Halaman

Tuesday, December 14, 2004

Tentang Pengorbanan

Pengorbanan adalah sebuah keharusan. Berat memang. Tetapi ketika sedikit demi sedikit kata itu mulai dimengerti, lalu dipahami, akhirnya akan menjadi suatu hal yang secara otomatis mencuat ketika muncul kondisi-kondisi tertentu. Sebuah hal yang monoton-kadang terasa dipaksa atau terjadi begitu saja tanpa rasa? Tidak juga. Hanya sebuah pemahaman yang berjiwa yang kemudian dapat meresapnya dalam-dalam hingga ia keluar dari lubuk hati menjadi sebuah perbuatan, yang berdasar sebuah kecintaan. Sulit dipahami? Tentu saja.

Pengorbanan adalah keterbelengguan-atas semua sikap yang tidak ingin dilakukan namun terlakukan demi hal lain? Bukan. Pengorbanan adalah sebuah kemerdekaan. Bagi mereka yang melakukannya untuk cinta. Sebuah ekspresi. Ya, unjuk rasa bebas ijin yang boleh dilakukan kapan saja tanpa perlu takut dicemooh. Tetapi kadang, ia menjadi begitu menggelikan. Bagi hati yang memuja dunia.
Kerap kali saya bertanya pada diri sendiri, “Kenapa harus aku yang selalu berkorban?” Ini terjadi saat diri saya merasakan ganjalan sebesar batu bata yang menindih perut. Tiap kali saya berhadapan dengan sebuah keadaan, yang bernama tekanan.

Tekanan, bagi saya pada saat ini adalah bukan lagi keasyikan dalam menghadapinya. Melainkan sebuah beban yang ingin segera dienyahkan. Dan tidak juga sebuah tantangan yang menguji kecerdasan emosi diri yang kerap membuktikan peningkatan atau penurunan dalam hasilnya. Dan kali ini bukan tingkat kecerdasan emosi yang ingin saya raih. Melainkan sebuah keyakinan bahwa untuk hal apapun, saya tak ingin jadi satu-satunya orang yang berkorban.

Oh, pada saat pikiran tersebut terlintas, saya lantas bertanya kepada diri sendiri, “Memangnya sudah sejauh apa kamu berkorban?”
Ya memang tidak seperti Rasulullah. Yang rela ditimpuki batu dan kotoran, juga cacian dan makian, dan segenap penghinaan lain seumur dakwah yang beliau lakukan.

Juga belum seperti Abu Bakar, yang menghabiskan seluruh harta yang ia miliki dalam satu waktu untuk keperluan perjuangan kaum muslimin menghadapi perang melawan kaum kafir. Hingga ia menyisakan hanya Allah dan Rasul-Nya untuk keluarganya tercinta. Hingga Umar bin Khattab pun akhirnya rela undur diri dari perlombaan itu dan mengakui ketinggian iman Abu Bakar. Dan Rasulullah mendeklarasikan bahwa apabila keimanan dari seluruh umat manusia yang hidup di dunia ini ditimbang maka tak sedikit pun menyamai keimanan Abu Bakar.

Dan saya pun menyadari bahwa tiada lah sama diri ini dengan Sayyid Qutb, yang dengan ketajaman penanya ia mengakhiri hidupnya di tiang gantungan. Demi sebuah keberanian menuliskan kebenaran. Pun tidak layak disandingkan bak Zainab Al Ghazali, yang sanggup menaklukkan kekejaman aktivitas penjara dengan semangat yang tak padam. Tiada pula seperti Mushab bin Umair, yang telah melepaskan seluruh kenikmatan dunia yang ia punya untuk sebuah ikrar janji berjuang di jalan Allah. Sampai akhirnya Rasulullah tercinta menangis tersedu melihat jenazahnya yang tak tertutupi kain yang ia kenakan saat itu.

Sepanjang kehidupan ini, sejauh yang bisa kita cari, sudah ada terlalu banyak orang-orang mulia yang melakukan pengorbanan melebihi dari apa yang mungkin sudah kita lakukan selama ini. Sakit, kepayahan, lelah, penderitaan, dan segala istilah yang menjelaskan tentang pengorbanan. Tapi saya masih saja sibuk menghitung-hitung berapa banyak kebaikan dan pengorbanan yang telah saya lakukan? Dan saya masih saja bisa merasakan bahwa selama ini saya terlalu banyak berkorban dan menerima balasan yang tidak setimpal?

Sungguh, saya malu.

[19 Maret 2004]

No comments: