Halaman

Thursday, November 17, 2005

Sebuah Kehangatan

Menjadi seorang anak tunggal selalu tidak mudah. Saya sendiri nyaris mengalaminya. Sewaktu kecil dulu, saya hampir tidak memiliki saudara kandung sampai saya berumur delapan tahun. Tiba-tiba saja ibu saya melahirkan seorang adik perempuan untuk saya. Mungkin karena sebelumnya saya sudah merengek-rengek dan memainkan segala macam peran khayalan menjadi seorang kakak selama beberapa lama. Mungkin juga karena memang orang tua saya belum merencanakannya, dan Allah mengaruniakan seorang adik untuk saya ketika saya sudah berusia delapan tahun.

Saya memiliki seorang saudara sepupu laki-laki. Saat ini ia berusia sekitar sepuluh tahun. Ia seorang anak tunggal, dan memiliki orang tua yang keduanya bekerja. Bisa dibayangkan bagaimana ia kesepian. Setiap hari sepulang sekolah, mungkin hanya pembantu di rumah, dan mainan serta play station favoritnya yang menjadi teman. Saya tidak begitu memerhatikan, seberapa besar pengaruh ‘rasa kesepian’ itu padanya, hingga pada suatu waktu ia menjadi murid privat seorang teman saya.
Sepupu saya itu cukup pintar, bahkan menurut saya cukup cerdas untuk anak seusianya. Dan ia memiliki tipe kinestetik dalam menyerap pelajaran, dalam arti tak bisa duduk diam dan menunggu guru selesai menerangkan. Istilah lain yang biasa orang gunakan, padahal mungkin dalam pemahaman yang salah, adalah hiperaktif. Bahkan tante saya sempat membawanya ke seorang psikolog. Pasalnya, seorang guru privatnya tak sanggup untuk menghadapi sepupu saya itu. Entah berapa kali telah ‘dikerjainya’, dan mungkin si guru privat sudah tidak sanggup lagi. Kemudian, saya menawarkan seorang teman kampus saya untuk menjadi guru privat pengganti. Seorang guru yang jauh lebih muda dari yang sebelumnya. Dalam hati, saya sempat khawatir, akankah teman saya itu menjadi ‘sasaran empuk’ berikutnya? Rupanya, tante saya ‘betah’ mempekerjakannya, dan demikian juga sepupu saya. Menurut tante saya, ia seperti mendapatkan seorang ‘kakak laki-laki’ sekaligus teman bermain disamping menjadi guru privatnya.

Selama ini, saya sendiri seringkali menganggap bahwa seorang anak tunggal adalah anak yang egois, manja, dan sulit untuk bergaul dengan orang lain. Sebuah kesimpulan yang memang saya tarik sendiri berdasarkan apa yang saya perhatikan dari sekeliling saya. Tapi rupanya hal itu tidak bisa diberlakukan bagi semua orang. Bagi sepupu saya, menjadi anak tunggal berarti ia harus mengusir kesepian dengan caranya sendiri. Yang belakangan saya ketahui adalah bahwa ada sebuah kehangatan yang ia ajarkan pada orang lain.
Ibu saya selalu mengajarkan pada saya dan adik saya untuk selalu memuliakan tamu. Mulai dari membiasakan kami untuk membuatkan dan menyajikan sendiri minuman atau suguhan lain bila ada tamu yang datang, atau membantunya untuk bersiap-siap menghias rumah dan menyajikan kue-kue menjelang hari raya Idul Fitri, walaupun sebenarnya tamu yang akan datang berkunjung ketika hari raya tidaklah banyak. Tetapi kami benar-benar mengubah suasana rumah menjadi nyaman dan cantik sekali, lain dari hari-hari biasanya. Ada atau tidak ada tamu yang datang, kami selalu dalam kondisi siap untuk menerima dan menjamu. Hal ini merupakan pengajaran yang sangat baik. Keramahan dan keterbukaan seperti ini bisa jadi tak dimiliki oleh keluarga yang lain. Atau mungkin anak-anak yang lain tidak turut andil dalam ‘menjamu’ tamu kecuali bila teman-teman kecil mereka datang. Keterlibatan seorang anak dalam menerima dan menjamu tamu adalah satu hal yang susah-susah gampang untuk dibiasakan.

Sepupu saya yang berusia sepuluh tahun itu beberapa kali memberikan kejutan pada saya. Setelah mereka pindah menempati tempat tinggal baru, yang jauhnya paling hanya beberapa blok saja dari tempat tinggal yang lama, saya berkesempatan untuk menginap di sana. Sebelumnya saya memang sudah pernah berkunjung dan sesekali menginap di rumahnya, namun cukup jarang sebab rumahnya memang jauh dari tempat tinggal saya. Dari saat itulah saya memerhatikan satu hal yang menarik dari diri lelaki kecil itu.
Ketika itu saya membuat janji untuk bertemu tante dan sepupu saya itu di sebuah pertokoan di dekat kantor tempat tante saya bekerja. Rupanya sepupu saya memerlukan beberapa bahan untuk mengerjakan tugas sekolahnya. Untuk menghemat ongkos dan efektivitas waktu, saya pun bertemu mereka di pertokoan itu untuk kemudian pulang bersama ke rumah mereka. Saat itu sekitar pukul enam sore, sepulang dari kantor saya segera menuju ke sana. Saya menemui mereka di toko buku yang terdapat di dalam pertokoan itu. Sepupu saya berteriak memanggil saya yang sedang celingukan mencari-cari mereka.

“Kak Vita nginep berapa hari?” ia bertanya, dan saya sedikit tergagap mau menjawabnya. Saya melirik tante saya yang berada di dekat kami sambil tersenyum-senyum.
“Iya, katanya kak Vita nggak boleh cuma satu hari nginepnya.” Sambung tante saya.
“Emangnya musti berapa hari nginepnya?” saya balik bertanya. Ia tersenyum-senyum.
“Tiga hari!” katanya bersemangat. Saya tersenyum kecil, dalam hati sedikit terharu. Sepertinya ia begitu senang bila ada orang yang menginap di rumahnya, pikir saya waktu itu.

Di lain kesempatan, saya kembali diajak untuk menginap di rumahnya. Kali itu saya menginap bersama adik perempuan saya dan seorang tante saya yang lain. Seperti biasa, ketika saya datang bersama adik saya, sepupu saya itu menyambut kami dengan gembira. Ia bahkan betah untuk menunggui kami hingga waktu tidur, mengobrol berlama-lama, atau menemani kami sambil ia sendiri bermain.
Pagi harinya, saya melihat adik saya duduk di depan televisi sambil meminum susu kotak. Saya sempat kaget dan menegurnya. Saya tahu pasti itu milik Imam, sepupu kecil saya itu. Biasanya seorang anak kecil akan ngambek atau mengamuk bila tahu kepunyaannya diambil orang lain tanpa sepengetahuannya. Saat itu saya menunggu Imam keluar dari kamarnya, dan mungkin akan marah besar melihat adik saya seenaknya mengambil susu kotak kesukaannya dari kulkas.
Lalu Imam pun bangun dan menghampiri kami,
“Kak Dede, itu susu siapa?” tanyanya pada adik saya. Saya dan adik saya saling lirik sambil tersenyum-senyum.
“Susunya Imam. Kak Dede ambil dari kulkas.” Jawab adik saya jujur. Saya menanti reaksi apa yang akan Imam lakukan.
“Oh, iya. Ada banyak kan di kulkas. Kalau mau lagi ambil aja. Imam mau juga ah…” katanya singkat. Dan ia pun beranjak ke kulkas untuk mengambil sekotak susu yang sama. Saya sedikit terbengong. Dan kemudian menghela napas lega. Reaksinya tak seperti apa yang saya bayangkan.
Sejak hari itu, saya dan adik saya sering membicarakan bagaimana Imam memperlakukan kami selama di rumahnya, dan mungkin juga orang-orang lain yang datang dan atau menginap di sana. Ia tak pernah bosan menyambut kami datang, dan menanyakan apa-apa yang kami perlukan, sampai dengan bersemangatnya menceritakan rencananya untuk mengajak kami berjalan-jalan ke tempat ini dan itu. Sungguh sebuah sikap yang cukup jarang dimiliki oleh seorang anak kecil. Ia sangat mengerti cara membuat tamu merasa nyaman di rumahnya.

Saya memiliki seorang sepupu kecil lagi, namanya Andra. Ia berusia tak jauh berbeda dari Imam. Andra seorang anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakaknya berusia sepuluh tahun lebih tua daripadanya, dan keduanya telah sibuk dengan dunia remaja masing-masing. Tak jauh berbeda dengan Imam, pastinya Andra merasakan kesepian yang sama.
Saya berkesempatan untuk mengunjungi Andra dan keluarganya ketika saya dan suami bermaksud untuk menghadiri pernikahan seorang teman di Bandung. Kami pun dengan senang hati menginap di rumah Andra.
Kami sampai di Bandung sekitar pukul dua pagi, dan beristirahat di rumah Andra tanpa membangunkan siapapun kecuali tante saya yang memang belum tidur. Keesokan paginya, ketika yang lain sudah menghabiskan sarapan, saya dan suami masih tertidur setelah menunaikan salat subuh. Andra mengetuk pintu kamar dan membangunkan saya.

“Kak Vita, kak Hendy, tehnya udah siap tuh. Ayo bangun, sarapan.” Panggilnya. Kami pun beranjak ke ruang makan, dan memang di atas meja sudah terhidang dua cangkir teh dan makanan. Andra menemani kami sarapan sambil sesekali bertanya, “Enak nggak tehnya?” atau “Enak kan makanannya?” Dan begitulah seterusnya. Setiap kali waktu makan tiba, Andra selalu memanggil kami berdua, dan mengajak serta menemani kami makan bersama. Di saat sepupu saya yang lain sibuk dengan kegiatannya masing-masing, si kecil ini sibuk memerhatikan kenyamanan kami berdua di rumahnya. Dibandingkan dengan Imam, Andra sangat beruntung memiliki dua orang kakak laki-laki dan perempuan serta seorang ibu yang tidak bekerja office hours seperti ibunya Imam. Tetapi rupanya ia mengalami kesepian yang sama, dan memberikan kehangatan yang sama dengan apa yang Imam lakukan terhadap para tamu yang berkunjung ke rumahnya.

Sederhana memang. Saya rasa semua anak pun bisa melakukannya. Tetapi di balik kelebihan itu, pastinya ditumbuhkan oleh pola didik tertentu yang sangat baik yang diterapkan oleh kedua orang tua mereka. Bagaimana kita memperlakukan tamu dan memberikan yang terbaik untuk kenyamanan mereka, itu pula yang akan ditiru oleh anak-anak kita kelak. Sebuah kehangatan. Rasanya tidak salah sebuah pepatah yang mengatakan bahwa ambillah hikmah dan pelajaran dari siapa saja, bahkan dari seorang anak kecil sekalipun.



From Bintaro with Love ...

Assalamu'alaikum wr wb

Fiuh! Lega rasanya, akhirnya 'menyentuh' dunia maya kembali. Hehehe ... rupanya saya sudah addicted to internet. Kalo nggak cek email barang seminggu aja, pasti jadi bete. Soalnya email-email yang datang pasti akan menumpuk, dan malas sekali rasanya untuk menghapus-hapusnya (ups...berarti banyak email yang nggak kebaca dong? emang. hihi...)

Finally ... tinggal di Bintaro, di Graha Bintaro tepatnya. Akhirnya, rumah sendiri, dengan menyicil untuk bertahun-tahun ke depan. Kecil, sederhana, tapi membawa kesejukan baru. Pertama kali menginap di sana, rasanya berbunga-bunga, deh! Pencarian selama ini bersama my dear husband terbayar sudah. Rumah idaman kah? Yang jelas kami berdua (semoga cepet-cepet jadi bertiga) akan berusaha keras merajut keindahan-keindahan di sana. Ceilee....jadi romantis gini??? hihihi...

Seminggu di rumah baru, masih berkeringat dan bercapek-capek beresin rumah, benerin ini, tambahin itu, pelan-pelan semuanya akan selesai, insyaallah. Alhamdulillah ... bersyukur yang teramat sangat. Belum setahun nikah, tapi sudah diberi rizki menempati rumah sendiri. Mudah-mudahan membawa keberkahan bagi kami yang berada di dalamnya. Menimbulkan berjuta-juta inspirasi sehingga tetap terus bisa berkarya...amiiin! Ayo dong, Vit! Katanya mau jadi penulis! hehehe....

Mohon doa dari semua, semoga kami bisa 'menciptakan' surga di dalamnya ...

Wassalamu'alaikum wr wb

ps. Vita kembali beredar! hehehe