Halaman

Thursday, March 23, 2006

"Berpisah"

Menjelang cinta,
Hatiku terkubur dalam keheningan yang tercipta
Oleh desir hasratku memilikinya,
Cinta,
Tiada penghalang batinku meminta.

Menjelang cinta,
Hembusan napas menjadi derita
Saat lelah merusak raga,
Cinta,
Aku tak bisa berbuat apa-apa.

Walau genap jiwaku merana,
Dan hitungan hari memisahkan kita,

Percayalah,
Di mana kau,
Di situ aku ada.

(24 Februari 2006)

Monday, March 13, 2006

World Book Day 2006

Kamis, 2 Maret 2006

Saya tergopoh-gopoh memasuki gerbang Depdiknas sambil menenteng sebuah kantong plastik besar dan dua buah styrofoam yang sudah disulap menjadi mading foto dan buletin. Jam menunjukkan pukul 10.30 (kira-kira), dan sepertinya FLP’ers lain yang sudah datang sejak pukul 9 pagi menunggu saya. Ada satu buah missed call dari Koko Nata. Semua barang-barang display dari FLP Bekasi memang saya yang pegang. Feeling guilty juga. Hanya karena sudah lama nggak berangkat dari Bekasi (saya kan sekarang tinggal di Bintaro), dan lupa bahwa tol selalu saja MACET, akhirnya jadi telat satu setengah jam.

Saya teringat tadi malam, tiba-tiba HP saya berdering dan muncul nomor tak dikenal.
“Halo, Vita, ini Dala, Vita.” Mbak Dala menelpon untuk menanyakan apa saya bisa membawa karpet atau tikar. Kesempatan itu saya gunakan untuk menanyakan detail stan dan barang-barang apa yang bisa dipajang. Mbak Dala menyambut antusias ketika saya bilang bahwa saya akan bawa dua styrofoam berisi foto dan buletin. Beliau juga menanyakan soal brosur berisi profil FLP pusat, dan akhirnya menyambut antusias lagi ketika saya bilang saya sudah memfotokopi brosur FLP Bekasi (karena hanya itu yang ada) dan buletin MOZAIK. Hmm … tampaknya persiapan menghadapi World Book Day sangat kurang. Saya bersyukur bahwa tahun ini sie dokumentasi dan buletin FLP Bekasi menjalankan tugasnya dengan baik (thanks to Nadiah n all MOZAIK Crew!). Setidaknya tahun ini kami berhasil menyumbangkan sesuatu, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya.

Ruangan Hall A Depdiknas dari kejauhan sudah tampak ramai. Spanduk-spanduk dibentangkan sejak di luar pagar sampai pintu masuk. Lokasi yang sangat strategis. Menginjakkan kaki di ruangan besar itu, saya terpana. Waaah … sudah ramai juga! Malah kursi-kursi di depan panggung utama (yang tepat berada di tengah-tengah ruangan) sudah terisi hampir penuh. Stan-stan pameran tersusun membentuk huruf U mengelilingi panggung, dan sepertinya nyaris tak ada yang masih kosong. Saya kebingungan, duh … stan FLP sebelah mana ya? Bukannya berjalan ke meja informasi, saya malah berjalan ke arah kiri, mengitari hampir semua stan sambil celingukan mencari-cari. Para penjaga stan tersenyum-senyum melihat saya. Wah, ada penjaga stan yang datang telat nih, mungkin begitu pikir mereka. Dulu, jaman saya masih suka jaim, saya pasti sudah panik dan berjalan mengendap-endap. Tapi karena sekarang sepertinya saya sudah lebih plegmatis, maka saya dengan cuek berjalan pelan-pelan sambil membaca satu per satu nama stan tersebut. Akhirnya saya kembali ke depan, dan bertanya ke bagian informasi. Yap. Ternyata stan FLP tercinta itu letaknya di sebelah kanan, di samping panggung, hampir di pojok pas di sebelah stan Rumah Dunia (yang penataannya cukup keren, disamping mereka dapat stan yang agak lebih luas). Sampai di sana, saya nyengir lebar pada Echa dan Elshi (dua orang rajin dari FLP Jakarta) dan berkata, “Hihihi … aku hampir nyasar, nih!”

Dua buah styrofoam yang saya bawa (dengan cemas, karena takut nggak boleh dipajang) ternyata disambut gembira oleh mereka. Stand mungil itu ternyata masih bisa dihias lebih heboh lagi. Sebuah kursi panjang, dua buah kursi standar dan sebuah meja tak terlalu besar yang semuanya terbuat dari bambu. Semua benda itu telah diisi oleh buku-buku pameran pinjaman dari Rumah Cahaya. Tak ada tempat duduk, dan akhirnya Koko Nata (FLP Depok) membeli alas duduk yang terbuat dari busa warna-warni yang bisa dilepas-pasang. Saya menempelkan mading foto dan buletin FLP Bekasi di sebuah pembatas stan (yang juga terbuat dari bambu). Pas sekali memang, dan rasanya panitia cukup mengerti bahwa semua peserta pasti membutuhkan tempat untuk memasang mading atau entah apa. Tadinya saya pikir kedua styrofoam itu akan diletakkan begitu saja di lantai bersandarkan kursi atau meja. Dan karena stan tersebut pas berada di bawah perpustakaan, tembok yang menjadi pemisah antara lantai satu dan perpustakaan dapat digunakan untuk menempelkan sesuatu (dan kedua orang rajin itu pasti sudah susah payah menempelkan buku-buku dari RumCay dengan double tape hingga terpajang dengan manis). Jadi lokasi dan bentuk stan sebenarnya sangat nyaman dan cukup fasilitas. Tadinya saya mendapat informasi bahwa stan tidak dapat dihias banyak sebab sangat sempit, dan tidak ada tempat untuk memajang sesuatu. Wah, lain kali tim survey musti lebih jeli lagi memberi informasi.

Dengan penuh kesederhanaan dan sedikit kreativitas (lagi-lagi dari Echa, Elshi, dan akhirnya kami semua turut membantu), stan itu telah siap. Tapi sepertinya kami semua tidak bisa bersempit-sempit di dalamnya, sebab akan menghalangi orang-orang yang akan masuk.

Orang-orang berdatangan, walau belum terlalu banyak. Kami membagikan profil FLP Bekasi, MOZAIK, dan pembatas buku dari LPPH. Ketika ada yang bertanya tentang FLP, saya, Koko, atau Evin (bener nggak tulisannya?) dari FLP Jakarta, menjawab sebisa kami, dan memberikan nomor kontak FLP Pusat dengan menuliskannya pada brosur, kertas yang mereka bawa, atau di balik pembatas buku. Sebab yang tertera di brosur FLP Bekasi yang nomor kontak kami saja. Sebuah teguran lagi untuk persiapan yang lebih matang. Tapi saya sendiri, terus terang saja, sangat senang menghampiri-menjawab-dan berpromosi ini itu pada pengunjung stan.

Seorang bapak berumur sekitar 50-an tahun menghampiri stan, dan bertanya pada Fitta atau Nonon (dari FLP Bekasi) yang langsung memanggil saya. Beliau mengaku berasal dari Komunitas Radio (sebuah komunitas independen yang entah resmi entah tidak). Setua itu beliau masih siaran dan katanya akan melaporkan kegiatan di WBD ini termasuk beberapa stan yang menarik.

“Oh, iya, saya akan membacakan profil stan pameran termasuk Lingkar Pena ini.”

Aha! Saya mendapat peluang menjalin relasi lagi. Dengan bersemangat saya menceritakan kegiatan FLP secara umum, cabang-cabangnya, dan lain-lain. Beliau tertarik sepertinya. Dan berkata,

“Dari dulu saya sudah menulis. Sejak kelas 4 SD. Tapi sekarang sudah tidak menulis lagi. Yang jelas saya sangat mendukung kegiatan membaca dan menulis seperti ini. Forum Lingkar Pena ya … bagus. Bagus sekali.”

“Sekarang nggak nulis lagi? Dimulai lagi dong, Pak …” ujar saya.

“Ya … ya … saya akan menulis lagi.” begitu katanya. Dan ia pun berpamitan, setelah sebelumnya mengatakan akan menghubungi kami suatu saat nanti.

Beberapa orang yang bertanya untuk diri sendiri, mewakili instansi atau untuk kepentingan lain, mereka yang meminta ijin untuk mengambil gambar untuk koleksi atau membuat liputan, semuanya adalah peluang untuk menjalin dan melebarkan jaringan kepada komunitas lain. Sebuah peluang bagus sekali untuk lebih ‘memasyarakatkan FLP’, begitu pikir saya. Tetapi kemudian saya memperhatikan kondisi stan itu (yang sampai sore belum terpasang sebuah logo pun), lalu beberapa orang penjaga stan. Teringat Fitta dan Nonon yang beberapa kali memanggil saya untuk meladeni pengunjung (wajar sih, mereka memang anggota baru), atau Echa yang berkata, “Harusnya yang jaga stan itu orang-orang yang te-pe (=tebar pesona). Nggak kayak kita yang nggak bisa te-pe.” Betul juga, pikir saya. Sehingga pengunjung akan tertarik (atau nggak enak buat nolak dan akhirnya masuk), mendapatkan brosur, dan melihat bahwa FLP sudah membuahkan banyak sekali buku-buku. Saya ingat seorang perempuan muda yang berkomentar,”Jadi itu semua buku-buku dari penulis FLP?” sambil menunjuk kursi-kursi dan tembok yang dipenuhi buku. Itu belum semua, batin saya.

Selepas istirahat dan salat, saya berjalan-jalan berdua Nonon mengitari ruangan besar yang semakin panas karena mulai dipenuhi pengunjung. Walau tidak sepenuh ketika datang ke Bookfair, tapi saya benar-benar bersemangat. Rasanya seperti ada di surga … hehehe. Saya sangat suka berada di antara buku-buku dan orang-orang yang menyukai buku. Dan beberapa stan memang ditata dengan sangat menarik. Stan dengan penataan terunik menurut saya adalah stan klub penggemar Lord of The Rings (entah apa nama perkumpulannya) dan stan klub penggemar Karl May. Si penjaga stan LoTR bahkan mengenakan jubah abu-abu dengan tudung kepala yang dibuka, menghias pintu masuk dengan gerbang daun, memajang beberapa souvenir khas LoTR, buku-bukunya, dengan standing banner yang cukup besar. Demikian juga dengan klub Karl May, yang menebarkan buku-buku edisi lama dan baru, versi komik dan novel, terbitan dalam dan luar negeri, serta sebuah lantai kosong berwarna kotak-kotak hitam-putih (seperti lantai kamar mandi) dengan sebuah kakus mainan di atasnya dengan sebuah benda berwarna aneh menyerupai otak manusia. Tulisan di bawahnya kira-kira berbunyi “kalau tidak membaca maka otak anda seperti ini”. Saya cengengesan memandangi kakus itu. Hebat sekali idenya.

Begitulah. Kadang sebuah peluang akan pergi ketika kita tak cekatan menangkapnya. Tapi sekali lagi saya menyayangkan tidak adanya koordinasi FLP Wilayah DKI Jakarta dan sekitar untuk WBD ini (maksud saya secara resmi atau diprogram). Walau mungkin, menurut Koko, ini adalah tugas FLP Pusat, tapi saya sendiri menganggap wilayah DKI-lah yang seharusnya dengan otomatis merasa bertanggung jawab akan pengalihan tugas tersebut. Apalagi event seperti ini akan berulang tiap tahun. Bukan hanya itu, saya juga menyayangkan sedikitnya (atau bahkan tidak ada?) inisiatif pengurus FLP Wilayah DKI Jakarta dan sekitar (yang baru melakukan satu kali koordinasi atau pertemuan pembentukan atau apalah namanya, selama beberapa bulan sejak terpilihnya ketua) untuk berkoordinasi (mengenai hal ini dan lainnya) ketika sang ketua sedang berhalangan. Sayang sekali, ya. Tulisan ini sekaligus menegur diri saya sendiri. Bagaimanapun, ini kan amanah …. Semoga kita semua bisa berbuat lebih baik lagi.

Sama sekali nggak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 14.35 ketika saya melirik jam, dan saya langsung berlari kecil kembali ke stan FLP. Segera berpamitan ke seluruh penjaga stan FLP (yang sedang asyik duduk membaca buku, atau bengong), sebab jadwal bus Trans Bintaro yang akan lewat adalah pukul 14.50. Terlambat beberapa detik saja, maka saya harus menunggu lagi sampai sore. Kata Echa, “Tumben banget ada bus tepat waktu kayak gitu.” Saya pun memamerkan jadwal bus Trans Bintaro yang selalu saya bawa ke mana-mana. Lalu saya pun meninggalkan empat orang cewek manis itu. Echa dan Elshi harus menunggu Koko kembali dari Depok (katanya mau cetak standing banner), sebab penjaga shift kedua belum jelas. Sabar ya Cha, Shi, … kalian mustinya dapat penghargaan anggota FLP ter-rajin. Hehehe….


Menjadi Ruh

Sewaktu kuliah, sejak tingkat pertama saya mendapatkan amanah untuk menjadi bagian dari departemen pembinaan mushola fakultas. Tugas yang harus dilakukan adalah di antaranya menyelenggarakan event keislaman yang diadakan setiap awal semester perkuliahan. Pasca kegiatan itu, kami harus menangani beberapa kelompok mentoring di fakultas yang telah terbentuk. Menjaganya agar tetap stabil, merekrut anggota baru, dan melaksanakan kegiatan-kegiatan pendukung. Aktivitas di departemen pembinaan ini bisa dikatakan cenderung monoton dan tidak kelihatan. Sebab memang tanggung jawab kami adalah untuk menjaga seluruh anggota kelompok mentoring agama Islam supaya meningkat pengetahuan keislamannya, sekaligus melibatkan mereka dalam acara-acara kerohanian fakultas, baik dari lembaga manapun.

Saya ingat sekali, pada waktu disodori amanah tersebut, saya hampir menolak karena saya lebih suka mengerjakan pekerjaan yang sifatnya keluar, seperti yang dilakukan para anggota departemen pengkajian atau syiar mushola. Hobi saya menulis, mengerjakan pernak-pernik, membuat mading, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu sepertinya mendukung saya untuk berada dalam departemen pengkajian mushola. Tetapi akhirnya saya menerima amanah untuk menjadi bagian dari departemen pembinaan, untuk empat tahun masa perkuliahan saya di kampus.

Betul sekali. Hingga saya lulus dari kampus, saya tidak diperkenankan melepaskan amanah tersebut, bahkan ketika saya berkeinginan untuk bergabung dengan lembaga dakwah tingkat universitas. Memang tugas yang akhirnya saya emban semakin berat, sebab tidak saja menjadi anggota departemen pembinaan, melainkan juga akhirnya menjadi ketua forum mentor, dan amanah-amanah lain yang berkaitan dengan itu. Saya juga menyadari, bahwa amanah yang cukup berat seperti itu tidak bisa disambi dengan yang lain, sebab hanya akan menjadikannya terbengkalai.

Jenuh. Saya sempat merasakannya. Apalagi ketika posisi saya tidak lagi menjadi seorang ‘bawahan’. Menghadapi anggota yang sedikit malas, tidak mengerjakan amanah dengan baik, merasa tidak kreatif dan tidak memiliki ide untuk memecahkan masalah, dan setumpuk lainnya yang pastinya saya selalu hadapi. Empat tahun. Dan saya tetap bertahan. Bahkan saya menemukan sebuah lingkungan baru, walau masih dalam amanah yang sama, dimana ketua dan para anggotanya memiliki hubungan yang saya dekat. Saya menjadi bagian dari departemen pembinaan tingkat universitas. Saya selalu ingat, bahwa ketika akhirnya saya kembali menjadi ‘bawahan’, saya dan teman-teman pun terkadang membandel. Tapi si ketua sungguh memiliki cara sendiri untuk membuat kami makin mencintai amanah tersebut. Saya tidak pernah akan melupakan saat-saat terakhir menjalani amanah itu, hingga saya lulus kuliah, bekerja dan melepaskan amanah itu untuk kepengurusan selanjutnya.

Tahun 2004 akhir, saya mendapatkan amanah baru lagi, dalam bidang yang sangat berbeda dari yang pernah saya jalani di kampus. Tetapi keikutsertaan saya dalam organisasi ini sungguh merupakan hal yang saya sangat inginkan. Saya bergabung dengan Forum Lingkar Pena cabang Bekasi. Niat saya bergabung adalah ingin belajar dan menggali ilmu sebanyak-banyaknya dari pertemuan rutin yang biasa dilakukan. Tetapi ternyata Allah memberikan saya amanah yang cukup besar lagi kepada saya. Saya menjadi ketua FLP Bekasi. Membawahi kepengurusan yang langsung dibentuk setelah pembentukan kembali FLP Bekasi, dan melakukan perekrutan serta memberikan pelatihan kepada anggota baru. Berarti termasuk untuk diri saya sendiri.

Duduk melingkar di selasar masjid Islamic Center Bekasi setiap dua minggu sekali, membahas beberapa topik kepenulisan, membuat games dan simulasi seadanya, berusaha menjaga kuantitas peserta training, dan memberikan motivasi kepada mereka untuk menulis. Setahun pertama benar-benar tidak mudah. Kepengurusan pun direstrukturisasi ketika tengah tahun pertama karena ada beberapa yang tidak efektif. Anggota datang dan pergi, materi training diberikan dengan coba-coba sebab kurikulum dibuat sendiri, saya berjalan hampir terseok-seok dan merasa sulit sekali memberikan pencerahan dan pengembangan bagi organisasi ini.

Sempat suatu kali, ketika saya mengisi materi di pertemuan rutin itu, saya berada dalam kondisi yang nyaris ‘di bawah’. Saya merasa jenuh, sedikit kecewa dengan keaktifan pengurus yang hanya beberapa gelintir saja, namun harus dengan ceria menghadapi anggota yang masih antusias hadir dan menimba ilmu. Alhamdulillah, pada tahun pertama jumlah anggota yang rutin hadir sekitar lima belas orang. Dan itu berjalan cukup stabil, walau sempat berganti-ganti muka. Tetap saja, saya merasa stagnan dan nyaris tidak tahu harus berbuat apalagi untuk membuat organisasi ini lebih dinamis. Saya merasa sangat bosan.

Pada hari itu, malam harinya, saya merenungi kembali dua jam training yang telah saya hadiri di siang harinya. Saya sedang mencoba menata kembali hati saya dan berintrospeksi. Tiba-tiba saja sebuah sms masuk.

“Teh Vita, selama ini saya sering merasa jenuh dan tak bersemangat dengan segala kesibukan saya. Tapi hari ini saya sadar bahwa tugas seorang ketua sungguh lebih berat. Ia harus menjadi ruh bagi para anggotanya. Tetep semangat ya, Teh! Cayo!”

Saya tertegun cukup lama. Pesan itu datang dari Adnan, salah seorang anggota yang cukup komit dan sebenarnya cukup sering memberikan saya semangat seperti itu lewat sms. Kali itu Adnan bukan saja memberikan saya semangat, melainkan juga memberikan sentilan bagi diri saya.

Menjadi ruh. Istilah tersebut terngiang-ngiang terus-menerus. Dan saya tidak lagi merasa berat dan payah akan beban yang tadinya sempat membuat saya hampir ‘terjatuh’. Kalau saya bisa memberikan semangat kepada teman-teman saya di organisasi, dan apa yang saya sampaikan bisa menyuntikkan motivasi bagi mereka, sepertinya saya yang akan merasa benar-benar bahagia.

Memang benar, sebuah jamaah tidak akan bisa bergerak tanpa seorang pemimpin. Dan seorang pemimpin tidak akan bisa melaksanakan tugasnya tanpa jamaah yang taat kepadanya. Pemimpin selemah apapun akan mampu melakukan tugasnya bila dibantu oleh jamaah yang kuat dan mendukungnya. Dan saya perlu menambahkan, bahwa sebenarnya yang menjadi ruh bukanlah hanya seorang pemimpinnya saja. Bahkan seringkali ruh itu didapat dari para anggota yang, secara sadar atau tidak, turut andil memberikan semangat di kala pemimpin sedang lemah.