Halaman

Friday, April 15, 2005

Friendly Listening, Effective Listening, Good Listener

image hosted by Photobucket.com
Saya kenal dengan seseorang, yang beberapa bulan belakangan hubungan saya dengannya bisa dibilang cukup dekat. Sering curhat atau berbagi masalah pekerjaan dan lain-lainnya. Tapi ada satu hal yang mengganjal darinya, yang saya rasakan sejak bulan pertama saya mengenalnya.

Ia yang tak pernah menanggapi setiap percakapan dengan antusias.

Terus terang, saya cukup terkejut ketika pertama kali menemukan sifatnya ini. Oh, mungkin dia nggak 'ngeh' dengan perkataan saya barusan. Begitu awalnya saya pikir. Tetapi ternyata kejadian itu terus berulang, dan saya menemukan bahwa sungguh sulit untuk membedakan manakah 'tema' atau 'topik' pembicaraan yang dapat ia tanggapi dengan antusias. Setidaknya menanggapi dengan beberapa patah kata yang dapat mencerminkan bahwa ia mendengarkan apa yang barusan saya katakan, seperti “Oh ya?” atau “Masa sih?” atau “Kalau menurutku sih…”. Saya yang biasanya menceritakan sesuatu dengan gaya, mimik, dan ekspresi menggebu-gebu, akhirnya harus puas mendapat ‘sambutan’ sekedar cengiran atau malah tanpa ekspresi sama sekali darinya. Wah, garing lagi nih gue…, begitu berkali-kali batin saya mengeluh.

Saat saya pernah berniat ‘membalas’ sikapnya tersebut, saya selalu menanti-nanti kesempatan itu dan memperhatikan cermat kapan dapat melakukannya.

Suatu kali, saat ia sedang menceritakan tentang suatu hal yang dialaminya di kantor, saya tersenyum dalam hati. Wah, saat yang tepat nih…, begitu pikir saya. Namun, ternyata sepanjang ceritanya mengalir, saya memperhatikan dengan mimik serius, kadang mengangguk-anggukkan kepala dan mulut saya tak bisa untuk tak berkomentar, ”Wah, kalau menurutku sih, itu udah keterlaluan. Harusnya itu…blaa..blaa…” dan akhirnya dialog itu berakhir dengan pembahasan kami mengenai kejadian yang ia alami. Nyaris saya ingin menepuk dahi kuat-kuat. Kok bisa lupa sih! Kan harusnya saya nggak nanggepin dia! Gagal lah rencana saya kali itu.

Kejadian seperti itu terus berulang, sampai akhirnya saya menyerah. Ah, sudahlah. Saya memang nggak akan pernah bisa meninggalkan lawan bicara saya terdiam mangkel karena dicuekin. Sepertinya isi mata kuliah Intervensi Mikro dan pengalaman dua tahun jadi pekerja sosial di sebuah LSM perempuan masih terpancang kuat-kuat di otak dan hati saya. Saya selalu memposisikan diri saya, bahwa saya tidak akan suka bila lawan bicara saya tidak antusias menanggapi apa yang saya bicarakan, maka demikian pula sikap yang selalu saya upayakan setiap kali berbicara dengan orang lain. Terhadap lawan bicara yang paling tidak ingin saya temui sekalipun, minimal saya berbicara singkat dan menanggapi apa yang perlu ditanggapi, untuk kemudian menyudahi cepat-cepat pembicaraan dengannya. Sebab saya tak ingin ia menemukan raut tak enak dari wajah saya yang jelas-jelas kelihatan ketika menghadapi sesuatu hal yang tidak saya inginkan. Satu hal yang memang menjadi kelemahan saya, tak bisa ‘menyembunyikan’ perasaan.

Sudah banyak sekali yang berkomentar bahwa saya terkadang terlalu melankolis dan menganggap penting hal-hal kecil. Terlalu sensitif, begitu singkatnya. Oleh karenanya, saya bisa cepat ‘terluka’ bila menghadapi sikap kasar atau tidak enak dari orang lain.

Pagi itu, saya merasa luar biasa lelah. Semalaman melakukan pekerjaan rutin di rumah yang cukup menghabiskan tenaga dan sekaligus pikiran saya. Biasanya, emosi akan meningkat tinggi bila kondisi fisik dan psikis sedang lelah. Dan itulah yang terjadi pada saya malamnya, juga di pagi harinya. Tanpa berpikir lagi, saya menceritakan apa yang telah saya alami pada malam hari itu kepada teman saya tersebut. Nyaris secara detil, sebab malamnya saya hanya sempat mengirimkan sms padanya, menyebutkan secara singkat bahwa saya sedang kesal malam itu, sampai menangis pula. Belum sempat saya selesaikan cerita saya, ia sudah berkomentar, ”Cuma gitu doang, sampe nangis segala…itu sih aku tiap hari juga ngerasain.” Dan ia melanjutkan perkataannya dengan menjelaskan bahwa ia juga mengalaminya tiap hari dengan kadar yang lebih besar lagi, jadi menurutnya ini bukan suatu hal besar.

Untuk beberapa detik, saya terbengong. Sampai akhirnya saya tetap menceritakannya sampai habis, dan ternyata tanggapannya tetap sama.

Oke deh, garing lagi nih gue…. Ya sudahlah…mungkin lain kali saya tak perlu sering-sering curhat pada tipe orang sepertinya. Mungkin memang tidak semua orang bisa menjadi pendengar yang baik, menjadi friendly listener. Sebab hal itu memang memerlukan sebuah kepribadian dan keterampilan yang cukup sulit, terutama bagi tipikal orang yang tidak terbiasa untuk berbagi hal-hal kecil dalam keseharian.

Satu hal penting yang perlu saya upayakan dengan keras: lapangkan hati.

2 comments:

Anonymous said...

dear, jika diriku ditanya apa kabarnya hari ini, pasti ada untai jawab "Alhamdulillah, luar biasa" dengan semangat.

Sungguh, hari ini luar biasa, karena sudah dapat panasea hati, gundah ini ada jawabnya. Jelas diammu karena ulah ini. Duh..

Sungguh, hari ini luar biasa, karena sudah diberikan sebuah 'cermin' utuh tentang perilaku ini. Yang jelas-jelas membuat yang lain luka, gulana dan tidak nyaman. Astagfirullah.

Ada yang tulus mengulur pinta "Afwan", "Maaf", karena sudah berlaku demikian. Mudah-mudahan diperkenankan stok maafmu berkurang.

Ada yang tulus mengucap syukur, "Makasih", karena sudah diingatkan. Thanks dear.

Ada yang teringat dengan ucapannya Ali ra bahwa "Teman terbaik adalah teman yang membuat perilaku kita baik, bukan yang hanya membenar-benarkan perilaku kita".

Oke dear, sebentar lagi akan ada jarak :(, bertemu dengan mu mungkin tinggal beberapa hari lagi :(, tapi mudah2an bukan berarti retak. Dan taushiyahmu hari ini menjadi bekalan berharga untuk kayuh hidup yang akan terarungi ke depannya. Keep my best friend yah... Keep in touch.

The most important : I love u cause Allah.

~diam adalah emas, tapi ternyata tak selamanya. kalo diriku ada salah jangan diam yah, tembak saja. Pis.

DH Devita said...

hmm...alhamdulillah bila tausiyahnya sampe juga.

diam itu karena nggak sanggup untuk berurai-urai dengan kata, sedangkan kondisi hati dan pikiran lagi nggak baik untuk menyampaikan dengan lisan.

so, mari sama2 berbenah diri.