

Hari ini, kembali seluruh orang di kota menatapi televisi. Menanti perkembangan selanjutnya dari apa yang telah terjadi. Entah benak masing-masing berbisik apa. Rasa syukur sebab diri ini terselamatkan, gemetar dan takut kalau-kalau suatu saat akan mengalami nasib yang sama, sedih dan simpati terhadap mereka yang menghadapi, ataukah tak peduli sebab telah sibuk dengan urusan pribadi.

Entahlah, apakah kita akan sempat menyesali, bila suatu saat hal itu terjadi. Bilamana itu terjadi, tak mungkin lagi ada waktu untuk mengundurkan diri. Sebuah musibah yang menimpa orang-orang yang sedang diuji keimanan mereka. Sebuah peristiwa yang menggentarkan hati setiap orang yang tiada mau merasakannya. Bilamana itu terjadi, tak mungkin masing-masing kita tak peduli.

Hari ini, sebagian orang kehilangan orang yang dicintai. Ayah, ibu, anak, suami, atau istri. Mungkin mereka masih ingat salam pamit tadi pagi. Mereka yang melangkah mencari rezeki, mereka yang pergi dan tak lagi kembali. Hari ini, sebagian orang telah mendapati betapa kematian tak pernah mengalah. Tak peduli betapa hadirnya begitu tak disukai. Sebab ia menyebabkan kehilangan, dan rasa sesal pada hati. Sebab sesuatu bisa menjadi begitu berharga bila ia telah tak di sisi.

Kehilangan. Dan penyebab apakah ledakan itu terjadi tak lagi penting. Siapakah pelaku dan apakah motif di baliknya, untuk sementara, tak lagi dihiraukan. Berapa jumlah kerugian, siapa yang akan mengganti, … dan semua akan berpikir hanya untuk diri sendiri.

Sadarilah kini, apa yang telah terjadi tak mungkin terhapus lagi. Musibah itu terlanjur menyakiti. Namun ia adalah sebuah ujian kecil bagi kita yang selalu lupa mensyukuri. Apa yang dimiliki kini, suatu saat akan diambil dan tak kembali. Demikian pula dengan diri ini, pasti akan menemui mati. Entah sampai kiamat nanti, entah beberapa tahun lagi, entah esok, atau hari ini.

Dan semua yang telah mati, tak kan kembali.

9 September 2004

No comments: