Halaman

Sunday, March 14, 2004

Kejujuran

Meraih sebuah impian dengan kerja keras, semua orang pasti sudah tahu. Mengejar cita-cita dengan keringat dan kepayahan, pasti sudah dimaklumi. Tetapi, mendapatkan sesuatu melalui kejujuran, entah kenapa hal ini sesuatu yang sulit dilakukan. Dan tiap kali ada yang berupaya mempraktekkannya, banyak kepala akan berkata,”Persetan dengan idealisme.”

Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk selalu berkata jujur. Dalam beberapa kisahnya dengan para sahabat. Beliau menerangkan soal iman dan Islam yang dikaitkan dengan kejujuran. Pentingnya hal ini menekankan bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk tidak hanya memakai otak dan segenap panca indera dalam berusaha. Melainkan juga dengan hati. Keberadaan hati yang bersih dari segala kotoran, akan membentuk mental yang kuat bagi diri orang tersebut dalam menghadapi berbagai persoalan.

Saya ingin mengkaitkannya dengan peraturan. Ada semacam slogan, entah guyon, atau memang prinsip yang sengaja dibuat mengenai peraturan. Bunyinya adalah “Peraturan dibuat untuk dilanggar”. Bukan hanya pelajar sekolah saja yang bersenang-senang dengan kalimat tersebut. Banyak manusia dewasa pula tak malu-malu turut mengusung slogan tersebut tinggi-tinggi. Sudah menjadi rahasia umum, kejujuran apalagi kedisiplinan menjadi barang langka yang bisa ditemukan saat ini.

Rajin mengikuti berita beberapa hari ini? Jangan dulu bosan. Karena masa kampanye baru dimulai. Lihatlah lebih dekat, maka sebelum kampanye dimulai pun, KPU sudah sibuk mencatat dan bersiap repot dengan beragam pelanggaran yang dilakukan oleh berbagai pihak. Hal biasa? Mungkin. Paling tidak, hal ini menambah deret ketidakpedulian oknum-oknum pelanggar aturan tersebut terhadap pentingnya sebuah kejujuran dalam upaya mencapai sesuatu. Terlepas dari apapun kondisi peraturan tersebut dibuat.

Bukankah amal dinilai tergantung dari niatnya? Dan ketidakikhlasan dapat menggugurkan sebuah amalan. Demikian dengan pahala, maka Allah menilai sebuah amal tidak hanya dari hasilnya. Melainkan juga dari prosesnya. Sebuah ketidakjujuran tidak lagi berurusan dengan apakah itu strategi politik atau upaya diplomasi yang harus dimaklumkan. Tidak jujur berarti berkhianat terhadap Allah. Jadi, pilihan tersebut ada pada diri kita.

Maret 2004, Pemilu

Tuesday, March 09, 2004

Warna

Ini semua persoalan warna. Maksud saya, setiap orang pasti memiliki warna pilihan masing-masing. Dalam pengertian harfiah, itu sudah tentu. Entah kecenderungan untuk satu warna, dua warna, atau malah tidak memiliki pilihan warna sama sekali juga sah saja. Tiap warna tersebut punya satu hal yang dinamakan kesan. Entah yang sangat mendalam, entah tidak. Atau mungkin juga ada yang memilih hanya karena alasan suka. Tidak ada embel-embel lain. Ini masalah kesukaan.

Warna dalam hidup membuat rona. Kehadirannya akan membawa arti tersendiri. Bicara soal standar, tiap warna menjadi simbol dari makna-makna yang diciptakan manusia. Merah itu berani, putih itu suci, biru itu cerdas, kuning itu cerah. Tidak hanya itu tentu. Makna lain juga berkembang menyertai keberadaan warna. Merah itu marah, hitam itu gelap, putih itu polos, cokelat itu sederhana, dan sebagainya. Bicara soal warna dan manusia, maka tiap manusia telah memilih untuk memaknai rona mereka masing-masing.

Begitu juga hidup. Warna bagaikan jalan hidup yang dipilih oleh tiap manusia. Seperti juga satu hal yang menjadi kesukaan, ia bisa berganti dan bisa pula tidak. Ada yang menetapkan dengan sangat fanatik bahwa mulai sekarang hingga selamanya ia akan selalu memilih satu warna saja. Atau bahkan ada yang setiap saat bisa menemukan berbagai warna yang berubah sesuai dengan suasana hatinya. Dan mungkin ada pula yang dilanda kebingungan untuk mencenderungkan hati memilih mana warna yang menurutnya paling disukai. Juga ada yang sama sekali tidak mau memilih warna manapun, akibat tak berani menentukan pilihan. Yang jelas, ini semua persoalan hati. Pilihan itu menentukan jati diri. Begitu kira-kira kalau bisa disebut.

Ada yang mengatakan bahwa, memilih partai sama dengan memilih jalan hidup. Tapi banyak pula yang menyatakan bahwa tidak memilih partai tertentu berarti kebebasan. Tentu saja, tiap pilihan berbuahkan konsekuensi. Kenyataan pahit atau manis yang harus dihadapi. Menetapkan pilihan pada partai tertentu, berarti mengetahui segala konsekuensi yang berkenaan dengan pilihannya tersebut. Siap menerima kekalahan, atau punya mental untuk menghadapi kemenangan. Siap untuk dikenal, dikomentari, disorot, jadi pusat perhatian, dikritik, dicemooh, bahkan sampai dihujat. Atau mungkin berlapang hati bila ternyata tak satu pun atau sedikit sekali perhatian yang berhasil diraup walau usaha sudah jor-joran.

Demikianlah kehidupan. Tiap detiknya punya warna. Ia muncul karena diminati. Ia mencuat karena diangkat. Ia tergeser karena disenggol. Dan ia jatuh karena punya musuh. Selayaknya sikap seorang pemilih warna, mungkin hanya dirinya yang dapat melihat keindahan dan keelokan dari warna tersebut. Dan tak perduli cemoohan orang lain yang punya pendapat lain tentang pilihannya. Atau bila ia bukan hanya seseorang yang bisa memilih namun juga memperjuangkan warna pilihannya, maka bukan tak mungkin kemudian ia bisa membalikkan dunia untuk bersama-sama melihat warna tersebut lebih dekat, mengakui keindahannya, dan akhirnya menetapkan warna tersebut menjadi pilihan mereka.

Tidak ada sesuatu yang mustahil. Begitu yang seharusnya menjadi tiupan semangat dalam diri masing-masing kita. Sesuatu yang kecil sekarang, bisa jadi besar di masa datang. Mimpi hari ini adalah kenyataan esok hari, begitu ungkapan seorang ulama besar. Jadi, tak ada salahnya untuk memulai niat memilih satu warna kesukaan. Atau bila sudah memiliki pilihan, maka kuatkan keyakinan bahwa memang itu yang terbaik dari yang ada. Kehidupan adalah warna, apapun pilihan kita.

[Maret 2004, Pemilu]

Monday, March 08, 2004

Tergiur

Ini bukan salah siapa-siapa. Memang sudah aturannya begitu. Yang kuat akan menang, dan yang lemah akan kalah. Ini bukan perkara uang, melainkan juga kecerdasan dalam membuat dan melaksanakan strategi perang. Sudah bukan rahasia lagi, yang cerdas maka dia lah yang akan juara.

Kadang-kadang, orang akan dengan mudah memaklumi sebuah perbuatan. Yang walaupun salah, namun sebuah kalimat yang terlontar entah mengapa akan langsung menjadi kata kunci untuk segera mengiyakan. Kalimat tersebut adalah “Kalau sudah kepepet, mau apalagi.” Atau “Ah, semua orang juga melakukan itu. Itu kan hal yang wajar.” Sepertinya tiap tindakan ada kata kunci untuk memakluminya. Lantas, bila semua tindakan dimaklumi, bagaimana cara kita memisahkan mana yang benar dan mana yang salah?

Tak jarang juga, orang akan tergiur dengan pemakluman tersebut. Apabila ia melihat bahwa, semua orang tak mempermasalahkan sebuah perbuatan yang dilakukan oleh si A. Mungkin karena cara atau perbuatan tersebut sudah si A lakukan selama berpuluh-puluh tahun, dan akhir-akhir ini banyak yang “menyadari” bahwa perbuatannya membawa ketenangan jauh daripada yang mereka rasakan sekarang. Lalu semua orang berpikir bahwa mereka lebih suka dengan apa yang dilakukan oleh si A sejak dulu. Tak lagi peduli, apakah sejak dulu si A sebenarnya sudah melakukan sederet kesalahan yang menimbulkan penderitaan bagi banyak orang. Tak lagi peduli, karena ternyata pemakluman itu jauh lebih dahsyat efeknya sekarang.

Masalahnya bukanlah apakah sebuah tindakan itu dimaklumi atau tidak dimaklumi. Kalau soal pemakluman, konformitas agaknya sudah menjadi tabiat manusia. Namun sebagai seorang muslim, saya tegaskan sekali lagi bahwa sebagai seorang muslim, indera mata dan mata hati kita harusnya terbuka lebar. Tak lagi melihat sesuatu sebagai hal yang dimaklumi orang atau tidak. Melainkan, sebuah tindakan itu benar atau salah. Ya, sesederhana itu.

Setiap manusia punya hati untuk menilai sebuah perbuatan itu benar atau salah. Hal itu lebih gampang dilakukan daripada harus bertanya ke orang-orang, apakah perbuatan tersebut dimaklumi atau tidak. Segampang itu, sebab itu tanyalah kepada hati kita sendiri. Yah, tetapi Allah memang menutup pintu hati bagi yang tidak mau membukanya. Maka jangan heran apabila banyak pula manusia yang tidak bisa menjawab, apakah perbuatan yang dilakukannya itu salah ataukah benar.

Ini bukan salah siapa-siapa. Semua orang punya cara sendiri-sendiri untuk meraih kemenangan. Tetapi, apakah kita harus meniru perbuatan yang jelas-jelas salah menurut apa yang diajarkan Islam, selagi kita bisa berbuat yang benar?

[Maret 2004, Pemilu]