Halaman

Tuesday, August 31, 2004

Cintai Aku Hari Ini...

eramuslim-Publikasi: 31/08/2004 08:40 WIB

Hari ini mungkin akan ada tangis lagi.
Walau sampai habis air mata, tapi tak mengapa.
Karena aku mengiba cinta.


Pernah merasakan kerinduan yang teramat sangat? Kerinduan untuk mendapatkan cinta. Saat itu seolah hati merana tak berjiwa. Seperti hampa. Tak berdaya. Namun kehidupan ini memaksanya untuk tetap ada.

Kemarin, saya melihat seorang anak menangis di hadapan ibunya. Ia sepupu saya sendiri. Beberapa menit sebelum tangisannya, si ibu memarahinya. Dan hampir juga memukuli. Baru kutahu bahwa si ibu telah meninggalkannya seharian penuh. Entah ke mana. Ia ditinggal di rumah hanya berdua dengan pembantu. Seperti biasa setiap kali ibunya pergi. Ibunya berkata, ia makin hari makin nakal. Baginya, bila ia telah sanggup menyampaikan rasa, hari itu ia rindu ibu.

Setiap diri kita pasti butuh cinta. Dan kebutuhan itu terlihat nyata dari perilaku kita, ataupun tersembunyi lewat kata. Entah dinyatakan secara jelas, entah sekedar tersirat hadirnya. Mungkin pula hanya berupa rasa rindu yang menggelora tanpa kuasa meminta. Cinta itu fitrah adanya.

Beberapa waktu lalu, saya pernah berselisih dengan seorang sahabat yang telah saya kenal semenjak sepuluh tahun lamanya. Menurut saya, ia telah melakukan kesalahan, dan saya menegurnya. Menurutnya, ia hanya mengikuti kata hatinya, dan tak rela atas teguran saya.

Saat itu saya berpikir, kalau hari itu tak saya tegur ia, maka saya telah berdosa karena telah membiarkannya larut dalam perasaannya sedang ia tak memperhatikan lagi batas perilakunya. Saya tak lagi sempat berpikir bahwa mungkin saja ia telah salah menangkap maksud saya. Padahal saya hanya ingin memberitahunya sesuatu, bahwa saya cinta. Semua perkataan saya, adalah cinta saya kepadanya.

Seringkali tak sanggup diri kita untuk memperhatikan lagi rambu-rambu dalam bercinta. Oleh sebab perasaan itu telah kuat adanya. Otak ini serasa beku tak kuasa, sedang hati telah terguratkan olehnya.

Ada seorang istri yang marah pada suaminya. Setiap kalimat yang keluar darinya, tak lain hanyalah cercaan belaka. Ia berkata, tak lagi ada rasa percaya. Kita yang mendengarnya, mungkin akan berpikir bahwa ia tak lagi cinta. Tetapi nyatanya tak seperti itu. Sebab waktu akan membuktikan bahwa rasa itu tetap ada. Saat suaminya jatuh sakit, terlihat dari kecemasannya. Saat suaminya terlelap lelah dalam tidurnya, ia memperhatikan dan setia di sampingnya.

Kadangkala, kalimat yang kita ucapkan tak melulu mewakili perasaan yang sebenarnya. Seringkali hati lah yang bisa berbicara, namun mulut ini tak sanggup mengutarakannya. Keinginan untuk dicintai itu telah terpendam jauh di pelosok kalbu.

Kepada manusia, kita telah melakukan apa saja untuk mendapatkan cinta. Dari ayah dan ibu kita, teman dan sahabat, suami, anak, istri, dan siapa saja yang dekat dengan diri kita.

Kepada Sang Pencipta, apakah kita berlaku hal yang sama? Andaikan begitu lemah kita menyampaikan rasa, bagaimana kita meminta kepada-Nya? Bukankah segala pinta tersampaikan lewat doa?

Walau hanya sebatas satu kalimat yang terlantunkan dari hati,
Ya Allah, cintai aku hari ini...

Thursday, August 19, 2004

Secepat Angin

Publikasi: 18/08/2004 09:19 WIB
eramuslim -

duh,
memang manusia seolah tak pernah bisa bersyukur atas apa yang ia miliki dan apa yang sedang ia alami. Yang kaya akan merasa masih miskin, yang miskin tak pernah merasa kaya. Yang senang selalu berkeluh seolah menunggu susah, yang menderita tak pernah membuka mata.


duh,
waktu seperti berjalan lambat-lambat kala hal yang tak diinginkan sedang bersama, dan ia seolah berlari secepat angin bila senang hati mengalami hari.


Mari berbicara mengenai rasa syukur. Hari ini, saya menyadari bahwa tak pernah ada sesuatu yang benar-benar bisa memuaskan hati seorang manusia. Entah karena memang hal yang diperolehnya tak sempurna, entah karena memang serakah adalah sifatnya. Tak memiliki harta, ia tak puas. Setelah diberi, tak pernah tercukupi. Dan hari ini saya menyadari, saya pernah dan mungkin masih menjadi bagian dari golongan serakah itu, hingga kini.

Mari lihat seberapa besar seorang manusia bisa mensyukuri. Kala ia senang, berteriak, melonjak, berseru gembira, berhura-hura, lalai, lupa, semua seakan tak ada habisnya. Namun bila hadirlah duka, maka tak lupa ia mengumpat, memaki, mencaci, menyesali, meratapi, seolah ia lah manusia yang paling menderita dan nyaris mati.

Pernahkah kita semua, sekejap saja, sekedar mengucapkan syukur untuk keberkahan yang telah hadir hari ini? Apabila kita lupa untuk melakukannya kemarin, andaikan kita takut untuk menjadi manusia yang lupa diri. Lakukanlah hari ini, saat ini, sekarang juga. Sebab kita tak pernah tahu, kapankah terbersit keserakahan itu lagi. Kapankah syetan akan menyelip di sela hati, hingga mengikis habis amal yang telah dengan lelah dilakukan selama ini.

Beberapa hari lalu, tak sabar rasanya ingin menikmati komputer di tempat kerja idaman hati ini.
Kedua belah tangan serasa gatal tak henti,
dan otak ini menyuruh-nyuruh saya untuk segera mengetik setiap ide yang terlintas di kepala. Takut ia lekas pergi.


Kini, benda itu sudah di hadapan, namun mengapa otak terasa kosong, sepi, senyap, empty, tak ada inspirasi.

Maka, keluarkan selalu rasa syukur dari hati. Bahwa setiap jengkal kenikmatan yang telah kita peroleh, ataupun ia yang masih mengawang sebagai mimpi, kelak akan sampai juga bila Ia menghendaki. Maka tetaplah menjadi seseorang yang selalu mensyukuri, sebab kita tak pernah tahu sampai kapan kenikmatan itu akan dilalui. Bisa jadi ia cepat pergi, seperti angin yang berhembus dan berhenti tanpa permisi.

DH Devita

Wednesday, August 18, 2004

Bekas Keindahan

Malam itu, saya merasa benar-benar beruntung. Beruntung telah berhasil menarik-narik diri ini untuk menyempatkan diri mengikuti acara MABIT di masjid Al Azhar. Seingat saya, siang harinya saya begitu malas pergi, sebab tidak ada satu pun teman yang bisa meluangkan waktu untuk bersama ke sana. Tengah hari bolong, panas pula, saya harus sendirian menuju tempat acara, tak ada teman, malasnya! Tetapi ternyata saya berhasil mengalahkan kemalasan itu, dan hadir juga di sana. Walau sendiri. Mulai adzan ashar berkumandang, hingga maghrib tiba, saya masih sendiri, tak ada satu pun orang yang dikenal. Ah, peduli apa. Pikir saya waktu itu. Toh sejak kemarin, saya memang sudah bertekad untuk mengikuti acara yang satu ini. Yang rasanya cukup jarang saya ikuti. Tapi ruhiyah ini sedang butuh, ia merintih pula, maka saya harus pergi. Itu tekad saya sehari sebelumnya.

Malam itu saya seolah mendapati kesejukan baru, yang rasanya telah berhari-hari tidak saya rasakan. Jenuh, bosan, letih, lelah, dan seribu stagnasi perasaan yang mendera, padahal tak banyak yang telah saya perbuat dalam kurun beberapa bulan belakangan. Entahlah, satu malam di sana, seolah mengguyur segenap kotoran-kotoran yang telah bersarang dalam hati saya. Dan saya merasa benar-benar beruntung telah menjadi salah satu bagian dari jamaah yang hadir di sana.

Selepas isya, kajian dari ustadz Rahmat Abdullah memberikan saya pencerahan dan kerinduan akan masa lalu. Sejenak di sana, saya mengingat-ingat lagi kesibukan di rohis SMU dulu, lalu seru dan semangatnya menghidupkan nuansa Islam di kampus, kemudian saya bandingkan dengan kondisi saat ini. Ah, gersang. Itu sebuah kata yang mungkin paling tepat bisa menggambarkan lubuk hati saya terdalam. Belum lagi acara muhasabah serta qiyamullail yang lagi-lagi bisa membuat saya menangis. Walau mungkin hanya untuk melepas sebongkah ganjalan dalam hati ini, walau mungkin saya tidak mengerti.

Pagi hari, belum mandi, selepas subuh saya berencana untuk segera beranjak dari sana menuju tempat aktivitas lain. Tetapi perut yang lapar dan badan yang mulai terasa lengket memaksa saya untuk memutar otak mencari tempat persinggahan lain yang bisa ditumpangi mandi dan sarapan pagi. Akhirnya saya memutuskan untuk mendatangi RS Cipto Mangunkusumo, instalasi gawat darurat, lantai dua. Kantor kecil, sebuah LSM perempuan, yang pernah menjadi rumah kedua saya setahun lalu.

Ruang kecil itu, masih dengan kesederhanaannya. Saya tersenyum sambil mandi, ketika mengingat kembali betapa banyak memori yang terekam selama sebagian besar waktu saya habiskan di tempat itu. Setidaknya, setahun lalu saat beraktivitas membantu pelayanan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan di tempat itu, saya merasa dibutuhkan dan menjadi berarti bagi orang lain. Bagi mereka, klien-klien saya. Dan tadi malam, saat nyaris sendirian di tengah ratusan jamaah Masjid Al Azhar dan berdiri tegak waktu qiyamullail, tangisan saya seperti membuktikan bahwa saya tidak berarti apa-apa. Setidaknya, di hadapan-Nya. Ah, saya makin bersemangat untuk menjalani hari itu. Sebab bekas keindahan tadi malam tak mau hilang. Sebentar saya berandai-andai. Andai teman-teman saya yang lain juga ikut menghadiri acara semalam. Andai acara seperti itu sering-sering diadakan. Andai hawa sejuk ini tak hanya saya rasakan ketika di dalam masjid saja. Ah, sebentar lagi Ramadhan….

Setengah jam kemudian, secangkir sarapan pagi hampir saya habiskan. Sudah pukul setengah delapan, dan kami hanya berdua. Saya dan mbak Feri, dokter jaga. Seharusnya ada seorang lagi pekerja sosial yang jaga shift pagi. Yah, sudahlah. Toh saya tak lagi berwenang apapun di sana. Begitu pikir saya. Dan segera saya akan bersiap untuk berangkat. Masih dengan senyum dan perasaan senang hati. Rasanya pagi itu akan sangat cerah, dan seharian saya akan menerima kesejukan dan kesejukan lain di acara rutin hari Minggu. Senangnya.

Sesaat kemudian, tangan ini sudah siap menyandang tas untuk lekas pergi. Tiba-tiba, tok…tok…tok! Duh, ketukan itu lagi! Benar saja. Klien baru, datang bersama temannya, dengan wajah pucat setengah mengantuk. Mbak Feri menatap saya dan bertanya “Kamu bisa kan?”

Setengah delapan pagi, hampir gemetar saya duduk di ruang anamnesa. Berusaha mendengarkan dan mencatat semua yang klien katakan. Padahal saya begitu gugupnya karena sudah setahun lebih tak lagi biasa mendengar langsung “cerita-cerita seram” yang selalu ada saat anamnesa. Padahal hati saya waktu itu masih begitu sejuknya menikmati bekas keindahan tadi malam.

“Saya di diskotek hotel, mbak. Dari jam sepuluh, tadi malam.” Duh, waktu itu, tadi malam, saya asyik mendengarkan ustadz Rahmat Abdullah menyegarkan ruhani saya dengan ceramahnya.

“Baru pulang tadi pagi. Naik taksi. Langsung ke rumah teman.” Huh, memang dasar anak jaman sekarang. Sudah keluyuran semalaman, pulang pagi, menghamburkan uang pula dengan naik taksi.

“Kejadiannya apa? Pukul berapa? Dan di mana?” saya bertanya nyaris tak sabar. Lupa, padahal saya bisa mengetahui informasi itu dengan melihat surat pengantar dari kepolisian.

“Saya…saya diperkosa, mbak. Tadi subuh. Sekitar jam lima. Di pinggir jalan by pass.”

Pena saya nyaris terjatuh. Saya terpelongo, seakan belum pernah mendengarnya sebelumnya. Telinga saya mungkin tak siap dikotori pagi ini. Batin saya ingin menggenggam erat bekas keindahan tadi malam. Pikiran saya seperti masih ingin melambung bersama kesejukan-kesejukan itu. Duh, subuh tadi, saya masih berada di masjid, masih dengan isak tangis usai berdoa panjang bersama jamaah lain. Rasanya saat itu jiwa dan raga saya diangkat tinggi-tinggi, kemudian dibanting kuat-kuat ke tanah. Sakit.


Untuk mbak Anna Sakreti, untuk Rs dan Rt--adik-adik saya di PKT RSCM

18.08.2004

Thursday, August 12, 2004

Mengemas Rindu

Publikasi: 24/08/2004 08:39 WIB
eramuslim -

Biasanya, para pencinta selalu mengemas rindu mereka. Pencinta untuk apa dan siapa saja, rindu yang bagaimana saja. Kerinduan, adalah sebuah harta milik kita yang sederhana, namun artinya tak lebih sempit dari luas samudera. Kerap membawa keinginan tak sekadar beredar di khayalan. Namun kekuatan tekad untuk menjadikannya nyata. Mengemas rindu, menjaga cinta.

Kerinduanku, adalah akan hadirnya cinta. Seperti milik nabi Ibrahim, saat akan menyembelih anaknya. Seperti milik Ismail, yang mempersembahkannya hanya untuk Tuhannya. Seperti milik Yusuf, yang tak tergoyahkan oleh Zulaikha. Seperti milik mereka, dan mereka yang lain yang juga pencinta.

Kerinduanku, adalah akan kekalnya cinta. Tak seperti mereka yang menjualnya lantas mengatakan bahwa itu adalah pengorbanan. Tak seperti mereka yang menjadikannya harta namun diam-diam merusaknya. Tak seperti mereka yang menginginkannya hadir namun tak peduli lantas meninggalkannya.

Biasanya, para pencinta tak pernah lupa mengemas rindu mereka. Sebab pintu hati selalu terbuka kapan saja tanpa bisa dipegang kuncinya. Karena kita tak kuasa. Sebab bila tidak, ia akan mudah tergantikan begitu saja. Tanpa tahu alasannya.

***

Sebagai manusia, seringkali kita korbankan waktu dan tenaga sia-sia, untuk mengemas rindu yang tak ketahuan adanya, yang bukan rindu sebenarnya. Kerinduan itu disimpan baik-baik dalam hati, tak ingin ia lekas pergi. Sebab bila kerinduan itu hilang, maka cinta yang selalu diharap itu tak pula datang.

Kerinduan akan tahta, mengantarkan kita untuk menghamba pada dunia. Tak pernah puas, walau sudah melibas semua yang tertindas.

Kerinduan akan harta, menyebabkan kita buta. Tak peduli mengambil punya siapa, yang penting diri tak menderita.

Kerinduan akan cinta manusia, membawakan sengsara. Sebab yang ada hanya kecewa, kalau cinta tak dibalas cinta.

Bagaimana dengan milik kita?

Kalau setiap harinya selalu kita memuja yang fana. Tanpa menyadari bahwa Ia ada, melihat apa yang tak kita lihat, mengetahui apa yang tersembunyi, menguasai seluruh isi hati.

Kalau setiap saat kita tak pernah lalai mempersembahkan cinta, bukan untuk-Nya, melainkan untuk sesuatu yang tak bisa memberikan apa-apa. Juga tak punya kuasa.

Kalau hidup ini kita persembahkan untuk melayani mereka yang tak bisa memberi. Kalau rindu itu kita persembahkan untuk sesuatu yang hanya bisa menyakiti.

Lalu, untuk siapa kita mengemas rindu? Pernahkah kita mengemas rindu ini untuk-Nya? Apakah kita selalu menjaga cinta ini agar selalu berlabuh pada-Nya? Sedangkan hati ini selalu penuh akan sesuatu, entah apa itu.

Lantas, rindu itu untuk siapa?

by DH Devita

Thursday, August 05, 2004

Berbagi Ion Positif

Hari yang indah, sayang kalo dilewatin hanya dengan menggerutu ato berbagi kesialan dengan orang lain.

Untuk hari yang tak terlalu indah, pun hari yang tidak indah, berbagi kemarahan serta berbagai perasaan yang tidak enak pada orang lain, mungkin adalah hal yang sangat disayangkan.

Ini pengalaman pribadi aja,
waktu saya memiliki masalah yang bisa dibilang cukup berat, seharian rasanya pengen banget teriak-teriak atau banting-banting sesuatu.
Tapi tiba-tiba saya ingat, ups...nggak boleh marah...nggak boleh marah...nanti skor 'emotional quotient'nya turun...nggak boleh marah...tenang...tenang. karena saya merasa pada tahun ini, kecerdasan emosi saya mengalami perbaikan. Jadi rasanya, prestasi itu harus dihargai dengan cara menjaga dan meningkatkannya supaya jadi lebih baik lagi.

Kemudian, saat 'down' begitu, saya diberi kesempatan bertemu secara 'maya' dengan beberapa teman, yang ternyata memiliki permasalahan yang tak kurang beratnya dibandingkan dengan yang saya miliki. Saat itu, ternyata saya dimintai nasihat serta saran terhadap berbagai masalah yang sedang mereka alami. Secara otomatis saja, saya memberi saran, berkomentar, menenangkan mereka, dan sampai akhirnya saya lupa bahwa hari itu adalah hari yang berat untuk saya sendiri, oleh karena masalah yang juga sedang saya alami.

Hal ini terjadi beberapa kali. Tiap saya pikir saya akan mengalami hari yang buruk, ternyata saya diberi kesempatan untuk menemui atau berbincang dengan orang lain yang juga memiliki hari yang buruk, disebabkan oleh masalah yang sedang mereka hadapi.

Dan kemudian saya mulai berpikir,
alangkah senangnya, karena ternyata saya bisa mendatangkan manfaat pada orang lain, kala saya sendiri pun sedang kesusahan. Alhamdulillahirobbil'aalamiin....segala puji bagi-Nya yang telah memberikan saya kekuatan itu.

Satu hal lagi,
ternyata membagi diri saya untuk orang-orang lain yang saya sayangi malah menambah kekuatan dan semangat baru dalam diri saya, walaupun saat itu saya nyaris 'terjatuh' cukup dalam.

Jadi, rasanya saya harus banyak-banyak berterima kasih pada teman-teman saya itu, yang telah memberikan 'pencerahan' pada diri saya.

Ya, saya akui. I need to be needed.

Senang sekali rasanya bila punya banyak teman! Karena dengan mereka, saya akan selalu bisa belajar untuk senantiasa berbagi 'ion-ion positif' bahkan di saat diri saya sedang penuh oleh 'ion negatif' sekalipun.(ups...perumpamaan yang ngebingungin ya? biarin aja!)