Halaman

Wednesday, February 15, 2006

The Great Teachers

Beberapa kali saya sempat menyaksikan sebuah film produksi Jepang tentang kehidupan para guru di sebuah sekolah. Tokoh utama film tersebut adalah seorang guru laki-laki yang bergaya nyentrik dengan sikap yang terkesan seenaknya, tidak serius, dan tampak tak baik menjadi teladan bagi murid-muridnya. Berbagai intrik akibat sikap culas dan iri para guru lainnya pun muncul ketika ternyata guru tersebut menjadi favorit murid-murid di sekolah tersebut. Mereka tak habis pikir, kebaikan apa yang ada pada diri guru nyentrik tersebut hingga murid-murid begitu memujanya. Kedengkian itu terus muncul tak hanya dari guru-guru di sekolah tersebut, melainkan juga sekolah elit lainnya dan juga dari pihak departemen pendidikan. Alhasil, si guru dikeluarkan dari sekolah dengan alasan yang dibuat-buat, dan sekolah tersebut difitnah hingga nyaris dihancurkan demi kepentingan pihak departemen pendidikan dan sekolah elit tersebut. Namun kesetiaan dan semangat para murid demi membela si guru menggugah para orang tua murid serta guru-guru lain yang tadinya tak menyukainya. Kehancuran sekolah tersebut akhirnya digagalkan oleh pengorbanan dan jerih payah seluruh murid dan guru sekolah, yang dipimpin oleh si guru nyentrik itu.

Pada awalnya, si guru nyentrik mendapat reaksi keras dan berbagai alasan ketidaksukaan seluruh sekolah terhadap dirinya. Memang benar, ia sering bertindak seenaknya (dengan memanfaatkan ruang kepala sekolah untuk tidur siang), berpenampilan nyentrik (mengajar di depan kelas hanya dengan menggunakan kaos oblong), dan terkesan tidak tahu malu (bersenang-senang di dalam sekolah walau ia mendapat hukuman tidak boleh mengajar dan harus membersihkan kamar mandi). Tetapi ia dapat membuktikan bahwa ia pantas diperhitungkan sebagai seorang guru, dengan menolong satu per satu muridnya dari bahaya maupun permasalahan yang mereka hadapi. Ia bahkan mengorbankan dirinya dicemooh orang lain demi sikapnya itu, dan bahkan sempat nyaris tak selamat dari upaya percobaan pembunuhan. Hasilnya, murid yang paling membencinya pun berubah pandangan. Sebuah kalimat yang saya ingat diucapkan oleh murid-muridnya adalah, “Kami bersedia melakukan apa saja untuk Onisuka. Kau pasti mengerti apa yang dimaksud dengan ‘apa saja’.” Film yang amat mengharukan.

Saya teringat, entah sudah berapa banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh para guru di sekolah terhadap murid-muridnya. Entah dengan latar belakang apa, sikap demikian bukannya akan menambah kecerdasan murid, melainkan akan menimbulkan dampak psikologis berkepanjangan. Saya tak tahu, apakah hal tersebut disadari atau tidak. Kasus-kasus tersebut hanyalah terkuak sebagian, entah berapa banyak yang sesungguhnya telah terjadi. Sebut saja, kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh guru di dalam kelas. Ketika saya bekerja sebagai pekerja sosial di sebuah LSM, beberapa orang murid sekolah dasar datang bersama orang tua mereka, mengadukan pelecehan yang dilakukan oleh guru mereka di sekolah. Sepertinya memang tidak ada luka fisik yang diderita, tetapi saya memuji keberanian mereka mengadukan kasus tersebut untuk mencegah terjadinya hal-hal yang lebih buruk. Dan, bayangkan saja, pelecehan tersebut dilakukan di dalam kelas di depan murid-murid lain saat pelajaran berlangsung. Anak-anak usia sekitar 8-10 tahun tersebut menceritakannya dengan semangat dan seru sekali pada saya, seolah tak ada kejadian buruk yang menimpa mereka. Trauma masa kecil biasanya akan mengendap untuk beberapa lama, dan kemudian muncul di saat dewasa dengan menampakkan dampak-dampak tertentu terhadap perilaku mereka terhadap diri sendiri maupun orang lain. Teori psikoanalisa dari ilmuwan terkenal, Sigmund Freud, sepertinya bisa dijadikan salah satu dasar pemikiran yang harusnya membuat para pendidik dan kita semua cemas. Akan jadi seperti apakah anak-anak itu kelak?

Jangan tanyakan mengenai kasus kekerasan fisik, sebab sudah tak terhitung lagi banyaknya. Setiap hari program penyiaran berita di semua saluran televisi menayangkan berbagai kisah yang mencengangkan, nyaris membuat bosan. Sekitar tahun 2000-an, saya mendapati beberapa buah kasus saja per bulan dalam catatan rekam medis di LSM tempat saya pernah praktek kerja. Tetapi dua tahun setelahnya, sepertinya LSM tersebut kekurangan petugas untuk menanganinya. Dan tahun 2005-2006 sekarang ini, entah apa yang membuat isu ini menjadi marak kembali, dan semua media berlomba mencari kasus baru yang lebih menghebohkan. Terlepas dari peran media yang kadang membesar-besarkan hal ini, coba tengok kasus kekerasan fisik yang dilakukan oleh para guru di sekolah, dan tanyakan pada diri masing-masing: pernahkah kita mengalaminya? Jangan bayangkan kejadian pemukulan hingga luka parah, atau semacamnya. Hal-hal sederhana, seperti mencubit, menarik rambut, memukul dengan penggaris, dan lainnya pun bisa dikatakan sebagai bentuk kekerasan fisik. Bagaimana dengan kekerasan non fisik, contohnya dalam bentuk pelontaran kata-kata makian dan cacian? Sadarkah bahwa sebuah kalimat makian atau umpatan pun menghasilkan dampak yang sama terhadap anak? Lalu, jangan heran bila beberapa tahun mendatang negeri ini akan penuh dengan orang-orang dewasa serta anak-anak yang suka memaki, berkata kasar, dan bersumpah serapah. Bukankah anak belajar dari orang dewasa yang dekat dengannya? Apalagi bila orang dewasa tersebut adalah seorang guru yang selama berjam-jam dalam sehari berinteraksi dengannya.

Saya teringat seorang sepupu kecil saya yang dengan sengaja ’menjatuhkan’ nilai salah satu mata pelajarannya di sekolah, hingga nyaris meraih angka merah. Sedangkan nilai-nilai lainnya nyaris sempurna. Ia dengan sengaja tak mau memperhatikan pelajaran tersebut di kelas, tak mau mengerjakan pekerjaan rumahnya, dan hal itu sempat menyebabkan amarah kedua orang tuanya. Ia pun mengejutkan ayah ibunya ketika memberikan alasan bahwa: pak guru pelajaran itu sadis, suka menyakiti dan berkata kasar. Sikap pak guru itulah yang menyebabkannya tidak menyukai pelajaran tersebut, bukan karena ia tidak tertarik terhadapnya.

Film yang saya tonton itu berjudul The Great Teacher Onisuka. Mungkin bagi sebagian orang film itu hanyalah salah satu tontonan biasa seperti halnya sinetron-sinetron Indonesia. Tapi bagi saya, membayangkan bersekolah di tempat dimana para guru mengajar dengan semangat dan penuh kecintaan terhadap murid-muridnya, dan para murid belajar dengan penuh kebanggaan terhadap sekolahnya, sungguh indah dan pasti menyenangkan.

Walaupun Jepang terkenal dengan sistem pendidikannya yang ketat, dan terdapat sejumlah kasus bunuh diri yang dilakukan para siswa akibat stres, namun sisi baik dari keberhasilan mereka menanamkan kecintaan para murid untuk belajar dan kecintaan para guru untuk mengajar, patut dicontoh. Saya rasa, di setiap kejadian pastilah terdapat sebuah hikmah yang bisa diambil. Toh, memang mereka dapat memetik buah hasil dari perhatian besar mereka terhadap pendidikan di negeri itu. Seperti halnya murid-murid dan para guru di sekolah dalam film itu, yang akhirnya menyadari kecintaan mereka terhadap sekolah mereka.

Sepertinya nyaris tak mungkin menemui keadaan seperti itu sekarang ini. Entah apabila film tersebut dibuat berdasarkan kisah nyata yang terjadi di Jepang. Tetap saja, menurut saya, sesuatu tak mungkin terjadi bila tidak dimulai. Dan memulai sesuatu sendirian tanpa adanya dukungan dari lingkungan biasanya akan perlahan memudarkan semangat dan idealisme itu. Dan yang menjadi pionir biasanya akan menemui ujian sekeras batu karang, bahkan untuk waktu yang tak bisa ditentukan lamanya. Buah kenikmatan memang tidak bisa diraih dengan mudah, dan perjuangan serta pengorbanan yang dilakukan untuk meraihnya akan menambah kenikmatan buah tersebut nantinya. Tidak hanya harapan dan keyakinan saja yang diperlukan, usaha keras dan dukungan benar-benar menjadi kebutuhan riil untuk mewujudkan sebuah mimpi.

4 comments:

Anonymous said...

Oh yeah, Great Teacher Onishuka (GTO)!! ^_^

Abu Fauzan said...

Assalamu'alaikum...
vita, sekali-sekali kunjungi blog saya... siapa tahu aja bisa berbagi puisi?
saya suka banget dengat puisi-puisi yang jernih dan mendalam.
Wassalamu'alaikum...

DH Devita said...

alaikum salam...

to ars...yep...yep...GTO! hehehe

to dado ...insyaallah...

Anonymous said...

Guru; digugu dan ditiru...