Halaman

Friday, June 10, 2005

Can't Stop These Tears Drop...

Duh...memang Ia Maha Menentukan segala sesuatu.

Kemarin, baru saja sampai di kantor, saya cepat-cepat membuka tas dan mengeluarkan handphone. Ada sms masuk, ketika sedang berdiri di dalam bis tadi. Rupanya dari Ayah,

"Kak, A'o udah gak ada, beritanya barusan aja"

Innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun...

Saya ternganga, cepat sekali. Walau tidak terlalu heran juga, sebab malamnya keluarga berkumpul di Jatibening, menunggu kabar via telepon dari Medan. Ya. Ia, si A'o itu, adalah adik sepupu saya. Baru berusia 20 tahun, namun hidupnya berakhir didahului dengan sakit keras selama beberapa bulan ini. Ia, yang sejak kecil selalu dekat dengan saya dan keluarga.

Setelah membaca sms itu, saya langsung menelpon Ayah untuk konfirmasi berita. Terdengar suara agak riuh di seberang sana. Mungkin mereka panik dan sedikit heboh mendengar berita ini. Bayangkan saja, ia tinggal di Medan sana, dan keluarga sebagian besar ada di Jakarta. Rupanya, siang itu juga, sebagian keluarga menyusul ke Medan. Saya teringat ibunda dari A'o, pasti sedang menghadapi kesedihan itu sendiri di sana.

Kantor masih sepi, dan saya terduduk lemas di kursi. Ingin sekali rasanya menangis, menumpahkan semua yang menggumpal di hati ini. Ada rasa sesal, karena tak sempat banyak berbincang dan membimbingnya, sewaktu ia masih sehat dulu. Walau bukan saudara kandung, tapi saya adalah kakaknya. Kakak perempuan satu-satunya dari keluarga Ibu. Saya tahu, adik perempuan saya juga pasti merasakan kesedihan yang sama. Saya ingat, betapa dekat mereka berdua dulu. Pun Ayah, yang pasti merasa memiliki anak laki-laki ketika A'o datang dari Medan dan menginap di rumah selama liburan.

Saat itu, saya langsung teringat sebuah foto, A'o dan adik perempuan saya. Ia masih SD waktu itu, dan adik saya belum lagi lima tahun. Tiba-tiba saya tersadar, waktu itulah saya merasakan memiliki adik laki-laki dan perempuan. Lengkap. Saya baru menyadari, bahwa saya benar-benar sayang kepadanya.

Tapi pagi itu, saya tidak menangis. Rasanya perih sekali mata ini, butir-butir itu menggantung saja di sana.

Semalam, bersama Ayah dan adik saya di rumah, saya meminta Ayah menceritakan ulang berita yang diterima dari Medan. Saya kembali termangu, saya tahu, adik yang duduk di sebelah saya pun begitu. Kami berdua menangis dalam hati. Air mata saya kembali tertahan. Satu tekad dalam hati, akan melaksanakan shalat ghaib bersama nanti.

Pagi ini, saya tak bisa menahan diri untuk menghubungi Ibu di Medan. Suaranya masih serak, tampak sekali bekas isak tangis di sana. Saya minta bicara dengan tante, ibunda A'o. Pertama kali, saya menyuguhkan keceriaan. Namun sedetik kemudian, suara saya bergetar mendengar kalimat yang diucapkan olehnya,

"Makasih ya, Ta...doain A'o ya, supaya dilapangkan kuburnya...diringankan siksanya..."

Suaranya tersendat-sendat, beriringan dengan isak tangis yang tiba-tiba muncul. Pasti ia belum bisa meredakan kesedihannya semalam. Saya kembali terbayang dengan selembar foto itu, A'o dan adik perempuan saya. Saat kami masih kecil, saat ia menginap di rumah dan tak mau berpisah dari saya, saat saya menggandengnya ketika berjalan-jalan, saat ia selalu betah bermain dengan semua mainan kesayangan saya, saat saya seringkali menginap di rumahnya ketika berkunjung ke Medan, dan saat terakhir kali saya melihatnya...kurus sekali. Rupanya kali itulah perjumpaan saya yang terakhir dengannya.

Seketika kabut di kedua mata saya menghilang dan meleleh tanpa saya sadari. Saya pun berucap,

"Iya, tan...tante sabar ya...Vita, Dede, dan Papa insyaallah mau shalat ghaib di sini..."

Akhirnya tumpah juga. Sepenuhnya saya ingin mengenangnya, dan menyampaikan doa untuk adik laki-laki saya itu.

Allahummaghfirlahum, warhamhum, wa'afiihum, wa'fu 'anhum....

10 Juni 2005

No comments: