Halaman

Wednesday, January 19, 2005

Biarkan, Bila Jatuh ke Jurang

Seringkali, keraguan yang menggelayuti hati menyebabkan seseorang tak berani bertindak atau mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu. Dan hal itu pula yang menyebabkannya terhambat, dan mungkin pula terlambat dalam mendapatkan hal yang dituju. Ini bukan hanya masalah ketakutan dan keraguan untuk memilih atau menentukan sikap. Ini juga mengenai ketidaksiapan mengalami kekalahan atau kegagalan.

Saya pernah kenal dengan seseorang, ia menceritakan kepada saya mengenai hal-hal yang ia inginkan. Pada sebuah hal yang menjadi keinginannya, ia memiliki sejumlah kriteria yang menurutnya harus dipenuhi. Bila ada satu atau dua hal saja yang tidak terpenuhi, ia tidak akan mau menerima hal tersebut. Mengenai kriteria, tak asing lagi bahwa setiap diri kita pasti menginginkan hal yang terbaik yang akan diperoleh. Oleh sebab itu, memiliki segala macam kriteria dalam meraih sesuatu, menjadi suatu kewajaran. Kalaupun tidak akan sempurna, setidaknya kriteria-kriteria tersebut mewakili upaya untuk mencapai kesempurnaan. Maka, setiap ketidaksempurnaan yang ditemui, seharusnya pun diterima dengan wajar.

Pernahkah kita menjadi seorang yang begitu perfeksionis? Merencanakan segala sesuatu dengan rapi, teliti, penuh aturan, seakan takut sesuatu yang akan dilakukan tersebut tidak berhasil atau memperoleh hasil yang jelek. Perencanaan adalah sebenarnya sebuah upaya untuk membantu hal-hal yang akan dilakukan supaya mencapai hasil yang baik, sesuai dengan tujuan semula, sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Perencanaan adalah sebenarnya salah satu alat ukur terhadap sebuah aktivitas. Keberhasilan maupun kegagalan adalah sebuah hasil yang penting untuk diketahui, namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana proses aktivitas tersebut dilalui. Bagaimanakah niat yang ada di hati ketika aktivitas tersebut dijalankan? Hikmah apa yang telah didapat dalam menjalankan aktivitas tersebut? Seringkali, keberhasilan yang diperoleh meninggalkan bekas yang membahagiakan. Disebut-sebut, dibangga-banggakan, dan lama sekali baru terlupakan. Namun bila yang ditemui adalah sebuah kegagalan…entah apa reaksi yang terjadi. Dan bekasnya? Bisa jadi ingin dihapus dari ingatan segera. Padahal di baliknya, terdapat suatu hal yang demikian berharga. Kadang kita lupa, betapa kegagalan dapat menjadi sebuah pelajaran yang tak ternilai.

Suatu kali, saya pernah merasakan frustrasi. Sebabnya adalah saat itu saya benar-benar merasa tidak bisa menulis. Setiap tulisan yang saya buat rasanya benar-benar tidak layak untuk dimuat di media manapun. Pendapat orang lain yang mengatakan sebaliknya, tak pernah saya pedulikan. Rasanya tangan ini benar-benar lumpuh dan tak mampu menulis lagi. Untuk sekian waktu yang cukup lama, benar-benar tidak ada satu buah tulisan pun yang berhasil saya selesaikan. Waktu itu, entah apa sebabnya, saya pikir bahwa selama ini saya memang tidak bisa menulis dan tidak cocok menjadi seorang penulis. Baiklah, pikir saya waktu itu, saya tidak akan menulis lagi. Benar saja, selama bertahun-tahun kuliah, tidak ada satu pun tulisan yang saya kirimkan ke media.

Namun akhirnya saya tergelitik juga untuk sedikit merenungkan sikap saya saat itu. Memutuskan untuk tidak pernah lagi menulis? Rasanya hal agak mustahil, pikir saya kemudian. Saya pun mencoba mengingat-ingat lagi, kira-kira apa penyebab dari keputusasaan saya pada saat itu. Semenjak pertama kali tulisan saya dimuat di sebuah majalah, rupanya sudah sekian banyak tulisan-tulisan berikutnya yang saya kirimkan ke majalah tersebut, sampai kira-kira setahun setelahnya. Namun tidak satu pun dari tulisan yang saya kirim dimuat. Oh, rupanya itu yang menyebabkan saya memutuskan untuk berhenti menulis.

Apakah satu buah tulisan yang telah dimuat sudah mencukupkan diri saya untuk terus belajar? Lalu menganggap diri ini sudah bisa menulis, kemudian menutup mata dari kenyataan bahwa satu tulisan saja tidak cukup untuk menjadi sebuah proses pembelajaran. Bahwa setiap tulisan yang gagal muat sebenarnya mengandung pelajaran bahwa saya tidak seharusnya mengulang kesalahan yang mungkin saya buat ketika menuliskannya. Bahwa seharusnya saya bisa lebih banyak menulis untuk meningkatkan kemampuan. Bahwa pada saat itu saya terpaku untuk melihat peluang hanya pada satu titik saja.

Saya mungkin lupa, bahwa setiap keberhasilan memiliki jalannya sendiri-sendiri. Ada yang mulus, sekali dua kali percobaan langsung berhasil, oleh sebab memang dikaruniai bakat dan kemampuan yang baik dalam hal itu. Namun ada juga yang penuh liku, bahkan proses itu begitu panjang hingga harus melewati berkali-kali kegagalan. Saya mungkin lupa, bahwa setiap kegagalan memiliki hikmahnya sendiri-sendiri. Dan setiap kali dapat merenungi sebuah kegagalan, saya akan mendapatkan kesegaran dan semangat baru untuk memperbaikinya dan melakukan hal tersebut lebih baik lagi.

Setiap diri kita memang memiliki kesiapan yang berbeda dalam menghadapi sebuah keberhasilan dan sebuah kegagalan. Seorang yang sangat siap dan senang akan sebuah keberhasilan, belum tentu dapat tegar mengatasi dampak dari sebuah kegagalan. Tak banyak yang bisa menghadapi kegagalan dengan baik, apalagi mengambil pelajaran darinya. Kalau saja kegagalan tersebut tak menjatuhkan beban begitu berat pada diri kita, maka ia akan terlihat indah. Kekecewaan ketika menghadapi kegagalan memang hal yang sangat manusiawi. Tetapi seringkali kita lupa bahwa melakukan kesalahan dan mengalami kegagalan adalah juga tabiat manusia. Bukankah di balik setiap kepayahan itu adalah sebuah kemudahan? Dan hanya Dia lah yang berhak menentukan hasil akhir dari sebuah proses panjang perjuangan manusia….

Sebab jurang tak selalu berarti kekalahan,
sebab jurang tak melulu masalah ketakberdayaan,
sebab jurang tak selamanya tempat kejatuhan.

Karena jurang juga diciptakan untuk mereka yang ingin mendaki,
karena jurang ada bagi mereka yang berani,
untuk menyeberangi,
untuk menaikinya kembali, bila ia terjatuh nanti.

Jadi, biarkan bila jatuh ke jurang, bila memang harus jatuh.
Sebab selalu ada yang membantumu untuk
naik kembali.

(hadiah untuk FLP’ers, dan semua yang ada di “panggung pelangi”)

Friday, January 14, 2005

The Deadliners

Judul di atas sebenarnya saya hadiahkan untuk sebagian orang yang gemar mengerjakan tugas-tugas di akhir waktu yang telah ditetapkan. Kalau bagi para mahasiswa menjelang ujian semesteran, istilah yang kerap kali menempel adalah 'SKS', alias Sistem Kebut Semalam. Apanya yang dikebut? Ya, belajarnya. Hanya belajar ketika ujian segera tiba. Selain hal tersebut dilakukan karena malas, faktor lain yang menjadi alasan adalah perasaan "seru" yang ditimbulkan saat diri ini musti tergesa-gesa mengerjakan tugas di kala waktu mepet, atau perasaan berdebar yang tak karuan kala menyadari bahwa masih banyak bahan kuliah yang belum dipelajari. Saat menjadi seorang mahasiswa, terus terang, saya jarang mengalami kondisi tersebut. Mungkin pernah, untuk beberapa mata kuliah tertentu. Rasanya, ada sensasi tersendiri ketika mempraktekkan kebiasaan buruk ini...menjadi The Deadliners. Walau sepertinya saya tak pernah terbiasa melakukannya.

Fase berikutnya, menjadi pekerja kantoran. Saya memulainya dengan harapan bahwa akan menemukan suasana yang berbeda dari kampus. Bekerja di kantor, menjadi pegawai sebuah perusahaan, pakaian rapi, kerja profesional, banyak menemukan pengalaman, dan yang paling penting...susana yang berbeda! Walaupun hitungannya tetap saja jadi "kuli". Bekerja, membuat laporan, dapat gaji. Berulang setiap bulan. Monoton memang, tetapi saya menyukainya. Entah kenapa, mungkin karena mengejar status. Bila ditanya orang, "Kegiatanmu sekarang apa?" Saya akan jawab, "Kerja," bukan lagi, "Kuliah," berbeda.

Mengharapkan peningkatan alias Self Improvement ketika menjalani aktivitas sebagai seorang karyawan, tentu hal yang tidak asing. Saya sendiri, selalu mengharapkan hal itu terjadi pada diri saya, di manapun saya bekerja. Sejujurnya, sewaktu masa sekolah dan kuliah dulu, saya adalah seorang yang cukup rapi dalam mengatur jadwal. Bahkan kadang nyaris terlalu rapi, sampai menjengkelkan teman-teman saya yang lain yang tidak terbiasa dengan itu. Dalam hal mengerjakan tugas-tugas, teman-teman selalu berkomentar bahwa saya selalu dapat mereka andalkan ketika sekelompok dengan saya. Saya dikenal sebagai seorang yang punya disiplin waktu yang lumayan baik, pun dalam hal pengerjaan tugas-tugas. Walau kadang bisa juga malas dan tidak teratur, tetapi itu jarang.

Self Improvement itu menjadi salah satu motivasi yang selalu mendorong saya untuk selalu mencari tempat bergaul yang baru, dan selalu mempelajari sesuatu di sana. Selepas kuliah, saya mencarinya di tempat manapun saya bekerja.

Suatu kali, saya bekerja di sebuah perusahaan. Rasanya perusahaan itu adalah tempat idaman yang selama ini saya cari. Saya sangat menyukai pekerjaan saya. Walau tidak memenuhi semua kriteria tempat bekerja idaman, tetapi saya menemukan banyak sekali hikmah dan pelajaran yang rasanya bisa meningkatkan kemampuan diri saya. Itu pikiran saya pada awalnya.

Setelah bekerja selama 5 bulan, tiba waktunya membuat laporan akhir tahun, dan sibuklah saya. Pekerjaan yang tadinya cukup saya nikmati, mulai mendatangkan kesulitan-kesulitan yang sepertinya sudah saya duga sebelumnya. Pengamatan akan kinerja sebagian karyawan yang rupanya sudah terbiasa dengan pola kerja mereka masing-masing selama bertahun-tahun. Entahlah, itu hanya pengamatan sesaat rasanya.

Saya sudah membayangkan, bahwa akan menyiapkan diri yang sebaik-baiknya untuk menghadapi rapat tahunan di kantor. Bersemangat. Itu yang saya rasakan. Entah disebabkan karena saya memang sangat suka mengikuti rapat-rapat, atau memang saya ingin mengetahui lebih luas mengenai perusahaan yang baru beberapa bulan menjadi rumah kedua saya.

Minggu kedua awal tahun baru, dan saya masih saja disibukkan dengan tumpukan kertas bekas print-out program kerja yang harus disimpan sebagai 'used paper' sebab masih banyak yang perlu diperbaiki. Rapat kerja yang terlaksana pekan sebelumnya terpaksa diulang kembali di pekan kedua ini, sebab bisa dikatakan sebagian besar program kerja yang telah dipresentasikan tidak sempurna dan tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Seingat saya, sebulan yang lalu, saat ide rapat kerja itu dilontarkan oleh pimpinan perusahaan, kami semua sudah diingatkan untuk membahas program tiap divisi secara bertahap. Seingat saya, kesepakatan itu didengar oleh hampir semua karyawan, dan kami sepakat untuk mengoptimalkan bulan kedua belas tahun lalu untuk membahas program, sehingga rapat kerja nanti bisa berlangsung cepat.

Dan saya menemukan kembali sensasi itu kali ini. Di tempat idaman saya ini. Saya, dan teman-teman lain di kantor yang berkutat dengan setumpuk program kerja yang entah telah terbahas dengan baik, entah tidak. Saya mengulangnya kembali, menjadi The Deadliners.

*hadiah untuk semua*

Wednesday, January 05, 2005

Lagu itu

Tadi pagi ada dua pengamen di bus AC28. Bukan hal istimewa sebenarnya, tapi entah kenapa pagi tadi hati saya begitu terkesan dengan lagu-lagu yang mereka nyanyikan. Bukan lagu-lagu istimewa sebenarnya, melainkan sudah puluhan kali saya dengar, akrab pula di telinga orang banyak.

Walaupun sambil berdiri, belum sarapan, setengah mengantuk dan badan sedikit demam, saya masih bisa menikmati alunan petikan gitar dan suara seadanya dari dua orang itu. Tidak jelek. Sebab yang saya nikmati adalah kemerduan suara mereka saat lagu-lagu penuh memori tersebut dinyanyikan.

Lagu-lagu yang mengingatkan saya pada masa-masa semangat itu rasanya membakar menyala-nyala. Saya rindu, rindu sekali....

Sepohon kayu daunnya rimbun,
lebat bunganya serta buahnya,
walaupun hidup seribu tahun,
kalau tak sembahyang apa gunanya


Saya baru menyadari betapa berharganya momen yang sedang berjalan walau terasa lambat, kadang membosankan, dan entah apalagi perasaan yang ditimbulkan olehnya. Yang jelas, ia tidak akan lagi pernah terulang.