Halaman

Wednesday, September 28, 2005

Menyeimbangkan Keinginan

Saya baru saja menyadari betapa saya banyak merugikan diri saya sendiri, setelah saya membaca sebuah buku. Judulnya “Don’t Sweat the Small Stuff with Your Family”, karya Richard Carlson. Sebuah buku yang, menurut saya, sederhana. Isinya sebenarnya adalah kisah-kisah keseharian si penulis, yang sangat baik dan cerdas dalam mengambil hikmah dalam setiap kejadian kecil dalam kehidupannya. Ditulis dengan bahasa ringan, mudah dimengerti, dan ‘akrab’. Mengapa saya katakan akrab? Sebab sepertinya ketika membacanya, kita akan tertegur keras, bahwa setiap kejadian tersebut pernah kita alami sendiri.

Contohnya adalah salah satu chapter dalam buku itu yang kira-kira berjudul “Let Go Off Your Expectations”. Satu chapter yang hanya terdiri dari dua sampai tiga halaman itu menceritakan tentang bagaimana si penulis seringkali memiliki pengharapan-pengharapan tertentu terhadap masing-masing anggota keluarganya. Seperti ketika suatu pagi yang cerah, ia dengan sangat antusias mengajak istri dan anak-anaknya untuk berlibur dengan pergi ke kolam renang. Tentu saja, ia mengharapkan reaksi atau respon yng sama antusiasnya dengan apa yang ia tunjukkan. Namun pagi itu, ia tidak mendapatkannya. Komentar yang dilontarkan oleh istrinya lebih kepada, “Ya, terserah, deh.” Dan itu sama sekali bukan sebuah kalimat yang menunjukkan sikap antusias. Tentu saja si penulis merasa ‘terganggu’ dengan sikap keluarganya, dan ia pun ‘terjebak’. Ia berkata, “Ada apa sih dengan keluarga ini?” dengan nada tinggi. Mendengar kalimat tersebut, istrinya pun tersenyum lebar dan berdiri di hadapannya sambil mengatakan, “Nah? Bagaimana dengan perkataanmu tentang pengharapan terhadap orang lain?”

Kejadian tersebut memang sepertinya sangat sepele. Namun, bagi orang yang tidak dapat mengontrol emosi akibat terjebak oleh situasi seperti di atas, tentu akan berakibat buruk bagi hubungan antar anggota keluarga. Padahal, reaksi seperti itu tak perlu dilakukan, kalau saja kita bisa sedikit bersikap tenang dan santai. Berusaha untuk menerima bahwa tidak setiap orang, termasuk anggota keluarga kita sendiri, dapat memiliki sifat yang sama seperti diri kita. Tidak setiap orang memiliki antusiasme yang sama ketika menghadapi berbagai situasi. Yang jelas, setiap orang adalah bukan diri kita. Jadi, memiliki pengharapan yang berlebihan terhadap orang lain tentu hanya akan membuat kita stres.

Dalam keluarga terutama, dimana kita menemui orang-orang yang sangat kita cintai itu nyaris setiap waktu dalam hidup kita, kita harus berusaha banyak bertoleransi bila ingin mencapai hubungan keluarga yang baik dan menyenangkan. Menerima kondisi perbedaan tersebut bukanlah berarti kita ‘menurunkan standar’, melainkan mengurangi tuntutan bahwa ‘setiap orang harus memiliki sikap, reaksi, dan respon yang sama’ dengan diri kita. Dengan kata lain, diri kita tetaplah diri kita, yang memiliki berbagai keinginan, baik untuk diri sendiri maupun terhadap orang lain. Bagaimana menyeimbangkannya dengan kemampuan dan karakteristik orang-orang tercinta yang hidup bersama kita, itu satu hal yang perlu terus diupayakan.

Saya tersenyum dan mulai mencerna ulang segala apa yang saya serap dari chapter itu. Saya mungkin memiliki sifat yang tak jauh beda dari si penulis buku tersebut, yaitu hampir selalu bersikap dan mengatakan sesuatu dengan antusias kepada orang lain. Ya, saya adalah seseorang yang ‘ber-emosi’, begitu apa yang teman-teman saya katakan. Hampir tak pernah saya tak melibatkan perasaan dalam setiap perkataan ataupun tindakan saya. Maka, bila ada orang lain yang tidak menanggapinya seantusias diri saya, saya akan berpikir bahwa orang tersebut sangat tidak pengertian dan tidak peduli dengan orang lain. Setidaknya, orang tersebut tidak mengerti bahwa sesuatu itu sangat penting bagi diri saya.

Hal itu cukup sering terjadi dalam kehidupan keseharian saya. Dan akhir-akhir ini, saya menjadi kurang bisa bertoleransi terhadap hal itu. Saya menginginkan apapun cerita yang keluar dari mulut saya ditanggapi sama antusiasnya dengan bagaimana saya menceritakannya. Setiap perilaku sedih, marah, kecewa, dan bahagia saya, saya pun ingin mendapatkan respon serupa dari keluarga saya, dalam arti mereka memiliki perasaan yang sama dengan saya.

Di chapter lain pada buku tersebut, ada sebuah yang juga membuat saya tertarik. Judulnya kira-kira “Let Him/Her Know”. Isinya tentang bagaimana kita seharusnya menyampaikan isi hati dan keinginan kita kepada orang-orang tercinta di rumah. Mungkin saja, banyak hal yang terjadi di luar dari apa yang kita harapkan, adalah karena kita sendiri tidak pernah menyampaikannya kepada mereka. Kemudian, saya pun merenungkan kembali, apakah kondisi tersebut pernah saya alami?

Hasilnya? Sama seperti si penulis, rupanya saya telah berkali-kali terjebak dalam emosi saya sendiri. Memiliki prasangka dan dugaan buruk yang hanya akan membuat hati saya gundah, dan merasa bahwa tidak seorang pun dapat memahami keinginan saya. Sungguh malang. Saya benar-benar merasa rugi kini, setelah menyadari bahwa bersikap demikian tidaklah membawa manfaat apapun terhadap diri saya. Bahkan, mungkin saja perasaan gundah tersebut membuat sikap saya menjadi berbeda kepada orang-orang tercinta di rumah. Bisa jadi, kekecewaan saya tersebut membuahkan perilaku saya yang berbeda kepada mereka, dan mungkin saja telah menyakiti perasaan keluarga saya. Dan kesudahannya, setelah emosi yang berlebihan tersebut lewat, saya selalu menyesali sikap saya itu. Bayangkan saja, betapa saya mungkin telah menyakiti dan membuat keluarga saya sedih!

Kejadian seperti itu, bukan tak mungkin telah kita alami berkali-kali. Dan selama berkali-kali itu, entah ke mana perginya akal sehat dan kejernihan pikiran saya, sehingga saya amat sulit menggali hikmah dan tindakan tepat apa yang harus saya lakukan untuk mengatasi situasi macam itu. Dan selama ini, saya selalu tenggelam dalam perasaan dan pikiran saya sendiri, yang mungkin cenderung negatif, hingga menyebabkan kegundahan dalam hati saya berlangsung lama.

Suatu malam, beberapa hari setelah saya membaca buku itu, saya melakukannya. Saya menahan emosi ini kuat-kuat, melebarkan senyum hingga dapat menekan nada suara saya serendah mungkin, menatap lekat-lekat mata orang yang saya sayangi di rumah, dan mulai menyampaikan satu per satu keinginan dan harapan saya terhadapnya. Dan ternyata berhasil! Ia mendengarkan dengan serius, tampak memikirkan bahwa yang saya sampaikan itu memang benar-benar penting bagi diri saya, dan sesudah itu ia mengatakan bahwa ia pun sebenarnya telah memikirkan hal yang sama.

Hati saya terasa lapang sekali setelahnya. Dalam hati, saya mulai mendaftar ulang ‘keinginan-keinginan’ yang selama ini belum terkomunikasikan dengan baik, untuk saya pikirkan kembali, dan mungkin saja akan saya sampaikan di suatu kesempatan lain. Dan malam itu, saya tertidur dengan sangat nyenyak.

Alhamdulillah ... saya telah menemukan tulisan sederhana dalam buku tersebut. Yang akhirnya memberikan pukulan keras bagi saya, bahwa tidak semua hal yang terjadi perlu dimasukkan dalam ‘daftar tuntutan besar yang harus dipenuhi’. Mungkin ketika kita menanggapinya dengan ringan, hal tersebut tidak akan menjadi sesuatu yang dipendam lama hingga menjadi ‘bom waktu’ yang akan meledak kapan saja. Ketika kita berusaha keras untuk menyingkirkan ego, membuka hati dan pikiran untuk mengkomunikasikannya dengan cara yang baik apapun itu keinginan dan harapan yang kita miliki, tentu akan membawa hasil yang lebih baik, dibandingkan hanya memendamnya atau langsung bereaksi keras. Dan jangan lupa, bagaimanapun, jangan pernah berharap bahwa apa yang kita inginkan akan seratus persen diterima dan ditanggapi seperti yang kita harapkan. Dan bila itu terjadi, bukan berarti mereka tidak mengerti atau tidak menyayangi diri kita.

Menjadi Teman Baik

Saya memiliki seorang teman dekat, kami telah saling mengenal selama lebih dari sepuluh tahun. Ketika kami duduk di bangku SMA, bisa dikatakan kami memiliki lingkungan pertemanan yang hampir sama. Ia mengenal teman-teman saya, dan sebaliknya. Walaupun kami tak satu sekolah, namun saya tahu bagaimana pergaulannya dan juga aktivitasnya. Demikian juga sebaliknya. Saya mengenalnya sebagai seseorang yang cukup supel, memiliki banyak teman, dan juga cukup menyenangkan. Pada waktu itu, saya pikir saya telah mengenalnya begitu dekat hingga saya memahami seluruh apa yang ada pada dirinya.

Ketika kami kuliah, ternyata saya pun masih diberikan kesempatan bertemu dengannya cukup sering. Karena kami kuliah di universitas yang sama. Sama seperti di SMA dulu, kami saling mengetahui kegiatan masing-masing. Walaupun ada sedikit perbedaan kondisi dibandingkan saat di bangku SMA dulu, yaitu lingkup pergaulan kami masing-masing menjadi lebih luas. Cukup banyak teman-temannya yang tak saya kenal, dan mungkin juga sebaliknya. Luas dan beragamnya lingkungan pergaulan di kampus memungkinkan teman saya itu untuk bergaul ke sana ke mari. Teman-temannya pun tersebar di berbagai fakultas. Tetapi ternyata saya lagi-lagi diberikan kesempatan untuk juga mengenal, walau tidak dekat, beberapa orang dari ‘lingkaran pertemanan’ teman dekat saya itu. Saya akui, kebiaaan dan pola pertemanan yang ada pada mereka memang tidak seperti yang saya punya. Namun, saya cukup bisa bertoleransi bahwa mereka adalah orang-orang yang baik. Tetapi, teman dekat saya itu mengalami cukup banyak perubahan. Sesaat, saya seperti tak lagi mengenalnya.

Suatu ketika, saya mendapati teman saya ini begitu menyukai seseorang. Seseorang itu adalah teman saya juga, katakanlah si A. Hubungan saya dan si A bisa dibilang juga cukup dekat, bahkan sebenarnya saya yang lebih dulu mengenal dan dekat dengan si A. Si A ini, juga seorang perempuan, adalah seseorang dengan kepribadian yang memang sangat menyenangkan. Dan saya sangat mengerti mengapa teman dekat saya itu begitu ‘memuja’ si A. Ia sepertinya berusaha memasuki setiap lingkaran teman yang si A punya. Ia akan marah dan minimal ‘ngambek’ kalau mendapati si A sedang bepergian atau berkumpul dengan teman-temannya tanpa mengajaknya. Kadang, saya menilainya terlalu kekanak-kanakan.

Pernah si A menceritakan pada saya, bahwa teman dekat saya itu berusaha untuk ikut dalam setiap momen dimana si A dan teman-temannya berkumpul. Awalnya, saya tidak heran dengan hal itu. Memang saya tahu bahwa teman dekat saya itu cukup supel dan sepertinya dapat diterima oleh berbagai kalangan pergaulan. Saya sendiri cukup sering berhubungan dengan si A, dan kami berdua memiliki pembicaraan sendiri ketika sedang berbincang. Tapi saya sadar, si A memiliki lingkungan pertemanan yang telah ia jalani lebih dulu sebelum ia mengenal saya. Seperti teman dekat saya itu, saya sendiri sangat menyukai si A. Tapi saya tak pernah mengharapkannya untuk selalu berada bersama-sama saya setiap saat. Saya menghargai privasinya untuk berada bersama teman-temannya yang lain kapanpun ia suka, tanpa saya ganggu. Sebab saya sadar bahwa saya kurang nyaman dan mungkin juga kurang cocok untuk bergaul akrab dengan teman-teman si A, walau kami saling kenal. Saya bisa memiliki lingkungan pertemanan saya sendiri, dengan tetap berteman dekat dengan si A.

Saat itu, saya cukup sering memikirkan teman dekat saya, tentang bagaimana hubungannya dengan si A dan teman-temannya. Mereka sering bepergian bersama. Setiap kali kuliah usai, mereka masih asyik nongkrong di kampus atau tempat lainnya. Si A kuliah pada jam-jam yang berbeda dari saya dan teman dekat saya itu. Tapi teman dekat saya itu dengan rela menunggui si A hingga ia seringkali pulang malam. Hal itu terjadi cukup sering, dan itu cukup mengkhawatirkan bagi saya. Saya semakin menyadari, bahwa teman dekat saya itu benar-benar berusaha keras untuk berada pada lingkungan pergaulan si A.

Suatu saat, saya berkesempatan untuk berbincang cukup lama dengan si A. Kami sering bertemu di dunia maya, alias chatting. Hampir setiap hari. Sekali, dua kali, saya mendapat cerita dari si A bahwa ada beberapa temannya yang merasa kurang nyaman dengan keberadaan teman dekat saya itu di antara mereka. Memang, sepertinya ia seringkali sedikit ‘memaksa’ untuk selalu hadir pada setiap acara kumpul-kumpul yang mereka lakukan. Di kesempatan lain, saya mendapat kabar bahwa beberapa teman si A merasa jengah dengan sikap dan tingkah laku teman dekat saya itu. Mereka menilainya terlalu over acting dalam suatu hal. Ketidaknyamanan ini akan dengan mudah berubah menjadi ketidaksukaan. Saya menyadarinya, dan begitu pula si A. Maka dalam beberapa kesempatan, bila ada pernyataan ketidaksukaan itu terlontar, si A sedapat mungkin membuat suasana melunak dengan sedikit membela teman dekat saya itu.

Entah mengapa, tiba-tiba saja saya jadi merasa kasihan pada teman saya yang sudah lama sekali saya pahami perangainya itu. Ia yang selalu berusaha masuk ke sebuah lingkungan pergaulan, merasa bahwa dirinya diterima di sana dan selalu ingin mendapat tempat bersama mereka. Padahal kenyataannya tak seperti yang ia pikir. Mungkinkah ia menyadari kondisi ini? Saya harap begitu. Sehingga ia seharusnya dapat membatasi diri dan mengerti bagaimana harus menempatkan diri.

Perihal teman dekat saya itu, adalah sebuah teguran bagi diri saya sendiri. Pernahkah saya dengan begitu menyebalkannya memaksakan diri untuk masuk ke dalam sebuah lingkungan, dan kemudian ternyata membuat orang-orang di dalamnya tidak nyaman? Saya semakin rajin untuk mengintrospeksi diri. Dan setiap kali si A ‘mengadukan’ apa yang telah diperbuat atau dikatakan teman dekat saya itu, dan itu sepertinya membuat mereka tak nyaman, maka seketika saya ingin sekali berbuat sesuatu. Misalnya, menegurnya atau memperingatkannya tentang apa yang telah ia lakukan atau katakan. Kalau dipikir-pikir, memang bukan tanggung jawab saya sepenuhnya. Toh, yang melakukannya adalah bukan diri saya. Tetapi, saya telah berteman dekat dengannya selama lebih dari sepuluh tahun. Dirinya adalah cerminan diri saya, begitu seharusnya. Entah mengapa saya merasa begitu bertanggung jawab dan tidak bisa membiarkannya begitu saja. Apalagi bila ia telah membuat tak sedikit orang merasa tidak nyaman. Entah mengapa. Mungkin karena rasa sayang saya sudah begitu besar untuknya.

Saya ingat, ada seseorang yang pernah berkata kepada saya, bahwa menjadi ‘teman yang baik’ adalah tidak sama dengan menjadi ‘teman baik’. Menjadi ‘teman baik’ adalah menjadi seseorang yang senantiasa bisa melindungi, membantu mengingatkan dirinya kapanpun ia telah melakukan kesalahan. Tanpa harus berbaik-baik, dan tidak membiarkan dirinya berbuat hal yang tidak benar. Teman baik adalah teman yang bisa membuat diri kita menjadi seseorang yang lebih baik.

Berteriaklah, dan Anakmu akan Menirumu

Seringkali, kita sebagai orang dewasa, tidak menyadari bahwa setiap apa yang kita perbuat dan katakan, diserap dengan sangat cepat oleh anak-anak. Memang ketika mereka berada dalam tahap perkembangan otak optimal, setiap apapun yang berada di sekitar mereka akan menjadi ‘sasaran empuk’ bagi mereka untuk diingat, kemudian ditiru. Ya, anak-anak adalah peniru yang hebat.

Ketika saya duduk di bangku SMA, saya pernah mengajar di sebuah TPA yang berada di lingkungan yang sedikit kumuh. Awalnya, saya sangat bersemangat untuk menjalani peran baru itu, sebagai guru TPA. Tapi kemudian, saya menyadari bahwa hal itu tidak semudah yang saya bayangkan. Berhadapan dengan anak-anak kecil yang kesehariannya bergaul dengan preman pasar, orang-orang yang terbiasa berbicara dengan suara keras, kata-kata yang tidak bisa dibilang sopan, dan perilaku yang sulit diatur. Cukup mengagetkan, sekaligus sedikit membuat ngeri. Saya hampir tak sanggup menghadapi mereka, anak-anak kecil itu, yang jauh dari perilaku manis dan menggemaskan. Kata-kata yang mereka ucapkan, tingkah laku yang sudah hampir seperti orang dewasa, dan sekian banyak lagi yang selalu mengejutkan saya.

Saya cukup banyak membaca buku mengenai perkembangan anak. Dan mendapati sebuah pelajaran, bahwa anak-anak dapat meniru dengan tepat dan cepat apa yang orang dewasa lakukan atau katakan. Hal itu tidak perlu diragukan lagi. Sudah cukup banyak contoh yang saya lihat sehari-hari.

Seorang anak akan mempelajari dengan cepat apa yang ia lihat, rekam, dan kemudian langsung menjadi kata atau kalimat berikutnya yang ia ucapkan, atau lakukan. Tak jarang seorang anak dimarahi oleh kedua orang tua mereka akibat apa yang mereka katakan atau lakukan itu. Padahal, bisa jadi anak tersebut mempelajarinya dari orang tuanya sendiri.

Seperti seorang tetangga saya, seorang ibu dengan tiga orang anak laki-laki. Bisa dibayangkan, betapa serunya aktivitas mereka sehari-hari. Saya seorang pengamat lingkungan yang tidak bisa bersikap acuh dan mengabaikan begitu saja apa yang terjadi di sekitar saya. Saya hampir selalu memberi komentar terhadap apa yang terjadi, dan kemudian berusaha membicarakannya dengan suami, sebagai bahan pelajaran bagi kami berdua.

Si ibu dengan tiga orang anak laki-lakinya benar-benar mengajarkan kepada saya banyak hal, walaupun secara tidak langsung. Setiap hari, pada hampir setiap waktu, saya dapat mendengar dengan jelas setiap teriakan dan omelan yang ia lontarkan kepada masing-masing anaknya. Yang paling besar berumur sekitar dua belas tahun, kemudian yang tengah berusia lima tahun, dan yang paling kecil mungkin sekitar tiga tahun. Setiap hari, tak pernah saya dengar rumah di sebelah saya itu tenang dan bebas dari teriakan si ibu. Entah mengapa, saya berusaha untuk memahaminya. Memiliki tiga orang anak laki-laki pasti tidak mudah. Tetapi mengapa harus teriakan itu yang terdengar, itu sedikit saya sesalkan.

Ada kejadian menarik yang telah cukup lama saya perhatikan. Suatu malam, saya mendengar si ibu sangat marah dan kemudian mengeluarkan makian kepada salah seorang anaknya. Entah apa yang telah anaknya perbuat, tapi menurut saya tetap saja tak pantas memaki anak dengan kata-kata seperti itu. Saya kira si anak akan menangis dan kemudian selesai. Tapi ternyata, saya mendengar kelanjutan dari kejadian itu yang mengejutkan. Si anak berteriak kencang sekali, dan ibunya membentaknya,

“Kenapa teriak-teriak begitu!”
“Habis mama bilang Randa bodoh! Randa nggak mau dibilang bodoh!”

Saya cukup terkejut dengan perkataan Randa, si anak sulung. Dan kemudian lebih terkejut lagi mendapati ternyata adegan itu tak berlanjut. Si ibu melunakkan bicaranya dan kemudian terdiam lama. Adegan selesai. Rupanya si anak berhasil ‘menegur’ ibunya dengan cara yang tak terduga. Mungkin si ibu merasa malu, atau menyesal, apapun itu saya mensyukuri bahwa adegan kekerasan yang tengah berlangsung itu tak berlanjut. Randa rupanya telah melakukan tindakan yang mengejutkan ibunya.

Di lain kesempatan, pada suatu sore, saya mendengar anak kedua si ibu tengah berteriak dan menangis meraung-raung. Saya sudah sangat familiar dengan suara-suara itu, dan berniat untuk tak menghiraukannya. Tapi rupanya sekali lagi ada kejadian menarik yang berlangsung. Tangisan Andi makin keras, dan terdengar seperti ada pukulan-pukulan.

“Aduh! Kenapa pukulin mama!” si ibu berteriak.
“Mama pukul Andi! Andi nggak mau dipukul! Biar Andi pukul mama juga!” si anak berteriak tak kalah keras.

Kejadian tersebut tak urung membuat saya tersenyum-senyum. Saya sedikit mengagumi anak-anak dari si ibu tersebut. Seharusnya kejadian itu dapat memberikan pelajaran berharga bagi si ibu. Bahwa apapun yang kita lakukan terhadap anak, akan dengan mudah mereka tiru. Jadi, jangan heran bila teriakan kita akan berbuah teriakan anak.

Monday, September 26, 2005

Ultah ke-1 FLP Bekasi

Alhamdulillah, dengan sesekali terseok-seok dan berjalan sedikit tertatih-tatih, FLP Bekasi berhasil juga melewati satu tahun pertamanya, yang jatuh tepat pada hari ini: 26 September 2005. Banyak sekali kekurangan dan keterbatasan, tapi dengan bekal semangat, pasti setiap kendala bisa dilalui, insyaallah. Saya sendiri nggak bisa melupakan saat-saat pertama FLP Bekasi 'dilahirkan' kembali setahun lalu, tepatnya di Islamic Center Bekasi, oleh mbak Helvy, bang Zainal Abidin, bang Fahri Asiza, bang Komarudin Ibnu Mikam, dan seluruh peserta yang hadir (yang beberapa orang di antaranya akhirnya dirayu untuk jadi pengurus hingga sekarang...hehe). Waktu itu, acara Workshop Kepenulisan itu dihadiri sekitar 60 orang dari berbagai jenjang usia dan profesi. Panitia acara pun hanya terdiri dari 2 orang, yaitu saya dan bang Komar. Modal kami waktu itu cuma 2: semangat dan nekat. Tapi ternyata membuahkan hasil yang cukup menggembirakan, dan disambut cukup baik.

Hari ini, seminggu menjelang tanggal 2 Oktober, seluruh 'penghuni' FLP Bekasi tengah deg-degan. Sudah sejak beberapa bulan lalu kami merencanakan sebuah kegiatan yang akan menjadi pemompa semangat, pengusir jenuh, sekaligus perkenalan kembali akan eksistensi FLP Bekasi di tengah masyarakat Bekasi, khususnya remaja.

Acara FLP Bekasi Goes to School akan dilaksanakan pada tanggal 2 Oktober 2005 di SMU Muhammadiyah Bekasi, Jl. Ki Mangunsarkoro, pkl. 09.00 s.d. 13.00 WIB. Acara yang juga didukung oleh Ikatan Remaja Muhammadiyah Bekasi dan KANSAS (ekskul menulis) SMU 1 Bekasi ini bekerja sama dengan LPPH, dan akan menghadirkan mbak Asma Nadia, Boim Lebon, dan Syamsa Hawa untuk mengisi talk show tentang Penulisan Fiksi Remaja dan Launching buku dari LPPH.

Menjelang Ramadhan, dan menjelang tahun kedua perjalanan FLP Bekasi, saya dan juga teman-teman pengurus FLP Bekasi mohon maaf bila banyak sekali kekurangan dan keterbatasan kami dalam meneruskan perjuangan FLP'ers untuk meramaikan kota Bekasi dengan kegiatan kepenulisan. Semoga tahun berikutnya akan menjadi lebih baik, dan hadirnya anggota-anggota baru (yang hingga kini masih dipending keikutsertaannya, maaf banget ya...) akan mencerahkan dan memberi semangat baru.

Doakan kami, ya...!!!