Halaman

Thursday, December 30, 2004

Duka itu, Rasakanlah….

Duka itu lagi, dan sekian banyak orang mencari sejumlah alasannya terjadi. Apa yang kita lakukan sekarang? Setiap saat memantau perkembangan berita dari tempat bersumbernya duka, tak henti menonton televisi dan membuka telinga lebar-lebar, kalau-kalau ada info terbaru? Tiba-tiba saja gegap kepedulian itu menjadi barang laris. Koran-koran habis, dan mungkin ada saja pasang-pasang mata yang menangis. Padahal jarak itu tak bisa ditempuh sebab ia jauh. Namun bila duka, maka semuanya akan merasakan nestapa yang sama.

Angka-angka jumlah korban yang tertera di tiap lembar media cetak yang tiap hari kita baca, tak lagi terhitung dengan jari-jari. Pernahkah terpikir, apa yang sedang mereka lakukan saat gulungan air itu melibas tubuh-tubuh mereka? Apa yang sedang mengisi kepala-kepala mereka? Apa yang berada di genggaman mereka? Kalimat apa yang terakhir kali mereka ucapkan? Sedang melangkah ke manakah kaki-kaki mereka? Sesungguhnya kita semua tak kan pernah tahu, kondisi macam apakah yang akan kita alami saat ajal menjemput, dengan berbagai caranya. Rahasia-Nya.

Duka itu lagi, dan lukanya kian menganga untuk tiap detik kini. Yang selamat dari amukan lautan air, namun tak lagi bisa menemukan belahan jiwa mereka. Yang berhasil meloloskan diri dari kejaran gelombang besar itu, namun tak berdaya kala menyaksikan keluarga mereka tertimpa puing-puing bangunan dan terseret arus. Yang baru saja bersyukur atas keselamatan yang masih mereka rasakan, namun tak kuasa menahan pedih saat mengetahui bahwa mereka menjadi yang ditinggalkan oleh orang-orang terkasih.

Saat ini kengerian itu menyelimuti setiap jiwa yang mengetahuinya. Entah sampai kapan ia tetap merasa ngeri. Mungkin lama, mungkin hanya sebentar. Tergantung situasi. Terkadang, memang mudah merasakan haru dan pedih yang sama, kala momen itu masih menjadi bahan pembicaraan anyar di sepanjang hari. Momen besar yang mau tak mau melibatkan setiap raga yang telah memiliki kesadaran untuk dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. Keterlibatan itu, rasa perih itu, tatap dan tangis terluka, entah sampai kapan. Sebab seringkali rasa berubah mengikuti waktu, tren yang berlaku. Tak perlu tangis dan tatap haru ketika tak lagi banyak pembicaraan dan perhatian yang mengitarinya. Masa lalu yang harus dikubur bersama sekian penderitaan dari mereka yang merasakannya langsung. Sesuatu yang akan ditutup bersama pergantian waktu, dengan harapan petaka itu akan pergi jauh-jauh dan tak pernah akan kembali lagi. Keterlibatan itu, kepedulian itu, rasa ngeri, takut, khawatir, kasihan, pedih, dan perih itu, hanya sampai situ. Benarkah begitu?

Betapapun, bila diri kita menjadi bagian dari mereka yang telah menyisihkan sebagian kecil harta, kiriman doa, dan bahkan walau hanya sebuah tangis yang mampu mewakili perasaan hati menyaksikan apa yang mereka alami,…bersyukurlah. Sebab diri ini masih dikaruniai hasrat untuk ikut terlibat, walau hanya sesaat.

Untuk Mairita, dan semua yang merasakan perih dan luka di Banda Aceh dan sekitarnya.

No comments: