Halaman

Friday, December 24, 2004

Kita Hanya Manusia

Tiba-tiba saja saya merasa kesal dan hati saya tidak tenang. Sebab percakapan yang baru saya lakukan dengan seorang teman. Apa yang kami bicarakan ternyata membangkitkan memori saya mengenai sebuah kejadian yang benar-benar ingin saya lupakan. Sebuah fitnah, ghibah, atau mungkin juga fakta yang telah terjadi menimpa diri saya dan mungkin juga teman-teman saya yang lain. Kesal. Memori itu seketika mengganggu perasaan dan mood saya untuk melakukan sesuatu jadi hilang.

Saya ingat, dulu saya pernah merasakan kekaguman yang luar biasa terhadap diri seorang teman. Dia salah seorang "pemimpin" saya. Katakanlah, seorang ketua sebuah organisasi. Saat itu saya berpikir bahwa saya tidak lagi akan pernah memiliki seorang pemimpin sebaik dirinya. Kepribadiannya, caranya berkomunikasi, kecerdasannya, dan apa yang para anggotanya rasakan dari dirinya. Saat itu, nyaris saja saya menelan bulat-bulat setiap omongan dan mencoba mengikuti apa yang ia lakukan. Kekaguman itu tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Dan ketika tiba saatnya ia melakukan sebuah kesalahan, saya benar-benar terkejut. Selama beberapa saat, diri saya sempat merasa 'oleng', kaget oleh sebuah kewajaran yang seharusnya saya pahami. Peristiwa itu perlahan membuka pikiran saya.

Tak lama kemudian, saya diberi kesempatan untuk bertemu dengan seorang yang baru saya kenal, yang akhirnya menjadi pemimpin dari sebuah kelompok kerja yang saya ikuti. Saya tercengang, sebab saya seperti kembali menemukan sosok pemimpin ideal pada dirinya. Dan saat itu saya berpikir bahwa sosok yang baru saya temui ini sungguh lebih baik dari seorang yang sebelumnya pernah membuat saya kecewa. Saya pikir, inilah dia sosok pemimpin idaman. Saya pun bertekad untuk menggali dan mempelajari sebanyak mungkin hal yang ada pada dirinya.

Dan ternyata, sekali lagi saya dibuat tercengang, sebab ia melakukan suatu hal yang akhirnya merugikan seluruh anggota yang dipimpinnya, termasuk diri saya. Kekecewaan yang saya rasakan saat itu pastilah sangat besar, hingga saya tak bisa melupakan perbuatannya tersebut dan merasa trauma serta enggan untuk berhubungan dengannya dalam bentuk apapun.

Demikian terjadi yang ketiga kalinya. Dan saya mencoba menarik napas sebentar, berpikir, dan kemudian mencoba sekuat tenaga untuk "berdamai" dengan semua itu. Tak lagi berguna segala umpatan dan kekesalan yang bersarang lama di hati saya. Toh hanya akan membuahkan penyakit tak berkesudahan. Seperti halnya penciptaan kelebihan yang ada dalam diri setiap sosok unik manusia, sebuah kesalahan yang hadir adalah sebuah kewajaran. Sebab ia selalu bisa memperbaikinya, bila ia mau. Sebab ia selalu bisa memilih untuk menjadi lebih baik atau menjadi yang paling buruk sekalipun, sebab Allah menjadikan akal dan hati sebagai pelengkap pada diri manusia.

Keikhlasan untuk memaafkan, adalah mungkin salah satu hal tersulit untuk dilakukan. Memaafkan diri sendiri dan orang lain, dalam setiap ketidaksempurnaan yang selalu tampak. Coba saja kita hitung satu per satu setiap detil kekurangan yang orang lain lakukan. Atau tulislah setiap rinci kekhilafan yang sudah kita sendiri lakukan. Bukan hanya yang kita sadari, melainkan kesalahan-kesalahan kecil yang tak terlihat. Sanggupkah kita? Rasanya tidak.

Saya malu. Sebab masih saja saya mempermasalahkan perbuatan orang-orang lain yang mengganggu ketenangan hati saya. Walaupun kejadian apapun yang mereka lakukan telah demikian menggores hati saya hingga sulit dilupakan. Saya malu. Sebab demikian besar waktu yang telah saya luangkan untuk menghitung dan mengingat-ingat kesalahan orang lain.

Padahal Allah Maha Memaafkan.

Seorang sahabat telah dijaminkan surga, sebab ia terbiasa untuk melapangkan hatinya setiap malam atas setiap kesalahan yang diperbuat oleh orang-orang terhadap dirinya.

Rasanya saya harus belajar lebih banyak untuk melihat diri sendiri dan orang lain sebagai "manusia". Mensyukuri segala kelebihan yang ada, menyadari bahwa suatu saat ia pun dapat berbuat salah, dan hal yang cukup sulit dilakukan, memaafkannya.

Belajar memberi kesempatan pada diri saya dan orang lain untuk menjadi "manusia", dengan mengerti bahwa setiap saat terbentang kesempatan untuk memperbaiki diri, seberat apapun kesalahan tersebut.

dedicated to Dhyny, Attin, Delia, and all my special friends...

No comments: