Halaman

Wednesday, February 15, 2006

Meyakini Kekafiran

Konon katanya bulan Februari dinyatakan sebagai bulan kesuburan dan cinta. Asosiasi tersebut sudah ada sejak dulu. Menurut kalender Athena kuno, periode antara Januari dan pertengahan Februari disebut dengan bulan Gamelion, yang dipersembahkan kepada pernikahan suci Dewa Zeus dan Hera. Pada kebudayaan bangsa Roma kuno, ada juga yang menyebutkan kebudayaan pagan bangsa Roma, perayaan bulan tersebut dilakukan sebagai ekspresi ‘cinta suci’. Sebuah sumber menyebutkan bahwa hari raya ‘cinta’ tersebut jatuh pada tanggal 15 Februari, dan disebut sebagai Hari Raya Lupercalia. Yaitu sebuah perayaan Lupercus (dewa kesuburan), yang dilambangkan dengan setengah telanjang dan berpakaian kulit kambing. Sebagai bagian dari ritual penyucian, para pendeta Lupercus mempersembahkan korban kambing kepada sang dewa dan setelah meminum anggur, mereka akan berlarian di jalan-jalan kota Roma sambil membawa potongan kulit domba, dan menyentuh siapa pun yang mereka jumpai. Karena ritual tersebut berkaitan dengan kesuburan, maka para wanita muda pun dengan sukarela berebut maju untuk menyambutnya.

Bagi penganut Katolik, perayaan hari cinta itu agak berbeda dari apa yang dilakukan para kaum pagan Roma. Paus Gelasius II menetapkan tanggal 14 Februari (sehari sebelum perayaan Lupercalia) sebagai hari raya peringatan Santo Valentinus. Nama tersebut merujuk pada beberapa nama martir atau santo (orang suci) yang berbeda dan tak jelas asal-usulnya. Namun ia terkait dengan sebuah legenda yang dipercaya muncul pada abad ke-14, ketika Kaisar Claudius II melarang para serdadu Romawi untuk menikah. Pada saat itu, Santo Valentinus muncul sebagai pahlawan dengan membantu menikahkan mereka. Hukuman pun dijatuhkan, dan sore hari sebelum ia menerima hukuman mati, sebuah catatan kecil yang diberikannya pada anak dari sipir penjara menjadi ‘inspirasi’ bagi pengikutnya sampai sekarang untuk merayakan tanggal 14 Februari sebagai hari raya cinta. Dan berbondong-bondonglah kemudian para pasangan memanggil kekasih mereka dengan sebutan “Valentine-ku” (my Valentine). Selanjutnya, setiap tanggal tersebut, gereja dibuka untuk menyambut wisatawan yang ingin menziarahi jenazah Santo Valentinus. Pada tahun 1969, hari raya ini dihapus dari kalender gerejawi sebagai bagian dari usaha untuk menghapus santo-santo yang asal muasalnya tak jelas dan hanya berbasis legenda saja. Namun bagi paroki-paroki tertentu, pesta cinta itu masih dirayakan.

Pada era modern, hari raya tersebut (kemudian dikenal sebagai Valentine’s Day) berubah menjadi ajang pengerukan uang bagi para pebisnis seantero dunia. Dimulai dari dicetaknya kartu ucapan cinta pada abad ke-19. The Greeting Card Association (Asosiasi Kartu Ucapan AS) memperkirakan bahwa di seluruh dunia beredar sekitar satu milyar kartu valentine yang dikirimkan tiap tahun. Dan ini membuat Hari Valentine sebagai hari raya terbesar kedua setelah Natal dimana kartu-kartu ucapan dikirimkan. Kemudian pada pertengahan abad ke-20, tradisi tersebut menuai keuntungan lagi bagi para pebisnis dengan dimulainya pemberian segala macam hadiah (bunga mawar dan cokelat misalnya) kepada para wanita oleh pasangannya. Dan mulai tahun 1980-an, industri berlian pun turut andil ‘menyemarakkan’ tradisi membuang-buang uang tersebut. Rupanya ‘ritual suci’ tersebut mulai berubah menjadi lebih mahal. Bahkan perayaan di Jepang mengharuskan para wanita memberi para pria yang mereka senangi dengan permen cokelat, terutama bagi mereka yang bekerja di kantor-kantor. Mereka memberi cokelat pada teman kerja pria mereka, dan kadang dengan biaya yang cukup besar. Tradisi ini disebut sebagai giri choco (giri = kewajiban, choco = kependekan dari chokoreeto atau cokelat).

Paparan singkat tentang asal muasal Valentine’s Day di atas sepertinya cukup jelas untuk menggambarkan bahwa tak ada satu pun dari kisah, ritual, dan pernak-pernik lainnya yang berkaitan dengan sejarah dunia Islam. Sebuah perayaan, dalam bentuk kecil maupun besar, terhadap sesuatu pastilah berkaitan dengan sebuah hukum atau aturan tertentu yang menjadikan perayaan tersebut sebuah keharusan dan atau kelayakan untuk dilakukan. “Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syariat) ini dan serulah kepada (agama) Tuhan-Mu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.” (Al Hajj, Qs. 22:67).

Jadi, sudah jelas bahwa tidak ada perbedaan antara ikut serta merayakan perayaan tersebut dan atau melakukan salah satu bagian dari ritual perayaan tersebut. Baik dengan mengucapkan selamat, memberikan hadiah, datang pada acara-acara yang diselenggarakan untuk merayakannya, dan lain sebagainya. Meyakini keseluruhan dari ritual dan perayaan itu berarti meyakini kekafiran. Meyakini sebagian darinya sama dengan mendekati jalan kekafiran (entah itu mengikuti jalan keyakinan bangsa pagan Roma, atau umat Katolik yang merayakannya, serta siapa saja yang merayakannya).

Begitulah mereka merayakan cinta. Mengikuti ritual-ritual yang bertentangan dengan apa yang disyariatkan oleh Allah, membesar-besarkan sesuatu yang berasal dari sebuah legenda atau cerita yang diciptakan sendiri, kemudian mengembangkannya menjadi sebuah budaya konsumerisme berlebihan yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, mematok hari-hari tertentu untuk berterus terang dalam menyatakan cinta (atau melakukan sesuatu yang lebih dari itu) kepada seseorang yang bukan muhrimnya, dan bahkan ketika semua alasan tersebut tidak mau diakui oleh mereka yang mengikutinya, mereka akan dengan mudahnya berkata, “Just for fun.”

Untuk kalimat terakhir di atas, ijinkan saya mengingatkan satu hal: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al Israa’, Qs. 17:36)

Wallahu a’lam
Sumber:
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia
www.ukhuwah.or.id

No comments: