Halaman

Wednesday, July 05, 2006

Menjadi Orang-orang yang Dewasa

Ketika saya masih kecil, kabarnya kedua orang tua saya kewalahan menjawab segala macam pertanyaan yang saya ajukan, seringkali berturut-turut. Kadang, seingat saya, ada beberapa pertanyaan yang tidak dijawab karena ayah atau ibu saya tidak tahu cara yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi mereka biasanya berusaha menjawabnya, walau mungkin tidak dengan jawaban yang tepat atau tidak memuaskan saya. Begitulah anak kecil, dan sepertinya sekarang ini kelakuan anak-anak kecil sudah semakin luar biasa. Dalam hal positif atau negatif? Saya tidak mau bersilat lidah dengan ada atau tidaknya batasan yang jelas tentang 'alat ukur' ini, maka saya katakan dengan jelas bahwa sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang yang seharusnya digunakan oleh setiap muslim di dunia: Islam.

Menjadi orang tua, atau orang yang lebih tua dari anak-anak itu, kadang memang merepotkan. Malah seringkali berita-berita tak enak seputar kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak terjadi hanya gara-gara masalah sepele: kurangnya kedewasaan si orang dewasa tersebut dalam menyikapi permasalahan hidup. Misalnya soal pekerjaan, urusan perut, masalah rumah tangga, dan sebagainya. Persoalan-persoalan yang menuntut penyelesaian segera, namun karena berbagai kondisi tidak bisa dituntaskan. Akibatnya, orang-orang dewasa yang bermasalah tersebut jadi stres, dan kemudian melampiaskannya pada yang ada di sekitarnya, termasuk anak-anak mereka sendiri. Bukankah itu ciri-ciri ketidakdewasaan? Modal akal dan hati yang dikaruniakan oleh Sang Pencipta Alam tentunya bisa digunakan untuk mencari penyelesaian yang tepat, dan sesuai dengan syariat agama. Tetapi ciri-ciri ketidakdewasaan tadi itulah yang menghambat. Mudahnya tersulut amarah, tidak bisa mengendalikan emosi, melampiaskannya pada hal-hal yang tidak benar, terperosok dalam kemaksiatan. Hal-hal itu bukan barang baru lagi di masyarakat kita. Sungguh menyedihkan.

Sepertinya pola hidup masyarakat kita sudah terbentuk pada suatu lingkaran yang itu-itu saja. Kriminalitas dan apa saja yang berbau maksiat begitu dekat dan sering dihubung-hubungkan dengan level paling bawah dari lapisan masyarakat. Walau tindakan tersebut juga bisa saja dilakukan oleh orang-orang yang berlevel atas, dilihat dari sisi kemapanan ekonomi. Mengambil sesuatu yang bukan milik sendiri, mengadu domba, saling menjatuhkan, berebut kekuasaan, dan berbagai hal yang mencerminkan keburukan akhlak. Padahal orang-orang dewasa tersebut sama saja semuanya, sama-sama memiliki akal dan hati nurani. Dua anugerah yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Akibat dari ambisi-ambisi tersebut, kadang, mengakibatkan mereka bersikap kekanak-kanakan.

Entah berapa banyak jumlah orang-orang yang butuh pengingatan dari orang lain. Butuh nasehat supaya tak tersesat. Butuh bimbingan supaya tak salah arah. Butuh pegangan supaya berjalan lurus. Apalagi? Sudah pasti jawabannya adalah kembali kepada agama. Dan menanamkan nilai-nilai Islam sejak masih dalam kandungan (baca: sedini mungkin) adalah kiat yang paling jitu untuk menghindarkan terbentuknya generasi yang kekanak-kanakan seperti ilustrasi di atas. Dengan mematuhi apa yang Allah turunkan, segala macam persoalan pasti selesai. Karena memang aturan-aturan dalam Islam sangat sesuai dengan fitrah manusia. Mencari solusi yang tepat atas semua permasalahan? Kembali saja kepada Islam. Sayangnya, sejak entah berapa waktu lampau, sudah tak terhitung lagi jumlah upaya-upaya yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk menjauhkan kita semua dari Allah. Mencoba mengisolir para remaja dari agama, menyuguhkan berbagai godaan yang sudah pasti lebih enak dinikmati ketimbang bersusah payah meraih jalan ke surga, membalut kaum muslimin dengan gemerlapnya dunia modern dan menghembuskan bujukan supaya meninggalkan agama sebab hal itu dipandang kuno. Sampai hari kiamat, musuh-musuh Allah itu tidak akan berhenti berupaya. Percaya saja.

Satu contoh kecil, yaitu enggannya orang-orang untuk memberi dan menerima nasehat. Dengan dalih kehidupan masing-masing adalah privasi, tidak ada waktu untuk saling bertanya-jawab soal agama, dan sebagainya. Padahal aktivitas memberi dan menerima nasehat sama dengan memberi nutrisi bagi jiwa kita, yang seharusnya selalu menjadi panglima yang menunjukkan mana kebenaran dan mana kebatilan.

Tapi saya memilih untuk tidak skeptis terhadap hal ini. Bagaimanapun buruknya kondisi umat islam sekarang ini, pasti masih ada orang-orang yang mau merendahkan hatinya untuk bisa menerima nasehat dari siapa saja yang bersedia menasehatinya.

Kemarin malam, saya mendapatkan pesan di handphone saya. Pesan tersebut dikirimkan oleh paman saya dan ditujukan kepada ayah saya. Pesan itu kemudian diteruskan oleh ayah saya kepada saya. Bunyinya begini:

"Insyaallah mulai minggu depan aku belajar ngaji lagi sama gurunya Raihan. Ngobrol sama dia, Raihan bilang katanya banyak orang yang sudah berumur belum bisa baca Alquran tapi malu mau belajar karena ngerasa terlambat dan udah ketuaan. Padahal, kata dia, banyak orang lupa, Alquran itu diturunkan untuk orang tua. Waktu pertama diturunkan, Rasul SAW berusia 40 tahun kan? Subhanallah…ayo belajar ngaji!"

Raihan adalah anak dari paman saya itu, dan ia berusia sekitar 9 tahun. Subhanallah … Maha Suci Allah yang telah menganugerahkan kedewasaan kepada Raihan (yang dengan berani menasehati orang tuanya) dan kepada paman saya (yang dengan lapang hati menerima nasehat dari anaknya).

No comments: